Wednesday, February 24, 2016

Menautkan Tani dan Tragedi

Oleh Bagas Yusuf Kausan




Selepas memperingati Hari Kemerdekaan pada Bulan Agustus, bangsa Indonesia dihadapkan pula dengan serentetan peristiwa dan momen penting yang berlangsung pada Bulan September. Dari rangkaian peristiwa tersebut, setidaknya terdapat dua momen penting yang bernada pilu dan menyebalkan bagi keberlangsungan hidup dan keberlangsungan hajat orang banyak. Dua peristiwa tersebut ialah; Peringatan Hari Tani Nasional dan Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Pada umumnya, kita akan memandang dua momen tersebut merupakan serangkaian peristiwa yang berlainan dari segi waktu terjadinya, dan berlainan pula dalam hal konten yang terkandung di dalamnya. Atau dalam artian, bahwa dua momen yang terjadi pada Bulan September tersebut, sama sekali tidak memiliki hubungan dan keterkaitan apapun—yang dengan itu, membuat kedua momen tersebut menjadi banal di mata khalayak ramai. Namun jika dicermati lebih jeli, rangkaian peristiwa tersebut memiliki garis hubung dan keterkaitan yang cukup erat—yang berasal-muasal dari tragedi berdarah tahun 1965.
Jika diurutkan berdasarkan tanggal-tanggal momen itu terjadi—yang disadur dari penanggalan kalender masehi, maka Peringatan Hari Tani Nasional pada tanggal 24 September akan lebih dahulu diperingati—sebelum pada tanggal 30 September 1965—sebagai waktu terjadinya tragedi berdarah yang pada umumnya, akan diperingati dan dikenal sebagai peristiwa G30S. Namun dalam hal ini, pengurutan terjadinya momen-momen tersebut, lebih didasarkan pada konteks peristiwa dan momen mana yang lebih dulu terjadi—yang dengan itu, turut berdampak dan membuat hubungan keterkaitan dengan momen sesudahnya.
Untuk itu, tulisan ini bermaksud untuk mencoba menjabarkan dan mengaitkan momen-momen yang telah disebutkan di atas, agar menjadi narasi utuh tentang kelam nya Bulan September dan menjadikan momen-momen yang telah digabungkan tersebut, menjadi penggedor penyelesaian masalah di masa lalu—yang hingga saat ini, tak kunjung terselesaikan. Disamping itu, apabila proyeksi penawaran penggabungan dan pengaitan fragmen tersebut diterima, maka penggabungan momen-momen lainya—yang terbebas dari  pengkategorian berdasarkan bulan, dapat diperluas dan diperbanyak dimensinya—yang nyatanya, sama-sama disebabkan oleh tragedi berdarah pada tahun 1965—yang berdampak luas ke segala arah dan bidang. Seperti dalam hal Gerakan Perempuan, ekologi, politik, ekonomi, Hak Asasi Manusia, kebudayaan, sistem agraria yang timpang, maupun kelompok epistemik-kritis.
Berawal di ‘65
Belum lama ini, beberapa portal media online mengabarkan tentang pernyataan Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, yang menjamin akan menyelesaikan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada tahun 1965[i]. Wiranto yang kerap dikaitkan sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan masa lalu (Semanggi 1, Semanggi 2, dan Trisakti), tentu mendapat cibiran dan keraguan atas kemampuan dan komitmen nya terhadap penyelesaian kasus di masa lalu. Mengingat, telah banyak usaha dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh berbagai pihak—termasuk hasil sidang dan rekomendasi International People’s Tribunal—yang sama-sama berkeinginan untuk menyelesaikan kejahatan masa lalu; namun selalu kandas, berlarut-larut, dan akhirnya kembali mentok tanpa penyelesaian. Dimensi politis yang berkelindan dalam kasus 1965, tentu dapat dipahami sebagai salah satu faktor utama kebuntuan penyelesaian kasus tersebut. 51 tahun kasus 1965 berlalu, rezim pemerintah silih berganti, namun penyelesaian kasus tersebut, lagi dan lagi, selalu gagal untuk diselesaikan secara fair dan menyeluruh. Maka dari itu, pernyataan Menkopolhukam tersebut, tak dapat diberi kepercayaan berlebih. Mengapa demikian? Hal ini tentu mengundang sebuah pertanyaan lanjutan, yaitu “Sebenarnya, apa yang terjadi pada tahun 1965?”.

Sejak kecil hingga tumbuh dewasa, isi pikiran kita selalu direcoki dan dipaksakan untuk menerima kenyataan sejarah, bahwa pada tahun 1965, telah terjadi upaya makar yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia—terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian usaha pemberontakan PKI tersebut, dibumbui pula dengan adegan perilaku orang-orang komunis, yang tercitrakan sangat bejad, amoral, dan tak percaya terhadap Tuhan. Mereka dengan bengisnya, diceritakan telah membunuh elit jenderal TNI dengan cara-cara yang keji dan seolah melebihi keganasan binatang. Itulah kenyataan sejarah yang selama ini terpatri dalam otak kita. Kengerian tersebut, semakin dalam bersemayam di tempurung otak, setelah sekian lama—kita diharuskan untuk menonton film Penghianatan G30S/PKI, besutan sutradara Arifin C. Noer. Indoktrinasi secara visual melalui film, ternyata, bukan merupakan satu-satunya jalan untuk membentuk memori kolektif masyarakat atas kejadian pada tahun 1965. Terdapat beragam produk lainya, yang sama-sama didomplengi kepentingan rezim militeristik Soeharto—untuk membentuk memori kolektif bangsa Indonesia tentang tragedi 1965, yang penuh dengan kengerian dan kejahanaman Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965. [ii]
Pasca meletus nya reformasi 1998, dan arus informasi alternatif mulai mudah untuk diakses, perlawanan atas narasi sejarah tentang tragedi 1965, mulai bermunculan ke permukaan. Meskipun sebenarnya, narasi tandingan telah muncul jauh sebelum itu—bahkan ketika Soeharto masih kokoh tersenyum di singgasananya. Akan tetapi, narasi-narasi tandingan tersebut, baru mendapatkan momentum tepatnya, manakala rezim Soeharto runtuh oleh gelombang massa rakyat. Namun demikian, meski narasi tandingan, rekomendasi, dan kenyataan kebenaran kian terungkap—pencarian kebenaran masa lalu, selalu saja sulit ditemukan dan diselesaikan. Terlebih, mengingat watak pemerintahan kita saat ini, yang sejatinya
tidak bergeser jauh dari watak otoriter rezim Soeharto—yang sama-sama di dominasi para avonturir berseragam loreng hijau, yang juga merupakan aktor utama kejahatan masa lalu. Berkaca pada kenyataan semacam ini, ketika desakan, tekanan, penerbitan narasi tandingan, kenyataan sejarah, hingga fakta-fakta terbaru yang tak terbantahkan tentang tragedi 1965—namun tak kunjung digubris dan diselesaikan oleh negara, maka menimbulkan beberapa refleksi dan pertanyaan tambahan. Yaitu, “Mengapa penyelesaian tragedi 1965, tak kunjung terselesaikan? dan proyeksi macam apa yang perlu digarap masyarakat, demi kebenaran sejarah masa lalunya, yang terbebas dari campur-tangan penyelesaian masa lalu ala pemerintah—yang terbukti selalu alot dan macet?”.
Kiranya, kita perlu untuk memulai sebuah konstruksi masa lalu tentang Tragedi 1965, yang tidak hanya bercerita tentang gontok-gontokan nya para elit nasional, pembunuhan massal terhadap orang-orang komunis, simpatisan komunis, para nasionalis-kiri, para sukarnois, dan elemen masyarakat progresif lainya—ataupun cerita tentang pembunuhan di lubang buaya semata. Spektrum Tragedi 1965, perlu diperluas seluas-luasnya, dengan mengaitkannya pada momen-momen penting sesudahnya dan mengaitkan pula Tragedi 1965, dengan kondisi rill kehidupan kita saat ini—yang kian hari kian terjepit oleh kecenderungan wajah pemerintah, yang sangat bergantung pada logika neo-liberal. Ikhtiar ini, bukan bermaksud untuk mengesampingkan kenyataan pahit para korban kejahatan berat tahun 1965. Namun, proyeksi ini justru dimaksudkan untuk memperkuat medan politis dan kekuatan penuntutan penyelesaian masa lalu, yang tidak terkotak-kotak pada tema-tema tertentu semata. Karena pada kenyataannya, hanya ada satu peristiwa dan satu kelompok kekuatan saja yang menyebabkan semua hal ini dapat terjadi. Yaitu, Tragedi 1965 dan naiknya Soeharto menjadi Presiden Indonesia—setelah sebelumnya melancarkan kudeta merangkak terhadap Bung Karno, dengan bantuan lembaga-lembaga internasional yang berkepentingan di Indonesia[iii].
Mengingat banyaknya dampak dan akibat yang dihasilkan dalam Peristiwa tahun 1965, maka upaya ini, perlu pula menimbang skala yang akan dimainkan. Untuk itu, sebagai ikhtiar awal, maka proyeksi ini hanya akan berskala kecil—dengan mencoba mengaitkan Tragedi 1965, melalui naiknya Soeharto ke tampuk kepemimpinan nasional—dengan Peringatan Hari Tani Nasional.
Kilas Balik: Jalan Panjang Hari Tani Nasional
Tanpa melalui penulusuran sejarah, sekilas, Tragedi 1965, tak akan dianggap memiliki keterkaitan dengan perayaan Hari Tani Nasional—yang saban tahun, terus terselenggara dengan corak seremonial belakanya. Maka menjadi penting pula bagi kita, untuk memahami terlebih dahulu latarbelakang Perayaan Hari Tani Nasional tersebut. Yang nantinya, akan coba ditautkan dengan peristiwa pada tahun 1965—yang terutama, berkaitan dengan pergeseran kursi pemerintahan dari Orde Lama ke Orde yang dianggap Baru.
Berbicara mengenai Hari Tani Nasional, maka tidak bisa tidak untuk mengaitkannya dengan pengesahan UU Pembaharuan Agraria Tahun 1960. Karena dasar dari ditetapkannya tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional—berangkat dari pengesahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang jatuh pada tanggal 24 September. Sementara UUPA 1960 sendiri, merupakan manifestasi dari kebijakan pemerintah yang pro-petani dan sebagai upaya pemerintah untuk mengganti sistem penguasaan tanah, warisan kolonialisme Belanda. Disamping itu, pengesahan UUPA 1960—yang kemudian diikuti dengan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 56 tahun 1960 (yang dikenal sebagai Undang-Undang Landreform)—dapat pula diposisikan sebagai agenda pembangunan pertama setelah kemerdekaan, yang dihasilkan dari analisis terhadap kondisi objektif saat itu—melalui restrukturisasi penguasaan tanah alias Reforma Agraria[iv].
Dalam sejarahnya, pengesahan UUPA 1960 bukan sebuah proses yang pendek. Sejak kemerdekaan bergaung—dengan bekal pemahaman bahwa penataan urusan pertanahan (reforma agraria) merupakan pondasi paling dasar dari pembangunan, dan merupakan pra-kondisi menuju industrialisasi—niatan untuk mengganti sistem agraria warisan kolonial yang eksploitatif, mulai dirumuskan oleh rezim Orde Lama. Dalam prosesnya, terdapat lima (5) buah kepanitiaan yang khusus mengurusi dan merumuskan tentang formulasi sistem pertanahan yang baru, yaitu; Panitia Yogya (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Suwahjo (1956), Rancangan Sunarjo (1958), dan akhirnya rancangan Sudjarwo (1960)[v].
Melalui kerjasama antara tim Ad Hoc DPR dan seksi Agraria UGM, naskah baru mengenai sistem pertanahan nasional—berubah menjadi RUU Agraria yang baru dan kemudian disahkan oleh DPR-GR yang terbentuk pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959—pada tanggal 24 September 1960 sebagai UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria—atau yang lebih dikenal sebagai UUPA 1960. Pada hakikatnya, pengesahan UUPA 1960 tersebut merupakan Anti-Thesa dari  Agrarische Wet tahun 1870 yang dikukuhkan Belanda. Selain itu, UUPA 1960 merupakan perwujudan nyata terhadap konten UUD 1945 Pasal 33—yang mengatur tentang kedaulatan masyarakat atas Sumber Daya Alam beserta seluruh isinya.
Namun dalam perkembangannya, Landreform atau redistribusi lahan yang menjadi tonggak pengaplikasian UUPA 1960—mengalami begitu banyak hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan dalam penataan struktur agraria dan redistribusi lahan, terutama sekali disebabkan oleh tentangan keras dari elit masyarakat yang memiliki lahan yang luas, dan kerap pula menjadi agenda partai politik tertentu (mobilisasi Pro-Landreform dan Mobilisasi Kontra-Landreform)—yang dalam tataran akar rumputnya, menciptakan apa yang disebut dengan “aksi sepihak” yang dilakukan oleh elit pedesaan yang tak mau tanahnya masuk dalam data pembagian tanah, ataupun yang dilakukan oleh petani tak bertanah untuk mendapat hak kepemilikan lahan yang dibagi.
Ketegangan di pedesaan itu pula lah yang menjadikan Tragedi 1965—memakan korban terbesarnya di wilayah pedesaan. Pasca meletusnya Tragedi 1965, praktis, cita-cita landreform kandas dan tak terdengar lagi hingga saat ini—sebagai akibat dari stigma bahwa Landreform merupakan produk PKI. Naiknya Presiden Soeharto melalui kudeta sistematis terhadap Presiden Soekarno—merubah pula corak kebijakan pemerintah di bidang agraria—yang sangat berlainan dengan kebijakan sebelumnya. UUPA 1960 yang merupakan payung hukum kebijakan agraria, secara perlahan-lahan dimasukan ke dalam peti oleh rezim Orde Baru. Meski tidak dihapus, UUPA 1960 tidak lagi berlaku secara formal—dan lebih dapat dikatakan sebagai UU yang tanpa pengimplementasian apapun di bawah tiang pancang rezim militeristik Soeharto. Bahkan, rezim Orde Baru justru banyak mengeluarkan UU sektoral yang berbanding-terbalik dengan semangat UUPA 1960. Adapun UU sektoral tersebut berupa; UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok kehutanan, dan UU Pokok Pertambangan—yang kesemuanya memandulkan kedudukan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 sebagai payung perundangan.
Dengan jalan penerbitan UU Sektoral itu lah, Orde Baru dengan leluasa dapat melakukan pengadaan tanah dalam skala besar untuk kepentingan modal. Bahkan, melalui UU Sektoral tersebut, praktik penetapan berbagai jenis hak tertentu atas sebidang tanah dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya—mulai gencar dilakukan dan disponsori langsung oleh negara. Hal tersebut dapat terlihat dalam pengenalan dan penetapan Hak Guna Usaha, Hak Penguasaan Hutan, Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri, Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan, dan lain-lain[vi].
Pergeseran kursi kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto—yang dimulai pasca Tragedi ’65, berakibat pula pada politik kebijakan agraria di bidang pertanian. Bersamaan dengan hancurnya semangat UUPA 1960, kawasan Asia Tenggara dihinggapi ideologi “pembangunanisme” yang dalam ranah pertanian—bertransformasi menjadi logika pertanian padat modal—yang berorientasi pada intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian—yang bertujuan untuk memproduksi pangan secara cepat dengan bantuan teknologi. Hal ini umum disebut sebagai “revolusi hijau”, yang dalam perkembangannya—telah membuat Orde Baru membusungkan dada dengan keberhasilannya melakukan swasembada beras. Namun demikian, meski “revolusi hijau” dirasa menuai keberhasilan, program tersebut sebenarnya memiliki kecacatan dan dampak yang begitu luas hingga saat ini[vii]. Bisa dikatakan, “revolusi hijau” merupakan lawan dari agenda reforma agraria—yang tak dapat dipisahkan, dengan konstelasi politik global saat itu (perang dingin). Sebagai produk Amerika Serikat yang didanai beragam lembaga donor—”revolusi hijau” pada intinya, semakin memastikan dan menegaskan keberpihakan, kepatuhan, dan ketergantungan rezim Orde Baru kepada pihak-pihak asing—yang semakin menciptakan jurang yang dalam atas ketimpangan sosial yang terjadi.
Maka, sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan agraria Orde Baru, yang menjauhi semangat UUPA 1960 yang telah dirintis Pemerintahan Presiden Soekarno, dan kecenderungan politik agraria Orde Baru yang pro-modal dan investasi—maka proses diferensiasi sosial dan proletarisasi yang sudah terjadi pada masa kolonial—dan hendak dipotong melalui semangat UUPA 1960—menjadi kian berkembang, meluas, dan mendalam menjadi serangkaian konflik agraria yang tak kunjung selesai, hingga detik ini. Kenyataan tersebut, telah membuktikan bahwa politik agraria yang dijalankan oleh rezim Orde Baru, justru telah menciptakan persoalan-persoalan struktural keagrariaan yang akut—dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat dan sendi-sendi kebangsaan.
Tragedi 1965 dan Kaburnya Makna Hari Tani Nasional
Menurut Catatan Konsorium Pembaruan Agraria, pada tahun 2015 saja, terdapat setidaknya 252 kejadian konflik agraria di tanah-air, dengan luasan wilayah konflik mencapai 400.430 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK) dan semakin parah dengan catatan jumlah korban jiwa yang berjumlah 5 orang, tertembak sebanyak 39 orang, dianiaya sebanyak 124 orang, dan ditahan sejumlah 278 orang—dalam rentan waktu tahun 2015. Masih menurut data KPA, sektor perkebunan menjadi sektor yang paling luas cakupan konflik agraria nya, disusul sektor pembangunan infrastruktur, kehutanan, pertambangan, dan sektor-sektor lainya[viii].
Dari data-data tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa krisis agraria nasional, sedang  benar-benar berlangsung dan semakin memburuk. Hampir disetiap konflik perebutan sumber agraria—nyaris selalu ditemukan sebuah pola yang serupa, dimana petani sebagai salah satu soko guru bangsa, selalu menjadi korban dan penerima dampak terburuk. Seperti dalam hal konflik agraria di sektor perkebunan—baik perkebunan swasta ataupun perkebunan negara (PTPN)—para petani dan penduduk sekitar, kerap termarjinalkan oleh ekspansi perkebunan skala besar, yang dalam kurun 10 tahun terakhir, mayoritas berupa perkebunan kelapa sawit. Hal serupa berlaku pula pada konflik agraria berbasis sektor pembangunan infrastruktur. Berkaca pada konflik yang terjadi di Majalengka (Bandara BIJB), Kulonprogo (Bandara), Jatigede (Bendungan), dan sederet konflik agraria lain yang disebabkan oleh pembangunan infrastruktur—petani, lagi dan lagi, harus menjadi korban perampasan lahan penghidupan, demi sebuah ego pembangunan yang berlandaskan pola pikir neo-liberal. Di sektor kehutanan dan pertambangan, hal serupa pun lazim terjadi. Petani, seolah memang ditakdirkan untuk vis-a-vis dengan penguasa-pengusaha, yang disokong produk hukum positif dan alat-alat negara yang menjadi lonte korporasi.
Melihat kenyataan semacam ini, maka perayaan Hari Tani Nasional—yang pada masa Orde Baru dirubah dan diperlemah menjadi Hari Krida Pertanian—akan senantiasa bersifat seremonial belaka, manakala kondisi dan hak-hak kaum tani tak diperhatikan lebih lanjut. Bisa dibilang, kehancuran kehidupan agraris beserta para petaninya, dimulai mana kala UUPA 1960 yang telah diurai dibagian sebelumnya—terhenti dan masuk ke dalam peti, hingga saat ini. Beragam organisasi, paguyuban, hingga serikat yang menaungi para petani, dari tingkat nasional hingga yang berlingkup lokal—rata-rata, selalu menggaungkan reforma agraria sebagai tuntutan atas segala situasi-kondisi yang tak berpihak kepada petani. Namun demikian, keberpihakan dan keberanian pemerintah untuk merubah total regulasi terkait petani dan pertanian—belum jua hadir ke permukaan. Apalagi, di tengah kuasa modal dan di iklim pengintegrasian ekonomi nasional ke ekonomi global—melalui institusi keuangan, perdagangan, dan perusahaan transnasional—maka menjadi mustahil pula melihat pemerintah, dalam hal ini, kembali menggulirkan kebijakan yang benar-benar pro-petani, dan memutus mata rantai ketergantungan pada negara maju melalui mekanisme pasar bebas. Atau seperti yang diuraikan Mansour Fakih, ”….karena pada fase Free Trade dalam rekayasa GATT pada dasarnya lebih dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi perusahaan agribisnis raksasa multinasional dan transnasional untuk melakukan investasi, produksi, dan perdagangan komoditi pertanian tanpa adanya hambatan, regulasi, atau tanggungjawab sama sekali.”[ix] Dalam kondisi demikian, maka petani, terus dan akan menerus menjadi korban—tanpa adanya kepedulian dari pemerintah.
Dari penjelasan diatas, tepat disana, tulisan ini akan membawa dua tema yang terkesan tak terhubung; Hari Tani dan Tragedi ’65—menjadi sebuah kesatuan narasi yang utuh dan saling bertautan. Kegagalan penerapan UUPA 1960 sebagai manifestasi kebijakan populis pro-petani adalah gerbang kehancuran kehidupan petani—yang mula-mula, disebabkan oleh Tragedi 1965, yang menjadi jalan legal naiknya Soeharto ke pucuk pimpinan Indonesia. Hal tersebut, senada dengan apa yang dinyatakan Bosman Batubara, bahwa “dengan naiknya Suharto ke tampuk kekuasaan pada 1967 dan dengan sudah dihabisinya organisasi tani penyokong reforma agraria, maka dengan sendirinya itu adalah pembunuhan juga terhadap program negara bernama reforma agraria. Reforma agraria penting untuk mengeliminasi ketimpangan kepemilikan faktor produksi, yang dalam konteks pedesaan adalah, tanah.”.[x]
ratusan-konflik-agraria-jadi-pr-serius-pemerintah-rh0s4bs7q1
Kenyataan semacam ini, dengan sendirinya, telah melemahkan makna Hari Tani Nasional—yang sekali lagi, disebabkan oleh Tragedi ’65 dan naiknya Soeharto—yang semestinya, menjadi perayaan kedaulatan petani atas alat-alat produksinya. Namun berseberangan dengan itu, alih-alih berdaulat atas tanahnya—petani hari ini kian terjepit oleh serentetan kenyataan, bahwa tanah telah menjadi komoditi korporasi untuk melangsungkan akumulasi kapitalnya—yang dengan itu, semakin menciptakan kenaikan jumlah petani tak bertanah, dari tahun ke tahun secara konsisten.  Maka dari itu, menyambut Hari Tani Nasional tahun ini, akan menarik jika beragam organisasi petani, organisasi pendukung reforma agraria, mahasiswa, aktivis lingkungan, dan para praktisi pertanian—bersatu, berpegangan-tangan dengan para penyintas, para korban kejahatan HAM ’65, para eks-tapol ’65, dan sederet korban Tragedi 1965 lainya—untuk bersama-sama berjalan dan menciptakan lautan massa, dengan tujuan menggeruduk Istana Negara; menuntut penyelesaian atas segala dampak yang diakibatkan oleh Tragedi 1965—sekaligus menggugat impunitas para pelaku kejahatannya. Jika mampu demikian, kiranya kekuatan massa untuk menggedor kebutaan dan ketulian negara atas kejahatan di masa lalu, akan semakin solid dan kuat. Namun demikian, hal ini tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Sekali lagi, ini bukan lah pekerjaan yang mudah. []
Catatan Akhir
[ii] Tentang produk kebudayaan untuk membentuk pola pikir tentang Tragedi 1965, terutama dalam perspektif Orde Baru, diulas panjang lebar oleh Wijaya Herlambang dala m bukunya Kekerasan Budaya Pasca Tahun 1965, atau Katharine Mc. Gregor dalam buku Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia.
[iii] Kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto dengan bantuan lembaga internasional (CIA, Rand Corporation, Ford Foundation, Rockefeller Foundation), dijabarkan secara menyeluruh oleh Suar Suroso dalam buku Akar dan Dalang dan disinggung oleh John Rossa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto.
[iv] Ahmad Nashih Luthfi, Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Madzhab Bogor, (Yogyakarta:2011, STPN Press) hlm. 5
[v] Gunawan Wirardi, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta:2000, Insist Press) hlm. 82.
[vi] Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, “Reforma Agraria Sebagai Basis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan”, dalam Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria Volume 01/Tahun I/2004, (Bogor:2004, Lapera) hlm. 24.
[vii] Dampak negatif dari program “revolusi hijau”, setidaknya terdiri dari; Diferensiasi sosial, marjinalisasi perempuan, migrasi sebagai bentuk nyata deagrarianisasi, keresahan pedesaan, dan punahnya keragaman hayati. Lengkapnya, lihat  Ahmad Nashih Luthfi, Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Madzhab Bogor, (Yogyakarta:2011, STPN Press) hlm. 73-79.
[viii] Catatan Akhir Tahun 2015 Konsorium Pembaruan Agraria, “Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria Disandera Birokrasi”, hlm. 4-10.
[ix] Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta:2013, Insist Press) hlm. 220-221.

0 comments:

Post a Comment