KEPALA DESA: Dua Kades yang pernah jadi korban tindakan brutal tentara saat warga menolak pemagaran pesisir. Gambar: (Dari kiri ke kanan) Paryono Petani Setrojenar, Widodo Sunu Nugroho (Kades Wiromartan) dan Muhlisin (Kades Petangkuran) tengah berorasi pasca acara Mediasi yang digelar di Sekwan DPRD (9/9/2015) lalu.. [Foto: Div. Litbang & Media-Center FPPKS-USB]
Bagaimana penyelesaian “kasus” Urutsewu
dengan membaca perkembangan situasi terakhir, menjadi magnet yang senantiasa menarik kuat-kuat perhatian banyak orang. Konflik agrarian yang diasumsikan menempatkan face-a-face
rakyat dan [alat koersief] negara dalam posisi diametral ini; telah
mereproduksi tiga kekerasan verbal yang menempatkan
rakyat sebagai korban di satu sisi, dan bingkai impunitas militer di sisi
lainnya.
Tak ada alasan untuk tetap “memelihara” konflik tak
kunjung usai, karena hanya akan melegitimasi teori basi adanya kepentingan
provokator yang acap ditudingkan fihak militer saat petani Urutsewu melancarkan
perlawanan terhadap ketidakadilan agraria di wilayahnya. Kriminalisasi petani dan impunitas TNI sempat mewarnai perjalanan konflik
Urutsewu. Termasuk skenario untuk mengkambinghitamkan fihak lain diluar aktor
utama sebagai provokator, namun terpatahkan oleh fakta-fakta yang tak bisa
dibantah. Fakta bahwa dalam perspektif rakyat, konflik Urutsewu itu bukan
sengketa agraria; melainkan perampasan tanah secara sistematis !
Terhadap proses penyelesaian, sejauh yang diupaya;
sangat diharapkan banyak fihak. Tetapi penyelesaian yang bagaimana dan dengan
pendekatan seperti apa, ini pentingnya membaca dengan jujur jejak perjuangan
petani dan sepak terjang TNI; selama dan sejauh ini.
Terlepas dari bagaimana tim independen akan memaparkan
hasil kerjanya yang terlunta tunda, tulisan ini merupakan proyeksi kekinian
yang menandai 5 tahun peringatan “Tragedi Urutsewu” di Setrojenar, 16 April
silam.
Kejujuran Yang Konsisten Sebagai Syarat Permanen
Penyelesaian “kasus” Urutsewu hampir mustahil tanpa
kesediaan semua fihak untuk jujur dan konsisten dalam menegakkan kebenaran. Kebenaran
mana yang dihimpun tim independen dalam kerja investigasinya. Dan kebenaran
mana yang tumbuh dalam dialektika sejarah agraria kawasan Urutsewu itu sendiri.
Kejujuran akan menunjukkan apakah kedua kebenaran itu selaras jalan atau cengkah
berkebalikan secara logika.
Menarik apa yang terjadi sebagai bagian dari proses lanjut
penyelesaian konflik agraria Urutsewu pasca Pilkada yang menghasilkan Bupati
baru, adalah silaturahmi 8 wakil masyarakat tani Urutsewu dengan Fuad di
rumah dinas Bupati pada Sabtu (19/3). Pada kesempatan mana telah ditunjukkan
bukti-bukti [baca: sertivikat] pemilikan petani atas tanah pesisir Urutsewu. Di
saat jeda mana Tim Independen belum lagi memaparkan hasil investigasi yang
molor dari jadwal semestinya.
Hal ini setimpal dengan ngototnya TNI-AD yang
bersikukuh melanjutkan pemagaran sepanjang 22,5 kilometer pesisir sementara
proses mediasi tengah berlangsung dan tim independen masih harus bekerja melaksanakan
tugas sejak awal pembentukannya hingga hari-hari menjelang pemaparan.
Perihal pemagaran pesisir yang diprotes petani dan rakyat
bahkan Kepala Desa juga dipukuli, pada rentang Pemkab melakukan upaya mediasi konflik
Urutsewu yang berkepanjangan; tokh pemagaran itu sendiri jalan terus. Terhadap
ini, pejabat militer tingkat Dan Kodim pernah berujar pada acara “Ngopi Bareng
Ganjar” di Pendopo Rumah Dinas Bupati (9/9/2015):
“Sekarang, apa urgensinya kita menghentikan pemagaran itu? Toh, tidak juga (tanah
pesisir_pen) itu milik perorangan. Kalau pun nanti, itu memang ternyata kepunyaan
masyarakat, kami sudah mendapat perintah; berikan semuanya, (berikut) sak
pager-pagernya..”
0 comments:
Post a Comment