Thursday, February 18, 2016

Konflik Urutsewu Memanas Lagi di Petangkuran

SURAU: Sejumlah pemuda dan warga Petangkuran Ambal mendirikan surau, ukuran 4x4 meter di pesisir desa yang dipagari TNI-AD. Material dihimpun dari hasil sumbangan warga, demikian pula pengerjaannya dilakukan secara gotong-royong [Foto: FPPKS]

Pelarangan fihak militer terhadap aktivitas warga kembali memicu konflik kawasan Urutsewu di Desa Petangkuran Ambal; yang pada dasarnya memang masih belum terselesaikan. Sejatinya, pelarangan seperti ini pula yang pada medio Januari 2011 silam memicu konflik terbuka di Setrojenar, Buluspesantren. Lima tahun silam, pemuda Setrojenar yang membangun gapura wisata di pantai; dilarang oleh tentara. Sejak itu lah konflik Urutsewu muncul secara terbuka...  

Kali ini picu larangan sejenis itu menerpa warga Petangkuran Ambal. Sebagaimana diketahui, sejak Rabu (17/2) belasan warga Petangkuran mendirikan surau (mushola kecil) secara bergotong-royong; di zona yang dalam idiom lokal dinamai zona “wedhen-sumur”. Nama wedhen-sumur (dari kata wedhi: pasir dan sumur). Idiom ini menjelaskan fenomena alam pesisir yang pada jarak 200-an meter dari garis air mudah didapati sumber air dengan cara mengeruk sedikit saja lapis permukaan pasirnya. 

Memasuki hari ke dua kerjabakti warga yang menyertakan Ketua FPPKS [Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan] Seniman di lokasi ini, untuk sementara dihentikan. Pasalnya, ada himbauan disertai intimidasi dari fihak militer dalam pendirian surau yang dinisiasi warga. Padahal pendirian surau ini dipandang sangat penting arti dan fungsinya bagi seluruh warga. Mengingat dalam keseharian petani yang menggarap lahan di pesisir sangat membutuhkan tempat ibadah, tanpa harus pulang ke rumah yang cukup jauh jaraknya; sementara harus balik lagi bekerja hingga petang tiba.


Ancaman Surau Akan Dirobohkan

Penghentian sementara ini terjadi saat warga tengah menyiapkan bahan dan perkakas guna melanjutkan kerja bakti hari ke dua. Tiba-tiba datang Kades Petangkuran, Muhlisin, yang baru didatangi oleh 2 oknum TNI di rumahnya. Kedua oknum tentara itu, salah satunya adalah Junaedi Babinsa dari Koramil Ambal; menyampaikan perintah dari Komandan Dislitbangad di Setrojenar agar memindahkan surau yang baru dikerjakan sekitar 60 persen dan tinggal meneruskan bagian atapnya.

“Jika tidak, maka surau itu akan dirobohkan”, demikian Kades menirukan perintah tentara yang mendatangi rumahnya.

Secara terpisah, Kepala Desa Petangkuran yang pernah menjadi korban kebrutalan tentara di Wiromartan (22/08/2015) itu menjelaskan bahwa pihak pemerintah desa telah mengetahui dan mengijinkan pendirian surau di pesisir desanya.

“Saya sebagai Kepala Desa sudah mengijinkan warga untuk membangun langgar (surau) di selatan sana”, tegasnya. Di selatan sana maksudnya adalah di zona pesisir yang telah dipagari oleh tentara secara paksa hanya berdasarkan klaim sefihak tanpa mekanisme musyawarah yang semestinya.

Seorang warga lainnya yang biasa dipanggil Cak Dikin juga sangat menyesalkan pelarangan mendirikan surau di lokasi yang kini telah dihijaukan dengan tanaman cemara laut itu. Pemuda yang sejak hari pertama ikut kerja bakti pendirian surau ini tak bisa menerima pelarangan terhadap warga desanya. Terlebih karena pelarangan ini disertai ancaman akan dibongkar paksa. Menurutnya, pendirian surau ini semata merupakan kebutuhan seluruh warga, termasuk tentara.

“Tentara kan juga acap interaksi dengan warga. Nah, jika saat itu masuk waktu sholat dhuhur atau ‘asar misalnya kan butuh tempat sholat juga”, katanya di sela ia memotong bambu bahan usuk surau.

Sedangkan menurut Kades Muhlisin yang mengijinkan warganya dalam pendirian surau ini karena memang memiliki dasar yang kuat. Bahwa zona ini masih termasuk dalam kepemilikan petani warga desanya. Tanah kemakmuran desa juga ada di areal itu. Dan petani warga Petangkuran memiliki bukti pemilikan.


Bukti Pemilikan Tanya Gubernur

GUBERNUR: Pertemuan perwakilan FPPKS, USB, Kades-kades dengan Gubernur Jateng (2-12-2015) di Meotel Kebumen. Tampak (dari kiri ke kanan) Ganjar Pranowo (tengah memeriksa bukti sertivikat tanah), Paryono, Kades Muhlisin, Kyai Imam Zuhdi [Foto: FPPKS] 
_____

Perihal bukti pemilikan ini, menurut Kades Muhlisin tak perlu diragukan lagi. Kalau pun misalnya fihak militer menanyakan kejelasan bukti pemilikan ini misalnya, pihaknya mempersilahkan tanya ke pemerintah.

“Silahkan langsung tanya Gubernur saja”, jawabnya serius.

Keseriusan Kades Petangkuran ini senada dengan Seniman Ketua FPPKS yang juga ada bersama mengiring warga dalam pendirian surau pesisir. Keduanya meyakini bahwa Gubernur Jateng juga mengetahui hal yang sebenarnya terkait posisi tanah pesisir Urutsewu dalam silang sengkarut agraria yang diperjuangkannya puluhan tahun.

Semua data bukti pemilikan tanah telah ditunjukkan ke Ganjar Pranowo saat sang Gubernur menemui Kades-Kades Urutsewu, para Kyai dan pejuang agraria Urutsewu lainnya. Pertemuan para fihak antara FPPKS, USB (Urut Sewu Bersatu) dan Kades-kades Urutsewu dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, pada 2 Desember 2015 lalu; secara spesifik telah ditunjukkan bukti-bukti pemilikan warga Urutsewu.

“Itu dasarnya kenapa warga mendirikan surau di sana”, tegas Seniman. “Pelarangan ini sudah keterlaluan, masa niat baik warga untuk bangun langgar sederhana (surau_peny) saja dilarang”, sambungnya.

Untuk sementara, kerjabakti pendirian surau ini memang dihentikan. Sebagai Ketua FPPKS dia mendapat laporan warga yang melihat banyak personel tentara menuju lokasi. Penghentian sementara ini dimaksudkan untuk menghindari terulangnya tindak kekerasan militer yang terhitung sudah ketiga kalinya membawa korban warga terluka sepanjang konflik kawasan pesisir Urutsewu..    

0 comments:

Post a Comment