- Kasus Pertama: PPLP
Atas surat somasi tersebut, Suparno (46) menolak untuk melaksanakan isi surat yang ditujukan kepadanya. Pasalnya, terdapat beberapa alasan penting, yakni: Pertama, Keppres 33/1984, dan Perda DIY 3/1984, telah menjelaskan bahwa tanah SG/PAG sudah dihapuskan. Kedua, Suparno merasa tanah yang dikelolanya sebagai lahan pertanian tersebut, telah diusahai lebih dari seratus tahun secara turun temurun oleh keluarganya.
Karena menolak untuk melaksanakan isi surat somasi dari pihak PA, tak lama setelah itu, tepatnya November 2015, Suparno dkk mendapatkan informasi di balai Desa Karangwuni, bahwa pesisir Karangwuni akan disertifikasi menjadi PAG. Pengumuman itu juga memberitahukan bahwa jika terdapat keberatan dari masyarakat, maka diberi batas waktu selama 60 hari, untuk mengajukan surat keberatan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Selanjutnya, tanpa pernah diduga, pada tanggal 12 April 2016, Suparno dkk, mendapatkan surat panggilan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta. Surat tersebut menjelaskan bahwa Suparno dkk diminta sebagai pihak ketiga tergugat intervensi, dalam perkara antara Paku Alam X (penggugat) dengan BPN (tergugat) Kabupaten Kulon Progo. Suparno dkk bersama PPLP memutuskan menolak untuk menjadi pihak tergugat intervensi, dengan alasan: Pertama, ia menganggap bahwa perkara tersebut merupakan “drama” hukum yang tidak bisa diterima akal sehat. Hal ini karena menurutnya sama saja membenarkan adanya klaim SG/PAG, yang telah dihapuskan. Kedua, ia menganggap bahwa hal tersebut hanya menguntungkan pihak PAG dan negara.
Atas keputusannya tersebut, Suparno dkk kembali mendapat surat panggilan kedua dari PTUN Yogyakarta, dalam perkara serupa pada tanggal 3 Mei 2016, dengan nomor surat: W3.TUN 5/59/HK. 06/V/2016. Surat kedua ini juga direspon oleh Suparno dkk bersama PPLP dengan sikap “tetap” tidak menjadi dan “tidak” akan bersedia bergabung menjadi pihak tergugat intervensi.
2. Kasus Kedua: WTT
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Wates, Kulon Progo, pada hari Senin, 25 Mei 2015, menjatuhkan vonis terhadap 4 (empat) orang warga WTT (Sarijo, Wasiyo, Wakidi, Tri Marsudi) dengan hukuman 4 bulan hukuman kurungan penjara. Empat orang warga WTT tersebut dikenakan pasal 160 dan 170 KUHP, karena dianggap telah melakukan penghasutan dan perusakan Balai Desa Glagah.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa empat warga WTT tersebut adalah pejuang yang berani mempertahankan ruang hidupnya karena menolak rencana pembangunan bandar udara di tanah mereka sendiri, di pesisir Kulon Progo. Mereka merasa, rencana pembangunan bandara tersebut akan mendatangkan banyak kerugian terhadap mereka, misalnya: penggusuran lahan pertanian, penghancuran sistem perekonomian petani, memicu punahnya beberapa situs cagar budaya, meningkatnya angka pengangguran, lahirnya konflik sosial, dll.
Namun argumentasi yang dibangun oleh WTT harus berhadapan dengan beberapa keputusan Gubernur DI Yogyakarta yang berseberangan dengan kepentingan WTT. Pertama, Surat Gubernur DI Yogyakarta, nomor: 593/3050, perihal jawaban terhadap Penolakan Atas Keberatan Terhadap Rencana Lokasi Pembangunan Bandara Baru di Yogyakarta. Dalam surat keputusan ini, Gubernur menggunakan dasar berupa: Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan Pasal 36 ayat 4 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum, dan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015. Bagi kami, penerbitan keputusan tersebut merupakan tindakan illegal, karena tidak merujuk pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Propinsi DI Yogyakarta, yang di dalamnya tidak satupun menyebutkan tentang rencana pembangunan Bandara Baru.
Kedua, Surat Keputusan Gubernur, nomor: 68/KEP/2015, tanggal 31 Maret 2015 tentang Penetapan Lokasi Bandara Baru Yogyakarta, yang di dalamnya juga tidak merujuk pada RTRW Provinsi DI Yogyakarta. Atas keputusan Gubernur tersebut, WTT, selanjutnya, menggugat Gubernur di PTUN Yogyakarta, dan pada tanggal 26 Mei 2015, gugatan WTT dikabulkan.
Seperti diduga sebelumnya, atas putusan PTUN tersebut, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta menempuh upaya hukum tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Karena perkara tersebut digolongkan sebagai perkara yang menyangkut “kepentingan umum” dengan merujuk pada Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, maka pengajuan banding bisa langsung diteruskan ke tingkat kasasi di MA.
Melalui putusan dengan nomor register 456 K/TUN/2015, permohonan kasasi Gubernur DIY dikabulkan oleh MA pada tanggal 23 September 2015. Atas putusan ini, WTT tidak menyerah. WTT terus berjuang dengan menempuh upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Namun permohonan PK oleh WTT yang diajukan pada Senin, 18 April 2016, di PTUN Yogyakarta, ditolak. Penolakan oleh PTUN ini dilakukan dengan dasar Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam pasal 19 Peraturan MA ini berbunyi: putusan kasasi merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya hukum peninjauan kembali.
Terkait dengan putusan tersebut, kami, WTT, akhirnya menyadari bahwa hukum positif tidaklah mendatangkan keadilan. Oleh karenanya, agar tetap dapat melindungi ruang hidup yang telah kami bangun dan pelihara, maka selanjutnya kami memutuskan untuk membuat hukum kami, sendiri, yakni “hukum rakyat”.
Pandangan Situasi Terkini: Oligarki dan Penguasaan Sumberdaya Agraria di DIY
Pada rentang waktu antara akhir tahun 2010 hingga awal 2011, diskursus tentang Keistimewaan Yogyakarta mengalami satu fase yang disebut dengan puncak pembangunan opini publik. Hampir semua media massa baik lokal maupun nasional menjadikan pemberitaan keistimewaan sebagai headline dalam beberapa pekan. Terlepas dari berbagai sudut pandang dan polemik dalam pemberitaannya, media massa telah merekam di memori publik tentang sebuah transformasi politik kesultanan Yogyakarta dengan segala hiruk pikuk keheroikannya. Sayangnya dominasi politik kesultanan dalam kontestasi kepentingan perebutan kuasa atas sumberdaya alam jarang sekali dilihat sebagai satu catatan mengapa Yogyakarta menuntut keistimewaan.
Meski argumentasi sejarah dan peran politik Kesultanan dalam kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (di)muncul(kan) sebagai penguat dari ‘tuntutan’ keistimewaan, namun argumentasi tersebut tidak memicu proyeksi kritis atas apa yang akan terjadi ketika Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) ditetapkan sebagai payung hukum Kesultanan dan pemerintahan DIY. Selain itu, akan bermasalah jika sejarah Kesultanan dijadikan argumentasi keistimewaan, karena ia tidak bisa dilepaskan dari cerita tentang kolonialisme Belanda. Perjanjian Giyanti 1755 yang sebetulnya adalah cerita tentang politik penaklukan pemerintah kolonial Hindia Belanda atas kerajaan Mataram dalam rangka menguasai sumberdaya agraria, justru dijadikan sandaran utama untuk memperoleh status “istimewa” tersebut. Akan berbeda jika penglihatan atas keistimewaan diletakkan di tengah dinamika perubahan kapitalisme global hari ini. Sebab, menguatnya wacana keistimewaan DIY nyaris beriringan dengan narasi besar tentang pembangunan ekonomi Indonesia melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dikumandangkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Meskipun rejim SBY telah berakhir, namun logika dasar yang dipakai oleh pemerintahan Jokowi melalui RPJMN tidak berubah sedikitpun.
Barangkali kita masih ingat di tengah perdebatan soal keistimewaan, George Junus Aditjondro pernah mengingatkan dalam satu tulisan yang dimuat harian Sinar Harapan tanggal 13 Januari 2011, yang secara gamblang menyebutkan bahwa “perdebatan soal keistimewaan Yogyakarta terlalu sempit jika hanya fokus pada penentuan siapa yang berhak menjadi gubernur dan wakilnya”. Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa UUK DIY membonceng kepentingan Sultan dan Pakualam untuk menghidupkan kembali tanah-tanah bekas swapraja di DIY dengan merujuk pada Rijksblad Kasultanan No. 16/1918 dan Rijksblad Kadipaten No. 18/1918. Kepentingan tersebut diperkuat dengan fakta-fakta soal jaringan bisnis keluarga Kasultanan dan Kadipaten yang telah menggunakan tanah-tanah Keraton “warisan” perjanjian Giyanti 1755.
Tulisan George ini mengingatkan kita pada apa yang disebut sebagai “oligarki kapitalis”. Sejalan dengan itu dalam konteks keistimewaan, Sultan Hamengkubuwono (HB) X menggabungkan kepentingan bisnis dan kepentingan politik-birokratik melalui sistem oligarki permanen yang diatur melalui UUK DIY. Itulah sebabnya perdebatan mengenai keistimewaan yang dikemas melalui gagasan otonomi daerah di tingkat provinsi pada dasarnya bukan merupakan isu teknis pemerintahan akan tetapi lebih kepada reorganisasi kekuasaan kesultanan Yogyakarta dalam penguasaannya atas sumberdaya material yang konkrit, yaitu sumber daya agraria.
Lalu apa yang terjadi setelah UUK DIY ditetapkan sebagai payung hukum pemerintahan dan kesultanan DIY? Dan apa hubungannya dengan berbagai paket kebijakan ekonomi Indonesia yang sepenuhnya dirancang semata-mata untuk melayani investasi besar? Untuk menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu kita bahas apa saja yang menjadi poin penting dalam UUK DIY yang kemudian diturunkan secara teknis dalam bentuk Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Yogyakarta.
UUK DIY mengatur lima kewenangan istimewa yaitu: pertama, tentang tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur;kedua, mengatur kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; ketiga, kebudayaan; keempat,pertanahan; dan kelima, tata ruang. Lima kewenangan tersebut jika dibaca secara cermat dengan kacamata ekonomi politik, kesultanan Yogyakarta sedang melakukan proses reorganisasi kekuasaan swapraja dengan mengamankan posisinya secara turun-temurun sebagai gubernur sekaligus raja yang diatur dalam UUK DIY.
Menariknya, selain sebagai raja sekaligus gubernur, nyatanya ia juga seorang pebisnis yang dapat menggunakan kewenangannya atas nama keistimewaan sebagai modal sosial, budaya, politik, dan ekonomi untuk kepentingan akumulasi bisnisnya. Hal itu terlihat dari beberapa rencana megaproyek yang hendak dibangun seperti pertambangan pasir besi di Kulon Progo serta beberapa bisnis perhotelan dan pariwisata di Yogyakarta yang melibatkan keluarga kesultanan dan kadipaten. Untuk memastikan kepentingan tersebut berjalan dengan aman dan terkontrol, ada proses yang disebut sebagai “dalil kelembagaan”.
Dalam hal kelembagaan, terbitnya UUK DIY menandakan suatu proses kemapanan diskursus keistimewaan. Bahkan mengalami peningkatan yang signifikan ketika para pembela dan pengusung keistimewaan berhasil melembagakan kekuasaannya melalui berbagai regulasi. Lima kewenangan yang akan diatur melalui Perdais inilah salah satu cara bagaimana oligarki tersebut membuat dalil-dalil kelembagaanya dalam melakukan praktik penguasaan atas sumberdaya agraria di DIY dengan menghidupkan kembali wacana dan legalisasi tanah-tanah swapraja, Sultanaat Gronden (SG) dan Pakualamanaat Gronden (PAG).
Konflik agraria atas nama SG dan PAG pun meluas pasca diberlakukannya UUK DIY. Tak hanya di beberapa wilayah pedesaan, bahkan merangsek hingga ke wilayah perkotaan. Diantaranya adalah seperti yang terjadi di pesisir Kulon Progo: a) perjuangan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) dalam hal menolak rencana pembangunan pertambangan pasir besi, dan b) Wahana Tri Tunggal (WTT) dalam hal menolak rencana pembangunan bandara.
Atas fenomena tersebut, kami (PPLP dan WTT) memberikan catatan khusus, yakni: Pertama, bahwa perluasan perampasan ruang hidup warga di Yogyakarta ini terkait erat dengan skema megaproyek pembangunan skala luas yang saling terintegrasi. Megaproyek yang dimaksud adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam MP3EI, Yogyakarta ditempatkan sebagai wilayah pengembangan ekonomi yang bergerak dalam industri jasa Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE). Tak heran jika selanjutnya angka pertumbuhan hotel dan rencana pembangunan bandara baru beserta rencana infrastruktur pendukungnya menjadi isu utama belakangan ini di DIY. Kedua, reproduksi wacana SG dan PAG oleh HB X memiliki sejumlah kelemahan, di antaranya karena SG dan PAG sudah dinyatakan dihapus oleh HB IX lewat terbitnya Peraturan Pemerintah DIY Nomor 3 Tahun 1984 dan melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984 yang memberlakukan sepenuhnya UUPA di Yogyakarta.
Sepanjang perjalanan perjuangan yang telah kami lakukan, sedikitnya terdapat 5 orang anggota kami (PPLP dan WTT) yang telah dikriminalisasi karena menolak ruang hidupnya dirampas oleh kejahatan modal atas nama pembangunan dan keistimewaan. Dalam operasinya, lembaga pendidikan juga dilibatkan untuk memuluskan rencana pembangunan. Hal tersebut dapat terlihat seperti yang terjadi pada 8 tahun silam. Tepatnya pada hari Senin, 21 Juli 2008, saat rombongan petani dari pesisir Kulon Progo yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) menggeruduk Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka menuntut agar UGM membatalkan kerjasamanya dengan PT. Jogja Magasa Mining (PT JMM) yang hendak mendirikan proyek pertambangan pasir besi di wilayah pesisir Kulon Progo, lokasi di mana ribuan warga PPLP-KP bermukim dan bertani. Selain itu, PPLP-KP juga menyerukan perlawanannya terhadap Kasultanan dan Kadipaten Yogyakarta. Pasalnya, selain mengklaim bahwa tanah yang dikelola PPLP adalah milik Pakualaman (PAG), keluarga keraton dalam kasus tersebut juga dianggap oleh PPLP menjadi biang kerok lahirnya rencana penambangan. Seperti yang diketahui, PT. JMM -yang belakangan berubah namanya menjadi PT. JMI (PT. Jogja Magasa Iron)- adalah perusahaan yang didirikan oleh beberapa orang dari keluarga keraton.
Bahkan, hal ini belum ditambahkan dengan bagaimana tanah-tanah kas desa yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana dikatakan bahwa tanah kas desa menjadi aset desa dinyatakan tidak berlaku di Yogyakarta dengan berlakunya UUK. Seperti yang telah diberitakan oleh Kedaulatan Rakyat (KR) pada 10 Desember 2014 dengan judul “Tanah Plungguh Tetap Disertifikasi Sultan Ground”. Dalam berita tersebut Sultan mengatakan, “Ada tanah plungguh di DIY tetapi itu kan tanah SG. Saya tidak mau kalau disertifikatkan atas nama desa karena itu bukan haknya”.
Pernyataan HB X ini pun diamini oleh Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, Haryanta, yang menyatakan pihaknya akan menyisir tanah-tanah kas desa termasuk tanah plungguh untuk disertifikasi atas nama SG. Haryanta pun menganggap bahwa tanah plungguh memang awalnya merupakan bagian dari SG, karena Keraton Yogyakarta dianggap sebagai negara sendiri yang dulu menggaji perangkat desa dengan penghasilan tanah tersebut. Haryanta juga menambahkan bahwa “UU Desa harus disinkronkan dengan Undang-undang Keistimewaan yang tetap menjadi SG”. Hal ini menyiratkan secara kuat bagaimana konsolidasi dan penguasaan atas sumberdaya agraria di Yogyakarta dilakukan secara sistematis dan terstruktur.
Terkait fenomena di atas, seringkali kritik terhadap SG/PAG dikaitkan dengan wacana feodalisme. Namun, penggunaan istilah feodalisme dalam kasus perampasan tanah di DIY perlu dipertanyakan kembali. Menurut pandangan kami penggunaan istilah feodalisme tidaklah tepat. Salah satu argumentasinya adalah karena SG dan PAG sendiri adalah produk hukum pertanahan kolonial, yang didasarkan pada Rijksblaad No. 16 dan 18 tahun 1918; yang kemudian disebut sebagai tanah swapraja. Jadi, jika menyebutnya sebagai produk feodalisme, maka akan mereduksi sejarah kolonialisme di Yogyakarta dan (mengamini) seolah-olah SG dan PAG tersebut merupakan produk hukum pertanahan Kasultanan dan Kadipaten Pakulaman Yogyakarta yang merdeka.
Padahal, berdirinya Kasultanan dan Pakualaman adalah produk kolonial pasca terbitnya perjanjian Giyanti tahun 1755. Sebagaimana di dalam pasal 1 Perjanjian Giyanti 1755 disebutkan bahwa wilayah Mataram Kasultanan Yogyakarta adalah tanah pinjaman dari VOC. Selain itu dalam sudut pandang kami, istilah feodalisme kurang tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi di Yogyakarta. Akan lebih tepat, jika menyebut SG dan PAG adalah buah praktik kapitalisme kolonial. Oleh karena itu, bangkitnya wacana SG dan PAG atas nama UUK DIY dan keterlibatan keluarga keraton dalam beberapa proyek pembangunan menjadi sumber utama dari konflik agraria di DIY. Dengan demikian akan lebih tepat jika fenomena bangkitnya kekuasaan swapraja di DIY dilihat sebagai satu proses reorganisasi kekuasaan oligarki kesultanan di DIY dalam penguasaan sumberdaya agraria.
Terbangunnya oligarki di tingkat lokal sebagaimana di DIY merupakan akibat dari praktik gagasan desentralisasi pasca kebangkrutan Orde Baru. Dalam sistem ini, kepentingan lokal yang terdiri dari tokoh-tokoh daerah, para birokrat-politik dan pengusaha yang telah matang di bawah patronase Orba muncul sebagai suatu kekuatan dominan dalam kontestasi penguasaan sumberdaya lokal. Dengan demikian, transisi demokrasi 1998 yang awalnya diharapkan dapat mendatangkan kebaikan ternyata tidak memberikan perbaikan apapun bagi petani dan kaum miskin perkotaan.
Sebaliknya, kepentingan-kepentingan kelas dan kelompok dominan dapat diakomodasi dan dilindungi. Bahkan memberi ruang longgar bagi keberlangsungan akumulasi kapital. Barangkali, jatuhnya Suharto, sang “operator kapital” dengan gaya terpusat telah di-setting lama oleh bandit-bandit neo-liberal, agar ongkos produksi menjadi lebih murah. Karena mempertahankan model akumulasi kapital di bawah rejim Suharto, selain rawan oleh tekanan gelombang gerakan rakyat, juga terlalu mahal karena maraknya korupsi dan birokrasi yang njelimet. Ringkasnya, tidak efisien untuk perluasan geografi produksi dan akumulasi kapital.
Hal inilah yang mungkin menjadi ciri khusus yang membedakan dinamika perkembangan kapitalisme di Yogyakarta dengan kasus-kasus lain di Indonesia. Ia tidak berdiri di atas rezim kepemilikan, tapi ia berdiri di atas kekuasaan oligarki kesultanan. Tidak menutup kemungkinan, kesuksesan Yogyakarta dalam penguasaan sumberdaya agraria ini akan direplikasi di tempat lain. Sebab, sejak isu otonomi daerah dikumandangkan, beberapa (bekas) kerajaan, kesultanan, dan daerah-daerah swapraja kian gencar melakukan konsolidasi dalam rangka mengambil peluang dalam perebutan kuasa ekonomi dan perpolitikan lokal.
Setidaknya menurut kami, ada 6 asosiasi kerajaan yang di dalamnya terdapat lebih dari 100 kerajaan. Asosiasi-asosiasi tersebut diantaranya adalah Badan Pengurus Silaturahmi Nasional Raja dan Sultan Nusantara (BP Silatnas), Forum Komunikasi dan Informasi Keraton se-Nusantara (FKIKN), Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN), Yayasan Raja dan Sultan Nusantara (Yarasutra) dan Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Indonesia (AKKI). Karenanya, setidaknya ada dua poin penting yang dapat dijadikan acuan mengenai mengapa asosiasi-asosiasi tersebut dibentuk, diantaranya adalah, Pertama, mendesak pemerintah pusat agar keraton, kerajaan, kasultanan, puri, atau kedaton di seluruh Indonesia diberikan pengakuan dan pengakuan hukum berupa undang-undang. Kedua, mendesak agar di dalam UU Pemerintahan Daerah, UU Adat, UU Kebudayaan, dan UU Pertanahan harus jelas mencantumkan stakeholder yang terlibat, termasuk keraton, kerajaan, kesultanan, puri, atau kedaton sebagai kesatuan integral NKRI yang perlu dilindungi dan diatur hak dan kewajibannya.
Akhir kata, kami PPLP dan WTT, menyatakan sikap:
- Menolak rencana pembangunan Bandar Udara Kulon Progo tanpa syarat.
- Menuntut dicabutnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016.
- Menolak rencana pembangunan pertambangan pasir besi tanpa syarat.
- Menolak untuk dilibatkan sebagai pihak tergugat intervensi (kasus Suparno) dalam sengketa gugatan antara Paku Alam X dan BPN.
- Menolak Undang-undang Keistimewaan (UUK) tanpa syarat; karena bagi kami UUK telah mendorong meluasnya konflik agraria di provinsi DIY.
- Menolak legitimasi SG/PAG dalam ruang hidup kami.
- Menolak Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) dan Wahana Tri Tunggal (WTT)
0 comments:
Post a Comment