7 Jan 2019 12:04 WIB
Gunawan Wiradi. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Selama dua jam mengobrol, lima batang rokok mentol habis
di tepi bibir Gunawan Wiradi. “Saya sambil merokok ya,” tanyanya sopan tiap
kali hendak menyulut kreteknya. Kami tak keberatan. Apa saja untuk membuatnya
betah bercerita.
Saat ini, GWR—panggilan Gunawan Wiradi—berusia 86 tahun.
Meski begitu, pikirannya masih nyalang tiada dua, terutama soal reforma agraria
yang sedari masa kuliahnya di pertengahan dekade 50an telah menjadi minat
khusus akademik yang ia pilih. Pada 2009 lalu, ia mendapatkan gelar honoris
causa dari tempatnya dulu mengajar, IPB. GWR juga sempat menjadi ketua tim
penguji UU Pokok Agraria yang terbit di era Sukarno.
“Dulu, 1958, fakultas pertanian sini (IPB) dapat jatah satu kali simposium. Saya masih mahasiswa, kebetulan diminta jadi ketua simposium, diskusi mengenai RUU-UUPA (Undang-undang Pokok Agraria),” tuturnya saat ditemui kumparan di Sajogyo Institute, Bogor, Senin (24/12).
“Waktu itu pertanyaan paling dasar itu dua, apa landasan filosofi UU Agraria kita? Yang kedua, bagi bangsa Indonesia, tanah itu milik siapa? Milik Tuhan? Individu? Negara? Atau milik siapa?”
Ia melanjutkan kisahnya, bahwa pembahasan agraria saat
itu merumuskan bahwa tanah adalah milik bersama seluruh bangsa, bentuk
komunalisme desa yang diangkat ke tingkat nasional. Ia juga berulang-ulang
menekankan pemikiran Mohammad Hatta—yang tak cuma wakil presiden namun juga
salah satu ekonom Indonesia paling masyhur.
“Menurut Bung Hatta, bagi bangsa Indonesia tanah bukan barang dagangan,” katanya. Sayang, suara tuanya kemudian melemah mengutarakan kegamangan lanjutan, “Sekarang kan jadi dagangan.”
Tentu yang ia ceritakan tak hanya itu. Ia juga
menjelaskan sejarah reforma agraria di Indonesia, bagaimana reforma agraria di
sebuah negara seharusnya dijalankan, dan apakah kondisi tak sesuai harapan saat
ini adalah salah Jokowi.
Sertifikasi Tanah untuk Siapa? (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Bagaimana reforma agraria di sebuah negara bisa berhasil?
Nah berdasar pelajaran dari Jepang dan beberapa
literatur, syarat dari reforma agraria adalah:
1. Kemauan
politik. Tapi kan untuk mau harus ngerti, harus tau. Ya mau, tapi mau apa? Jadi
harus diikuti pemahaman.
2. Organisasi
rakyat harus kuat.
3. Data
mengenai masyarakat agraria harus teliti dan cermat.
4. Birokrasi
tidak boleh korup.
5. Militer
harus mendukung.
6. Syarat
terakhir itu elit politik harus terpisah dari elite bisnis.
Lah sekarang semua menteri bisnis gimana? Itulah poin
pertama, persyaratan agar reforma agraria berhasil.
Kemudian poin kedua. Apa itu konstruksi program yang bernama
reforma agraria? Pertama, harus punya time frame. Tadi itu program sekian
tahun, Jepang 4 tahun, Taiwan 5 tahun, India 5 tahun, Mesir 7 tahun. Bukan
nggak ada batasnya—itu omong kosong.
Apa implikasinya? Implikasinya, pelaksanaannya itu
sifatnya adhoc. Keputusan pertemuan FAO di Roma Tahun 1979, program reforma
agraria itu bukan kerja rutin. Kerja programatik, ada proyek 5 tahun misalnya.
Ya sudah, lembaganya begitu ini selesai bubar, lalu dievaluasi. Yang ini kan
nggak karuan.
Tahap reforma agraria itu apa saja sih? Yang dilakukan
pemerintah saat ini sudah benar, dengan fokusnya bagi-bagi sertifikat itu?
Sertifikasi itu langkah terakhir. Dari dulu proses antara
tahun 1960 sampai 1965 itu yang dilakukan, membangun kondisi dulu ada istilah
pengukuran desa lengkap, yang mengukur rakyat sendiri dengan panitia.
Dipetakan aja dulu, ‘Oh ini timpang, terus
dimusyawarahkan.’ Itu dijawab dengan UU Nomor 1956 yang dikenal sebagai UU Land
Reform. Kalau begitu tanah kelebihannya dikuasai pemerintah walaupun dengan
kompensasi, terus dibagi. Setelah selesai, baru sertifikat.
Nah sekarang kalo sertifikat lebih dulu itu latar
belakang secara hukum ya betul, tapi itu hukum tulisan. Supaya apa? Saya mau
menggusur Anda. Saya kapitalis nih, nggak punya sertifikat nanti saya kena,
jadi punya sertifikat dulu supaya bisa ikut dulu. Latar belakangnya itu.
Yang sekarang mempunyai kebijakan agraria. Tapi jangan mengklaim itu reforma agraria. Karena reforma agraria tidak begitu.
- Gunawan Wiradi soal kebijakan agraria pemerintah saat ini
Apalagi keragaman daerah begitu. UUPA sendiri sudah
membagi. Kalau mau memperbaiki pembagian ini silakan. Seharusnya ada pembagian
batas margin minimumnya. Untuk daerah terpadat seperti Pulau Jawa disebut
maksimum 5 hektar dan itu bukan kepemilikan, penguasaan.
Artinya, kita satu keluarga, saya kepala rumah tangga
sudah punya 3 hektar. Jadi anda akan dapat jumlahnya 2 hektar sehingga keluarga
ini bukan yang di hulu. Satuannya rumah tangga, satu rumah tangga itu maksimum
menguasai 5 hektar. Atau menyewa boleh, tapi jumlah penguasaannya tetap 5
hektar.
Ada daerah setengah padat, ada tidak padat, dan itu ada
rumus-rumusnya. Nggak ada yang sampai ke sana melihatnya.
Pandangan Anda soal
program reforma agraria yang saat ini dilakukan pemerintahan Jokowi?
Kalau saya, boleh setuju boleh tidak, silakan dalam
kondisi yang sekarang mempunyai kebijakan agraria. Tapi jangan mengklaim itu
reforma agraria. Karena reforma agraria tidak begitu. Dan di negara manapun
tidak begitu.
Ada fundamental framework yang, apakah mau model
sosialis, apa mau model kapitalis, atau neo populis. Kita itu modelnya apa?
Nggak jelas. Dan ini bukan salahnya Jokowi, sebelumnya juga sama saja. Mau land reform
model kapitalis? Ada. Amerika juga pernah melakukan land reform tapi model
kapitalis. Atau yang model sosial, ada land reform model neo populis. Kita
nggak jelas model apa, pelaksanaannya bagaimana.
Di Pulau Jawa, neo populis nggak berlaku. Sudah terlalu
padat. Hutan-hutan nggak ada. Kalau untuk luar Jawa mungkin masih berlaku.
Neo populis itu asumsi dasarnya hutan itu masih open
frontier, jadi masih terbuka. Sehingga ketika petani ini anaknya banyak, ‘Wah,
tanahnya kurang,’ dia buka hutan. Jadi kalau untuk Afrika itu masih relevan.
Sehingga besarnya anggota keluarga menentukan besarnya tanah. Itu neo populis.
Kalau kita di Jawa dalil itu nggak berlaku, sudah nggak
cocok. Yang mirip neo populis itu bahwa di sini ada pemerataan, itu saja.
Karena kalau neo populis yang murni ya supaya rata nggak ada batas minimum.
Jadi Jepang, Korsel, nggak ada batas minimum.
Tapi itu kan bukan daerah khatulistiwa ya, jadi usaha
tani di sana beda dengan kita. Di Jepang itu waktu land reform tahun 1946
maksimum satu hektar. Jadi samurai-samurai itu kelabakan. Samurai itu kan
ksatria yang menguasai banyak.
Korea selatan maksimum tiga hektar. Kalau kita begitu
padat kok maksimumnya lima hektar. Ini karena hitungan zaman 1960, jumlah
penduduk indonesia kan 90 juta, sekarang udah 250an, sudah padat sekali.
Reform without social transformation.- Gunawan Wiradi, soal reforma agraria di Indonesia
Jadi saat ini masih
jauh dari kata bagus ya?
Jadi kalau ditanya bagaimana sikapnya program mengenai
agraria Jokowi ini saya enggak bisa memberi tuntunan apa-apa, kecuali dua hal.
Satu, sadar bahwa ini bukan reforma agraria yang genuine. Yang kedua, sehingga
yang bisa dilakukan memanfaatkan peluang itu saja. Memanfaatkan peluang yang
membela rakyat.
Dari sejarah awalnya reforma agraria itu intinya adalah
mengubah struktur penguasaan tanah khususnya untuk kepentingan buruh tani,
petani tak bertanah, dan sebagainya, untuk kurang lebih mengurangi ketimpangan.
Nah sekarang sudah ransum. Reform without social transformation. Indonesia
termasuk itu.
Jadi ini bukan salahnya Jokowi, bukan salahnya siapa. Ini
kesalahan proses sejarah tadi.
Kesalahan sejarah
bagaimana?
Tahun 1958 ketika perkebunan dinasionalisasi sesuai
dengan amanat Bung Hatta bahwa tanah objek land reform yang pertama adalah
perkebunan besar. Karena tanah-tanah perkebunan itu dulu milik rakyat.
Ketika ini, dengan sendirinya Angkatan Darat, ‘Wah, ini
nanti kalau yang jadi penguasa (komunis), buruh-buruh perkebunan di situ
komunis ini.’ Akhirnya apa tahun 1958 itu? Nasionalisasi perkebunan itu semua
administratornya militer, termasuk ABRI ini dulu saya ikut ambil alih pakai
merah putih bambu runcing. Selesai, administratornya mayor.
Jadi ini pergolakan permainan politik.
Ketika Orde Baru lahir, bicara agraria dituduh komunis.- Gunawan Wiradi
Sehingga dulu PKI, lihat di sana militer semua, mundur
dia. Dia mundur, ganti dengan membangunkan konflik internal desa, 7 Setan Desa
dan sebagainya. Itulah permainan-permainan politik yang menyebabkan masalah
tanah itu runyam sekali.
Ketika Orde Baru lahir, bicara agraria dituduh komunis.
Sehingga profesor pun tiarap, nggak berani ngomong. Petani apalagi. Sehingga
hasil hasil penelitian lapangan itu kurang bisa dipercaya. Petani takut kalau
ditanya soal tanah.
Sejak Orde Baru sampai dengan zaman SBY ini nggak karuan
masalah tanah ini.
Dulu Gus Dur kalau nggak meninggal gitu mungkin
(dibenahi), karena dia pernah pidato di Hotel Indonesia 40 persen perkebunan
besar dari distribusi. Tapi ngomongnya kan nggak sistematis.
Zaman Habibie juga sebenarnya banyak yang lupa. Begitu
naik, Habibie membentuk panitia untuk menilai ulang rencana land reform,
diketuai oleh Profesor Muladi, ahli hukum dari Semarang. Anggotanya 80 orang,
belum sempat kerja, Habibie jatuh. Itulah perkembangan sejarahnya.
Lalu zaman SBY periode pertama mengangkat Pak Joyo Winoto.
Dia sebetulnya bagus, tapi begitu diangkat jadi ketua BPN, menabrak-nabrak.
Akibatnya dia punya konsep, reforma agraria terdiri dari asset reform dan access
reform. Makin rancu ini. Pelaksananya lain kan. Dan semua pelaksananya lembaga
rutin, kementerian kan. Saya tidak menyalahkan Pak Joyo Winoto, karena reform yang
genuine itu memang berat.
0 comments:
Post a Comment