Mujahadah yang digelar petani, pemuda Urutsewu dengan partisipasi penuh kaum ibu dan perempuan angkatan muda desa Entak [Ambal], pada Rabu [25/6] ternyata direspons luar biasa oleh warga. Pilihan bermujahadah yang digelar di kawasan pesisir #Urutsewu, yakni di situs Gunung Gede atau yang disebut pula Gunung Tugel; ternyata memiliki landasan historis tersendiri.
Malam dengan bulan sesisir yang dicekam dingin udara musim bediding pun tak menyurutkan langkah ratusan orang menuju situs yang dipercaya merupakan tempat yang dijadikan pesanggrahan raja Mataram islam; Sultan Agung Hanyokrokusumo dengan tambahan gelar Khalifatullah Sayiddin Panatagama itu. Situs Gunung Gede ini disebut pula Gunung Tugel karena pada mulanya merupakan sebuah gunung pasir [gumuk] besar yang terbelah dua oleh sungai buatan di tengahnya.
Ihwal keberadaan sungai di zona antara cekungan sebelah selatan desa Entak dengan pesisir dukuh Pranji ini, memang cukup unik. Letak geografisnya di pertengahan antara dua sungai besar di Kebumen selatan, yakni Lukulo di sisi barat dan Wawar di sisi timur. Di bagian barat Gunung Gede ini lah ditemukan sebuah makam tokoh dan pejuang islam Urutsewu bernama Syech Nurul Dzuhur.
Sedangkan diantara dua bukit yang terpisah sebentang pedukuhan ini ada satu situs lagi yang konon dahulunya merupakan pura pemujaan seorang Brahmana pada masa Mataram Hindu. Situs pura ini disebut Sigong yang pernah beralih fungsi jadi mushola sekaligus menandai runtuhnya kerajaan Mataram Hindu digantikan Mataram Islam.
Mujahadah Konsolidasi
Pemagaran kawasan pesisir oleh TNI-AD, di mata petani, bukan saja dipandang sebagai proyek pretisius bernilai milyaran rupiah yang rawan kebiasaan bagi-bagi fee bancakan. Tetapi juga merupakan tindakan membabi-buta dari fihak yang kehilangan akal sehatnya!
Betapa tidak, saat masyarakat Urutsewu selama bertahun-tahun melakukan penolakan pemanfaatan pesisir untuk latihan tembak dan ujicoba senjata berat, fihak militer malah membangun pagar sejak dua tahun terakhir ini.
Terakhir, pemagaran yang dilakukan Senin [22/6] dengan menggali parit-parit bakal fondasi pagar yang menerjang lahan-lahan holtikultura milik petani desa Entak; merupakan tindakan provokatif yang melukai nurani sosial masyarakat pesisir. Pemagaran hari itu juga dilakukan serentak di 2 desa lainnya, yakni di pesisir Wiromartan [Mirit] dan pesisir Kaibon Petangkuran [Ambal]; dengan pengawalan aparat militer.
Masyarakat desa Entak yang juga mejadi bagian dari penolakan pemagaran kawasan pesisir, geram juga dibuatnya. Ekspresi penolakan itu pun diujudkan dalam gelar mujahadah di situs yang melegendakan awal kebangkitan kerajaan Mataram Islam di Jawa. Sejak di sebelah barat ditemukan makam keramat Syech Nurul Dzuhur sekitar 4 tahun lalu, tempat itu pun bakal dibangun pesanggrahan mengingat dahulunya juga merupakan tempat mesanggrah Sultan Agung. Pada siang sebelum bermujahadah, petani dan pemuda telah mempersiapkan semuanya.
Ternyata mujahadah berlangsung hinga dinihari. Diantara massa yang datang ke tempat sunyi itu, diketahui ada puluhan warga yang datang dari desa-desa lainnya. Yakni dari Ayamputih, Setrojenar, Brecong, Ambalresmi, Kaibon Petangkuran, Kaibon, Lembupurwo dan Wiromartan juga. Hadir pula keturunan dari tokoh pejuang islam Urutsewu yang dikenal sebagai ibunda Pipin.
Secara faktual, mujahadah itu dimanfaatkan pula sebagai ajang konsolidasi untuk menyatukan niatan masyarakat Urutsewu dalam berjuang memerangi kebatilan di wilayahnya..
0 comments:
Post a Comment