Monday, March 04, 2019

KPA: Jokowi Sertifikasi Tanah, Luput Soal Redistribusi Lahan

Reporter: Budiarti Utami Putri | Editor: Juli Hantoro
Senin, 4 Maret 2019 14:28 WIB

Presiden Joko Widodo berdialog dengan warga saat Penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat di Gelanggang Remaja Pasar Minggu, Jakarta, Jumat 22 Februari 2019. Dalam kesempatan itu Presiden membagikan 3000 sertifikat tanah kepada warga. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria melaporkan hasil tinjauan dan evaluasi pelaksanaan program reforma agraria selama empat tahun pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi - Jusuf Kalla ke Ombudsman Republik Indonesia. KPA terutama menyoroti proses target redistribusi lahan yang berasal dari konsesi Hak Guna Usaha (HGU) yang kadaluwarsa dan ditelantarkan pengusaha serta dari pelepasan klaim kawasan hutan.
"Presiden Jokowi sedikit sekali bahkan luput menjelaskan soal redistribusi tanah," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika di kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Senin, 4 Maret 2019.
Menurut Dewi, pemerintah selama ini terlalu berfokus pada program sertifikasi tanah. Dia mengatakan program pembagian sertifikat tanah memang penting untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pemilik lahan. Namun, sertifikasi hanya bagian dari program reforma agraria secara keseluruhan.

Pemerintah Jokowi - JK sejak awal mencanangkan program reforma agraria dengan 9 hektare. Rinciannya, sebanyak 400 ribu hektare dari redistribusi tanah HGU yang kadaluwarsa dan ditelantarkan perusahaan, 4,1 juta hektare dari pelepasan klaim kawasan hutan, 3,9 juta hektare legalisasi aset, dan 600 ribu hektare legalisasi tanah-tanah transmigrasi yang belum disertifikatkan.

Menurut data capaian reforma agraria yang dipaparkan Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Oktober lalu, kata Dewi, redistribusi tanah dari HGU baru terealisasi sebanyak 270.237 hektare. Namun, dalam catatan KPA, baru 785 hektare yang diredistribusikan sesuai prinsip dan tujuan reforma agraria.

Dewi mengatakan lahan 785 hektare itu merupakan hasil redistribusi lahan di empat desa, yaitu Desa Mangkit di Sulawesi Utara, Desa Pamegatan dan Pasawahan di Jawa Barat, dan Desa Tumbrek di Jawa Tengah. Dewi berujar desa-desa ini adalah wilayah konflik agraria masyarakat dengan HGU swasta.
"Penerima manfaatnya betul-betul petani dan masyarakat kecil di pedesaan, yang selama puluhan tahun mengalami ketidakadilan dan telah memperjuangkan haknya atas tanah," kata Dewi.
Dewi mengatakan, pemerintah harus menjalankan reforma agraria dengan lebih serius dan konkret. Dia berujar reforma agraria tak bisa dijalankan hanya dengan mensertifikatkan tanah seperti yang selama ini dilakukan pemerintahan Jokowi.

Dewi juga menekankan agar agenda ini tak sebatas berhenti sebagai ajang saling menyerang antara dua kubu di pemilihan presiden 2019. 
"Harus ada keseriusan, langkah konkret, apalagi kalau sekadar berbalas pantun terkait pilpres, kami khawatir ini hanya jadi debat kusir politik saja," kata Dewi.
Presiden Jokowi sebenarnya telah meneken Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria pada September tahun lalu. Perpres itu mengatur penyelenggaraan reforma agraria dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah terhadap Tanah Objek Reforma Agraria melalui perencanaan dan pelaksanaan reforma agraria.

Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih mengatakan Ombudsman bakal mengevaluasi pelaksanaan reforma agraria yang telah dicanangkan pemerintah. Dia mengatakan, Perpres Reforma Agraria itu sudah berjalan enam bulan sehingga lembaganya bisa melakukan evaluasi.

"Setelah ini kami akan mengundang beberapa pihak terkait untuk melihat persoalan terkait kinerja," kata Alamsyah di kantornya, Senin, 4 Maret 2019.

Sumber: 

Tempo.Co 

0 comments:

Post a Comment