TIM INVESTIGASI: Tim Investigasi bentukan Pemkab yang tengah melakukan pengumpulan fakta-fakta lapangan (25-10-2016). Nampak di latar belakang pagar yang dibangun TNI-AD dimana terdapat tanah-tanah milik petani yang terlanggar [Foto: Litbang FPPKS]
Lebih berbahaya lagi jika melihat proyeksi
ke depan, manakala Jaringan Jalan Lintas Selatan (JJLS) yang merupakan jalan trans-nasional telah selesai dibangun
dan berfungsi sebagai jalan lintas provinsi dengan mobilitas dan jumlah serta
kepadatan arus kendaraan sangat tinggi. Bagaimana mungkin kawasan pesisir ini
tetap menjadi arena ujicoba alutsista,
sementara di sebelahnya adalah jalur
pansela. Tak mungkin.
Fakta bahwa selama kawasan pesisir Urutsewu
difungsikan sebagai lapangan tembak dan arena ujicoba senjata berat sejak tahun
1980-an, telah menyebabkan jatuh korban 7 orang tewas1) termasuk 6 diantaranya adalah
anak-anak. Belum terhitung korban yang terluka dan menderita cacat fisik. Di
Desa Entak sendiri dimana petani Bedor (8/9) lalu terluka oleh serpihan bom
mortir. Jauh sebelumnya juga pernah ada 2 orang lain yang terluka saat bekerja
di lahan pertanian, dan saat di rumah lantaran memungut sisa peluru mortir. Pun
ada pula 1 orang tewas terkena ledakan bom saat mencari kayu di seputar zona
makam desa.
Dan solusi atas kasus-kasus ini bukan lagi
cukup dengan menghentikan atau memindahkan lapangan tembak sekaligus arena
ujicoba senjata militer ini ke tempat lain yang cukup aman. Karena apa? Karena
konflik Urutsewu itu bukan lagi “hanya” masalah fungsi penggunaan kawasan pesisir
sebagai zona aktivitas militer disamping sebagai lahan pertanian penduduk dalam
perkembangannya.
Perampasan
Tanah Secara Sistematis
PERIKSA BUKTI: Petani Urutsewu menunjukkan bukti pemilikan tanah pesisir dan tengah diperiksa Tim Investigasi sambil mengecek fakta di lapangan [Foto: Litbang FPPKS)
Kemunculan terminologi “perampasan tanah secara sistematis” ini adalah dihasilkan dari diskusi-diskusi informal warga Urutsewu, terutama para petani pemilik tanah pesisir; di atas kawasan mana juga melekat hak-hak ulayat atas banda desa atau pun tanah kemakmuran masyarakatnya. Pada awalnya, penggunaan kawasan pesisir Urutsewu sebagai zona latihan perang dan arena ujicoba senjata berat tak sampai menimbulkan konflik terbuka antara petani versus TNI-AD.
Kemunculan terminologi “perampasan tanah secara sistematis” ini adalah dihasilkan dari diskusi-diskusi informal warga Urutsewu, terutama para petani pemilik tanah pesisir; di atas kawasan mana juga melekat hak-hak ulayat atas banda desa atau pun tanah kemakmuran masyarakatnya. Pada awalnya, penggunaan kawasan pesisir Urutsewu sebagai zona latihan perang dan arena ujicoba senjata berat tak sampai menimbulkan konflik terbuka antara petani versus TNI-AD.
Hal itu karena penggunaan pesisir sebagai
fasilitas latihan militer masih diletakkan pada penghormatan hak-hak petani
pemilik lahan sesuai data tanah dalam Buku C desa dan pemerintah desa sebagai
pengelola banda desa atau pun tanah kemakmuran itu.
Akan tetapi sejak muncul klaim bahwa itu tanah negara dengan
segala dalihnya2) yang
diikuti dengan pengukuran dan pemetaan sepihak oleh tentara kemudian dimintakan
tandatangan dan cap persetujuan kepada para Kepala Desa untuk dimanfaatkan
sebagai lapangan tembak TNI-AD; maka tidak secara otomatis aspek historis,
status dan hak pemilikan tanahnya menjadi terhapus, bermutasi, bias atau
dibiaskan.
SERTIVIKAT: Sertivikat Tanah dan Data Buku C Desa juga diperiksa kebenarannya [Foto: Litbang FPPKS]
Konteks persetujuan fihak pemerintah desa, sejatinya, juga harus dimaknai sebagai persetujuan untuk digunakan sebagai latihan tembak TNI dan ujicoba alutsista; bukan bermakna persetujuan bagi mutasi status tanah dan hak pemilikan yang melekat di atasnya. Persetujuan penggunaan sementara dalam arti “selama dilaksanakan latihan TNI” tak bisa didalilkan sebagai prosedur yang benar dalam mutasi status dan hak atas tanah. Karena jika menyangkut pengalihan status dan mutasi hak tanah, tentu saja, harus bermusyawarah dengan petani pemilik tanahnya; ini substansinya.
Jika hasil pengukuran sepihak ini
dimintakan persetujuan pemerintah desa tapi mengabaikan tujuan substansial
pemanfaatannya secara insindental dipakai latihan dan bukan untuk dikuasai
apalagi dimiliki, maka mau dibilang apa jika bukan sebuah perampasan melalui suatu
klaim sepihak. Terlebih, secara
diam-diam klaim kemudian diregister
dalam inventarisasi kekayaan negara. Lebih menyakitkan lagi, hasil klaim ini
dipasangi pagar pembatas permanen.
Petani menganalogikan ini sebagai tindakan
brutal militer dalam bentuk lain. Dan memang terbukti kebrutalan tentara
berulang terjadi saat petani bersama pemerintah desa memprotes pemagaran
pesisir Urutsewu.
____
1) Terdiri dari 5 anak Desa Setrojenar (1997), 1 anak Desa Ambalresmi
(1987) dan 1 orang petani warga Desa Entak (1982)
2) Dalih sebagai kawasan strategis
nasional, kawasan hankam, kawasan lapangan tembak, arena ujicoba senjata
alutsista; bahkan dikembangkan sebagai “tanah negara” atau “tanah TNI-AD”
0 comments:
Post a Comment