“Menolak Ilusi Reforma Agraria dan Kebijakan Pro-Investasi Jokowi-JK”
Hari Tani Nasional (HTN) yang diperingati setiap tanggal 24 September
merupakan hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun
1960, yang juga merupakan momentum kebangkitan kaum tani di seluruh
Indonesia, sebagaimana ditetapkan melalui Kepres 169 tahun 1963.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengamanatkan terwujudnya keadilan
sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pelaksanaan
reforma agraria, yang program pokoknya adalah menyediakan tanah dan
program pendukung lainnya untuk kaum petani. Namun amanat ini tidak
dijalankan.
Hingga kini nasib kaum tani tak kunjung membaik. Kemiskinan
di pedesaan semakin luas karena ketimpangan penguasaan dan pemilikan
tanah yang semakin tajam.
Jokowi-JK memulai pemerintahannya dengan menjanjikan pelaksanaan
reforma agraria melalui Nawa Cita dan RPJMN 2015-2019, yang
diterjemahkan ke dalam dua skema, yakni redistribusi tanah dan
legalisasi asset dengan target 9 juta hektar bagi petani. Skema ini
sesungguhnya melanjutkan praktik dari rezim sebelumnya yang cenderung
membuka pasar tanah (market-led land reform). Hingga dua tahun
masa pemerintahan Jokowi JK berjalan, ketiadaan lembaga pelaksana
reforma agraria yang dipimpin langsung oleh Presiden menunjukkan bahwa
pemerintahan ini tidak memiliki kemauan menjalankan reforma agraria
sejati.
Penyimpangan ini diperparah oleh berbagai kebijakan ekonomi dan
politik yang bertentangan dengan cita-cita reforma agraria. Pemerintahan
Jokowi-JK tetap melanjutkan kebijakan-kebijakan pro investasi anti
rakyat, yang semakin melanggengkan persoalan ketimpangan dan
ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat. Kebijakan tersebut antara
lain: kebijakan pengadaan tanah untuk kebutuhan infrastruktur,
perkebunan, pertambangan, kehutanan dan reklamasi; impor pangan; paket
kebijakan ekonomi jilid I-XIII; UU Tax Amnesty; dan Perpres Percepatan
Pembangunan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Situasi di atas semakin meningkatkan eskalasi konflik agraria di
berbagai sektor dan daerah yang berujung pada tindakan represif dan
kriminalisasi terhadap perjuangan rakyat atas hak-haknya. Dari
2004-2015, tercatat 1.772 konflik agraria dengan luasan wilayah konflik
6.942.381 hektar dengan korban 1.085.817 kepala keluarga. Akibat
represifitas aparat (polisi/TNI/satpol PP) dan security
korporasi di lapangan terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas
tanah, tercatat petani/nelayan/masyarakat adat yang ditangkap 1.673
orang, dianiaya/luka-luka 757 orang, ditembak 149 orang dan tewas 90
orang (KPA, 2015).
Melihat jauhnya janji dengan realisasi di lapangan, dan menyaksikan
tetap bertahannya berbagai persoalan kaum tani tanpa penyelesaian, maka
KNPA menegaskan sikap dan posisinya dengan menggelar rangkaian aksi
peringatan HTN di berbagai daerah (terlampir), dan akan menutup rangkaian tersebut dengan aksi puncak peringatan HTN 2016 pada Hari Selasa, 27 September di depan Istana Negara, Jakarta.
Puncak peringatan HTN di Jakarta ini akan diikuti oleh sekitar 10.000
massa, yang terdiri dari organisasi tani, buruh, nelayan, masyarakat
adat, mahasiswa, perempuan, kaum miskin kota dan aktivis/NGO dari Jawa
Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jakarta.
Demikian rilis ini kami sampaikan. Di dalam negara yang kuat, kaum
tani harus berdaulat. Mari perkuat persatuan gerakan rakyat, dan selamat
Hari Tani Nasional kepada kaum tani di seluruh tanah-air.
Jakarta, 24 September 2016
Hormat Kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
Dewi Kartika
Koordinator Umum
Aliansi KNPA:
KPA, SPI, API, AMAN, KPBI, WALHI, Bina Desa, KontraS, SP, SAINS, IHCS, JKPP, KIARA, STI, SPM, SPB, FPRS, SEPETAK, FPPB, STIP, STAM, SW, Pusaka, YLBHI, WAMTI, IPPHTI,
GMNI, SMI, Jaka Tani, SPRI, SNI, KNTI, LMND, SPKS, LBH Jakarta,
TuK-Indonesia, STKS, JRMK, UPC.