Jalan Anyer-Panarukan
membentang dari ujung barat sampai ujung timur Jawa. Memakan ribuan korban,
namun menjadi jalur penting hingga sekarang.
Lukisan Herman Willem Daendels menginspeksi pembangunan Jalan Anyer-Panarukan.
Foto: KITLV.
HENDRI F. ISNAENI
Jum'at 22 Mei 2015 WIB
HERMAN Willem
Daendels menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda selama tiga tahun
(1808-1811). Dalam waktu relatif singat itu, dengan tangan besinya berhasil
membangun di berbagai bidang, baik untuk kepentingan ekonomi maupun pertahanan
karena ditugaskan mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Namun,
pembangunan monumental dan melekat padanya adalah Jalan Anyer-Panarukan atau
Jalan Raya Pos yang panjangnya mencapai seribu kilometer.
Kendati menyebut proyek Jalan
Anyer-Panarukan sebagai genosida karena menelan ribuan korban, sastrawan
Pramoedya Ananta Toer mengakui, dibandingkan pada masanya jalan itu sama dengan
jalan Amsterdam–Paris. Pembangunannya yang hanya setahun (1808-1809) satu rekor
dunia pada masanya. “Sejak dapat dipergunakan pada 1809 telah menjadi
infrastruktur penting, dan untuk selamanya,” tulis Pram dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
Berikut ini 10 fakta yang belum banyak
diketahui orang tentang pembangunan Jalan Anyer-Panarukan.
1. Nol (0) Kilometer
Anyer-Panarukan
Di sekitar Mencusuar Anyer yang
terletak di Desa Tambang Ayam, Kecamatan Anyer, Serang, Banten, terdapat tapal
yang menandai titik awal pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. Tidak diketahui
pasti siapa dan kapan pembuatannya. Sejarawan Universitas Indonesia, Djoko
Marihandono, merasa heran dengan tapal tersebut. “Saya masih mempertanyakan nol
kilometer yang ada di Anyer Banten sebagai titik awal pembangunan
Anyer-Panarukan,” kata Djoko kepada Historia.
Selain itu, Djoko yang menulis
disertasi tentang sentralisasi kekuasaan Daendels di Universitas Indonesia pada
2005, juga merasa prihatan karena dalam tapal tersebut “tahunnya saja salah.”
Pada tapal persegi empat itu tertulis: “0 KM Anjer-Panarukan 1806 AKL.”
Padahal, Daendels baru mendarat di Anyer pada 5 Januari 1808.
Dari Anyer ke Batavia, Daendels
menempuh perjalanan selama empat hari. Pada musim hujan, jalan-jalan itu tidak
layak dilewati. Sementara jalur laut tidak mungkin dilaluinya karena ancaman
armada Inggris yang sudah mengepung pulau Jawa. Rute jalan Anyer-Batavia (Anyer-Cilegon-Serang-Tangerang-Batavia)
sudah ada sebelumnya. Sehingga Daendels hanya memerintahkan untuk memperkeras
dan memperlebarnya. Setelah diperkeras dan dilebarkan, Anyer-Batavia dapat
ditempuh dalam waktu sehari.
“Pekerjaan ini mudah saja karena medannya
datar. Hambatan hutan-belantara sepanjang lebih kurang 40 km dapat diatasi
tanpa kesulitan berarti. Demikian juga dengan ruas jalan Batavia-Buitenzorg
(Bogor),” tulis Pram.
2. Kepentingan Ekonomi, Lalu Militer
Menurut Pram, bukan kebetulan bila
Daendels memerintahkan pembangunan jalan Anyer-Batavia sebagai prioritas utama.
Dengan adanya jalan ini secara teoritis tentaranya akan segera dapat
didatangkan dari Batavia bila Inggris menyerbu.
Namun, menurut Djoko, pembangunan jalan
Anyer-Panarukan lebih termotivasi oleh kepentingan ekonomi, selanjutnya
militer.
“Daendels mengeluarkan besluit (keputusan) bahwa tujuan pembangunan
jalan itu untuk dua kepentingan, yaitu membantu penduduk dalam mengangkut komoditas
pertanian ke gudang pemerintah atau pelabuhan dan untuk kepentingan militer.
Tapi, dia mendahulukan kepentingan pertama karena memang daerah di sekitar
Bogor sangat subur dan menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Namun, jalan
dari Batavia hanya sampai Cisarua, dari Cisarua hanya jalan kecil, banyak
belokan, dan sebagainya,” ujar Djoko.
Selain mempertahankan Jawa dari
Inggris, Daendels juga harus mendanai pemerintahannya terlebih bisa setor ke
kas pemerintah di Belanda. Dan komoditas andalannya adalah kopi yang ditanam di
Priangan.
Daendels memang berhasil mengamankan
jalur hubungan antara Bogor dan Batavia sebagai pelabuhan produk-produk ekspor.
Setelah Inggris memblokade jalur ke pelabuhan Batavia, dia mencari alternatif
pelabuhan lain yaitu di Cirebon dan Tegal. Namun, pengangkutan kopi dari Bogor
lewat Batavia menuju Cirebon terkendala pemberontakan Bagus Rangin yang
berkobar di Cirebon karena penetrasi ekonomi Tionghoa dan pembuangan Sultan
Kanoman oleh VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur).
Dari hasil pemantauannya, Daendels
mendapati jalan yang ada antara Bogor-Cirebon hanya sebatas jalan kecil dan
tidak memungkinkan untuk pengangkutan komoditas dalam jumlah besar. Dia
kemudian menugaskan komandan pasukan zeni Kolonel von Lutzow untuk melakukan pemetaan
jalur Bogor-Cirebon.
Hasilnya, jalur pembangunan Bogor-Cirebon yang akan
ditempuh: Cisarua-Cianjur, Cianjur-Rajamandala, Rajamanadala-Bandung,
Bandung-Parakanmuncang, Parakanmuncang-Sumedang, dan Sumedang-Karangsembung.
Sebagian besar proyek pembangunan jalan raya ini ditujukan untuk memperbaiki
dan menghubungkan jalan-jalan desa yang telah ada.
3. Kerja Upah
Daendels memutuskan pembangunan jalan
Bogor-Cirebon yang berjarak 150 km, pada 25 April 1808 dan pengerjaannya
dimulai awal Mei 1808. “Dalam membuat jalan yang sulit dan menembus
gunung-gunung tinggi ini dikerahkan 1.100 tenaga kerja paksa,” tulis Pram.
Namun, menurut Djoko, pekerjaan
pembuatan jalan raya Bogor-Cirebon dilakukan atas dasar kerja upah karena
Direktur Jenderal Keuangan van Ijsseldijk menyiapkan dana untuk upah pekerja
dan mandor, peralatan, dan konsumsi atau ransum. “Untuk membangun jalan dari
Cisarua, Bogor sampai Cirebon, Daendels menyediakan dana sebanyak 30.000
ringgit ditambah dengan uang kertas yang begitu besar,” kata Djoko.
Pemberian upah didasarkan pada beratnya
lokasi yang ditempuh seperti batuan padas, hutan lebat, lereng bukit atau
gunung, keterjalan lokasi dan sebagainya. Rinciannya antara lain rute
Cisarua-Cianjur (10 ringgit perak per orang/bulan), Cianjur-Rajamandala (4
ringgit perak per orang/bulan), Rajamanadala-Bandung (6 ringgit perak per
orang/bulan), Bandung-Parakanmuncang (1 ringgit perak per orang/bulan),
Parakanmuncang-Sumedang (5 ringgit perak per orang/bulan), dan
Sumedang-Karangsembung (4 ringgit perak per orang/bulan). Selain upah, para
pekerja juga mendapatkan beras dan garam.
“Sistem pembayarannya, pemerintah
memberikan dana kepada para prefek (jabatan setingkat residen) lalu diberkan
kepada para bupati. Ini buktinya ada. Sedangkan dari bupati ke para pekerja,
tidak ada buktinya. Bisa jadi ada tapi belum saya temukan. Apakah para bupati
membayarkannya atau tidak kepada pekerja, itu urusan lain. Jadi bukan kerja
paksa karena diberi upah,” ungkat Djoko.
4. Pekerja Dari Luar Bogor-Cirebon
Rincian pekerja untuk pembangunan jalan
Bogor-Cirebon antara lain Cisarua-Cianjur (400 orang), Cianjur-Rajamandala (150
orang), Rajamanadala-Bandung (200 orang), Bandung-Parakanmuncang (50 orang),
Parakanmuncang-Sumedang (150 orang), dan Sumedang-Karangsembung (150 orang). Perbedaan
jumlah pekerja tersebut disesuaikan dengan panjangnya jalan dan beratnya medan.
“Sebagian besar para pekerja tersebut
dikerahkan dari luar daerah Bogor-Cirebon, terutama dari Jawa karena penduduk
sekitar sudah diberikan tugas untuk meningkatkan produksi kopi,” kata Djoko.
Daendels menaruh perhatian besar
terhadap kopi sampai-sampai dia mengangkat inspektur jenderal khusus tanaman
kopi yang dijabat oleh Von Winckelman. Selain kopi, dia juga memperhatian padi.
Kendati bukan komoditas ekspor, padi sangat diperlukan untuk menjamin pasokan
pangan bagi masyarakat terutama di kota-kota besar seperti Batavia dan
Surabaya.
Oleh karena itu, menurut Pram, Daendels
memerintahkan pembangunan jalan Bogor-Cirebon sehabis panen kopi dan padi. Jauh
sebelumnya wajib tanam kopi (koffie stelsel) telah dikenakan di
Priangan dan harus menjualnya kepada Kompeni untuk membiayai pemerintahannya.
“Priangan paling cocok tanaman kopi. Dan untuk melancarkan perekonomian
Kompeni, jalan ekonomi perlu ditingkatkan. Digabungkan dengan keperluan
pertahanan, jalan ekonomi juga dibuat jadi prasarana militer,” tulis Pram.
5. Di Bawah Pimpinan
Militer
Mulanya proyek jalan Bogor-Cirebon ini
akan diserahkan kepada Komisaris Urusan Pribumi, namun Daendels menyadari
medannya tidak mungkin bisa ditangani oleh pekerja biasa. Peralatan yang dibawa
para kuli tidak memadai, terlebih banyak batuan padas di lereng-lereng bukit
sehingga tidak mungkin bisa dihancurkan dengan peralatan pertukangan. Selain
itu, para pekerja juga terancam binatang buas.
Oleh karena itu, Daendels memutuskan
proyek ini akan ditangani oleh militer dengan penanggungjawab Kolonel von
Lutzow. Komandan zeni ini bertanggungjawab menyediakan peralatan dan
persenjataan berat seperti meriam untuk meruntuhkan batuan-batuan padas maupun
alat pengangkutnya.
6. Dimulainya Kerja Wajib
Setibanya di Karangsembung, timbul
persoalan. Selain dana habis untuk membayar pekerja maupun untuk perbaikan dan
perawatan jalan, sebagian dari tanah-tanah di sekitar Karangsembung yang akan
dijadikan jalan, milik Sultan Cirebon. Daendels kemudian menekan Sultan agar
menyerahkan tanahnya demi kepentingan pembangunan jalan. Sultan membebaskan
tanahnya karena Daendels menjanjikan jalan itu bisa digunakan untuk mengangkut
kopi yang juga memberikan pemasukan kepada Sultan.
Namun, menurut Pram, residen
Cirebon sendiri juga “mengajukan permohonan agar pekerjaan diteruskan melewati
karesidenannya. Selanjutnya demikian pula halnya dengan Residen Pekalongan. Dan
jalan Raya Pos pun semakin panjang, hanya sekarang memantai.”
Untuk menyiasati kehabisan dana,
Daendels mengumpulkan semua penguasa pribumi termasuk para bupati di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, di rumah residen Semarang. Dia menyampaikan maksudnya
untuk melanjutkan pembangunan jalan raya dari Cirebon sampai Surabaya. Daendels
meminta kepada mereka agar menyediakan tenaga kerja dengan menggunakan sistem
kerja yang berlaku pada masyarakat yaitu heerendiensten, kerja wajib untuk raja.
“Prinsip kerja wajib itu karena
penduduk menempati tanah milik raja, maka wajib hukumnya untuk memberikan upeti
kepada raja. Ini dipakai oleh Daendels untuk memerintahkan para bupati agar
mengerahkan penduduknya untuk bekerja,” kata Djoko.
Jalur Cirebon-Surabaya yang akan
ditempuh di sepanjang pantai utara Jawa dengan pertimbangan bahwa semua itu
adalah tanah-tanah pemerintah, sehingga tidak akan mengganggu wilayah raja-raja
pribumi. Atas kesediaan para bupati, proyek penggarapan jalan itu dilanjutkan.
7. Mengapa ke
Panarukan?
Ketika berkunjung ke Surabaya pada awal
Agustus 1808, Daendels melihat bahwa jalan dari Surabaya perlu diperpanjang ke
timur. Tujuannya bahwa wilayah Ujung Timur (Oosthoek) merupakan daerah yang
potensial bagi produk tanaman tropis selain kopi, seperti gula dan nila. Di
samping itu ada kemukinan perairan di sekitar selat Madura memberikan peluang
bagi pendaratan pasukan Inggris. Untuk itu, dia memerintahkan F. Rothenbuhler,
pemegang kuasa (gesaghebber) Ujung Timur sebagai
penanggungjawab pembangunan jalan Surabaya sampai Ujung Timur yang dimulai pada
September 1808.
Titik akhir jalan di Ujung Timur
terletak di Panarukan, dan tidak dibangun hingga Banyuwangi. Pertimbangannya
Banyuwangi dianggap tidak memiliki potensi sebagai pelabuhan ekspor. Sedangkan
Panarukan dipilih karena dekat daerah lumbung gula di Besuki dan dengan
tanah-tanah partikelir yang menghasilkan produk-produk tropis penting.
8. Tonggak atau Paal
Daendels telah memerintahkan
pembangunan jalan dari Ujung Barat (Anyer) sampai Ujung Timur (Panarukan) yang
jaraknya mencapai 600 paal (1 pal = 1,5 km) atau hampir 1.000
kilometer. Direncanakan jalan ini mencapai lebar dua roed (1 roed =
3,767 m2) atau jika medan memungkinkan lebarnya 7,5 meter. Setiap 400 roed (1 roed =
14,19 meter) harus dibuat satu tonggak (paal).
Menurut Pram, setiap jarak 150,960 meter harus didirikan tonggak untuk jadi
tanda jarak dan juga tanda kewajiban bagi distrik (kawedanaan) dan penduduknya
untuk memeliharan jalan tersebut.
“Jalan-jalan yang sudah selesai diberi
tanda dengan ukuran paal. Makanya di daerah-daerha yang
dilewati jalan ini kebanyakan namanya berawalan Pal seperti Pal Merah, Pal
Meriam, Pal Sigunung,” kata Djoko.
9. Peraturan Jalan
Raya Pos
Setelah Jalan Anyer-Panarukan selesai,
Daendels mengeluarkan tiga peraturan terkait dengan pengaturan dan pengelolaan
jalan raya ini. Peraturan pertama dikeluarkan pada 12 Desember 1809 berisi
aturan umum pemanfaatan jalan raya, pengaturan pos surat dan pengelolaannya,
penginapan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kereta pos, komisaris
pos, dinas pos dan jalan.
Peraturan kedua keluar pada 16 Mei 1810 tentang
penyempurnaan jalan pos dan pengaturan tenaga pengangkut pos beserta
gerobaknya. Peraturan ketiga tanggal 21 November 1810 tentang penggunaan pedati
atau kereta kerbau, baik untuk pengangkutan barang milik pemerintah maupun
swasta dari Jakarta, Priangan, Cirebon, sampai Surabaya.
10. Genosida
Daendels
Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan
hingga kini masih menjadi perdebatan. Di satu pihak pembangunan Jalan Raya Pos
itu sangat dipuji, tetapi di lain pihak juga dicaci karena mengorbankan banyak
nyawa manusia.
Pram menegaskan bahwa pembangunan Jalan
Anyer-Panarukan adalah salah satu genosida dalam sejarah kolonialisme di
Indonesia. “Menurut sumber Inggris hanya beberapa tahun setelah kejadian Jalan
Raya Pos memakan korban 12.000 orang,” tulis Pram.
Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 1,
musuh-musuh Daendels membandingkan pembangunan Jalan Anyer-Panarukan dengan
Piramida Mesir. Dampak jalan raya itu ternyata jauh melampaui perkiraan
Daendels. Jalan ini telah memenuhi harapan Daendels sebagai sarana ekonomi
kolonial. Meski tidak memungkinkan untuk menahan pendaratan Inggris, namun
jalan ini mengubah secara besar-besaran kondisi ekonomi dan kehidupan di Jawa.
Jalan ini mempersingkat waktu tempuh: Batavia-Surabaya dapat ditempuh dalam
lima hari; pengiriman pos Batavia-Semarang hanya memerlukan 5-6 hari,
sebelumnya memakan 14 hari di musim kemarau atau tiga minggu sampai sebulan di
musim hujan.
Jalan ini memunginkan pengembangan dan komersialisasi
produk-produk perkebunan. Jalan ini juga menciptakan sebuah kelompok sosial
penting, yaitu kaum pedagang perantara. Terakhir dan terutama, jalan raya ini
menimbulkan pergerakan penduduk yang berpengaruh ke segala bidang.