Oleh: Panitia Bersama Peringatan Hari Tani Nasional:
P3I, KPA, KPRI, Walhi, PMK HKBP Jakarta, SPRI, KSM, FSBKU, YLBHI, Pilnet, Elsam, SNT, ARC, Walhi Jakarta, LBH KBR, LBH Bandung, Walhi Jabar, Setasi Sumut, Serikat Petani Bali, Pergerakan Petani Banten, Setam Cilacap, STC Bogor, SPP, FSPK Bandung, SPPU, SNT Jakarta, FAM Unpad, Formasi, FAM Unigal, Mahasiswa UIN, Semar UI, FAM UI, FPPMG, FPMR, Farmaci, PIRS, LMND
Kepada Yang Terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia,
Kami yang tergabung di dalam Panitia Bersama Peringatan Hari Tani Nasional yang ke-55, koalisi aksi yang terdiri dari organisasi tani, buruh, pemuda mahasiswa, perempuan, masyarakat adat, masyarakat miskin kota serta berbagai NGO yang bergerak di bidang agraria, lingkungan hidup, HAM dan lainnya, pada hari ini menyampaikan tuntutan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk segera menjawab situasi darurat agraria yang tengah dialami oleh bangsa ini.
Pada momentum Hari Tani Nasional ini, kami bermaksud mengingatkan kembali bahwa terpilihnya Jokowi-JK selaku Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019 melalui dukungan masyarakat kecil, terutama masyarakat petani yang menyumbangkan suara terbesar. Suatu harapan bahwa Bapak selaku Presiden akan mampu melakukan perubahan mendasar melalui terobosan-terobosan politik dan kebijakan yang dapat mengangkat derajat kehidupan masyarakat petani kecil. Kami sebagai gerakan pendukung reforma agraria, sejak awal telah mendorong dan mengapresiasi mandat Nawa Cita Jokowi-JK yang hendak memprioritaskan pelaksanaan reforma agraria dan penyelesaikan konflik agraria.
Harapan ini tersisa di tengah keputusasaan petani atas kecenderungan sikap, langkah dan arah kebijakan Kementerian/Lembaga yang tidak sejalan dengan amanat Nawa Cita tersebut. Dalam hal ini, terutama yang sangat meresahkan petani adalah kebijakan yang dibuat oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Alih-alih bersungguh-sungguh dalam menjalankan program redistribusi tanah yang diperuntukan bagi petani miskin, justru kebijakan yang lebih menonjol lebih berorientasi pada urusan sertifikasi, kepentingan investasi, pemodal asing dan usaha skala besar. Niscaya arah kebijakan agraria, melalui 10 paket deregulasi dan debirokratisasi oleh Kementerian ATR/BPN, yang seperti ini akan semakin memperburuk ketimpangan struktur agraria, sekaligus melanggengkan ribuan konflik-konflik agraria di Indonesia. Mengingat kebijakan semacam ini akan menjadikan pemerintah (pusat hingga daerah) sebagai agen (“calo”) dari para investor dan birokrasi rente, dimana kebijakan liberalisasi sumber-sumber agraria, yang berakibat pada masifnya penjualan tanah dan kekayaan Tanah-Air lainnya, telah menjadi dasar kebijakannya atas nama krisis nilai Rupiah terhadap Dollar, yang justru bertentangan dengan prinsip dan semangat Nawa Cita sendiri. Lebih-lebih kebijakan ini pun akan melukai dan semakin menyengsarakan petani, karena tidak menempatkan rakyat miskin sebagai subjek hukum utama, yang seharusnya memperoleh sebesar-besarnya manfaat dan akses atas sumber-sumber agraria sebagaimana yang terkandung dalam UUD 1945 dan UUPA No. 5 Tahun 1960.
Tidak hanya masalah kebijakan agraria di Kementerian ATR/BPN, kami juga memandang belum ada keseriusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk secara sungguh-sungguh beritikad baik menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di wilayah-wilayah, yang masih dikategorikan dan/atau diklaim secara sepihak sebagai kawasan hutan. Termasuk keseriusan atas masalah agraria di kawasan hutan di Jawa akibat monopoli Perhutani. Ketidakseriusan ini terlihat dari sumber tanah obyek reforma agraria yang ditetapkan Kementerian LHK tidak mau menyentuh obyek-obyek tanah di Pulau Jawa, yang selama ini justru mengalami ketimpangan struktur agraria yang kronis, mengakibatkan konflik dan kesengsaraan berkepanjangan bagi rakyat. Padahal faktanya tanah-tanah tersebut telah lama digarap dan ditempati oleh masyarakat. Kami juga memandang, setahun pemerintahan berjalan belum ada koordinasi, sinergi dan integrasi kebijakan agraria secara konkrit dengan kebijakan dan program pembangunan di Kementerian/Lembaga lain di sektor pertanian maupun pembangunan desa dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Mustahil kedaulatan pangan terwujud jika ketimpangan struktura agraria di pedesaan masih terjadi.
Situasi darurat agraria lainnya ini diperlihatkan dengan maraknya konflik agraria di seluruh wilayah tanpa ujung penyelesaian yang konkrit, dimana tindakan represitas, intimidasi dan kriminalisasi oleh aparat (TNI/Polri) dan petugas keamanan perusahaan terhadap petani maupun aktivis agraria masih saja berlangsung. Sementara penguasaan dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agraria lainnya semakin timpang akibat dominasi dan monopoli perusahaan skala besar, baik perusahaan swasta maupun perusahaan negara di sektor perkebunan, kehutanan dan tambang. Di sisi lain, bahkan sepanjang satu tahun pemerintahan ini berjalan, perampasan tanah rakyat dan penggusuran masyarakat miskin semakin masif dijalankan pemerintah atas nama (proyek-proyek) pembangunan. Saat ini, setidaknya terjadi 1.520 konflik agraria sepanjang sepuluh tahun terakhir, yang hingga kini masih menunggu langkah konkrit pemerintah untuk menuntaskannya hingga ke akar masalah. Situasi ini genting untuk direspon Bapak Presiden, mengingat konflik-konflik tersebut telah mengakibatkan 85 petani tewas, 110 orang tertembak dan 1.395 petani/aktivis agraria ditangkap/dikriminalisasikan karena memperjuangkan dan mempertahankan haknya atas tanah garapan (KPA, 2014). Sungguh ironis karena penegakkan hukum dan pembelaan HAM di sektor agraria tidak pernah menjadi perhatian serius oleh pemerintah, agar rakyat kecil, petani miskin, keluarga para korban konflik agraria mendapatkan keadilan agraria yang sesungguhnya. Ironis pula, Negeri Agraris ini terus melanggengkan kebijakan yang mempercepat musnahnya jumlah rumah tangga petani.
Atas situasi agraria di atas, kami sebagai gerakan sosial yang mendukung pemerintahan Jokowi untuk menjalankan reforma agraria menyampaikan sikap dan tuntutan sebagai berikut:
1. Pertegas dan tetapkan orientasi kebijakan pemerintahan Jokowi di bidang agraria, yang menyangkut pengaturan, perencanaan, peruntukkan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah negara untuk keadilan dan kemakmuran rakyat, untuk pembangunan fasilitas publik, untuk ketersediaan pemenuhan kebutuhan rakyat atas tanah yang berkelanjutan dan tanah cadangan, serta untuk jaminan daya dukung lingkungan hidup yang lestari dan seimbang;
2. Evaluasi semua rencana dan kebijakan agraria di Indonesia untuk memperjelas pengaturan dan peruntukkan tanah, keberadaan serta potensi yang terkandung di dalamnya, dimana peruntukannya sebesar-besarnya bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Penataan peruntukkan tanah negara bagi kepentingan hajat hidup rakyat Indonesia, diantaranya menyangkut: berapa luas tanah negara untuk kawasan industri, untuk budidaya pertanian, untuk usaha perkebunan, serta untuk pengembangan wilayah hunian, pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum;
3. Evaluasi kewenangan Kementerian/Lembaga di bidang pertanahan dan SDA dalam rangka mendorong satu administrasi pertanahan bagi sistem pencatatan, pemberian dan pengawasan hak atas tanah di bawah Kementerian ATR/BPN. Mengingat ego-sektoral yang terjadi selama ini, telah mengakibatkan kewenangan kelembagaan atas wilayah daratan Indonesia menjadi terbagi 2 (dua), yakni 69% wilayah daratan Indonesia kewenangannya berada di bawah Kementerian LHK (sebelumnya Kementerian Kehutanan) dan diklaim sebagai kawasan hutan, sementara 31% wilayah daratan lainnya (bukan kawasan hutan) kewenangannya berada di bawah Kementerian ATR/BPN (sebelumnya BPN). Sistem dualisme pertanahan ini telah mengakibatkan kekacauan dalam sistem pertanahan di Indonesia, menimbulkan ribuan konflik agraria, yang berujung pada aksi-aksi penyingkiran dan kriminalisasi oleh aparat terhadap rakyat. Tidak adanya kontrol terhadap ijin-ijin yang dikeluarkan oleh kedua kementerian tidak hanya melanggengkan ego-sektoral ini, tetapi lebih jauh mengakibatkan maraknya praktek korupsi, sebagai biro usaha, biro izin atas keluarnya HGU, HGB, HPH, dan HTI, ijin tambang dan berbagai jenis perizinan lain yang diterbitkan.
4. Bentuk lembaga khusus penyelesaian konflik agraria yang langsung di bawah presiden. Mengingat selama ini penyebab konflik agraria terletak pada institusi negara yang berkolaborasi dengan investor dan BUMN di bidang kehutanan, perkebunan, pertambangan dan real estate/perumahan. Rakyat yang selama ini menggarap dan mendiami tanah diusir untuk kepentingan perusahaan di berbagai sektor. Lembaga ini juga harus melakukan inventarisasi, audit dan penertiban atas izin-izin konsesi serta alihfungsi tanah yang telah menjadi penyebab ketimpangan dan konflik agraria, sehingga peruntukkan dan pengelolaan tanah menjadi proporsional dan seimbang.
5. Meminta kepada Bapak Presiden agar tanggal 24 September diperingati oleh pemerintah sesuai dengan Kepres 169/1963. Selama Orde Baru hingga pemerintah hari ini, tidak pernah dilakukan peringatan hari tani untuk merefleksikan keberhasilan dan kegagalan pembangunan petani dan pertanian kita.
6. Mendesak dan mendukung Bapak Presiden Jokowi untuk melaksanakan reforma agraria sesuai amanat UUPA 1960, TAP MPR IX/2001 dan janji Nawa Cita.
Demikian pernyataan sikap bersama ini dibuat untuk menjadi perhatian semua pihak.
Selamat merayakan kebangkitan kaum tani Indonesia di seluruh Tanah-Air, Selamat Hari Tani Nasional, Tanah untuk Rakyat!
Salam Pembaruan Agraria,
Jakarta, 29 September 2015
Panitia Bersama Peringatan Hari Tani Nasional
Sapei Rusin, Koordinator Umum
Panitia Bersama Peringatan Hari Tani Nasional:
P3I, KPA, KPRI, Walhi, PMK HKBP Jakarta, SPRI, KSM, FSBKU, YLBHI, Pilnet, Elsam, SNT, ARC, Walhi Jakarta, LBH KBR, LBH Bandung, Walhi Jabar, Setasi Sumut, Serikat Petani Bali, Pergerakan Petani Banten,Setam Cilacap, STC Bogor, SPP, FSPK Bandung, SPPU, SNT Jakarta, FAM Unpad, Formasi, FAM Unigal, Mahasiswa UIN, Semar UI, FAM UI, FPPMG, FPMR, Farmaci, PIRS, LMND