This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Saturday, June 25, 2016
Catatan Pengantar Konsolidasi TAPUK [2]
Friday, June 24, 2016
Melawan Kriminalisasi Pejuang Agraria
Jakarta – KPA bersama anggota Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) yang lain yakni API, Walhi, dan Kontras mengadakan seksi Forum Disscusion Group (FGD) di Hotel Amaris, Pancoran kemarin, Jum’at (24/6). Hadir juga pada waktu itu Boedhi Wijardjo salah satu dewan pakar KPA yang konsen dalam mempelajari kriminalisasi sektor agraria. FGD ini sekaligus mendatangkan enam korban kriminalisasi dari enam sektor, yakni :
- Eva Bande dari Sulawesi Tengah yang ditangkap akibat berkonflik dengan Perusahaan Swasta. Eva dituduh memprovokasi warga untuk merusak fasilitas milik Perusahaan. Ia akhirnya bebas karena diberi grasi oleh Presiden, akan tetapi perampasan lahan di tempatnya masih terus berlangsung hingga saat ini.
- Sunarji dari Sambirejo, Sragen ditangkap akibat menolak memberikan lahan kepada PTPN IX yang ingin memperluas lahan perkebunan mereka. Sunarji akhirnya ditangkap karena dituduh menghasut warga untuk merusak fasilitas milik PTPN IX.
- Abdul Rojak dari Indramayu, ditangkap karena bersama teman-temannya melawan tindakan Perhutani yang mengklaim lahan milik warga. Rojak juga dituduh sebagai antek-antek PKI oleh Pemerintah setempat sehingga menimbulkan dampak psikologi yang sangat buruk bagi dia dan keluarganya. Dari pengakuannya, Rojak dan keluarganya sempat takut kemana-mana karena khawatir akan mengalami tindakan intimidasi dari warga yang sudah terprovokasi oleh isu tersebut.
- Kuncoro Petani pemulia benih asal Kediri, ditangkap karena dituduh memalsukan benih milik PT BISI. Kuncoro harus mengalami penangkapan selama berhari-hari tanpa diberi penjelasan dan kesempatan membela diri.
- Wasio dari Kulonprogo, ia bersama kawan-kawannya ditangkap karena menolak rencana pembebasan lahan warga untuk pembangunan Bandara oleh PT. Angkasa Pura. Ia dituduh menghasut warga untuk melakukan pengrusakan fasilitas perusahaan.
- Eman Puju perwakilan tiga nelayan dari Ujung Kulon, menurut pengakuan Eman tiga nelayan tersebut ditangkap karena dituduh melakukan pencurian kepiting di pulau Handeuleum yang dari pengakuan pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) merupakan wilayah administratif mereka. Padahal hingga saat ini wilayah tersebut masih tumpang tindih. Tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan kejadiannya, ketiga nelayan ini langsung digiring polisi hutan setempat ke penjara danya bisa pasrah. Setelah digelar persidangan, jaksa menuntut mereka bertiga selama 4 bulan penjara dan denda Rp 500 ribu.
KPA mencatat, sepanjang tahun 2015 sedikitnya telah terjadi 252 kejadian konflik agrarian di tanah-air, dengan luasan wilayah konflik mencapai 400,430 Ha. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK).
Infrastruktur dan perkebunan menjadi dua sektor yang mendominasi konflik dua tahun terakhir. Jika pada tahun 2014 sektor infrastuktur penyebab terjadi konflik dengan jumlah 215 konflik (45,55 %). Sedangkan pada tahun 2015 sektor perkebunan menjadi contributor konflik yang paling besar dengan jumlah 127 konflik (50%).
Ironisnya, pemerintahan Jokowi malah meneruskan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang sangat identik dengan pembangunan infrastruktur dan industri perkebunan skala luas. Strategi pembangunan yang tidak partisipatif dan cenderung hanya mewadahi keinginan pemodal oleh pemerintah menjadi penyebab banyaknya muncul korban dari pihak rakyat kecil.
Melihat kondisi tersebut, KPA bersama jaringan KNPA lainnya menilai perlu untuk membentuk sebuah gerakan sistematis dalam melawan dan menghentikan kasus kriminalisasi yang masif terjadi.
Dewi Kartika, Wasekjen KPA dalam kesempatannya mengatakan “Saat ini memang KPA bersama jaringan KNPA mendorong yang namanya gerakan anti kriminalisasi. Tahapan awal ini adalah bagimana kita mengerangkakan proses-proses kriminalisasi yang ada di lapangan.”
Dari konsep yang akan dibangun nantinya diharapkan kita akan punya satu konsep yang lebih utuh. Kita mendorong yang namanya dana darurat yang sudah berjalan dari bulan maret tahun ini. Dalam dana darurat tersebut kita mendorong supaya respon terhadap kriminalisasi yang terjadi lebih utuh dan prosesnya lebih cepat”. tambahnya.
Persoalan yang muncul ialah selama ini bagaimana isu kriminalisasi di sektor agraria masih kurang populer dibanding isu-isu lainnya seperti lingkungan, korupsi, dan HAM sehingga kurang mendapat perhatian lebih besar dari masyarakat luas. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi gerakan agraria di tanah air.
Ke depan, kriminalisasi terhadap pejuang agraria diprediksi makin marak terjadi akibat penggusuran dan perampasan lahan warga. Apalagi melihat situasi pemerintahan sekarang yang sangat pro terhadap pembangunan dan arus modal investasi sehingga semakin menguatkan indikasi tersebut.
Organisasi sipil dan pejuang agraria dituntut untuk mampu membangun gerakan yang lebih sistematis dan masif dalam membendung arus kriminalisasi ini sehingga tidak ada lagi korban-korban yang berjatuhan dikemudian hari.
http://www.kpa.or.id/news/blog/melawan-kriminalisasi-pejuang-agraria/
Wednesday, June 22, 2016
Catatan Ramadhan di Watukodok
oleh: Comandante Moti
Hari ini, tepatnya tanggal 21 Juni 2016, ribuan warga WATUKODOK Gunung Kidul resmi akan digusur. Begitulah kalimat kabar duka yang disampaikan melalui jejaring sosial, lagi dan lagi rakyat harus kembali menitikkan air mata seraya berpikir ulang tentang nasib hidup mereka. Ramadhan punya cerita pilu bagi mereka yang hidup di Gunungkidul. Belum lagi selesai cerita Rembang, Urutsewu, Kulonprogo, dan sebagainya, kini ada lagi drama perampasan ruang hidup di tengah sebagian besar rakyat menjalankan ibadah puasa.
Ada apa dengan negeri ini? Yang getol mengganggu kehidupan dan kenyamanan rakyatnya, berapa banyak lagi korban yang diinginkan penguasa negeri ini, apakah hal semacam ini yang menuntut saudara kita di Aceh (GAM), Papua (OPM) dan Maluku (RMS) ingin MERDEKA?
Siapa dari kita yang dapat sanggup hidup di bawah tekanan penindasan dan penghisapan? Bukankah negeri ini merdeka karena hidup di bawah penjajahan yang bertahun-tahun diderita?
D. Harvey pernah menulis dalam beberapa narasinya terkait pergeseran produksi Kapitalisme melalui wilayah geografis sebagai bentuk dari perampasan ruang hidup, hal ini dilakukan untuk menopang keberadaan kapitalisme yang sedang mengalami krisis, bagaimana negara-negara berkembang ikut andil dalam mempertahankan hegemoni kapitalisme dengan turut serta menciptakan berbagai boneka-boneka imperialis dalam negeri guna memperlambat keruntuhan kapitalisme global.
Perampasan tanah dimana-mana merupakan bentuk rill dari kepanikan kapitalisme, hingga perselingkuhan antara barisan feodal dan kapitalis terlihat semakin mesra, rakyat menambah catatan panjang perbudakan dinegerinya sendiri, negeri yg memiliki ribuan bahkan jutaan aset sumber daya alam yg dapat dinikmati generas negeri ini. Namun sayang, semua aset negeri lebih dulu dikuasai asing, cerita ini terpampang jelas dibanyak media masa, media cetak, di kampus-kampus, hingga obrolan di warung kopi. Dalam dekade terakhir peralihan fungsi lahan dari pertanian menjadi infrastruktur indeksnya terus menanjak naik. Bahkan ada ancaman krisis pangan di negeri agraris yang notabene mayoritas rakyatnya petani.
Penggusuran di Gunung Kidul hari ini menjadi bukti kuat dan pembenaran bagaimana relasi perampasan tanah sebagai ekspansi kapitalisme dalam merampas alat produksi kaum tani guna menciptakan tenaga-tenaga kerja dengan kapasitas rendah yang didatangkan dari pedesaan, untuk menerima pekerjaan dengan upah murah. Barangkali kita harus menengok bagaimana terjadi peningkatan jumlah buruh yang hampir tidak dapat ditampung oleh minimnya lapangan pekerjaan, hingga di seluruh penjuru republik ini selalu ada demonstrasi yang dilakukan oleh buruh, tani hingga para pegawai honorer.
Sejarah negeri ini mempertegas pada kita bahwa Republik ini lahir dari sejarah perlawanan rakyat atas bentuk penjajahan, yang berdarah-darah hanya untuk mempertahankan Tanah Air. Kini generasi bangsa mendistorsi sejarah itu sebagai bagian dari ritual kenegaraan guna mengenang jasa para pahlawan, namun semangat perjuangan itu tidak terwariskan dalam mengganyang musuh rakyat, justeru sebaliknya rakyatlah yang menjadi musuh utama penguasa.
Lupakah kita bahwa rakyat punya cara menghukum siapa yang dikehendakinya? Peristiwa ini merupakan sebuah amanat penderitaan yang beresiko pada kesenjangan antara rakyat dan penguasa, ini akan menjadi bola api yang bergelinding membakar habis ilalang dalam gedung-gedung yang dihuni para penguasa.
Sebagai penutup mengutip pesan para petuah bahwa didiklah rakyat dengan pendidikan dan didiklah penguasa dengan perlawanan. #SAVE WATUKODOK GUNUNG KIDUL.
https://www.facebook.com/ernessto.moti/posts/983240745125671
Saturday, June 18, 2016
Sidang Kasus Pembunuhan Salim Kancil Gagal Bongkar Keterlibatan Mafia Tambang
Surabaya – Kamis (16/6) pukul 09.00 WIB, puluhan orang dari Tim Keadilan Salim Kancil (TKSK) menggelar aksi solidaritas di depan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Selain melakukan aksi solidaritas, TKSK juga bermaksud mengikuti secara langsung sidang terbuka putusan kasus pembunuhan Salim Kancil. TKSK ini terdiri dari berbagai elemen organisasi, yakni, Walhi Jatim, LBH Surabaya, Kontras Surabaya, Laskar Hijau, LBH Disabilitas, Pusham Surabaya, YKBS dan beberapa organisasi mahasiswa.
Pada saat TKSK menggelar aksi solidaritas, satu rombongan kecil dari Lumajang juga tiba di PN Surabaya. Rombongan ini selanjutnya juga ikut melebur dalam aksi solidaritas. Diantara rombongan Lumajang ini terdapat seorang perempuan, yang akrab disapa Mbak Ike. Ia adalah anak perempuan almarhum Salim Kancil. Selain itu juga ada Tosan, rekan Salim Kancil yang juga menjadi korban tindak kekerasan dan pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Mat Desir, Hariono dkk.
Dalam keterangannya, Ike berharap dalam sidang putusan ini, hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya. Bahkan ia menegaskan, jika merunut proses persidangan sebelumnya atas kasus ini, ia memiliki kekecewaan yang mendalam. “Kasus ini diproses dengan sangat berlarut-larut. Belum lagi, ditambah masih banyak pelaku lain yang belum ditangkap dan masih bebas berkeliaran di Lumajang”, ucapnya.
Kekecewaan ini juga dirasakan Ridwan, salah seorang warga pesisir Lumajang yang turut hadir untuk ikut melihat secara langsung proses sidang ini berjalan. Ia mengatakan, “Sepertinya kasus ini memang dibiarkan berlarut-larut. Dan bila melihat perkembanganya hingga kini, kasus ini diarahkan hanya pada kasus kriminal biasa. Padahal ini kejahatan kemanusiaan yang sangat terkait erat dengan mafia pertambangan. Jika kasus ini tidak diselesaikan dengan baik, maka untuk ke depan peristiwa serupa bisa terjadi di Lumajang ataupun di tempat lainnya.”
Sidang Molor dan Ditunda
Sidang putusan terhadap terdakwa yang dijadwalkan akan digelar pada pukul 10.00 WIB di ruang Candra PN Surabaya kembali molor seperti biasanya. Hingga pukul 12.00 WIB, hakim dan jaksa penuntut umum (JPU) belum juga memasuki ruangan sidang.
Sidang baru digelar saat waktu menunjukkan pukul 12.45 WIB. Sidang dipimpin oleh Sigit Sutanto selaku Ketua Majelis Hakim. Saat ditanya oleh Ketua Sidang apakah terdakwa dalam keadaan sehat dan siap untuk mengikuti persidangan, terdakwa, Hariono, Kades Selok Awar-Awar menjawab, “tidak siap dan dalam kondisi sedang sakit”. Mendengar jawaban tersebut, hakim lalu memutuskan untuk menunda persidangan putusan. Sidang akan dijadwalkan ulang pada Kamis (22/6) depan.
Saat ditanyakan langsung kepada JPU apakah Kamis depan memang menjadi waktu terakhir dalam pemberian putusan, JPU mengatakan kepada selamatkanbumi.com bahwa Kamis depan Hariono, Mat Desir dan puluhan tersangka lainnya akan benar-benar divonis. “Tidak ada lagi alasan untuk diundur”, ungkapnya.
Rere, Direktur Walhi Jatim, mengatakan kasus ini akan menjadi acuan untuk penyelesaian konflik agraria dan pemulihan bencana ekologis di Jawa Timur dalam masa selanjutnya. “Jika tidak ada keseriusan dari negara untuk penyelesaian kasus ini, maka bencana ekologis akan terus membesar di Jawa Timur, dan warga akan terus menjadi korban”, tegasnya.
Thursday, June 16, 2016
Tak Punya Dasar Hukum, Sertifikat Tanah Keraton Yogya Minta Dibatalkan
Sertifikat tanah atas nama Keraton Yogyakarta untuk 500 bidang tanah, sedangkan atas nama Puro Pakualaman untuk 150 bidang tanah. “BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang mengeluarkan sertifikat,” kata Sigit seusai menyerahkan sertifikat 104 bidang tanah atas nama Kadipaten Pakualaman di kantornya, Kamis, 16 Juni 2016.
Padahal, dasar hukum penguasaan tanah oleh Keraton dan Pakualaman hingga kini belum keluar karena Peraturan Daerah Keistimewaan tentang tanah milik Keraton dan Pakualaman belum disahkan. Sertifikasi tanah Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman ini diprotes lembaga swadaya karena bertentangan dengan sejumlah undang-undang.
“Sertifikat tanah atas nama Kadipaten Pakualam sudah keluar itu bukti ada pelanggaran hukum,” kata aktivis Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA) Kus Sri Antoro saat dihubungi�Tempo, Kamis, 16 Juni 2016.
Menurut Kus, Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman sebagai subyek hukum warisan budaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY juga belum ditetapkan. Sedangkan pengatasnamaan keraton dan kadipaten sebagai pemilik sertifikat harus memenuhi syarat sebagai lembaga yang berbadan hukum. “Jadi sertifikasi itu berdasarkan apa? Rijksblad 1918 atau UUPA?” tanya Kus.
Masalahnya, peraturan kolonial Rijksblad Kasultanan Yogyakarta Nomor 16 Tahun1918 dan Rijksblad Kadipaten Pakualaman Nomor 18 Tahun 1918 telah dihapus oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Sedangkan UUPA yang tidak mengakui adanya Sultan Ground dan Paku Alam Ground telah diberlakukan di DIY secara penuh berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 1984, serta Peraturan Daerah DIY Nomor 3 Tahun 1984. “Kami akan mendesak legislatif dan eksekutif untuk membatalkan sertifikasi itu,” kata Kus.
PITO AGUSTIN RUDIANA
https://m.tempo.co/read/news/2016/06/16/058780432/tak-punya-dasar-hukum-sertifikat-tanah-keraton-yogya-minta-dibatalkan
Wednesday, June 15, 2016
Peradilan Salim Kancil Hanya Didudukan Sebagai Peradilan Kasus Kriminal Biasa
Tim Advokasi Salim Kancil
(WALHI Jatim, LBH Surabaya, Laskar Hijau, LBH Disabilitas, Pusham Sby, YKBS, Kontras Sby)
Surabaya-14/06/2016. Proses persidangan kasus pembunuhan Salim Kancil telah memasuki tahapan Putusan oleh Majelis Hakim. Sesuai dengan agenda persidangan pada hari Kamis tanggal 16 Juni 2016 akan dibacakan Putusan terhadap Kades Hariyono dan Ketua LMDH Madesir beserta sekitar kurang lebih 10 Terdakwa lainnya. Maka rasa keadilan masyarakat akan kembali dipertaruhkan dalam Putusan Majelis Hakim tersebut sebab dengan gugurnya Salim Kancil menjadi tidak sia-sia karena dengan adanya peradilan ini diharapkan akan dapat membongkar permasalahan utama kasus ini yaitu adanya mafia pertambangan dan adanya perlindungan aktivis lingkungan.
Namun Tim Advokasi Salim Kancil yang melakukan pemantauan selama proses persidangan menyatakan pengadilan belum mampu membongkar permasalahan utama kasus ini. Bahwa proses pengadilan yang menyeret Terdakwa Kades Hariyono dkk selama ini berdasarkan pemantauan persidangan hanya didudukan sebagai peradilan kasus kriminal biasa yang mana aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian, Jaksa dan Majelis Hakim tidak menggali secara dalam fakta-fakta dalam persidangan, hal ini disebabkan oleh beberapa saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan tidak berkompeten sehingga hal tersebut justru mengaburkan fakta yang sesungguhnya. Selain itu permasalahan utama kasus ini yaitu untuk membongkar mafia pertambangan yang terjadi dalam satu dekade terakhir di kawasan pesisir selatan Lumajang gagal dilakukan.
Bahwa selain untuk membongkar mafia pertambangan di wilayah pesisiri Lumajang, pengadilan juga gagal untuk membongkar aliran dana milyaran rupiah hasil pertambangan yang dilakukan Kades Hariyono, sehingga penerima aliran dana pertambangan tidak dapat diseret ke Pengadilan. Proses persidangan yang dilakukan mulai dari awal pun terkesan berlarut-larut dan terlalu lama sehingga hal tersebut memunculkan indikasi jika aparat penegak hukum tidak serius untuk menyidangkan kasus ini.
Tim Advokasi Salim Kancil menduga ada scenario yang sengaja dimainkan untuk menutupi peran mafia pertambangan dan meringankan hukuman bagi para Terdakwa. Oleh karena itu kami mengajak seluruh elemen masyarakat, aktivis lingkungan dan pegiat Hak Asasi Manusia untuk memberikan perhatian dan pengawalan terhadap Sidang Putusan kasus Salim Kancil yang digelar pada hari Kamis Tanggal 16 Juni 2016 di Pengadilan Negeri Surabaya. Putusan ini diharapkan tidak hanya memberikan keadilan bagi keluarga korban tetapi juga keadilan bagi masyarakat serta memberi harapan kepada para aktivis lingkungan untuk tidak tunduk dibawah kuasa mafia perusak sumber daya alam.
Sehubungan dengan hal itu, maka kami Tim Advokasi Kasus Lumajang mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya untuk bertindak imparsial, dan menghukum dengan hukuman maksimal kepada seluruh pelaku kejahatan mafia tambang pasir di Lumajang.
2. Mendorong kepada Komnas HAM, Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut memantau jalannya persidangan, mengingat potensi pelanggaran HAM dan praktik korupsi sangat kuat dalam kasus ini.
Monday, June 13, 2016
Potensi Gempa Selatan Jawa Meningkat Dari Prediksi
[Menelaah Berita Kompas 13 Juni 2016]
Bila kita analogikan Zona Subduksi Australia-Eurasia bagaikan karet ketapel pada sebuah ketapel di mana ketapel yang dipegang di tangan kiri bergerak maju, sementara tangan kanan memegang bagian tengah karet. Zona subduksi Auatralia- Eurasia di wilayah Sumatera dan Jawa layaknya karet ketapel yang tertahan/dipegang tangan kanan. Ujung-ujung karet ketapel di Barat (Nepal) dan Timur (New Zealand) sudah bergerak maju dengan adanya gempa di atas 7.0 SR senentara di bagian karet ketapel (Sumatera dan Jawa) masih tetap saja belum terjadi gempa di zona subduksi dalam yang signifikan. Pada akhirnya ini akan menjadi lentingan kuat bila tangan kanan melepaskan karet tersebut.
"Ini yang perlu diwaspadai, karena meski magnitude gempa (di selatan Pulau Jawa) tidak terlalu besar dan kadang-kadang tidak terlalu dirasakan, tapi dampak tsunaminya besar," kata Deputi Bidang Geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Masturyono pada "Workshop Penguatan UPT BMKG dan BPBD dalam memahami rantai peringatan dini tsunami" di Yogyakarta, Senin, 14 September 2015. Diungkapkan pula hasil kajian dan penelitian yang dilakukan oleh BMKG, potensi gempa di wilayah selatan Pulau Jawa memiliki sifat "slow earthquake" atau gempa yang hampir tidak terasa getarannya, namun potensi tsunami yang ditimbulkan cukup besar. Potensi Gempa di Selatan Jawa, gempa dengan magnitude 8.0 SR saja namun menyamai gempa dengan magnitude 9.0 SR di Sumatera.
Potensi dampak diasumsikan dari kemungkinan gempa bumi dengan magnitude 8.0 SR yang memicu gelombang tsunami dengan ketinggian 11 meter, serta memiliki potensi terjangan mencapai 2--3 kilo meter dari bibir pantai. (Antaranews, Senin, 14 September 2015)
1. Myammar 6.9 SR 135 Km, 13 April 2016, 20:55:17 WIB
2. Vanuatu, 6.0 SR 10 Km, 14 April 2016, 19:17:05 WIB
3. Jepang, 6.2 SR 10 Km, 14 April 2016, 19:36:36 WIB
4. Jepang, 6.0 SR 6 Km, 14 April 2016, 23:03:46 WIB
5. Vanuatu, 6.4 SR 16 Km, 15 April 2016, 04:05:27 WIB
6. Honduras, 6.1 SR 25 Km, 15 April 2016, 21:11;27 WIB
7. Jepang, 7.0 SR 10 Km, 15 April 2016, 23:35:06 WIB
8. Ekuador, 7.7 SR 10 Km, 17 April 2016, 06:58:36 WIB
Disamping juga terjadi gempa-gempa di bawah 6.0 SR diberbagai area Asia-Pasifik.
Secara umum zona sumber kejadian gempa bumi di Indonesia berdasarkan mekanisme fisik dapat di bagi menjadi :
1. Zona Subduksi yaitu zona kejadian gempa bumi yang terjadi di sekitar pertemuan antar lempeng. Sumber penunjaman lempeng kerak bumi dapat di bagi menjadi dua model yaitu pada lajur mega thrust atau gempa bumi interplate maupun dalam lajur Beniof/gempa intraplate. Lajur megathrust adalah bagian dangkal suatu lajur subduksi yang mempunyai sudut tukik yang landai sedangkan zona Benioff adalah bagian dalam suatu lajur subduksi yang mempunyai sudut tukik yang curam.
2. Zona transform adalah sesar geser pada batas antara dua lempeng dimana pada daerah ini terjadi gesekan atau translasi dan tidak terjadi penelanan kerak bumi, akan tetapi terjadi gerak horizontal dan menyebabkan gempa bumi besar (Katili, 1986).
3. Zona sumber-sumber sesar kerak bumi dangkal (shallow crustal fault) adalah patahan kerak bumi dangkal dan aktif.
Gempa megathrust itu adalah gempa yang terjadi pada zona subduksi di batas lempeng di mana satu lempeng tektonik mendorong lempeng lainnya sehingga terjadi subduksi dan menimbulkan getaran (gempa). Hal ini menyebabkan salah satu lempeng akan bergerak turun sedangkan yang lainnya bergerak naik. Gempa ini hanya terjadi di batas lempeng yang dangkal, yang dekat dengan permukaan bumi sehingga dapat menghasilkan gempa yang sangat dahsyat hingga di atas 9 SR.
Seismic Gap (SG) adalah istilah yang digunakan untuk kawasan aktif secara tektonik namun jarang terjadi gempa dalam jangka waktu yang lama. Salah satunya adalah selatan pulau Sumatra dan Jawa terdapat zona subduksi antara Lempeng Australia dgn Lempeng Eurasia, dimana jarang terjadi gempa sehingga menyimpan potensi terjadinya gempa megathrust.
Maka perlunya peningkatan kewaspadaan di daerah selatan Sumatera-Jawa dan Sunda kecil karena potensi gempa megathrust ini juga berpotensi menimbulkan tsunami yang dapat terjadi sewaktu-waktu bahkan tanpa peringatan atau tanda-tanda yang mendahului. Selain itu pergerakan Lempeng Australia ini juga dapat meningkatkan aktifitas Gunung Api di Sumatera, Jawa dan Sunda Kecil.
1. GFZ Geofon
2. Analisa MRC-Merapi Rescue Community (Mitigation-Rescue-Conservation)
3. Kompas
4. AntaraNews
5. Berbagai Sumber
1. Hapalkan jalan keluar, arah jalan keluar harus bebas dari rintangan
2. Kunci pintu tetap di lubangnya
3. Jangan menaruh benda di atas lemari
4. Lemari dikawat ke tembok
5. Senter dan lampu Emergency tersedia ke arah jalan keluar
6. Jangan panik
7. Titik kumpul aman di luar rumah bebas pohon, tiang listrik
8. Siapkan tas siaga
Jangan Remehkan Pekerjaan Petani, Tanpa Petani Kita Mau Makan Apa 'Nasib Bangsa Ada di Tangan Petani'
Keinginan untuk mobilitas sosial ke arah yang progresif tersebut, membuat orangtua rela membanting tulang mencari nafkah supaya anaknya memperoleh pendidikan sampai ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan orangtua berani menyekolahkan anaknya hingga keluar negeri sekalipun.
Terlebih di negara demokrasi seperti Indonesia, di mana setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki suatu jabatan tertentu di pemerintahan.
Hal ini tentu menjadi dorongan dan motivasi untuk semua orang supaya bisa menduduki jabatan yang tersedia, caranya yaitu dengan menempuh pendidikan dan spesialisasi ilmu tertentu.
Sebagai orangtua, tentunya wajib memberikan pendidikan yang setinggi-tingginya untuk sang buah hati, tidak terkecuali para petani.
Para petani sudah tidak menginginkan anaknya menjadi petani seperti dirinya, sehingga tanpa memandang status sosial di masyarakat, seorang petani ikut berlomba menyekolahkan anaknya demi penghidupan yang lebih baik di masa depan, bahkan rela menggadaikan tanah demi memutus rantai kemiskinan.
Namun, apabila setiap petani tidak lagi menginginkan anaknya untuk menjadi seorang petani seperti dirinya, lalu siapakah yang akan menjadi petani di masa yang akan datang? Paradigma yang berkembang ini tentunya tidak begitu saja tercipta, hal ini ditelurkan karena para petani merasakan pahit dan susahnya menjadi seorang petani, apalagi harus dihadapkan dengan persaingan hidup yang semakin tinggi, kehidupan menjadi petani tidak lagi menjadi pilihan.
Para petani juga ingin menaikkan status sosial supaya terpandang di mata masyarakat.
Paradigma yang sudah membudaya ini adalah paradigma yang salah dan harus diperbaiki, karena apabila tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang menjadi petani, lalu siapa yang akan menghasilkan makanan pokok bangsa ini?
Pemerintah jangan memandang permasalahan ini sebagai permasalahan yang biasa.
Mungkin menurut berbagai kalangan hal ini wajar didalam masyarakat, namun pemerintah harus melihat faktor-faktor penyebab timbulnya paradigma ini dikalangan produsen pangan tersebut.
Petani menjerit ketika harga pupuk naik, petani menjerit ketika sawahnya kekeringan dan puso, namun pemerintah seakan berlepas tangan terhadap permasalahan yang dihadapi oleh para petani. Ketika pemerintah menaikkan gaji PNS, dan mensejahterakan PNS, di saat itulah terjadi kecemburuan sosial yang sangat laten dari petani terhadap PNS, dan kecemburuan itu diungkapkan melalui keinginan petani supaya keturunan dibawahnya menjadi PNS di
instansi pemerintah tertentu.
Apabila melihat sekilas keadaan petani di negara tetangga, di mana petaninya sangat dihargai di negara tersebut.
Misalnya saja Negara Vietnam dan Thailand, petani di Vietnam mendapatkan
berkurang.
Mereka tidak perlu khawatir soal kerugian dari panen yang rendah karena bencana alam seperti kekeringan, banjir dan angin topan.
Pada 10 November 2010, Swiss Re mengumumkan perkenalan program asuransi berbasis indeks, yang pertama di Asia Tenggara, yang dikembangkan bersama Vietnam Agribank Insurance Joint Stock Company (ABIC) untuk menutupi pinjaman kepada petani padi di 10 provinsi di Vietnam, dengan kemampuan memperpanjang skema untuk seluruh negeri.
Menurut perjanjian itu, ABIC, cabang asuransi Agribank, bank pertanian dan penyedia utama pinjaman pertanian di Vietnam, akan menjamin nasabah petani padi AgriBank terhadap ketidakmampuan membayar kembali pinjaman karena panen yang rendah(http://www.antaranews.com).
Begitupun Thailand, merupakan negara pengekspor beras terbesar dunia, sudah lama berusaha memimpin upaya peningkatan harga beras.
Pemerintah negara Gajah Putih tersebut membayar beras dari petani dalam negeri di atas harga pasar.
Tujuannya adalah meningkatkan kemakmuran daerah pedesaan. Bangkok enggan menambah pasokan beras ke pasar dengan menurunkan harga.
Akibatnya, cadangan beras Thailand kini sudah melebihi 16 juta ton. (http://realtime.wsj.com).
Pemerintah Indonesia seharus dan sepantasnya mencontek tindakan dan gebrakan pemerintah negara-negara tetangga tersebut.
Pasalnya, petani di Vietnam dan Thailand merupakan contoh petani yang makmur dan sejahtera. Mereka juga bangga menjadi seorang petani, karena mendapatkan perhatian yang lebih dan sangat dihargai oleh pemerintahnya.
Sedangkan di Indonesia, pekerjaan menjadi petani merupakan pekerjaan yang rendah atau pekerjaan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Padahal, dari pekerjaan petani ini mampu memberi makan dan menghidupkan lebih dari 230 juta penduduk Indonesia.
Vietnam dengan wilayah yang kecil, yaitu hanya 329.560 km² dan Thailand dengan luas wilayah hanya 514.000 km² mampu menjadi negara importir beras dunia, sedangkan Indonesia dengan wilayah daratan Indonesia mencapai 1.922.570 km².
Jangankan menjadi negara eksportir, memenuhi kebutuhan dalam negeri saja harus mengimpor dari negara lain, dan menjadi negara importir terbesar didunia. (www.edukasi,kompasiana.com).
Ironis memang, sebagai wilayah tersubur di dunia, tidak sewajarnya apabila kita mengimpor beras.
Jika paradigma ini terus dipupuk dan subur dikalangan petani Indonesia, maka akan terjadi kehilangan petani di negeri ini, dan bisa saja kita mengimpor 10%, 20%, 50% bahkan 100% kebutuhan pangan dalam negeri karena tiadanya penduduk dari negara berlambang garuda ini yang menjadi petani.
Tidak ada yang tidak mungkin, jika tidak dibenahi dengan cepat, ketakutan itu akan datang sejalan dengan waktu.
Semoga pemerintah memahami semua jeritan hati petani yang terwakili lewat goresan hitam di atas putih ini.
Tulisan ini pun sengaja ditulis oleh seorang anak petani.
Petani tidak meminta banyak hal, mereka hanya ingin diperhatikan sebagai bagian dari bangsa ini, kerja kerasnya harus dihargai dengan memberikan kesejahteraan untuk mereka.
sumber:tolongbagikan0506.blogspot.com
Friday, June 10, 2016
Komnas HAM: Keraton Yogya Kembalikan Prinsip Raja Kuasai Tanah
TEMPO.CO, Yogyakarta - Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X terlihat berpikiran modern dengan membuka kesempatan bagi perempuan menjadi penguasa Keraton Yogyakarta, tapi soal kekayaan Keraton berupa tanah, Sultan menjadi sasaran kecaman aktivis hak azasi.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan peraturan pertanahan yang diatur dalam UU Keistimewaan DIY dan Peraturan Daerah Keistimewaan Induk rancu dengan aturan hukum nasional UU Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Komnas HAM, akademisi, dan sejumlah aktivis mewacanakan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas pasal-pasal yang mengatur pertanahan dalam UU Keistimewaan DIY meskipun tidak dalam waktu dekat.
“Yang mendesak adalah penghentian proses inventarisasi tanah kasultanan (Sultan Ground) karena tidak punya dasar hukum,” kata peneliti Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA) Kus Sri Antoro, Jumat, 10 Juni 2016.
Hal itu dibenarkan Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi dalam diskusi publik tentang pertahanan di Yogyakarta pada 9 Juni 2016. “Tanah mana yang disebut Sultan Ground? Jangan membuat pertimbangan hukum yang mengada-ada,” kata Dianto yang pernah menjadi anggota tim ad hoc Komnas HAM untuk pembentukan Komite Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA).
Dianto menegaskan, kerancuan terjadi karena UU Keistimewaan DIY dan Perda turunannya berpotensi menghidupkan kembali aturan kolonial Rijksblad Kasultanan Yogyakarta Nomer 16 Tahun1918 dan Rijksblad Kadipaten Pakualaman Nomer 18 Tahun 1918. Akibatnya, status Keraton dan Kadipaten yang disebut sebagai Badan Hukum Warisan Budaya menurut UU Keistimewaan mengklaim bisa punya status hak milik atas tanah seperti yang diatur dalam Agrarische Wet 1870 (UU Agraria 1870).
Upaya pemilikan tanah oleh Keraton ditandai dengan proses inventarisasi, identifikasi, dan sertifikasi tanah di wilayah DIY dengan memakai dana keistimewaan. “Ini menghidupkan kembali prinsip raja bisa memiliki tanah. Sama saja peradaban Yogyakarta mundur 1,5 abad lalu,” kata Dianto.
Padahal, Dianto menjelaskan, kelahiran UUPA Nomer 5 Tahun 1960 telah menghapus UU Agraria 1870 maupun Rijksblad 1918 itu. Bahkan DIY pun telah mengakui untuk memberlakukan UUPA secara penuh meskipun terlambat, yaitu sejak 1984.
Pemberlakuan UUPA di DIY berdasarkan pada Keppres Nomer 33 Tahun 1984, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomer 66 Tahun 1984, serta Perda DIY Nomer 3 Tahun 1984. Semuanya tentang pemberlakuan sepenuhnya UUPA 1960 di DIY. “Jadi tanah Sultan (Sultan Ground) dan tanah pakualaman (Pakualaman Ground) itu sudah tidak ada. Tanah negara ada di DIY,” kata Dianto.
Adapun tim hukum Keraton, Suyitno, membantah aturan pertanahan dalam UU Keistimewaan rancu dan berbenturan dengan UUPA. “Kan negara mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang diatur undang-undang. Itu Pasal 18b UUD 1945,” kata Suyitno.
PITO AGUSTIN RUDIANA
https://m.tempo.co/read/news/2016/06/10/058778818/komnas-ham-keraton-yogya-kembalikan-prinsip-raja-kuasai-tanah
Friday, June 03, 2016
Konflik Agraria di DIY Semakin Meningkat, Komnas HAM Kembali Menyelenggarakan Diskusi
Yogyakarta – Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA) mencatat, sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan (UUK), konflik agraria di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) semakin meningkat tajam. Bahkan dalam catatan penelitian FKMA, saat ini sedikitnya terdapat 20 titik lokasi konflik agraria di seluruh Provinsi DIY. Hal ini salah satunya dipicu oleh menguatnya klaim dari Kesultanan dan Pakualaman tentang keberadaan tanah Sultan Ground (SG) dan Pakulaman Ground (PAG) pasca terbitnya UUK.
Terkait dengan hal tersebut, banyak kelompok warga di DIY yang terdampak munculnya klaim SG dan PAG tersebut melaporkan kasus yang mereka alami ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM). Menurut warga, menguatnya isu klaim SG dan PAG di lahan-lahan yang mereka tempati bukan hanya berpotensi mendorong terjadinya perampasan tanah, namun juga berpotensi melahirkan sejumlah tindak pelanggaran HAM, misalnya kriminalisasi terhadap perjuangan warga.
Dalam rangka menindaklanjuti laporan yang dilayangkan oleh beberapa kelompok warga terdampak, Komnas HAM melakukan konsiliasi nasional pada 11-14 Oktober 2015 di kota Yogyakarta, sebagai langkah pemetaan, pengumpulan data, dan informasi terkait potensi konflik sosial di wilayah DIY. Untuk melanjutkan konsiliasi nasional yang sudah dilakukan, Komnas HAM kembali melakukan kegiatan serupa, dengan metode Focused Group Discussion (FGD) di Yogyakarta selama dua hari, pada 2-3 Juni 2016.
Dari informasi yang diterima FKMA, didapatkan sejumlah keterangan bahwa diskusi hari pertama (2/6) tidak melibatkan kelompok warga terdampak, melainkan hanya beberapa orang akademisi, yakni Prof. Maria S.W. Sumardjono, Ahmad Nashih Luthfi, MA, Gubernur DIY, dan Komnas HAM.
Menurut Komnas HAM, pada hari pertama memang ditujukan untuk penggalian data dari perspektif akademisi dan pihak pemerintah. Selanjutnya untuk hari kedua, diskusi baru difokuskan pada penggalian data dari pihak warga, dan dalam hal ini akan melibatkan sejumlah kelompok warga terdampak.
Dalam pelaksanaan kegiatan ini, diskusi hari pertama yang semula akan dihadiri oleh Gubernur DIY, yakni Sultan HB X, ternyata tidak seperti yang diharapkan. Karena kehadiran Sultan HB X digantikan oleh KGPH Hadiwinoto, adik kandung Sultan HB X. Di dalam struktur Keraton Yogyakarta, KGPH Hadiwinoto menjabat sebagai kepala Panitikismo (yang mengurusi tanah-tanah yang diklaim milik Keraton).
Dalam keterangannya seusai acara, KGPH Hadiwinoto mengatakan bahwa keberadaan SG dan PAG benar adanya karena merujuk pada Rijksblad 1918. Dan saat ditanya bagaimana konflik agraria yang terjadi di DIY saat ini terkait dengan klaim keberadaan SG dan PAG, misalnya dalam kasus warga di Watu Kodok, Gunung Kidul, ia menyatakan, “Kalau itu orang nekat, orang gak punya hak apa-apa, gak mau pergi. Itu orang liar”, ucapnya. Bahkan ia menambahkan, “Terkait dengan rencana perluasan pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) di DIY, banyak orang membangun kegiatan pembangunan liar, misalnya membangun kolam-kolam di sepanjang JLS agar dapat ganti rugi. Padahal mereka gak punya hak”.
Terkait dengan pernyataan tersebut, Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) Bantul telah menyangkal keberadaan tanah-tanah SG dan PAG. Watin, pengurus ARMP, mengatakan bahwa SG dan PAG telah dihapuskan pada era Sultan HB IX, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah DIY Nomor 3 Tahun 1984 dan Keputusan Presiden Nomor 33 tahun 1984 yang memberlakukan sepenuhnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
“SG dan PAG karena merupakan bentuk hukum dan sisa warisan perundangan kolonial, atau biasa disebut sebagai tanah swapraja, telah dihapus sejak terbitnya dua regulasi tersebut. Jadi kalau itu dibangkitkan kembali dengan lahirnya UUK, sama saja itu kembali ke jaman kolonial. Perlu diketahui bahwa terbentuknya Kasultanan Yogyakarta juga jelas, bahwa ia dibentuk oleh kolonial lewat perjanjian Giyanti 1755, dan di dalam pasal 1 dijelaskan bahwa Kasultanan Yogyakarta tidak pernah punya tanah”, tegasnya.