Thursday, May 12, 2016

[Siaran Pers] Perencanaan Pembangunan Bandara Kulon Progo; Merampas Lahan Petani.

Siaran Pers:

Presiden Minta Pembangunan di Percepat, 
Negara Jelas Tutup Mata Atas Amburadulnya 
Perencanaan Pembangunan Bandara Kulon Progo 
yang Beresiko dan Merampas Lahan Petani.
______________________________



Pernyataan desakan untuk mempercepat rencana pembangunan bandara baru Kulon Progo dari Presiden Jokowo, hari senin (9/5) lalu, menunjukan bahwa Negara telah tutup mata atas berbagai persoalan carut marutnya rencana pembangunan yang sampai dengan hari ini belum selesai. Seperti diketahui selama ini, keberatan atas rencana pembangunan bukan saja dari kelompok Wahana Tri Tunggal, yang menolak tanpa syarat. Tetapi beberapa waktu kebelakang kegelisahan juga muncul dari kelompok Pro-Bersyarat yang menuntut ganti rugi yang layak seperti Lahan Pengganti dan juga Relokasi Gratis, juga ganti rugi bagi penggarap PAG.

Kegelisahan ini muncul lantaran tak jelasnya hari depan mereka karena janji-janji seperti lahan pengganti dan relokasi semakin tak jelas. Padahal janji-janji itu dipresentasikan oleh Tim Persiapan pada para warga yang diundang sebagai pihak yang berhak saat proses konsultasi publik untuk terbitnya Ijin Penetapan Lokasi seluas 648 ha yang sempat digugat PTUN oleh warga.

LBH Yogyakarta sendiri berpendapat ketidakjelasan terkait dengan skema ganti rugi, di mana masih ada juga yang menuntut terkait dengan adanya ganti rugi dalam bentuk Lahan Pengganti dan juga Relokasi, menunjukan amburadulnya perencanaan pembangunan bandara baru. Seperti diketahui LBH Yogyakarta sendiri sampai dengan hari masih mendampingi petani yang keberatan dengan rencana pembangunan yaitu yang tergabung dalam WTT.

Rencana pembangunan ini jelas beresiko merampas lahan pertanian bagi para petani. Kegiatan Pertanian di sini berhasil dengan membudi dayakan lahan pesisir yang terdapat gumuk pasir, sehingga komoditas tanaman seperti cabai, semangka, melon, buah naga dan suyuran lainnya, bukan hanya untuk D.I Yogyakarta tapi juga luar daerah. Merupakan daerah lumbung pangan, yang menjaga ketahanan pangan.

Pada aspek perencanaan, jelas soal Rencana Bandara ini tak ada dalam aturan RTRW Nasional hingga Perda Provinsi. Bahkan kawasan pesisir Temon Kulonprogo juga dalam Perda RTRW Provinsi D.I Yogyakarta jelas sebagai kawasan lindung karena Rawan Bencana Alam. UU Kebencanaan jelas menegaskan sala satu upaya mengurangi resiko bahaya bencana tsunami adalah dengan tidak membangun sama sekali.

Pada aspek tahapan, proses perencanaan penting seperti penyusunan AMDAL hingga penerbitan Izin Lingkungan, hingga hari ini belum dilakukan. Padahal proses pembebasan lahan sebetulnya bagian juga dari dampak pembangunan yang jelas seperti diketahui telah timbul nyata konflik sosial.

Amburadulnya proses perencanaan yang terlihat serampangan tanpa ada AMDAL hingga Ijin Lingkungan ini, padahal proses pembangunan sudah mulai masuk proses pembebasan lahan yang merupakan tahapan pra-konstruksi. Terlihat dalam hal ini Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Negara) sangat ingin menguasai lahan terlebih dahulu, aspek lingkungan sosial urusan belakangan dan bisa diakali. Sehingga proses penyusunan nantinya sangatlah subjektif dari pemrakarsa dan terkesan prosedural semata, Tanpa perlu melibatkan warga yang digusur, untuk menyampaikan pendapat, persetujuan dan keberatan.
Padahal ruang konsultasi publik AMDAL sangatlah strategis bagi warga terdampak untuk mengetahui segala dampak penting pembangunan termasuk proses pembebasan lahan dan ganti ruginya. Terlebih sudah jelas wilayah pesisir Kulon Progo sudah ditetapkan sebagai wilayah potensi resiko bencana Tsunami.

LBH Yogyakarta juga menilai janji-janji ganti rugi seperti lahan pengganti untuk pertanian dan juga relokasi, sangat sulit untuk untuk diberikan oleh Pelaksana Pengadaan Tanah, atau sekedar isapan jempol belaka. Alasannya terkait dengan lahan pertanian pengganti sampai dengan hari ini, pihak Pemerintah D.I Yogyakarta sendiri tidak memiliki bank tanah guna dalam jumlah yang luas sebagai tempat rencana pengganti lahan bagi para petani di Temon Kulon Progo.
Selain itu juga menyangkut relokasi yang ditawarkan akan dipindahkan ke tanah kas desa, padahal menurut Pergub D.I.Yogyakarta Nomor 112 tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Kas Desa, Tanah Kas desa jelas merupakan objek yang diklaim juga sebagai tanah Pakualaman Ground. Sehingga kalaupun direlokasi bukanlah menjadi pemilik tetapi hanya menguasai.

Satu-satunya ganti rugi hanyalah ganti rugi dalam bentuk uang, tentu ini sulit bagi para petani yang sangat bergantung pada lahan. menjual tanahnya, bagi para petani sama saja seperti menjual ibunya sendiri. wajar jika konflik sosial di Kulon Progo Begiitu memanas. lantaran Petani sangat berat melepaskan tanah sebagai alat produksinya.

Berharap posisi tawar tinggi juga sangatlah sulit dalam proses negosiasi musyawrah ganti rugi. Prinsip penghormatan dan musyawarah ganti rugi yang setara, rasanya tak mungkin. Apalagi jika menilik proses-proses kebelakang yang selalu melibatkan aparat kepolisian, seringkali melakukan kekerasan dan intimidasi pada masyarakat seperti saat proses pematokan dan sebelum konsultasi publik. Seperti diketahui telah 4 orang warga pengurus WTT dikriminalisasi untuk terbitnya Ijin Penetapan Lokasi.

Jelas dengan model seperti ini, Para Petani tak akan mendapatkan pertambahan nilai dari proses pembangunan bandara baru. bukan menyejahterakan tetapi yang terjadi merampas tanah sebagai alat produkasinya.

Dengan perencanaan dan pelaksanaan pembebasan lahan yang amburadul seperti ini seharusnya presiden bisa mengevaluasi kembali rencana pembangunan, bukan malah mendesak percepatan proses dilapangan.

Statemen Presiden Jokowi yang sangat ingin pembangunan bandara di Percepat tanpa melihat amburadulnya proses dilapangan, menunjukan Keberpihakan Negara bukan untuk menyejahterakan rakyatnya, tetapi berpihak pada Investor seperti diketahui rencana pembangunan bandara merupakan bisnis patungan antara PT. Angkasa Pura dengan Perusahan GVK India.
Model Perusahaan patungan (Public Private Partnership/Kerjasama Publik dengan Swasta) seperti sangat lazim dilakukan pada seluruh proyek MP3EI yang dikritisi oleh Komnas HAM sangat sarat pelanggaran HAM.

Hormat Kami,

LBH Yogyakarta
Nara hubung :
Rizky Fatahillah (081329778358)
Yogi Zul Fadhli (0822105853347)

0 comments:

Post a Comment