Sugeng Riyadi dan Fery E Sirait
Penghadangan warga ini berlangsung di beberapa titik. Awalnya, Tim Appraisal yang datang ke Dusun Kragon, Desa Palihan dihadang oleh ratusan warga yang menolak penggusuran untuk proyek bandara Yogyakarta.
Wiji, salah seorang petani muda menceritakan bahwa penghadangan pertama sekitar pukul 08.00 pagi berakhir tanpa bentrokan. Warga hanya ingin memberi peringatan kepada siapapun yang datang harus seizin dan harus menghormati penduduk desa. “Datang kesini itu harus jelas, untuk apa dan mau apa“, kata Wiji.
Penghadangan oleh warga tersebut merupakan bentuk penyampaian bahwa warga Desa Palihan juga menolak rencana pembangunan bandara yang nantinya akan dikelola PT. Angkasa Pura I. Walau demikian, setelah berdebat alot dengan tim appraisal, akhirnya warga mempersilakan proses pendataan dengan catatan, hanya khusus untuk tanah warga yang dianggap setuju (atas rencana pembangunan bandara-red).
Hal yang berbeda justru terjadi saat Tim Appraisal hendak melakukan pengukuran lahan di Dusun Sidorejo, Kelurahan Glagah. Mereka datang bersama tak kurang dari 4 bus dan 6 truk berisi aparat Polri dan TNI dengan jumlah sekitar 600 personil. Warga WTT telah berupaya menghadang kedatangan tim tersebut sejak jam 10.00 pagi. Selama kurang lebih satu jam warga bertahan menduduki area pemakaman desa.
Negosiasi keras dengan Wakapolres Kulon Progo yang memimpin langsung pengamanan agenda Tim Appraisal tersebut dengan warga tidak menemui titik tengah, warga tetap menolak. Karena merasa tidak bisa diajak negosiasi, akhirnya aparat masuk dengan menerobos paksa blokade warga.
Warga WTT yang sejak awal tegas melakukan penolakan rencana pembangunan bandara dengan menolak tanahnya didata oleh tim appraisal termasuk tanah pemakaman. Sebab, lahan pemakaman tersebut adalah tanah milik warga dari hasil iuran bersama. Sebagaimana yang ungkapkan oleh Hamdi, salah satu pengurus WTT, “…dari awal warga Sidorejo menolak makam didata oleh tim Appraisal dikarenakan makam itu hasil dari iuran warga”, tegasnya.
Namun, pihak pemerintah mengklaim bahwa tanah pemakaman itu milik Desa dan tetap akan didata oleh Tim Appraisal. Sebelumnya tanah tersebut didata oleh tim BPN hanya sebatas “di atas meja”, tetapi karena berkepentingan untuk mendapatkan angka luasan yang pasti, mereka turun langsung ke lapangan untuk melakukan pengukuran pagi itu.
Sekali lagi, sebagaimana dituturkan Wiji, warga tidak ingin ruang hidup mereka diusik dengan kedatangan siapapapun tanpa menaruh hormat dan mengabaikan kehidupan warga. Apalagi yang akan diukur adalah area pemakaman warga dan akan digunakan untuk proyek komersial.
Emosi warga semakin meningkat ketika melihat upaya ratusan aparat dengan bersenjata lengkap membawa sabuk ring pengaman dan kerap terlihat bersikap arogan.
Karena jumlah warga tidak sebanding dengan jumlah aparat dan kebanyakan warga yang melakukan aksi blokade adalah perempuan (ibu-ibu) dan anak-anak, kordinator aksi tidak mau mengambil resiko sehingga kembali melakukan negosiasi dengan aparat.
Menurut Hamdi, atau yang biasa dipanggil Mbah Muh, ada beberapa hal yang disepakati dari negosiasi tersebut. Yaitu, pertama, yang boleh masuk pemakaman adalah orang yang berkepentingan saja yaitu tim appraisal dan warga pewaris makam; kedua, tidak boleh dikawal dengan ketat oleh banyak aparat, atau hanya beberapa aparat saja yang diperkenankan masuk ke dalam area pemakaman. Akan tetapi, hasil kesepakatan tersebut diingkari oleh pihak aparat sendiri.
Disaat warga mulai membuka blokade untuk memberi jalan bagi tim pencatat dan pengukur agar dapat masuk ke dalam area pemakaman, aparat kepolisian bersama personi TNI juga ikut menerobos barisan warga sambil menyerang dengan brutal menggunakan senjata hingga massa aksi berhamburan. Ibu-ibu yang turut serta dalam aksi penghadangan juga mulai terdesak dan berteriak histeris. “…[A]parat polisi maupun TNI merangsek dan memukul mundur warga, sampai terpojok di benteng. Ada yang ditendang, tonjok, dan intimidasi dengan cara ditangkap dengan menggunakan police line dan akhirnya warga kocar-kacir”, tutur pengurus WTT ini.
Sekitar 300-an warga berusaha mempertahankan diri dengan cara melempar apapun yang ada di sekitarnya; karena memang mereka tidak pernah menyiapkan senjata dalam aksi penghadangan tersebut. Rumput, tanah, pasir, dan batu yang paling dekat diambil dan dilemparkan ke arah aparat disertai teriakan warga meminta aparat untuk mundur. Tapi, aparat terus bergerak dengan beringas untuk memecah barisan warga yang mencoba bertahan. Warga mulai didorong, dipukuli, dan ditendang. Banyak diantara warga yang terluka, mulai dari lecet ringan hingga yang meninggalkan bekas lebam-lebam akibat tindakan represif aparat tersebut.
Warga yang telah dipukul mundur akhirnya menyebar, hanya dapat melihat aparat kepolisian dan TNI menginjak-injak makam dengan sembarangan. Sambil memperhatikan arogansi aparat yang mulai memasang ring pembatas, sebagian warga terdengar mengatakan, “kami akan segera bersikap atas tindakan semena-semena ini!“.
Diketahui sudah sejak tanggal 26 April lalu, Tim Appraisal turun ke lapangan untuk melakukan pendataan tanah. Khusus di wilayah warga penolak bandara tim selalu dikawal ketat aparat gabungan Kepolisian dan TNI. Karenanya, warga yang menolak rencana pembangunan bandara Kulon Progo selalu stand by agar tanah-tanah mereka tidak didata dan diukur oleh tim appraisal.
0 comments:
Post a Comment