Friday, June 03, 2016

Konflik Agraria di DIY Semakin Meningkat, Komnas HAM Kembali Menyelenggarakan Diskusi

By  | 


Yogyakarta – Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA) mencatat, sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan (UUK), konflik agraria di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) semakin meningkat tajam. Bahkan dalam catatan penelitian FKMA, saat ini sedikitnya terdapat 20 titik lokasi konflik agraria di seluruh Provinsi DIY. Hal ini salah satunya dipicu oleh menguatnya klaim dari Kesultanan dan Pakualaman tentang keberadaan tanah Sultan Ground (SG) dan Pakulaman Ground (PAG) pasca terbitnya UUK.

Terkait dengan hal tersebut, banyak kelompok warga di DIY yang terdampak munculnya klaim SG dan PAG tersebut melaporkan kasus yang mereka alami ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM). Menurut warga, menguatnya isu klaim SG dan PAG di lahan-lahan yang mereka tempati bukan hanya berpotensi mendorong terjadinya perampasan tanah, namun juga berpotensi melahirkan sejumlah tindak pelanggaran HAM, misalnya kriminalisasi terhadap perjuangan warga.

Dalam rangka menindaklanjuti laporan yang dilayangkan oleh beberapa kelompok warga terdampak, Komnas HAM melakukan konsiliasi nasional pada 11-14 Oktober 2015 di kota Yogyakarta, sebagai langkah pemetaan, pengumpulan data, dan informasi terkait potensi konflik sosial di wilayah DIY. Untuk melanjutkan konsiliasi nasional yang sudah dilakukan, Komnas HAM kembali melakukan kegiatan serupa, dengan metode Focused Group Discussion (FGD) di Yogyakarta selama dua hari, pada 2-3 Juni 2016.

Dari informasi yang diterima FKMA, didapatkan sejumlah keterangan bahwa diskusi hari pertama (2/6) tidak melibatkan kelompok warga terdampak, melainkan hanya beberapa orang akademisi, yakni Prof. Maria S.W. Sumardjono, Ahmad Nashih Luthfi, MA, Gubernur DIY, dan Komnas HAM. 

Menurut Komnas HAM, pada hari pertama memang ditujukan untuk penggalian data dari perspektif akademisi dan pihak pemerintah. Selanjutnya untuk hari kedua, diskusi baru difokuskan pada penggalian data dari pihak warga, dan dalam hal ini akan melibatkan sejumlah kelompok warga terdampak.

Dalam pelaksanaan kegiatan ini, diskusi hari pertama yang semula akan dihadiri oleh Gubernur DIY, yakni Sultan HB X, ternyata tidak seperti yang diharapkan. Karena kehadiran Sultan HB X digantikan oleh KGPH Hadiwinoto, adik kandung Sultan HB X. Di dalam struktur Keraton Yogyakarta, KGPH Hadiwinoto menjabat sebagai kepala Panitikismo (yang mengurusi tanah-tanah yang diklaim milik Keraton).

Dalam keterangannya seusai acara, KGPH Hadiwinoto mengatakan bahwa keberadaan SG dan PAG benar adanya karena merujuk pada Rijksblad 1918. Dan saat ditanya bagaimana konflik agraria yang terjadi di DIY saat ini terkait dengan klaim keberadaan SG dan PAG, misalnya dalam kasus warga di Watu Kodok, Gunung Kidul, ia menyatakan, “Kalau itu orang nekat, orang gak punya hak apa-apa, gak mau pergi. Itu orang liar”, ucapnya. Bahkan ia menambahkan, “Terkait dengan rencana perluasan pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) di DIY, banyak orang membangun kegiatan pembangunan liar, misalnya membangun kolam-kolam di sepanjang JLS agar dapat ganti rugi. Padahal mereka gak punya hak”.

Terkait dengan pernyataan tersebut, Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) Bantul telah menyangkal keberadaan tanah-tanah SG dan PAG. Watin, pengurus ARMP, mengatakan bahwa SG dan PAG telah dihapuskan pada era Sultan HB IX, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah DIY Nomor 3 Tahun 1984 dan Keputusan Presiden Nomor 33 tahun 1984 yang memberlakukan sepenuhnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).  
“SG dan PAG karena merupakan bentuk hukum dan sisa warisan perundangan kolonial, atau biasa disebut sebagai tanah swapraja, telah dihapus sejak terbitnya dua regulasi tersebut. Jadi kalau itu dibangkitkan kembali dengan lahirnya UUK, sama saja itu kembali ke jaman kolonial. Perlu diketahui bahwa terbentuknya Kasultanan Yogyakarta juga jelas, bahwa ia dibentuk oleh kolonial lewat perjanjian Giyanti 1755, dan di dalam pasal 1 dijelaskan bahwa Kasultanan Yogyakarta tidak pernah punya tanah”, tegasnya.

0 comments:

Post a Comment