Tuesday, May 05, 2015

Pemagaran Pesisir Urutsewu ditolak Petani



Tindakan brutal militer dalam bentuk yang lain, yakni pemagaran pesisir Urutsewu kini mendapat perlawanan rakyat terutama di desa pesisir Lembupurwo, Kecamatan Mirit, Kebumen selatan. 

Puluhan pemuda dan petani pesisir melakukan aksi terkait penolakan pemagaran itu, Senin [4/5]. Beberapa spanduk penolakan dipasang di berbagai titik. Situasinya mirip ketika terjadi penolakan terhadap masuknya tambang pasirbesi di desa sebelahnya, Wiromartan. Pesisir desa Lembupurwo juga masuk dalam areal zona tambang berikut 5 desa pesisir Mirit lainnya.

Di pesisir yang sekaligus diwacanakan sebagai calon areal tambang pasirbesi ini pula muncul klaim fihak militer sebagai pemilik tanah, meski pun berulangkali kenyataan ini diingkari sendiri oleh pejabat militer. Beberapa tahun yang lalu, yakni pada tahun 2011 saat wacana masuknya investor tambang pasirbesi masuk pesisir Mirit; warga menemukan indikasi kuat adanya konspirasi jahat yang mengancam ekologi pesisir. 

Dalam dokumen riset pra Amdal pt. Mitra Niagatama Cemerlang [MNC] disebutkan adanya rekomendasi tanah TNI-AD seluas 318,42 Ha yang direkomendasikan masuk calon zona tambang. Di sisi lain, fihak TNI-AD melakukan klaim atas pesisir Urutsewu sepanjang 22,5 Km mencakup 500 meter dari garis air sepanjang pesisir; sebagai tanah hankam. Padahal dibentang itu jelas-jelas terdata sebagai tanah “pemajegan”, tanah-tanah yang dibayarkan pajaknya oleh petani, bahkan sejak zaman kolonial Hindia-Belanda. Disamping tanah milik petani pesisir, di zona itu juga terdapat tanah banda desa, tanah bengkok, tanah makam dan tanah brasengaja yang merupakan konservasi sabuk hijau pesisir.

Pemuda dan Rakyat Melawan

Pemuda dan rakyat petani pesisir desa Lembupurwo kini benar-benar bangkit diatas kesadaran untuk melindungi dan menyelamatakan pesisir mereka dari ancaman klaim militer dan ancaman lainnya. 

Di desa lainnya bahkan fihak militer yang tetap bersikukuh membenarkan klaimnya atas pesisir Urutsewu, dianalogikan petani setempat sebagai “hama sepaton”. Sebuah idiom budaya yang sama sekali tak enak buat didengar. Perlawanan secara kultural juga tak putus dilakukan petani pesisir Urutsewu yang menolak pemagaran itu.

Pemuda dari berbagai dukuh di Lembupurwo, yakni dukuh Lengkong, Aglik, Mliwis, Pejaten, dan Dukuh tlogogunung; kini melancarkan penolakan pemagaran pesisir di wilayah desa mereka. 

Koordinator aksi tolak pemagaran, Suhud, menegaskan aksi pemuda dan warga bahkan juga ibu-ibu petani desa Lembupurwo merupakan bentuk penolakan dan perlawanan murni rakyat. Tak ada yang memprovokasi sebagaimana acapkali dituduhkan ketika masyarakat berdemo. Hal ini juga ditegaskan oleh tokoh pemuda lainnya, Puniyo, bahwa masyarakat menolak pemagaran pesisir yang dilakukan TNI-AD dengan dalih apa pun. 

Jika fihak TNI-AD tak juga menghentikan tindakan membabi-buta melanjutkan pemagaran sepanjang pesisir, tak habis pikir. Apa yang selanjutnya bakal terjadi di sana. Tindakan pemagaran pesisir ini sendiri, pada kenyataannya justru memprovokasi perlawanan. 

Protes Pemerintah Desa 

Protes dan penolakan atas tindakan pemagaran pesisir Urutsewu juga pernah dilakukan, setidaknya oleh 11 Kepala Desa di kawasan pesisir Urutsewu, dengan cara menghadap dan menyampaikan penolakan ke Bupati. 

Atas protes para Kades ini, Bupati menyatakan tak mengetahui ihwal pemagaran pesisir; juga tidak diberitahu. Sehingga dalam kaitan ini, Bupati merasa tak berwenang untuk menyikapinya. 

Kepala Desa Lembupurwo, Bagus Wirawan, tak bisa bersikap lain kecuali mengikuti kehendak mayoritas warganya dalam menolak pemagaran yang melintasi lahan pertanian dan tanah banda desa juga. 

Di mata masyarakat, persoalan ini tak bisa diserahkan penyelesaiannya kepada pemerintah, sehingga ke depan rakyat harus bertindak sendiri...

 

0 comments:

Post a Comment