Friday, June 10, 2016

Komnas HAM: Keraton Yogya Kembalikan Prinsip Raja Kuasai Tanah

Jum'at, 10 Juni 2016 | 23:04 WIB 

Sri Sultan Hamengku Buwono X. TEMPO/Arif Wibowo

TEMPO.CO, Yogyakarta - Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X  terlihat berpikiran modern dengan membuka kesempatan bagi perempuan menjadi penguasa Keraton Yogyakarta, tapi soal kekayaan Keraton berupa tanah, Sultan menjadi sasaran kecaman aktivis hak azasi.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan peraturan pertanahan yang diatur dalam UU Keistimewaan DIY dan Peraturan Daerah Keistimewaan Induk rancu dengan aturan hukum nasional UU Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Komnas HAM, akademisi, dan sejumlah aktivis mewacanakan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas pasal-pasal yang mengatur pertanahan dalam UU Keistimewaan DIY meskipun tidak dalam waktu dekat.

“Yang mendesak adalah penghentian proses inventarisasi tanah kasultanan (Sultan Ground) karena tidak punya dasar hukum,” kata peneliti Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA) Kus Sri Antoro,  Jumat, 10 Juni 2016.

Hal itu dibenarkan Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi dalam diskusi publik tentang pertahanan di Yogyakarta pada 9 Juni 2016. “Tanah mana yang disebut Sultan Ground? Jangan membuat pertimbangan hukum yang mengada-ada,” kata Dianto yang pernah menjadi anggota tim ad hoc Komnas HAM untuk pembentukan Komite Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA).

Dianto menegaskan, kerancuan terjadi karena UU Keistimewaan DIY dan Perda turunannya berpotensi menghidupkan kembali aturan kolonial Rijksblad Kasultanan Yogyakarta Nomer 16 Tahun1918 dan Rijksblad Kadipaten Pakualaman Nomer 18 Tahun 1918. Akibatnya, status Keraton dan Kadipaten yang disebut sebagai Badan Hukum Warisan Budaya menurut UU Keistimewaan mengklaim bisa punya status hak milik atas tanah seperti yang diatur dalam Agrarische Wet 1870 (UU Agraria 1870).

Upaya pemilikan tanah oleh Keraton ditandai dengan proses inventarisasi, identifikasi, dan sertifikasi tanah di wilayah DIY dengan memakai dana keistimewaan. “Ini menghidupkan kembali prinsip raja bisa memiliki tanah. Sama saja peradaban Yogyakarta mundur 1,5 abad lalu,” kata Dianto.

Padahal, Dianto menjelaskan, kelahiran UUPA Nomer 5 Tahun 1960 telah menghapus UU Agraria 1870 maupun Rijksblad 1918 itu. Bahkan DIY pun telah mengakui untuk memberlakukan UUPA secara penuh meskipun terlambat, yaitu sejak 1984.

Pemberlakuan UUPA di DIY berdasarkan pada Keppres Nomer 33 Tahun 1984, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomer 66 Tahun 1984, serta Perda DIY Nomer 3 Tahun 1984. Semuanya tentang pemberlakuan sepenuhnya UUPA 1960 di DIY. “Jadi tanah Sultan (Sultan Ground) dan tanah pakualaman (Pakualaman Ground) itu sudah tidak ada. Tanah negara ada di DIY,” kata Dianto.

Adapun tim hukum Keraton, Suyitno, membantah aturan pertanahan dalam UU Keistimewaan rancu dan berbenturan dengan UUPA. “Kan negara mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang diatur undang-undang. Itu Pasal 18b UUD 1945,” kata Suyitno.


PITO AGUSTIN RUDIANA
 
https://m.tempo.co/read/news/2016/06/10/058778818/komnas-ham-keraton-yogya-kembalikan-prinsip-raja-kuasai-tanah

0 comments:

Post a Comment