Friday, June 24, 2016

Melawan Kriminalisasi Pejuang Agraria

24 Juni 2016 ; 17.55 wib 


Jakarta – KPA bersama anggota Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) yang lain yakni API, Walhi, dan Kontras mengadakan seksi Forum Disscusion Group (FGD) di Hotel Amaris, Pancoran kemarin, Jum’at (24/6). Hadir juga pada waktu itu Boedhi Wijardjo salah satu dewan pakar KPA yang konsen dalam mempelajari kriminalisasi sektor agraria. FGD ini sekaligus mendatangkan enam korban kriminalisasi dari enam sektor, yakni :
  1. Eva Bande dari Sulawesi Tengah yang ditangkap akibat berkonflik dengan Perusahaan Swasta. Eva dituduh memprovokasi warga untuk merusak fasilitas milik Perusahaan. Ia akhirnya bebas karena diberi grasi oleh Presiden, akan tetapi perampasan lahan di tempatnya masih terus berlangsung hingga saat ini.
  2. Sunarji dari Sambirejo, Sragen ditangkap akibat menolak memberikan lahan kepada PTPN IX yang ingin memperluas lahan perkebunan mereka. Sunarji akhirnya ditangkap karena dituduh menghasut warga untuk merusak fasilitas milik PTPN IX.
  3. Abdul Rojak dari Indramayu, ditangkap karena bersama teman-temannya melawan tindakan Perhutani yang mengklaim lahan milik warga. Rojak juga dituduh sebagai antek-antek PKI oleh Pemerintah setempat sehingga menimbulkan dampak psikologi yang sangat buruk bagi dia dan keluarganya. Dari pengakuannya, Rojak dan keluarganya sempat takut kemana-mana karena khawatir akan mengalami tindakan intimidasi dari warga yang sudah terprovokasi oleh isu tersebut.
  4. Kuncoro Petani pemulia benih asal Kediri, ditangkap karena dituduh memalsukan benih milik PT BISI. Kuncoro harus mengalami penangkapan selama berhari-hari tanpa diberi penjelasan dan kesempatan membela diri.
  5. Wasio dari Kulonprogo, ia bersama kawan-kawannya ditangkap karena menolak rencana pembebasan lahan warga untuk pembangunan Bandara oleh PT. Angkasa Pura. Ia dituduh menghasut warga untuk melakukan pengrusakan fasilitas perusahaan.
  6. Eman Puju perwakilan tiga nelayan dari Ujung Kulon, menurut pengakuan Eman tiga nelayan tersebut ditangkap karena dituduh melakukan pencurian kepiting di pulau Handeuleum yang dari pengakuan pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) merupakan wilayah administratif mereka. Padahal hingga saat ini wilayah tersebut masih tumpang tindih. Tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan kejadiannya, ketiga nelayan ini langsung digiring polisi hutan setempat ke penjara danya bisa pasrah. Setelah digelar persidangan, jaksa menuntut mereka bertiga selama 4 bulan penjara dan denda Rp 500 ribu.
Hampir dua tahun masa pemerintahan Jokowi berjalan. Reforma Agraria yang menjadi salah satu janji politiknya semasa kampanye yang tertuang dalam “Nawa Cita” hingga kini belum bisa berjalan sebagaimana mestinya. Kriminalisasi di sektor agrarian justru terus meluas dan tidak memperlihatkan indikasi yang serius dari pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

KPA mencatat, sepanjang tahun 2015 sedikitnya telah terjadi 252 kejadian konflik agrarian di tanah-air, dengan luasan wilayah konflik mencapai 400,430 Ha. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK).
Infrastruktur dan perkebunan menjadi dua sektor yang mendominasi konflik dua tahun terakhir. Jika pada tahun 2014 sektor infrastuktur penyebab terjadi konflik dengan jumlah 215 konflik (45,55 %). Sedangkan pada tahun 2015 sektor perkebunan menjadi contributor konflik yang paling besar dengan jumlah 127 konflik (50%).

Ironisnya, pemerintahan Jokowi malah meneruskan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)  yang sangat identik dengan pembangunan infrastruktur dan industri perkebunan skala luas. Strategi pembangunan yang tidak partisipatif dan cenderung hanya mewadahi keinginan pemodal oleh  pemerintah menjadi penyebab banyaknya muncul korban dari pihak rakyat kecil.

Melihat kondisi tersebut, KPA bersama jaringan KNPA lainnya menilai perlu untuk membentuk sebuah gerakan sistematis dalam melawan dan menghentikan kasus kriminalisasi yang masif terjadi.

Dewi Kartika, Wasekjen KPA dalam kesempatannya mengatakan “Saat ini memang KPA bersama jaringan KNPA mendorong yang namanya gerakan anti kriminalisasi. Tahapan awal ini adalah bagimana kita mengerangkakan proses-proses  kriminalisasi yang ada di lapangan.”

Dari konsep yang akan  dibangun nantinya diharapkan kita akan punya satu konsep yang lebih utuh. Kita mendorong yang namanya dana darurat yang sudah berjalan dari bulan maret tahun ini. Dalam dana darurat tersebut kita mendorong supaya respon terhadap kriminalisasi yang terjadi lebih utuh dan prosesnya lebih cepat”. tambahnya.

Persoalan yang muncul ialah selama ini bagaimana isu kriminalisasi di sektor agraria masih kurang populer dibanding isu-isu lainnya seperti lingkungan, korupsi, dan HAM sehingga kurang mendapat perhatian lebih besar dari masyarakat luas. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi gerakan agraria di tanah air.

Ke depan, kriminalisasi terhadap pejuang agraria diprediksi makin marak terjadi akibat penggusuran dan perampasan lahan warga. Apalagi  melihat situasi pemerintahan sekarang yang sangat pro terhadap pembangunan dan arus modal investasi sehingga semakin menguatkan indikasi tersebut.

Organisasi sipil dan pejuang agraria dituntut untuk mampu membangun gerakan yang lebih sistematis dan masif dalam membendung arus kriminalisasi ini sehingga tidak ada lagi korban-korban yang berjatuhan dikemudian hari.

http://www.kpa.or.id/news/blog/melawan-kriminalisasi-pejuang-agraria/

0 comments:

Post a Comment