Saturday, September 24, 2016

Kisah Para Petani

Penulis: Roy Murtadho
 


Dua hari yang lalu. Di sela-sela saya memberikan materi "Teologi Petani dan Jalan Reforma Agraria" di Sekolah Tani Blitar yang pesertanya petani semua. Ada salah seorang peserta, bapak-bapak, menghampiri saya ke depan. Beliau dengan berkaca-kaca mengatakan kira-kira begini: 

"kami ini sudah dikuyo-kuyo sejak lama. Tahun 65 sebagian besar pemuda kami hilang hingga sekarang tak tahu rimbanya. Di awal zaman Suharto tanah-tanah kami di rampas dan dikuasai perkebunan (saya tak akan menyebutnya di sini). Pada tahun 70-an dan 80-an banyak warga yang tinggal dan dipekerjakan di perkebunan, khususnya ibu-ibu yang sedang hamil dipaksa bekerja dalam kondisi kekurangan gizi. Akibatnya satu generasi yang lahir pada waktu itu di kampung kami hampir seratus persen menjadi idiot. 

Sekarang tanah-tanah masih dikuasai perkebunan dan beberapa orang elit desa. 
Akibatnya, warga desa, para petani yang dirampas alat produksinya, bekerja sebagai kuli kasar yang menambang pasir di kali luberan lahar dingin Gunung Kelud dengan upah yang rendah. Sedangkan yang diuntungkan adalah bos-bos besar penambang pasir dari berbagai daerah di sekitar Blitar. 
Begini dik. Saya sebenarnya sangat merindukan kembalinya kebangkitan kedua gerakan santri. Karena dik, kami ini sudah capek distigma yang tidak-tidak. Bahkan oleh teman-teman di organisasi Islam yang saya ikuti. Saya dicibir dan dikucilkan." 

Lelaki tua yang hampir berusia 70 tahun tersebut memang aktif di ormas Islam di tingkat Ranting di Desanya. Beliau juga cerita dulu mereka diorganisir alm Munir dan Herlambang P. Wiratraman

Tengah malam, sepanjang perjalanan pulang bersama Djuir Muhammad, kata-kata bapak itu menghantui pikiran saya. Apalagi ketika Djuir Muhammad bilang ke saya bahwa penduduk desa yang berada di pinggiran hutan, yang cukup makmur, memiliki truk untuk mengangkut pasir, sebenarnya bisa keluar dari rantai kemiskinan karena memiliki anak perempuan yang bisa kerja jadi TKI keluar negeri. 

Hingga subuh kemarin saya tidak bisa tidur. Tidak habis pikir kenapa orang-orang kejam itu banyak sekali di Indonesia? kok ada orang yang tega menculik para pemuda, dan membikin satu generasi di satu desa menjadi cacat fisik dan mental. 

Dan ketika subuh saya cuman bisa bilang pada Tuhan,
"Tuhan jika pada satu generasi kami ini engkau tidak memberi kemenangan-kemenangan kecil menuju kemenangan besar, maka di generasi di bawah kami, mungkin tak ada lagi yang jadi saksi bagi kebenaranmu. Karena semua doa dan harapan yang kami layarkan hanya menjadi sia-sia." 

Saya berencana mengatur jadwal kesana lagi, membuat riset kecil-kecilan, mencatat peristiwa masa lalu dan masa kini yang terjadi. Dan berharap akan jadi dua tulisan. Satu tulisan etnografi dan satu tulisan teori. Ah, beginilah hidup. Kita nggak bisa menyumbang apa-apa. Hanya berbagi kisah dan resah.

Dan yang saya ingat lagi ketika pulang. Di jalanan yang dilumuri gerimis malam itu, hati saya digenangi amarah. Sambil berzikir dalam hati: Jancuk... Jancuk...

https://www.facebook.com/roy.murtadho/posts/1115179285184481

0 comments:

Post a Comment