Wednesday, June 22, 2016

Catatan Ramadhan di Watukodok

"Kabar Penggusuran Orang Desa"

oleh: Comandante Moti


Hari ini, tepatnya tanggal 21 Juni 2016, ribuan warga WATUKODOK Gunung Kidul resmi akan digusur. Begitulah kalimat kabar duka yang disampaikan melalui jejaring sosial, lagi dan lagi rakyat harus kembali menitikkan air mata seraya berpikir ulang tentang nasib hidup mereka. Ramadhan punya cerita pilu bagi mereka yang hidup di Gunungkidul. Belum lagi selesai cerita Rembang, Urutsewu, Kulonprogo, dan sebagainya, kini ada lagi drama perampasan ruang hidup di tengah sebagian besar rakyat menjalankan ibadah puasa.

Ada apa dengan negeri ini? Yang getol mengganggu kehidupan dan kenyamanan rakyatnya, berapa banyak lagi korban yang diinginkan penguasa negeri ini, apakah hal semacam ini yang menuntut saudara kita di Aceh (GAM), Papua (OPM) dan Maluku (RMS) ingin MERDEKA?

Siapa dari kita yang dapat sanggup hidup di bawah tekanan penindasan dan penghisapan? Bukankah negeri ini merdeka karena hidup di bawah penjajahan yang bertahun-tahun diderita? 


D. Harvey pernah menulis dalam beberapa narasinya terkait pergeseran produksi Kapitalisme melalui wilayah geografis sebagai bentuk dari perampasan ruang hidup, hal ini dilakukan untuk menopang keberadaan kapitalisme yang sedang mengalami krisis, bagaimana negara-negara berkembang ikut andil dalam mempertahankan hegemoni kapitalisme dengan turut serta menciptakan berbagai boneka-boneka imperialis dalam negeri guna memperlambat keruntuhan kapitalisme global.

Perampasan tanah dimana-mana merupakan bentuk rill dari kepanikan kapitalisme, hingga perselingkuhan antara barisan feodal dan kapitalis terlihat semakin mesra, rakyat menambah catatan panjang perbudakan dinegerinya sendiri, negeri yg memiliki ribuan bahkan jutaan aset sumber daya alam yg dapat dinikmati generas negeri ini. Namun sayang, semua aset negeri lebih dulu dikuasai asing, cerita ini terpampang jelas dibanyak media masa, media cetak, di kampus-kampus, hingga obrolan di warung kopi. Dalam dekade terakhir peralihan fungsi lahan dari pertanian menjadi infrastruktur indeksnya terus menanjak naik. Bahkan ada ancaman krisis pangan di negeri agraris yang notabene mayoritas rakyatnya petani. 

Penggusuran di Gunung Kidul hari ini menjadi bukti kuat dan pembenaran bagaimana relasi perampasan tanah sebagai ekspansi kapitalisme dalam merampas alat produksi kaum tani guna menciptakan tenaga-tenaga kerja dengan kapasitas rendah yang didatangkan dari pedesaan, untuk menerima pekerjaan dengan upah murah. Barangkali kita harus menengok bagaimana terjadi peningkatan jumlah buruh yang hampir tidak dapat ditampung oleh minimnya lapangan pekerjaan, hingga di seluruh penjuru republik ini selalu ada demonstrasi yang dilakukan oleh buruh, tani hingga para pegawai honorer.

Sejarah negeri ini mempertegas pada kita bahwa Republik ini lahir dari sejarah perlawanan rakyat atas bentuk penjajahan, yang berdarah-darah hanya untuk mempertahankan Tanah Air. Kini generasi bangsa mendistorsi sejarah itu sebagai bagian dari ritual kenegaraan guna mengenang jasa para pahlawan, namun semangat perjuangan itu tidak terwariskan dalam mengganyang musuh rakyat, justeru sebaliknya rakyatlah yang menjadi musuh utama penguasa. 

Lupakah kita bahwa rakyat punya cara menghukum siapa yang dikehendakinya? Peristiwa ini merupakan sebuah amanat penderitaan yang beresiko pada kesenjangan antara rakyat dan penguasa, ini akan menjadi bola api yang bergelinding membakar habis ilalang dalam gedung-gedung yang dihuni para penguasa. 

Sebagai penutup mengutip pesan para petuah bahwa didiklah rakyat dengan pendidikan dan didiklah penguasa dengan perlawanan. ‪#‎SAVE‬ WATUKODOK GUNUNG KIDUL.

https://www.facebook.com/ernessto.moti/posts/983240745125671

0 comments:

Post a Comment