Thursday, September 01, 2016

Membaca Kritis “babak akhir” Konflik Urutsewu [1]

Catatan Pre-Kunker Komisi I DPR-RI di Kebumen

Petani dan Warga desa-desa di kawasan pesisir Urutsewu secara rutin menggelar peringatan "tragedi Urutsewu" di Setrojenar tiap tanggal 16 April [Foto: Koran Bumen]
Di tengah ketidakjelasan penyelesaian konflik agraria kawasan pesisir Urutsewu paska dibentuknya “tim independen” oleh Pemkab Kebumen, muncul Komisi I DPR-RI yang akan melakukan kunjungan kerja  lapangan dalam 2 sessi. Sessi pagi Jum’at (2/9) akan mengunjungi Desa Setrojenar. Lalu siangnya akan menggelar pertemuan di Ruang Jatijajar kompleks pendopo Rumah Dinas Bupati Kebumen, dengan peserta perwakilan beberapa Kades yang dipilih. Pengundangnya adalah  pejabat Sekda H. Adi Pandoyo, SH, MSi dan undangannya tanpa dibubuhi cap dinas.

Muncul lah kecurigaan di kalangan petani yang menggelar rapat malam di serambi Masjid Albarokah (1/9) Desa Setrojenar.
“Kok tak jelas ya upaya penyelesaiannya..”, gumam salah satu petani dari kalangan BPD.     
Nasib penyelesaian kasus Urutsewu ini memang jadi tak jelas tahapan dan juntrungnya. Terkesan di oper antar elit pejabat dari daerah ke nasional; atau di saat lain terjadi sebaliknya.  

Kabarnya, posisi Komisi DPR-RI yang membidangi urusan Pertahanan, Luar Negeri, Komunikasi dan Informatika Intelejen ini sebagai memfasilitasi pertemuan antara pihak TNI-AD dengan Kepala Desa Entak, Kaibon Petangkuran (Ambal), Wiromartan, Mirit, Lembupurwo (Mirit) dan Brecong, Ayamputih, Setrojenar (Buluspesantren). Namun patut pula diduga-duga adanya kendala besar dalam upaya menyelesaikan konflik Urutsewu yang telah memicu 3 kali tindak kekerasan negara terhadap rakyatnya. Termasuk kriminalisasi terhadap petani dan perusakan barang milik tanpa supremasi hukum tentara.   


Rumor “win-win solution” dan Proyeksi Jangka Panjang

Dalam gelar rapat warga diketahui hanya ada 8 Kades yang diundang dalam pertemuan dengan delegasi dari DPR-RI. Ini tak menguntungkan posisi petani Urutsewu, khususnya para pemilik tanah pesisir yang selama rentang 2 dekade telah berkembang jadi lahan pertanian hortikultura produktif itu.

Menurut penuturan warga, belakangan ini muncul wacana penyelesaian model win-win solution yang terkesan tak berkeadilan. Fakta bahwa telah ada pagar permanen yang menerjang lahan-lahan produktif milik petani adalah bukti ketidakadilaan yang berlangsung dan lewat di atasnya.

Kawasan pertahanan keamanan dan kawasan hortikulutra produktif merupakan dua realitas yang dipandang sama pentingnya dalam suatu negara. Tetapi proses menuju ditetapkannya pemanfaatan terbaik atas kawasan pesisir Urutsewu ini yang harus dianalisa. Dan analisa itu harus berangkat dari pertimbangan serta kebutuhan obyektif jangka panjang.

“Hari ini pembangunan JLSS sudah dimulai persiapan lapak konstruksinya”, ungkap Widodo Sunu Nugroho.

Pejabat Kades Wiromartan yang pernah jadi korban kebrutalan tentara saat mempertanyakan legalitas proyek pemagaran pesisir ini mewaspadai maksud di balik pertemuan menyambut kunker Komisi I DPR-RI (2/9) esok.

Pertimbangan penting lainnya adalah gambaran realitas ketika JLSS selesai dibangun. Jalan trans-nasional lintas provinsi yang setara dengan Jalur Pantura dalam hal mobilitas dan jumlah kendaraan yang lewat di atasnya; ini sebuah kerentanan yang bersifat khusus. Sementara di dekat lintasan Jalur Pansela ini ada fasilitas militer lapangan tembak dan ujicoba senjata alutsista berat.

Jika mau dipertimbangkan menggunakan nalar sehat, maka pemanfaatan terbaik atas kawasan pesisir Urutsewu adalah penetapan kawasan ini sebagai kawasan pertanian dan wisata rakyat. Ini tuntutan mendasar yang jadi picu perlawanan petani Urutsewu dalam memaknai kedaulatannya… [Red]          

0 comments:

Post a Comment