SURAU: Sejumlah pemuda dan warga Petangkuran Ambal mendirikan surau, ukuran 4x4 meter di pesisir desa yang dipagari TNI-AD. Material dihimpun dari hasil sumbangan warga, demikian pula pengerjaannya dilakukan secara gotong-royong [Foto: FPPKS]
Pelarangan
fihak militer terhadap aktivitas warga kembali memicu konflik kawasan Urutsewu
di Desa Petangkuran Ambal; yang pada dasarnya memang masih belum terselesaikan.
Sejatinya, pelarangan seperti ini pula yang pada medio Januari 2011 silam
memicu konflik terbuka di Setrojenar, Buluspesantren. Lima tahun silam, pemuda
Setrojenar yang membangun gapura wisata di pantai; dilarang oleh tentara. Sejak
itu lah konflik Urutsewu muncul secara terbuka...
Kali ini picu larangan
sejenis itu menerpa warga Petangkuran Ambal. Sebagaimana diketahui, sejak Rabu
(17/2) belasan warga Petangkuran mendirikan surau (mushola kecil) secara
bergotong-royong; di zona yang dalam idiom lokal dinamai zona “wedhen-sumur”. Nama
wedhen-sumur (dari kata wedhi: pasir
dan sumur). Idiom ini menjelaskan fenomena alam pesisir yang pada jarak 200-an
meter dari garis air mudah didapati sumber air dengan cara mengeruk sedikit
saja lapis permukaan pasirnya.
Memasuki hari ke dua kerjabakti
warga yang menyertakan Ketua FPPKS [Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan] Seniman
di lokasi ini, untuk sementara dihentikan. Pasalnya, ada himbauan disertai intimidasi dari fihak militer dalam pendirian surau yang dinisiasi warga. Padahal pendirian surau ini dipandang sangat penting arti dan fungsinya
bagi seluruh warga. Mengingat dalam keseharian petani yang menggarap lahan di
pesisir sangat membutuhkan tempat ibadah, tanpa harus pulang ke rumah yang
cukup jauh jaraknya; sementara harus balik lagi bekerja hingga petang tiba.
Ancaman Surau Akan Dirobohkan
Penghentian sementara ini
terjadi saat warga tengah menyiapkan bahan dan perkakas guna melanjutkan kerja
bakti hari ke dua. Tiba-tiba datang Kades Petangkuran, Muhlisin, yang baru
didatangi oleh 2 oknum TNI di rumahnya. Kedua oknum tentara itu, salah satunya
adalah Junaedi Babinsa dari Koramil Ambal; menyampaikan perintah dari Komandan
Dislitbangad di Setrojenar agar memindahkan surau yang baru dikerjakan sekitar
60 persen dan tinggal meneruskan bagian atapnya.
“Jika tidak, maka surau
itu akan dirobohkan”, demikian Kades menirukan perintah tentara yang mendatangi
rumahnya.
Secara terpisah, Kepala
Desa Petangkuran yang pernah menjadi korban kebrutalan tentara di Wiromartan
(22/08/2015) itu menjelaskan bahwa pihak pemerintah desa telah mengetahui dan
mengijinkan pendirian surau di pesisir desanya.
“Saya sebagai Kepala Desa
sudah mengijinkan warga untuk membangun langgar (surau) di selatan sana”,
tegasnya. Di selatan sana maksudnya adalah di zona pesisir yang telah dipagari
oleh tentara secara paksa hanya berdasarkan klaim sefihak tanpa mekanisme
musyawarah yang semestinya.
Seorang warga lainnya yang
biasa dipanggil Cak Dikin juga sangat menyesalkan pelarangan mendirikan surau di lokasi yang kini telah dihijaukan dengan tanaman cemara laut itu.
Pemuda yang sejak hari pertama ikut kerja bakti pendirian surau ini tak bisa
menerima pelarangan terhadap warga desanya. Terlebih karena pelarangan ini
disertai ancaman akan dibongkar paksa. Menurutnya, pendirian surau ini semata
merupakan kebutuhan seluruh warga, termasuk tentara.
“Tentara kan juga acap
interaksi dengan warga. Nah, jika saat itu masuk waktu sholat dhuhur atau ‘asar
misalnya kan butuh tempat sholat juga”, katanya di sela ia memotong bambu bahan
usuk surau.
Sedangkan menurut Kades
Muhlisin yang mengijinkan warganya dalam pendirian surau ini karena memang
memiliki dasar yang kuat. Bahwa zona ini masih termasuk dalam kepemilikan
petani warga desanya. Tanah kemakmuran desa juga ada di areal itu. Dan petani
warga Petangkuran memiliki bukti pemilikan.
Bukti Pemilikan Tanya Gubernur
GUBERNUR: Pertemuan perwakilan FPPKS, USB, Kades-kades dengan Gubernur Jateng (2-12-2015) di Meotel Kebumen. Tampak (dari kiri ke kanan) Ganjar Pranowo (tengah memeriksa bukti sertivikat tanah), Paryono, Kades Muhlisin, Kyai Imam Zuhdi [Foto: FPPKS]
_____
Perihal bukti pemilikan
ini, menurut Kades Muhlisin tak perlu diragukan lagi. Kalau pun misalnya fihak
militer menanyakan kejelasan bukti pemilikan ini misalnya, pihaknya
mempersilahkan tanya ke pemerintah.
“Silahkan langsung tanya
Gubernur saja”, jawabnya serius.
Keseriusan Kades
Petangkuran ini senada dengan Seniman Ketua FPPKS yang juga ada bersama
mengiring warga dalam pendirian surau pesisir. Keduanya meyakini bahwa Gubernur
Jateng juga mengetahui hal yang sebenarnya terkait posisi tanah pesisir
Urutsewu dalam silang sengkarut agraria yang diperjuangkannya puluhan tahun.
Semua data bukti pemilikan
tanah telah ditunjukkan ke Ganjar Pranowo saat sang Gubernur menemui
Kades-Kades Urutsewu, para Kyai dan pejuang agraria Urutsewu lainnya. Pertemuan
para fihak antara FPPKS, USB (Urut Sewu Bersatu) dan Kades-kades Urutsewu
dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, pada 2 Desember 2015 lalu; secara
spesifik telah ditunjukkan bukti-bukti pemilikan warga Urutsewu.
“Itu dasarnya kenapa warga
mendirikan surau di sana”, tegas Seniman. “Pelarangan ini sudah keterlaluan, masa
niat baik warga untuk bangun langgar sederhana (surau_peny) saja dilarang”,
sambungnya.
Untuk sementara,
kerjabakti pendirian surau ini memang dihentikan. Sebagai Ketua FPPKS dia
mendapat laporan warga yang melihat banyak personel tentara menuju lokasi.
Penghentian sementara ini dimaksudkan untuk menghindari terulangnya tindak
kekerasan militer yang terhitung sudah ketiga kalinya membawa korban warga terluka sepanjang konflik kawasan pesisir Urutsewu..
0 comments:
Post a Comment