Saturday, March 26, 2016

5 Tahun Tragedi Urutsewu di Setrojenar | Sebuah Catatan - 1




KEPALA DESA: Dua Kades yang pernah jadi korban tindakan brutal tentara saat warga menolak pemagaran pesisir. Gambar: (Dari kiri ke kanan) Paryono Petani Setrojenar, Widodo Sunu Nugroho (Kades Wiromartan) dan Muhlisin (Kades Petangkuran) tengah berorasi pasca acara Mediasi yang digelar di Sekwan DPRD (9/9/2015) lalu.. [Foto: Div. Litbang & Media-Center FPPKS-USB] 


Bagaimana penyelesaian “kasus” Urutsewu dengan membaca perkembangan situasi terakhir, menjadi magnet yang senantiasa menarik kuat-kuat perhatian banyak orang. Konflik agrarian yang diasumsikan menempatkan face-a-face rakyat dan [alat koersief] negara dalam posisi diametral ini; telah mereproduksi tiga kekerasan verbal yang menempatkan rakyat sebagai korban di satu sisi, dan bingkai impunitas militer di sisi lainnya.

Tak ada alasan untuk tetap “memelihara” konflik tak kunjung usai, karena hanya akan melegitimasi teori basi adanya kepentingan provokator yang acap ditudingkan fihak militer saat petani Urutsewu melancarkan perlawanan terhadap ketidakadilan agraria di wilayahnya. Kriminalisasi petani dan impunitas TNI sempat mewarnai perjalanan konflik Urutsewu. Termasuk skenario untuk mengkambinghitamkan fihak lain diluar aktor utama sebagai provokator, namun terpatahkan oleh fakta-fakta yang tak bisa dibantah. Fakta bahwa dalam perspektif rakyat, konflik Urutsewu itu bukan sengketa agraria; melainkan perampasan tanah secara sistematis !

Terhadap proses penyelesaian, sejauh yang diupaya; sangat diharapkan banyak fihak. Tetapi penyelesaian yang bagaimana dan dengan pendekatan seperti apa, ini pentingnya membaca dengan jujur jejak perjuangan petani dan sepak terjang TNI; selama dan sejauh ini.

Terlepas dari bagaimana tim independen akan memaparkan hasil kerjanya yang terlunta tunda, tulisan ini merupakan proyeksi kekinian yang menandai 5 tahun peringatan “Tragedi Urutsewu” di Setrojenar, 16 April silam.


Kejujuran Yang Konsisten Sebagai Syarat Permanen

Penyelesaian “kasus” Urutsewu hampir mustahil tanpa kesediaan semua fihak untuk jujur dan konsisten dalam menegakkan kebenaran. Kebenaran mana yang dihimpun tim independen dalam kerja investigasinya. Dan kebenaran mana yang tumbuh dalam dialektika sejarah agraria kawasan Urutsewu itu sendiri. Kejujuran akan menunjukkan apakah kedua kebenaran itu selaras jalan atau cengkah berkebalikan secara logika. 

Menarik apa yang terjadi sebagai bagian dari proses lanjut penyelesaian konflik agraria Urutsewu pasca Pilkada yang menghasilkan Bupati baru, adalah silaturahmi 8 wakil masyarakat tani Urutsewu dengan Fuad di rumah dinas Bupati pada Sabtu (19/3). Pada kesempatan mana telah ditunjukkan bukti-bukti [baca: sertivikat] pemilikan petani atas tanah pesisir Urutsewu. Di saat jeda mana Tim Independen belum lagi memaparkan hasil investigasi yang molor dari jadwal semestinya.

Hal ini setimpal dengan ngototnya TNI-AD yang bersikukuh melanjutkan pemagaran sepanjang 22,5 kilometer pesisir sementara proses mediasi tengah berlangsung dan tim independen masih harus bekerja melaksanakan tugas sejak awal pembentukannya hingga hari-hari menjelang pemaparan.

Perihal pemagaran pesisir yang diprotes petani dan rakyat bahkan Kepala Desa juga dipukuli, pada rentang Pemkab melakukan upaya mediasi konflik Urutsewu yang berkepanjangan; tokh pemagaran itu sendiri jalan terus. Terhadap ini, pejabat militer tingkat Dan Kodim pernah berujar pada acara “Ngopi Bareng Ganjar” di Pendopo Rumah Dinas Bupati (9/9/2015):

“Sekarang, apa urgensinya kita menghentikan pemagaran itu? Toh, tidak juga (tanah pesisir_pen) itu milik perorangan. Kalau pun nanti, itu memang ternyata kepunyaan masyarakat, kami sudah mendapat perintah; berikan semuanya, (berikut) sak pager-pagernya..”      

0 comments:

Post a Comment