This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Monday, May 30, 2016
KPA MENGUTUK TINDAKAN KEPOLISIAN YANG BERTENTANGAN DENGAN RENCANA STRATEGIS NASIONAL REFORMA AGRARIA
Thursday, May 19, 2016
Rencana Bandara Baru Kulon Progo, Hanya Untungkan Pihak Investor Industri Properti dan Jasa Pariwisata, Tidak Untuk Para Petani Tergusur.
https://www.facebook.com/lbhyogyakarta/photos/a.997532256970276.1073741829.995065300550305/1095025340554300/?type=3
Friday, May 13, 2016
Kekerasan Aparat Kembali Terjadi di Yogyakarta
Sugeng Riyadi dan Fery E Sirait
Kulon Progo – Kamis 12 Mei 2016, pagi hari, ratusan petani di Temon, Kulon Progo, diserang Polisi dan TNI. Peristiwa ini terjadi setelah petani pulang dari ladang, dimana sebelumnya warga WTT (Wahana Tri Tunggal) mendapatkan kabar jika Tim Appraisal akan datang melakukan pendataan tanah pemakaman warga. Warga yang tergabung dalam WTT ini pun bersiap mempertahankan tanah mereka agar jangan sampai didata dan diukur untuk kepentingan penaksiran proyek pembangunan bandara.
Penghadangan warga ini berlangsung di beberapa titik. Awalnya, Tim Appraisal yang datang ke Dusun Kragon, Desa Palihan dihadang oleh ratusan warga yang menolak penggusuran untuk proyek bandara Yogyakarta.
Wiji, salah seorang petani muda menceritakan bahwa penghadangan pertama sekitar pukul 08.00 pagi berakhir tanpa bentrokan. Warga hanya ingin memberi peringatan kepada siapapun yang datang harus seizin dan harus menghormati penduduk desa. “Datang kesini itu harus jelas, untuk apa dan mau apa“, kata Wiji.
Penghadangan oleh warga tersebut merupakan bentuk penyampaian bahwa warga Desa Palihan juga menolak rencana pembangunan bandara yang nantinya akan dikelola PT. Angkasa Pura I. Walau demikian, setelah berdebat alot dengan tim appraisal, akhirnya warga mempersilakan proses pendataan dengan catatan, hanya khusus untuk tanah warga yang dianggap setuju (atas rencana pembangunan bandara-red).
Hal yang berbeda justru terjadi saat Tim Appraisal hendak melakukan pengukuran lahan di Dusun Sidorejo, Kelurahan Glagah. Mereka datang bersama tak kurang dari 4 bus dan 6 truk berisi aparat Polri dan TNI dengan jumlah sekitar 600 personil. Warga WTT telah berupaya menghadang kedatangan tim tersebut sejak jam 10.00 pagi. Selama kurang lebih satu jam warga bertahan menduduki area pemakaman desa.
Negosiasi keras dengan Wakapolres Kulon Progo yang memimpin langsung pengamanan agenda Tim Appraisal tersebut dengan warga tidak menemui titik tengah, warga tetap menolak. Karena merasa tidak bisa diajak negosiasi, akhirnya aparat masuk dengan menerobos paksa blokade warga.
Warga WTT yang sejak awal tegas melakukan penolakan rencana pembangunan bandara dengan menolak tanahnya didata oleh tim appraisal termasuk tanah pemakaman. Sebab, lahan pemakaman tersebut adalah tanah milik warga dari hasil iuran bersama. Sebagaimana yang ungkapkan oleh Hamdi, salah satu pengurus WTT, “…dari awal warga Sidorejo menolak makam didata oleh tim Appraisal dikarenakan makam itu hasil dari iuran warga”, tegasnya.
Namun, pihak pemerintah mengklaim bahwa tanah pemakaman itu milik Desa dan tetap akan didata oleh Tim Appraisal. Sebelumnya tanah tersebut didata oleh tim BPN hanya sebatas “di atas meja”, tetapi karena berkepentingan untuk mendapatkan angka luasan yang pasti, mereka turun langsung ke lapangan untuk melakukan pengukuran pagi itu.
Sekali lagi, sebagaimana dituturkan Wiji, warga tidak ingin ruang hidup mereka diusik dengan kedatangan siapapapun tanpa menaruh hormat dan mengabaikan kehidupan warga. Apalagi yang akan diukur adalah area pemakaman warga dan akan digunakan untuk proyek komersial.
Emosi warga semakin meningkat ketika melihat upaya ratusan aparat dengan bersenjata lengkap membawa sabuk ring pengaman dan kerap terlihat bersikap arogan.
Karena jumlah warga tidak sebanding dengan jumlah aparat dan kebanyakan warga yang melakukan aksi blokade adalah perempuan (ibu-ibu) dan anak-anak, kordinator aksi tidak mau mengambil resiko sehingga kembali melakukan negosiasi dengan aparat.
Menurut Hamdi, atau yang biasa dipanggil Mbah Muh, ada beberapa hal yang disepakati dari negosiasi tersebut. Yaitu, pertama, yang boleh masuk pemakaman adalah orang yang berkepentingan saja yaitu tim appraisal dan warga pewaris makam; kedua, tidak boleh dikawal dengan ketat oleh banyak aparat, atau hanya beberapa aparat saja yang diperkenankan masuk ke dalam area pemakaman. Akan tetapi, hasil kesepakatan tersebut diingkari oleh pihak aparat sendiri.
Disaat warga mulai membuka blokade untuk memberi jalan bagi tim pencatat dan pengukur agar dapat masuk ke dalam area pemakaman, aparat kepolisian bersama personi TNI juga ikut menerobos barisan warga sambil menyerang dengan brutal menggunakan senjata hingga massa aksi berhamburan. Ibu-ibu yang turut serta dalam aksi penghadangan juga mulai terdesak dan berteriak histeris. “…[A]parat polisi maupun TNI merangsek dan memukul mundur warga, sampai terpojok di benteng. Ada yang ditendang, tonjok, dan intimidasi dengan cara ditangkap dengan menggunakan police line dan akhirnya warga kocar-kacir”, tutur pengurus WTT ini.
Sekitar 300-an warga berusaha mempertahankan diri dengan cara melempar apapun yang ada di sekitarnya; karena memang mereka tidak pernah menyiapkan senjata dalam aksi penghadangan tersebut. Rumput, tanah, pasir, dan batu yang paling dekat diambil dan dilemparkan ke arah aparat disertai teriakan warga meminta aparat untuk mundur. Tapi, aparat terus bergerak dengan beringas untuk memecah barisan warga yang mencoba bertahan. Warga mulai didorong, dipukuli, dan ditendang. Banyak diantara warga yang terluka, mulai dari lecet ringan hingga yang meninggalkan bekas lebam-lebam akibat tindakan represif aparat tersebut.
Warga yang telah dipukul mundur akhirnya menyebar, hanya dapat melihat aparat kepolisian dan TNI menginjak-injak makam dengan sembarangan. Sambil memperhatikan arogansi aparat yang mulai memasang ring pembatas, sebagian warga terdengar mengatakan, “kami akan segera bersikap atas tindakan semena-semena ini!“.
Diketahui sudah sejak tanggal 26 April lalu, Tim Appraisal turun ke lapangan untuk melakukan pendataan tanah. Khusus di wilayah warga penolak bandara tim selalu dikawal ketat aparat gabungan Kepolisian dan TNI. Karenanya, warga yang menolak rencana pembangunan bandara Kulon Progo selalu stand by agar tanah-tanah mereka tidak didata dan diukur oleh tim appraisal.
Thursday, May 12, 2016
[Siaran Pers] Perencanaan Pembangunan Bandara Kulon Progo; Merampas Lahan Petani.
Presiden Minta Pembangunan di Percepat,
Negara Jelas Tutup Mata Atas Amburadulnya
Perencanaan Pembangunan Bandara Kulon Progo
yang Beresiko dan Merampas Lahan Petani.
______________________________
Pernyataan desakan untuk mempercepat rencana pembangunan bandara baru Kulon Progo dari Presiden Jokowo, hari senin (9/5) lalu, menunjukan bahwa Negara telah tutup mata atas berbagai persoalan carut marutnya rencana pembangunan yang sampai dengan hari ini belum selesai. Seperti diketahui selama ini, keberatan atas rencana pembangunan bukan saja dari kelompok Wahana Tri Tunggal, yang menolak tanpa syarat. Tetapi beberapa waktu kebelakang kegelisahan juga muncul dari kelompok Pro-Bersyarat yang menuntut ganti rugi yang layak seperti Lahan Pengganti dan juga Relokasi Gratis, juga ganti rugi bagi penggarap PAG.
Kegelisahan ini muncul lantaran tak jelasnya hari depan mereka karena janji-janji seperti lahan pengganti dan relokasi semakin tak jelas. Padahal janji-janji itu dipresentasikan oleh Tim Persiapan pada para warga yang diundang sebagai pihak yang berhak saat proses konsultasi publik untuk terbitnya Ijin Penetapan Lokasi seluas 648 ha yang sempat digugat PTUN oleh warga.
LBH Yogyakarta sendiri berpendapat ketidakjelasan terkait dengan skema ganti rugi, di mana masih ada juga yang menuntut terkait dengan adanya ganti rugi dalam bentuk Lahan Pengganti dan juga Relokasi, menunjukan amburadulnya perencanaan pembangunan bandara baru. Seperti diketahui LBH Yogyakarta sendiri sampai dengan hari masih mendampingi petani yang keberatan dengan rencana pembangunan yaitu yang tergabung dalam WTT.
Rencana pembangunan ini jelas beresiko merampas lahan pertanian bagi para petani. Kegiatan Pertanian di sini berhasil dengan membudi dayakan lahan pesisir yang terdapat gumuk pasir, sehingga komoditas tanaman seperti cabai, semangka, melon, buah naga dan suyuran lainnya, bukan hanya untuk D.I Yogyakarta tapi juga luar daerah. Merupakan daerah lumbung pangan, yang menjaga ketahanan pangan.
Pada aspek perencanaan, jelas soal Rencana Bandara ini tak ada dalam aturan RTRW Nasional hingga Perda Provinsi. Bahkan kawasan pesisir Temon Kulonprogo juga dalam Perda RTRW Provinsi D.I Yogyakarta jelas sebagai kawasan lindung karena Rawan Bencana Alam. UU Kebencanaan jelas menegaskan sala satu upaya mengurangi resiko bahaya bencana tsunami adalah dengan tidak membangun sama sekali.
Pada aspek tahapan, proses perencanaan penting seperti penyusunan AMDAL hingga penerbitan Izin Lingkungan, hingga hari ini belum dilakukan. Padahal proses pembebasan lahan sebetulnya bagian juga dari dampak pembangunan yang jelas seperti diketahui telah timbul nyata konflik sosial.
Amburadulnya proses perencanaan yang terlihat serampangan tanpa ada AMDAL hingga Ijin Lingkungan ini, padahal proses pembangunan sudah mulai masuk proses pembebasan lahan yang merupakan tahapan pra-konstruksi. Terlihat dalam hal ini Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Negara) sangat ingin menguasai lahan terlebih dahulu, aspek lingkungan sosial urusan belakangan dan bisa diakali. Sehingga proses penyusunan nantinya sangatlah subjektif dari pemrakarsa dan terkesan prosedural semata, Tanpa perlu melibatkan warga yang digusur, untuk menyampaikan pendapat, persetujuan dan keberatan.
Padahal ruang konsultasi publik AMDAL sangatlah strategis bagi warga terdampak untuk mengetahui segala dampak penting pembangunan termasuk proses pembebasan lahan dan ganti ruginya. Terlebih sudah jelas wilayah pesisir Kulon Progo sudah ditetapkan sebagai wilayah potensi resiko bencana Tsunami.
LBH Yogyakarta juga menilai janji-janji ganti rugi seperti lahan pengganti untuk pertanian dan juga relokasi, sangat sulit untuk untuk diberikan oleh Pelaksana Pengadaan Tanah, atau sekedar isapan jempol belaka. Alasannya terkait dengan lahan pertanian pengganti sampai dengan hari ini, pihak Pemerintah D.I Yogyakarta sendiri tidak memiliki bank tanah guna dalam jumlah yang luas sebagai tempat rencana pengganti lahan bagi para petani di Temon Kulon Progo.
Selain itu juga menyangkut relokasi yang ditawarkan akan dipindahkan ke tanah kas desa, padahal menurut Pergub D.I.Yogyakarta Nomor 112 tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Kas Desa, Tanah Kas desa jelas merupakan objek yang diklaim juga sebagai tanah Pakualaman Ground. Sehingga kalaupun direlokasi bukanlah menjadi pemilik tetapi hanya menguasai.
Satu-satunya ganti rugi hanyalah ganti rugi dalam bentuk uang, tentu ini sulit bagi para petani yang sangat bergantung pada lahan. menjual tanahnya, bagi para petani sama saja seperti menjual ibunya sendiri. wajar jika konflik sosial di Kulon Progo Begiitu memanas. lantaran Petani sangat berat melepaskan tanah sebagai alat produksinya.
Berharap posisi tawar tinggi juga sangatlah sulit dalam proses negosiasi musyawrah ganti rugi. Prinsip penghormatan dan musyawarah ganti rugi yang setara, rasanya tak mungkin. Apalagi jika menilik proses-proses kebelakang yang selalu melibatkan aparat kepolisian, seringkali melakukan kekerasan dan intimidasi pada masyarakat seperti saat proses pematokan dan sebelum konsultasi publik. Seperti diketahui telah 4 orang warga pengurus WTT dikriminalisasi untuk terbitnya Ijin Penetapan Lokasi.
Jelas dengan model seperti ini, Para Petani tak akan mendapatkan pertambahan nilai dari proses pembangunan bandara baru. bukan menyejahterakan tetapi yang terjadi merampas tanah sebagai alat produkasinya.
Dengan perencanaan dan pelaksanaan pembebasan lahan yang amburadul seperti ini seharusnya presiden bisa mengevaluasi kembali rencana pembangunan, bukan malah mendesak percepatan proses dilapangan.
Statemen Presiden Jokowi yang sangat ingin pembangunan bandara di Percepat tanpa melihat amburadulnya proses dilapangan, menunjukan Keberpihakan Negara bukan untuk menyejahterakan rakyatnya, tetapi berpihak pada Investor seperti diketahui rencana pembangunan bandara merupakan bisnis patungan antara PT. Angkasa Pura dengan Perusahan GVK India.
Model Perusahaan patungan (Public Private Partnership/Kerjasama Publik dengan Swasta) seperti sangat lazim dilakukan pada seluruh proyek MP3EI yang dikritisi oleh Komnas HAM sangat sarat pelanggaran HAM.
Hormat Kami,
LBH Yogyakarta
Nara hubung :
Rizky Fatahillah (081329778358)
Yogi Zul Fadhli (0822105853347)
Wednesday, May 11, 2016
Deklarasi Perjuangan Warga Pesisir Selatan Kulon Progo
Catatan Kasus Terkini Perjuangan Warga Pesisir Kulon Progo
- Kasus Pertama: PPLP
Atas surat somasi tersebut, Suparno (46) menolak untuk melaksanakan isi surat yang ditujukan kepadanya. Pasalnya, terdapat beberapa alasan penting, yakni: Pertama, Keppres 33/1984, dan Perda DIY 3/1984, telah menjelaskan bahwa tanah SG/PAG sudah dihapuskan. Kedua, Suparno merasa tanah yang dikelolanya sebagai lahan pertanian tersebut, telah diusahai lebih dari seratus tahun secara turun temurun oleh keluarganya.
Karena menolak untuk melaksanakan isi surat somasi dari pihak PA, tak lama setelah itu, tepatnya November 2015, Suparno dkk mendapatkan informasi di balai Desa Karangwuni, bahwa pesisir Karangwuni akan disertifikasi menjadi PAG. Pengumuman itu juga memberitahukan bahwa jika terdapat keberatan dari masyarakat, maka diberi batas waktu selama 60 hari, untuk mengajukan surat keberatan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Selanjutnya, tanpa pernah diduga, pada tanggal 12 April 2016, Suparno dkk, mendapatkan surat panggilan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta. Surat tersebut menjelaskan bahwa Suparno dkk diminta sebagai pihak ketiga tergugat intervensi, dalam perkara antara Paku Alam X (penggugat) dengan BPN (tergugat) Kabupaten Kulon Progo. Suparno dkk bersama PPLP memutuskan menolak untuk menjadi pihak tergugat intervensi, dengan alasan: Pertama, ia menganggap bahwa perkara tersebut merupakan “drama” hukum yang tidak bisa diterima akal sehat. Hal ini karena menurutnya sama saja membenarkan adanya klaim SG/PAG, yang telah dihapuskan. Kedua, ia menganggap bahwa hal tersebut hanya menguntungkan pihak PAG dan negara.
Atas keputusannya tersebut, Suparno dkk kembali mendapat surat panggilan kedua dari PTUN Yogyakarta, dalam perkara serupa pada tanggal 3 Mei 2016, dengan nomor surat: W3.TUN 5/59/HK. 06/V/2016. Surat kedua ini juga direspon oleh Suparno dkk bersama PPLP dengan sikap “tetap” tidak menjadi dan “tidak” akan bersedia bergabung menjadi pihak tergugat intervensi.
2. Kasus Kedua: WTT
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Wates, Kulon Progo, pada hari Senin, 25 Mei 2015, menjatuhkan vonis terhadap 4 (empat) orang warga WTT (Sarijo, Wasiyo, Wakidi, Tri Marsudi) dengan hukuman 4 bulan hukuman kurungan penjara. Empat orang warga WTT tersebut dikenakan pasal 160 dan 170 KUHP, karena dianggap telah melakukan penghasutan dan perusakan Balai Desa Glagah.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa empat warga WTT tersebut adalah pejuang yang berani mempertahankan ruang hidupnya karena menolak rencana pembangunan bandar udara di tanah mereka sendiri, di pesisir Kulon Progo. Mereka merasa, rencana pembangunan bandara tersebut akan mendatangkan banyak kerugian terhadap mereka, misalnya: penggusuran lahan pertanian, penghancuran sistem perekonomian petani, memicu punahnya beberapa situs cagar budaya, meningkatnya angka pengangguran, lahirnya konflik sosial, dll.
Namun argumentasi yang dibangun oleh WTT harus berhadapan dengan beberapa keputusan Gubernur DI Yogyakarta yang berseberangan dengan kepentingan WTT. Pertama, Surat Gubernur DI Yogyakarta, nomor: 593/3050, perihal jawaban terhadap Penolakan Atas Keberatan Terhadap Rencana Lokasi Pembangunan Bandara Baru di Yogyakarta. Dalam surat keputusan ini, Gubernur menggunakan dasar berupa: Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan Pasal 36 ayat 4 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum, dan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015. Bagi kami, penerbitan keputusan tersebut merupakan tindakan illegal, karena tidak merujuk pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Propinsi DI Yogyakarta, yang di dalamnya tidak satupun menyebutkan tentang rencana pembangunan Bandara Baru.
Kedua, Surat Keputusan Gubernur, nomor: 68/KEP/2015, tanggal 31 Maret 2015 tentang Penetapan Lokasi Bandara Baru Yogyakarta, yang di dalamnya juga tidak merujuk pada RTRW Provinsi DI Yogyakarta. Atas keputusan Gubernur tersebut, WTT, selanjutnya, menggugat Gubernur di PTUN Yogyakarta, dan pada tanggal 26 Mei 2015, gugatan WTT dikabulkan.
Seperti diduga sebelumnya, atas putusan PTUN tersebut, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta menempuh upaya hukum tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Karena perkara tersebut digolongkan sebagai perkara yang menyangkut “kepentingan umum” dengan merujuk pada Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, maka pengajuan banding bisa langsung diteruskan ke tingkat kasasi di MA.
Melalui putusan dengan nomor register 456 K/TUN/2015, permohonan kasasi Gubernur DIY dikabulkan oleh MA pada tanggal 23 September 2015. Atas putusan ini, WTT tidak menyerah. WTT terus berjuang dengan menempuh upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Namun permohonan PK oleh WTT yang diajukan pada Senin, 18 April 2016, di PTUN Yogyakarta, ditolak. Penolakan oleh PTUN ini dilakukan dengan dasar Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2 tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam pasal 19 Peraturan MA ini berbunyi: putusan kasasi merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya hukum peninjauan kembali.
Terkait dengan putusan tersebut, kami, WTT, akhirnya menyadari bahwa hukum positif tidaklah mendatangkan keadilan. Oleh karenanya, agar tetap dapat melindungi ruang hidup yang telah kami bangun dan pelihara, maka selanjutnya kami memutuskan untuk membuat hukum kami, sendiri, yakni “hukum rakyat”.
Pandangan Situasi Terkini: Oligarki dan Penguasaan Sumberdaya Agraria di DIY
Pada rentang waktu antara akhir tahun 2010 hingga awal 2011, diskursus tentang Keistimewaan Yogyakarta mengalami satu fase yang disebut dengan puncak pembangunan opini publik. Hampir semua media massa baik lokal maupun nasional menjadikan pemberitaan keistimewaan sebagai headline dalam beberapa pekan. Terlepas dari berbagai sudut pandang dan polemik dalam pemberitaannya, media massa telah merekam di memori publik tentang sebuah transformasi politik kesultanan Yogyakarta dengan segala hiruk pikuk keheroikannya. Sayangnya dominasi politik kesultanan dalam kontestasi kepentingan perebutan kuasa atas sumberdaya alam jarang sekali dilihat sebagai satu catatan mengapa Yogyakarta menuntut keistimewaan.
Meski argumentasi sejarah dan peran politik Kesultanan dalam kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (di)muncul(kan) sebagai penguat dari ‘tuntutan’ keistimewaan, namun argumentasi tersebut tidak memicu proyeksi kritis atas apa yang akan terjadi ketika Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) ditetapkan sebagai payung hukum Kesultanan dan pemerintahan DIY. Selain itu, akan bermasalah jika sejarah Kesultanan dijadikan argumentasi keistimewaan, karena ia tidak bisa dilepaskan dari cerita tentang kolonialisme Belanda. Perjanjian Giyanti 1755 yang sebetulnya adalah cerita tentang politik penaklukan pemerintah kolonial Hindia Belanda atas kerajaan Mataram dalam rangka menguasai sumberdaya agraria, justru dijadikan sandaran utama untuk memperoleh status “istimewa” tersebut. Akan berbeda jika penglihatan atas keistimewaan diletakkan di tengah dinamika perubahan kapitalisme global hari ini. Sebab, menguatnya wacana keistimewaan DIY nyaris beriringan dengan narasi besar tentang pembangunan ekonomi Indonesia melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dikumandangkan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Meskipun rejim SBY telah berakhir, namun logika dasar yang dipakai oleh pemerintahan Jokowi melalui RPJMN tidak berubah sedikitpun.
Barangkali kita masih ingat di tengah perdebatan soal keistimewaan, George Junus Aditjondro pernah mengingatkan dalam satu tulisan yang dimuat harian Sinar Harapan tanggal 13 Januari 2011, yang secara gamblang menyebutkan bahwa “perdebatan soal keistimewaan Yogyakarta terlalu sempit jika hanya fokus pada penentuan siapa yang berhak menjadi gubernur dan wakilnya”. Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa UUK DIY membonceng kepentingan Sultan dan Pakualam untuk menghidupkan kembali tanah-tanah bekas swapraja di DIY dengan merujuk pada Rijksblad Kasultanan No. 16/1918 dan Rijksblad Kadipaten No. 18/1918. Kepentingan tersebut diperkuat dengan fakta-fakta soal jaringan bisnis keluarga Kasultanan dan Kadipaten yang telah menggunakan tanah-tanah Keraton “warisan” perjanjian Giyanti 1755.
Tulisan George ini mengingatkan kita pada apa yang disebut sebagai “oligarki kapitalis”. Sejalan dengan itu dalam konteks keistimewaan, Sultan Hamengkubuwono (HB) X menggabungkan kepentingan bisnis dan kepentingan politik-birokratik melalui sistem oligarki permanen yang diatur melalui UUK DIY. Itulah sebabnya perdebatan mengenai keistimewaan yang dikemas melalui gagasan otonomi daerah di tingkat provinsi pada dasarnya bukan merupakan isu teknis pemerintahan akan tetapi lebih kepada reorganisasi kekuasaan kesultanan Yogyakarta dalam penguasaannya atas sumberdaya material yang konkrit, yaitu sumber daya agraria.
Lalu apa yang terjadi setelah UUK DIY ditetapkan sebagai payung hukum pemerintahan dan kesultanan DIY? Dan apa hubungannya dengan berbagai paket kebijakan ekonomi Indonesia yang sepenuhnya dirancang semata-mata untuk melayani investasi besar? Untuk menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu kita bahas apa saja yang menjadi poin penting dalam UUK DIY yang kemudian diturunkan secara teknis dalam bentuk Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Yogyakarta.
UUK DIY mengatur lima kewenangan istimewa yaitu: pertama, tentang tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur;kedua, mengatur kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; ketiga, kebudayaan; keempat,pertanahan; dan kelima, tata ruang. Lima kewenangan tersebut jika dibaca secara cermat dengan kacamata ekonomi politik, kesultanan Yogyakarta sedang melakukan proses reorganisasi kekuasaan swapraja dengan mengamankan posisinya secara turun-temurun sebagai gubernur sekaligus raja yang diatur dalam UUK DIY.
Menariknya, selain sebagai raja sekaligus gubernur, nyatanya ia juga seorang pebisnis yang dapat menggunakan kewenangannya atas nama keistimewaan sebagai modal sosial, budaya, politik, dan ekonomi untuk kepentingan akumulasi bisnisnya. Hal itu terlihat dari beberapa rencana megaproyek yang hendak dibangun seperti pertambangan pasir besi di Kulon Progo serta beberapa bisnis perhotelan dan pariwisata di Yogyakarta yang melibatkan keluarga kesultanan dan kadipaten. Untuk memastikan kepentingan tersebut berjalan dengan aman dan terkontrol, ada proses yang disebut sebagai “dalil kelembagaan”.
Dalam hal kelembagaan, terbitnya UUK DIY menandakan suatu proses kemapanan diskursus keistimewaan. Bahkan mengalami peningkatan yang signifikan ketika para pembela dan pengusung keistimewaan berhasil melembagakan kekuasaannya melalui berbagai regulasi. Lima kewenangan yang akan diatur melalui Perdais inilah salah satu cara bagaimana oligarki tersebut membuat dalil-dalil kelembagaanya dalam melakukan praktik penguasaan atas sumberdaya agraria di DIY dengan menghidupkan kembali wacana dan legalisasi tanah-tanah swapraja, Sultanaat Gronden (SG) dan Pakualamanaat Gronden (PAG).
Konflik agraria atas nama SG dan PAG pun meluas pasca diberlakukannya UUK DIY. Tak hanya di beberapa wilayah pedesaan, bahkan merangsek hingga ke wilayah perkotaan. Diantaranya adalah seperti yang terjadi di pesisir Kulon Progo: a) perjuangan Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) dalam hal menolak rencana pembangunan pertambangan pasir besi, dan b) Wahana Tri Tunggal (WTT) dalam hal menolak rencana pembangunan bandara.
Atas fenomena tersebut, kami (PPLP dan WTT) memberikan catatan khusus, yakni: Pertama, bahwa perluasan perampasan ruang hidup warga di Yogyakarta ini terkait erat dengan skema megaproyek pembangunan skala luas yang saling terintegrasi. Megaproyek yang dimaksud adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dalam MP3EI, Yogyakarta ditempatkan sebagai wilayah pengembangan ekonomi yang bergerak dalam industri jasa Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE). Tak heran jika selanjutnya angka pertumbuhan hotel dan rencana pembangunan bandara baru beserta rencana infrastruktur pendukungnya menjadi isu utama belakangan ini di DIY. Kedua, reproduksi wacana SG dan PAG oleh HB X memiliki sejumlah kelemahan, di antaranya karena SG dan PAG sudah dinyatakan dihapus oleh HB IX lewat terbitnya Peraturan Pemerintah DIY Nomor 3 Tahun 1984 dan melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984 yang memberlakukan sepenuhnya UUPA di Yogyakarta.
Sepanjang perjalanan perjuangan yang telah kami lakukan, sedikitnya terdapat 5 orang anggota kami (PPLP dan WTT) yang telah dikriminalisasi karena menolak ruang hidupnya dirampas oleh kejahatan modal atas nama pembangunan dan keistimewaan. Dalam operasinya, lembaga pendidikan juga dilibatkan untuk memuluskan rencana pembangunan. Hal tersebut dapat terlihat seperti yang terjadi pada 8 tahun silam. Tepatnya pada hari Senin, 21 Juli 2008, saat rombongan petani dari pesisir Kulon Progo yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) menggeruduk Universitas Gadjah Mada (UGM). Mereka menuntut agar UGM membatalkan kerjasamanya dengan PT. Jogja Magasa Mining (PT JMM) yang hendak mendirikan proyek pertambangan pasir besi di wilayah pesisir Kulon Progo, lokasi di mana ribuan warga PPLP-KP bermukim dan bertani. Selain itu, PPLP-KP juga menyerukan perlawanannya terhadap Kasultanan dan Kadipaten Yogyakarta. Pasalnya, selain mengklaim bahwa tanah yang dikelola PPLP adalah milik Pakualaman (PAG), keluarga keraton dalam kasus tersebut juga dianggap oleh PPLP menjadi biang kerok lahirnya rencana penambangan. Seperti yang diketahui, PT. JMM -yang belakangan berubah namanya menjadi PT. JMI (PT. Jogja Magasa Iron)- adalah perusahaan yang didirikan oleh beberapa orang dari keluarga keraton.
Bahkan, hal ini belum ditambahkan dengan bagaimana tanah-tanah kas desa yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana dikatakan bahwa tanah kas desa menjadi aset desa dinyatakan tidak berlaku di Yogyakarta dengan berlakunya UUK. Seperti yang telah diberitakan oleh Kedaulatan Rakyat (KR) pada 10 Desember 2014 dengan judul “Tanah Plungguh Tetap Disertifikasi Sultan Ground”. Dalam berita tersebut Sultan mengatakan, “Ada tanah plungguh di DIY tetapi itu kan tanah SG. Saya tidak mau kalau disertifikatkan atas nama desa karena itu bukan haknya”.
Pernyataan HB X ini pun diamini oleh Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, Haryanta, yang menyatakan pihaknya akan menyisir tanah-tanah kas desa termasuk tanah plungguh untuk disertifikasi atas nama SG. Haryanta pun menganggap bahwa tanah plungguh memang awalnya merupakan bagian dari SG, karena Keraton Yogyakarta dianggap sebagai negara sendiri yang dulu menggaji perangkat desa dengan penghasilan tanah tersebut. Haryanta juga menambahkan bahwa “UU Desa harus disinkronkan dengan Undang-undang Keistimewaan yang tetap menjadi SG”. Hal ini menyiratkan secara kuat bagaimana konsolidasi dan penguasaan atas sumberdaya agraria di Yogyakarta dilakukan secara sistematis dan terstruktur.
Terkait fenomena di atas, seringkali kritik terhadap SG/PAG dikaitkan dengan wacana feodalisme. Namun, penggunaan istilah feodalisme dalam kasus perampasan tanah di DIY perlu dipertanyakan kembali. Menurut pandangan kami penggunaan istilah feodalisme tidaklah tepat. Salah satu argumentasinya adalah karena SG dan PAG sendiri adalah produk hukum pertanahan kolonial, yang didasarkan pada Rijksblaad No. 16 dan 18 tahun 1918; yang kemudian disebut sebagai tanah swapraja. Jadi, jika menyebutnya sebagai produk feodalisme, maka akan mereduksi sejarah kolonialisme di Yogyakarta dan (mengamini) seolah-olah SG dan PAG tersebut merupakan produk hukum pertanahan Kasultanan dan Kadipaten Pakulaman Yogyakarta yang merdeka.
Padahal, berdirinya Kasultanan dan Pakualaman adalah produk kolonial pasca terbitnya perjanjian Giyanti tahun 1755. Sebagaimana di dalam pasal 1 Perjanjian Giyanti 1755 disebutkan bahwa wilayah Mataram Kasultanan Yogyakarta adalah tanah pinjaman dari VOC. Selain itu dalam sudut pandang kami, istilah feodalisme kurang tepat untuk menggambarkan situasi yang terjadi di Yogyakarta. Akan lebih tepat, jika menyebut SG dan PAG adalah buah praktik kapitalisme kolonial. Oleh karena itu, bangkitnya wacana SG dan PAG atas nama UUK DIY dan keterlibatan keluarga keraton dalam beberapa proyek pembangunan menjadi sumber utama dari konflik agraria di DIY. Dengan demikian akan lebih tepat jika fenomena bangkitnya kekuasaan swapraja di DIY dilihat sebagai satu proses reorganisasi kekuasaan oligarki kesultanan di DIY dalam penguasaan sumberdaya agraria.
Terbangunnya oligarki di tingkat lokal sebagaimana di DIY merupakan akibat dari praktik gagasan desentralisasi pasca kebangkrutan Orde Baru. Dalam sistem ini, kepentingan lokal yang terdiri dari tokoh-tokoh daerah, para birokrat-politik dan pengusaha yang telah matang di bawah patronase Orba muncul sebagai suatu kekuatan dominan dalam kontestasi penguasaan sumberdaya lokal. Dengan demikian, transisi demokrasi 1998 yang awalnya diharapkan dapat mendatangkan kebaikan ternyata tidak memberikan perbaikan apapun bagi petani dan kaum miskin perkotaan.
Sebaliknya, kepentingan-kepentingan kelas dan kelompok dominan dapat diakomodasi dan dilindungi. Bahkan memberi ruang longgar bagi keberlangsungan akumulasi kapital. Barangkali, jatuhnya Suharto, sang “operator kapital” dengan gaya terpusat telah di-setting lama oleh bandit-bandit neo-liberal, agar ongkos produksi menjadi lebih murah. Karena mempertahankan model akumulasi kapital di bawah rejim Suharto, selain rawan oleh tekanan gelombang gerakan rakyat, juga terlalu mahal karena maraknya korupsi dan birokrasi yang njelimet. Ringkasnya, tidak efisien untuk perluasan geografi produksi dan akumulasi kapital.
Hal inilah yang mungkin menjadi ciri khusus yang membedakan dinamika perkembangan kapitalisme di Yogyakarta dengan kasus-kasus lain di Indonesia. Ia tidak berdiri di atas rezim kepemilikan, tapi ia berdiri di atas kekuasaan oligarki kesultanan. Tidak menutup kemungkinan, kesuksesan Yogyakarta dalam penguasaan sumberdaya agraria ini akan direplikasi di tempat lain. Sebab, sejak isu otonomi daerah dikumandangkan, beberapa (bekas) kerajaan, kesultanan, dan daerah-daerah swapraja kian gencar melakukan konsolidasi dalam rangka mengambil peluang dalam perebutan kuasa ekonomi dan perpolitikan lokal.
Setidaknya menurut kami, ada 6 asosiasi kerajaan yang di dalamnya terdapat lebih dari 100 kerajaan. Asosiasi-asosiasi tersebut diantaranya adalah Badan Pengurus Silaturahmi Nasional Raja dan Sultan Nusantara (BP Silatnas), Forum Komunikasi dan Informasi Keraton se-Nusantara (FKIKN), Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN), Yayasan Raja dan Sultan Nusantara (Yarasutra) dan Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Indonesia (AKKI). Karenanya, setidaknya ada dua poin penting yang dapat dijadikan acuan mengenai mengapa asosiasi-asosiasi tersebut dibentuk, diantaranya adalah, Pertama, mendesak pemerintah pusat agar keraton, kerajaan, kasultanan, puri, atau kedaton di seluruh Indonesia diberikan pengakuan dan pengakuan hukum berupa undang-undang. Kedua, mendesak agar di dalam UU Pemerintahan Daerah, UU Adat, UU Kebudayaan, dan UU Pertanahan harus jelas mencantumkan stakeholder yang terlibat, termasuk keraton, kerajaan, kesultanan, puri, atau kedaton sebagai kesatuan integral NKRI yang perlu dilindungi dan diatur hak dan kewajibannya.
Akhir kata, kami PPLP dan WTT, menyatakan sikap:
- Menolak rencana pembangunan Bandar Udara Kulon Progo tanpa syarat.
- Menuntut dicabutnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016.
- Menolak rencana pembangunan pertambangan pasir besi tanpa syarat.
- Menolak untuk dilibatkan sebagai pihak tergugat intervensi (kasus Suparno) dalam sengketa gugatan antara Paku Alam X dan BPN.
- Menolak Undang-undang Keistimewaan (UUK) tanpa syarat; karena bagi kami UUK telah mendorong meluasnya konflik agraria di provinsi DIY.
- Menolak legitimasi SG/PAG dalam ruang hidup kami.
- Menolak Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) dan Wahana Tri Tunggal (WTT)
Friday, May 06, 2016
Aksi Menolak Lupa Konflik Agraria
Wednesday, May 04, 2016
Ke UII, Ganjar Pranowo Dituntut Menyelesaikan Konflik Agraria Jateng
(Solidpress.co, Kampus Terpadu UII) Aksi damai ratusan mahasiwa yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Peduli Agraria menolak kedatangan Ganjar Pranowo untuk datang ke Universitas Islam Indonesia (UII) yang berlangsung pada senin (02/04) di sekitar gedung Kahar Muzakir. Aksi tersebut merupakan aksi dari kekecewaan mahasiswa atas banyaknya konflik agraria yang masih belum terselesaikan di Jawa Tengah dan masih berlangsung hingga hari ini.
Aksi tersebut juga telah diizinkan oleh Wakil Rektor III UII Abdul Jamil setelah sebelumnya berkoordinasi dengan Nurcholis Ainul RT selaku Koordinator Umum (Kordum) aksi tersebut. “Saya mendukung anda (massa aksi) untuk berdemo dengan syarat tidak menghalangi jalan masuknya ini (kampus) dan harus tertib,” ujar Jamil saat berada di tengah-tengah aksi tersebut.
Aksi tersebut berlangsung hingga malam hari dan mengubahh arah menuju sebelah barat gedung Auditorium Kahar Muzakir. Aksi tersebut juga diwarnai aksi teatrikal yang diusung oleh beberapa mahasiswa Arsitektur UII. Setelah berorasi di sekitar area tersebut, akhirnya Ganjar Pranowo menemui mahasiswa yang telah dari sore hari ingin menyampaikan aspirasi mereka. Pertemuan tersebut diawali dengan pembacaan tuntutan aksi yang telah disiapkan oleh massa aksi dan dibacakan oleh kordum dengan lantang menggunakan megaphone berwarna merah.
Ganjar Pranowo selaku gubernur menyampaikan bahwa ia tidak datang dalam maksud mempolitisasi kampus.
“Saya hadir malam ini atas undangan TV One dan saya menghormati undangan tersebut untuk hadir pada acara malam ini.” Dia juga menambahkan adapun konflik agraria yang terjadi di Urutsewu, kabupaten Kebumen, yang melibatkan petani dan militer masih dalam tahap penyelesaian.
“Sekarang dokumennya sudah jadi. Sebentar lagi finalisasi dan kita berikan kepada presiden. Persoalan itu ada di tingkat BPN, kabupaten, dan konflik yang muncul adalah soal kepemilikan.
Seluruh kopi sertifikat yang ada sudah di tangan saya. Berikutnya, tinggal kita sampaikan keputusan politik karena ini sudah sampai di Komisi I DPR. Tinggal kita menentukan keputusan yang ada di pusat,” ujarnya.
Salah seorang massa aksi juga mempertanyakan keberpihakkan Ganjar Pranowo terhadap kerusakan lingkungan di Rembang. Ganjar mengatakan bahwa ia berpihak kepada ahli yang pernyataannya dapat dipertanggung jawabkan. “Ahli yang mempunyai kemampuan di bidang itu dan dapat dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Kordinator Umum Aksi, Nurcholis Ainul R.T, yang saat ditemui usai aksi tersebut merasa cukup puas dengan aksinya karena Ganjar bersedia menemui massa. Akan tetapi, ia merasa jawaban Ganjar masih terkesan normatif. Oleh karena itu, ia merasa harus tetap mengawal isu agraria di Jawa Tengah. “Akan terus memantau bagaimana kebijakan Ganjar Pranowo dan perjuangan kita tidak sampai di sini,” imbuhnya. Mahasiswa Teknik Informatika UII ini juga menyampaikan perlu adanya pertemuan kembali untuk aliansi ini mengingat pada belum ada pertemuan untuk kelanjutan tentang bagaimana pengawalan kasus tersebut.
Pada pertemuan tersebut juga dititipkan kenang-kenangan yang berupa data-data tentang konflik agraria yang terjadi di Jawa Tengah dan sebuah lukisan yang menggambarkan Ganjar Pranowo dengan giginya yang seperti drakula dan lambang PT. Semen Indonesia di dahinya, sementara tangannya menggenggam petani. Lukisan itu dilukis dengan latar pabrik yang mengepulkan asap. Pada akhir aksi tersebut, Ganjar juga menyampaikan terima kasih kepada massa aksi yang telah menolak kedatangannya.
“Saya sangat mengapresiasi teman-teman yang ingin menolak kedatangan saya dan juga sebaliknya (yang menyambut kedatangan saya -red). Bagi saya kritik adalah vitamin ,” tutupnya malam itu.
(Alfin Fadhilah)
http://www.solidpress.co/ke-uii-ganjar-pranowo-dituntut-menyelesaikan-konflik-agraria-jateng/
Tuesday, May 03, 2016
Rilis Pers Aksi Menolak Lupa Konflik Agraria di UII
(Solidpress.co, Kampus Terpadu UII) Senin (2/5) Aliansi Mahasiswa Peduli Agraria mengadakan aksi untuk menolak kedatangan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Universitas Islam Indonesia. Seperti yang diketahui, Ganjar Pranowo diundang sebagai narasumber dalam acara salah satu televisi swasta. Berikut di bawah ini adalah rilis pers dari aksi “Menolak Lupa Kasus Konflik Agraria” tersebut.
Aliansi Mahasiswa Peduli Agraria
Siaran Pers
Konflik-konflik agraria yang banyak terjadi di Jawa Tengah penyelesaiannya masih jauh dari harapan, Terbukti dari berlarut-larutnya konflik yang terjadi. Sudah banyak yang menjadi korban karena konflik agraria ini, utamanya adalah para petani yang mana mata penghidupannya terambil, Kekayaan sumber daya yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, diprivatisasi oleh golongan tertentu. Sementara rakyat hanya menerima ampas nya saja, kerusakan lingkungan, kehilangan penghidupan, hingga tak tahu lagi apa yang mau diwariskan. Jangankan mewariskan kepada turunannya, mendapat penghidupan yang layak untuk diri sendiri saja menjadi mustahil karena hadangan korporat.
Konflik lahan yang terjadi di Jawa Tengah diantaranya terjadi di Rembang, antara petani dengan PT Semen Indonesia. Di Pati, antara petani dengan anak perusahaan PT Indocement yakni PT Sahabat Mulia Sakti. Di Batang, antara petani dengan pemerintah dan PT Bhimasena Power Indosesia yang akan membangun PLTU. Di Wonogiri, antara warga dengan PT. Batik Keris. Konflik di Urutsewu, Kebumen melibatkan petani dengan militer. Di Cilacap, antara petani dengan PT Perhutani dan TNI. Di Banyumas, antara petani dengan PT Perkebunan Nusantara X. Di Sragen, antara petani dengan PT Perkebunan Nusantara XI. Di Kendal, antara warga dan petani dengan PT Perhutani, dan di Gombong, Kebumen antara petani dengan PT Semen Gombong. Konflik ini sampai sekarang belum terselesaikan.
Ganjar Pranowo selaku Gubernur Provinsi Jawa Tengah tak acuh dengan sikap “konstitusional”-nya. Melemparkan konflik-konflik agraria ke pengadilan begitu saja tanpa pengawalan, menunjukkan ketidakberpihakannya kepada rakyat. Kampanye yang digadang-gadang pada saat pencalonannya hanyalah upaya penarik simpati rakyat. Sedikit mengingatkan ketidak-konsistenan dari Ganjar, berikut adalah beberapa misi pada kampanyenya:
1.Membangun Jawa Tengah berbasis ekonomi rakyat dan kedaulatan pangan.
2.Memastikan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Satu hal yang paling penting untuk diketahui, Senin 2 Mei 2016 Ganjar akan datang ke Universitas Islam Indonesia (UII) dalam acara Suara Rakyat yang diadakan oleh TV ONE. Aliansi Mahasiswa Peduli Agraria dari gabungan mahasiswa beberapa universitas yang ada di Yogyakarta akan menggelar aksi di Kampus Pusat UII dalam rangka bersolidaritas kepada petani-rakyat di Jawa Tengah.
Dengan demikian, Aliansi Mahasiswa Peduli Agraria pun membawa empat tuntutan, yaitu:
1.Tolak Kedatangan Ganjar Pranowo ke Universitas Islam Indonesia
2.Tolak Intervensi Politik Praktis Masuk Kampus
3.Selesaikan Konflik-konflik agraria yang ada di Jawa Tengah
4.Pemerintah sebagai aparatus negara harus bersikap membela rakyat dan berhenti melakukan tindakan represif ke rakyat dengan militernya dalam menangani konflik agraria.
5.Tegakkan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 dengan sebenar-benarnya, serta tegas memasukannya dalam politik negara.
Bersama ini, kami juga mengajak kepada seluruh mahasiswa, khususnya seluruh mahasiswa yang menggali ilmu di D.I. Yogyakarta dan mahasiwa seluruh Indonesia dan rakyat di sektor lainnya untuk bersama-sama memberikan dukungan dan solidaritasnya. Kami pun berharap akan kehadiran Media yang Bapak/Ibu Pimpin untuk meliput dan menyebarkan Berita Aksi Aliansi Mahasiswa Peduli Agraria tersebut.
Hidup Rakyat Indonesia! Hidup Petani Indonesia! Jayalah Agraria!
D.I. Yogyakarta, 30 April 2016
Aliansi Mahasiswa Peduli Agraria
(Narahubung: 081930433137)
http://www.solidpress.co/rilis-pers-aksi-menolak-lupa-konflik-agraria-di-uii/
Monday, May 02, 2016
May Day dan Reforma Agraria
May Day adalah peringatan hari buruh sedunia. Persitiwa bersejarah bagi kaum buruh. Banyak buruh yang ditangkap dan mati pada peristiwa yang berlangsung pada tahun 1886 itu.
Pada saat itu seluruh kaum buruh menuntut pemberlakuan delapan kerja dalam sehari. May Day adalah sejarah kelam bagi kelas buruh, sekaligus juga menjadi penanda titik balik kebangkitan kelas buruh yang mampu memenangkan tuntutan delapan jam kerja.
Saat ini, May Day diperangati menjadi hari perjuangan kelas buruh yang tertindas di dalam sistem kapitalisme ini. Di Indonesia peringatan May Day merupakan peringatan atas peristiwa bersejarah guna menciptakan perjuangan yang lebih revolusioner menuju pembebasan kaum buruh dari penindasan kapitalisme.
Dalam aksi peringatan may day tahun ini, reforma agraria menjadi salah satu tuntutan kaum buruh selain tuntutan-tuntutan yang lainnya seperti Hapus outsourcing, Cabut PP 78/2015 dan tolak reklamasi. Hal tersebut menandakan bahwa perjuangan kaum buruh dan tani Indonesia tidak dapat dipisah-pisahkan, karena menghadapi persoalan dasar yang sama, yaitu penindasan yang dilakukan oleh para pemilik modal.
Di daerah pedesaan kaum tani menghadapi perampasan lahan yang diakukan oleh perusahaan-perusahaan besar pemegang konsesi. Sehingga para petani tidak lagi mempunyai lahan untuk bertani, anak-anak petani tidak lagi menjadi petani karena ketiadaan lahan ini, akibatnya mereka menjadi buruh upahan di perusahaan pemegang konsesi tersebut atau pergi ke kota untuk menjadi buruh di perusahaan manufaktur.
Arus urbanisasi menjadi tidak terbendung beberapa tahun terakir seiring dengan tersingkirnya rumah tangga tani dari lahan garapan mereka. Tenaga produktif pedesaan terlempar dari desa, tanah mereka dirampas, pertanian menyusut dan tidak menguntungkan karena ketiadaan reforma agraria.
Setelah menjadi buruh upahan, apakah nasib mereka menjadi lebih baik? Mari kita lihat aksi-aksi buruh telah dilakukan selama ini. Tuntutan utama yang selalu disuarakan adalah soal perbaikan dan kenaikan upah. Upah riil yang selama ini diterima oleh kaum buruh tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Di rumah tangga petani, buruh tani (tani yang tidak mempunyai lahan atau mengerjakan lahan milik orang lain) atau tani yang mempunyai lahan kurang dari 0,2 hektar tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidupnya.
Persoalan diatas diperparah dengan kebijakan-kebidjakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Proyek infrastruktur yang digaungkan sejak pemerintahan SBY hingga Jokowi saat ini sangat berorientasi pada perluasan ekspansi modal dan kemudahan distribusi komoditas yang dihasilkan dari eksploitasi alam dan tenaga kaum pekerja Indonesia, juga berdampak parah bagi kaum tani yang tanahnya dirampas, juga berdampak pada kerusakan lingkungan yg semakin parah. Belum lagi biaya infrastrur ini juga mengandalkan hutang negeri yg semakin memposisikan dominasi modal internasional, dominasi negara negara imprealis atas rakyat Indonesia
Pentingnya Reforma Agraria sebagai salah satu solusi perbaikan nasib bangsa Indonesia harus terus dilakukan bukan hanya dari kaum tani pedesaan, tetapi juga oleh kaum buruh, warga perkotaan dan seluruh kalangan rakyat. Dengan melakukan penataan ulang sumber-sumber agraria, tenaga produktif di pedesaan tidak akan lagi terlempar kota, taraf kehidupannya juga akan naik seiring dengan kemampuannya mengolah dan bertani.
KPA mendukung penuh perjuangan kaum buruh dalam menuntut upah layak dan mendorong agar pemerintah menjalan program industrialisasi nasional dengan dibarengi program reforma agraria. Platform perjuangan kaum buruh dan tani harus terus disatukan demi terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera.
http://www.kpa.or.id/news/blog/may-day-dan-reforma-agraria/