December 1, 2015 Tommy Apriando, Kebumen
“Apa serdardu tidak boleh punya hati? Tanah Urutsewu untuk rakyat.” Ada juga spanduk berukuran 3×2 meter berisi foto buku dan sertifikat tanah warga. Ia dibentangkan menghadap aparat pamong praja, polisi dan TNI yang berjaga pada pertemuan penyelesaian konflik lahan Urutsewu pada 14 September 2015. Ratusan mahasiswa dan warga Pesisir Urutsewu aksi memenuhi pintu gerbang Kantor Bupati Kebumen, hari itu.
Kepala Desa Kaibon Petangkuran, Mukhlisin hadir dalam pertemuan itu. Dia korban peristiwa 22 Agustus 2015. Hari itu, meskipun sudah menyingkir sekitar 200-an meter, dia diburu dan digebuki di depan polisi. Dia terjatuh ke lubang galian blokade buatan warga, kena pentung toya dan diinjak-injak sepatu lars TNI.
Pertemuan di Auditorium Kantor Bupati Kebumen, katanya, TNI memperlihatkan bukti tipu-tipu. Ia hanya berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Kementerian Keuangan No. S.825/KN/2011 tertanggal 29 April 2011. Tak banyak bukti lain, hanya peta kepemilikan versi tentara tahun 1998. Peta itu, katanya, dibuat dengan memaksa kepala desa menandatangani.
“Jika mau beradu bukti mari kita lakukan. Jika mau mediasi ayo dijalankan. Hentikan dulu pemagaran dan latihan militer,” kata Mukhlisin.
Kiai Imah Zuhdi, tokoh agama setempat menantang TNI membeberkan bukti-bukti kuat soal klaim lahan mereka. Buat warga, katanya, sudah jelas. Dia mencontohkan, ada warga memiliki bukti buku tanah dikeluarkan Departemen Dalam Negeri, Direktorat Djendral Agraria, tahun 1969. Dalam buku peta tanah warga berbatasan langsung dengan laut di bagian selatan. Ada juga beberapa warga memiliki sertifikat dan banyak juga Letter C.
“Artinya kami punya bukti sah dan siap kami tunjukkan. Mana bukti TNI, jika benar tanah di pesisir milik mereka silahah gugat warga, bukan sebaliknya,” katanya.
Untuk penyelesaian konflik pemagaran, pemerintah daerah sudah membentuk tim. Seharusnya, kata Mukhlisin, kala tim sedang bekerja, aktivitas pemagaran hentikan sementara. Namun, Dandim menyatakan, pemagaran tetap berlanjut. “Harusnya Sekda bertanggung jawab, tegas dan meminta pemagaran berhenti terlebih dahulu. Yang bikin tim-kan Pemda.”
Desa yang dikepalai Mukhlisin, ada sekitar 3.000 jiwa. Mayoritas petani dan buruh tani. Hanya sebagian memiliki sertifikat tanah, rata-rata Letter C, ada 95% punya dokumen itu. Selama ini, mereka mengacu pada dokumen Letter C. Jika mau pinjam uang atau sebagai jaminan, perangkat desa akan membuatkan salinan Letter C. Selama ini, bank mengakui salinan ini. “Kami mengakui Letter C sah dan punya kekuatan hukum.”
Warga Desa Kaibon bertani palawija, sayur, semangka sampai cabai. Sejak menanam cabai, kehidupan warga pesisir selatan, lebih baik. “Dulu Desa kami paling miskin. Sekarang sejahtera. Pemuda memilih di desa. Ikut bertani.” “Jika lahan dipagari dan dirampas, pengganguran pemuda akan banyak,” ucap Mukhlisin.
Desa ini, bagian selatan berbatasan dengan laut. Kalau melihat, cerita awal keberadaan lokasi latihan, desa ini tak ada batasan dengan lahan TNI. Namun, TNI tanpa dokumen jelas dan sewenang-wenang memagar dan merusak pertanian petani. Kondisi ini, katanya, tak bisa diterima. Dulu , ketika TNI akan latihan izin dulu. Tahun 2009-2010, masih izin. Anehnya, belakangan hanya pemberitahuan.
“Dengan memberikan pemberitahuan seakan mereka sudah memiliki tanah itu. Kami seakan diminta mengakui pemilik tanah TNI,” kata Mukhlisin.
Padahal, katanya, warga punya keinginan menjadikan kawasan pesisir sebagai lahan pertanian dan pariwisata. Masyarakat ingin bersama-sama membuat hutan desa. “Bareng merumat dan bareng menikmati. Masyarakat sadar hidup di kawasan rentan bencana.
Apa daya. Kini, warga tak boleh membangun permanen dan tak boleh menanam tanaman keras. “Kami dilarang TNI dengan dasar karena itu klaim tanah mereka. Berdasarkan peta yang mereka buat sendiri.”
Dia, sebagai kepala desa merasa aneh. Sampai saat ini, belum dan tak pernah ada surat perintah dari bupati maupun Gubernur Jawa Tengah, soal pemagaran ini. “Hanya lisan.”
Di pertemuan itu, Mukhlisin dan Sunu, menyesalkan karena kepala desa Se-Urutsewu tidak dilibatkan semua. Seolah yang bermasalah hanya tujuh desa.
***
Papan pemberitahuan Dinas Kehutanan, tentang larangan merusak hutan pantai dan hutan mangrove terpampang di sekitar Pantai Lembupurwo, Kecamatan Mirit, Kebumen. Ada juga papan pemberitahuan soal wilayah pendaratan penyu. Pantai Urutsewu yang berpasir hitam ini bukan pantai biasa. Ia mengandung sumber daya alam, yakni pasir besi.
Kelahiran Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen soal rencana tata ruang wilayah Kebumen 2011-2031 memuluskan jalan inverstor dan TNIAD menjadikan Urutsewu sebagai kawasan pertambangan pasir besi, latihan dan uji coba senjata berat, sekaligus kawasan pertanian dan pariwisata.
Warga menolak. Mereka ingin Urutsewu sebagai kawasan pertanian dan pariwisata. “Kami menolak latihan TNI dan menolak tambang pasir besi di Urutsewu,” kata Kiai Imah Zuhdi, kala orasi di depan Kantor Bupati Kebumen.
Hendrik Siregar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengamini, kalau salah satu potensi mineral pesisir Urutsewu adalah pasir besi, dan berkualitas tinggi. Ia tersebar di sepanjang pantai barat, mulai Sungai Luk Ulo sampai Sungai Cicingguling, meliputi Kecamatan Klirong, Petanahan, dan Puring. Juga sepanjang pantai timur, dari Sungai Luk Ulo hingga Sungai Mawar, meliputi Kecamatan Buluspesantren, Ambal dan Mirit.
Dia menilai, konflik tak dari penyerobotan dan peminjaman lahan petani, juga TNI ‘membisniskan lokasi’ dengan memberikan izin eksplorasi tambang.
Hendrik menduga, berbagai bentuk kekerasan di Urutsewu dipelihara untuk mengintimidasi masyarakat. Dalam catatan Jatam, ada dua hal paling penting dalam persolan Urutsewu, yakni memindahkan lokasi latihan TNI dan mengembalikan kepada masyarakat dan pemerintah. Lalu, membatalkan izin pertambangan atau rencana pembangunan pabrik.
Cerita bermula ketika, keluar Surat Kodam IV Diponegoro, kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC). Surat Pangdam IV/Diponegoro Mayjen Haryadi Soetanto ini berisi Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNIAD di Mirit untuk penambangan pasir besi.
Sontak warga kaget. Desa yang termasuk ke dalam area izin eksplorasi adalah Mirit Petikusan, Mirit, Tlogo Depok, Tlogo Pragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan. Dalam sidang Amdal para pamong desa menolak kehadiran perusahaan tambang.
Dalam dokumen riset pra Amdal MNC disebutkan ada rekomendasi tanah TNIAD seluas 318,42 hektar masuk calon zona tambang. TNIAD juga klaim Pesisir Urutsewu sepanjang 22,5 Km mencakup 500 meter dari garis air sepanjang pesisir, sebagai tanah pertahanan keamanan. Padahal, dibentang itu jelas-jelas terdata sebagai tanah pemajegan (tanah yang pajak dibayar petani), bahkan sejak zaman kolonial Hindia-Belanda.
Tak hanya lahan milik petani yang terlibas. Juga tanah banda desa, tanah bengkok, tanah makam dan tanah brasengaja– konservasi sabuk hijau pesisir.
“Hingga sangat mungkin ada keterkaitan militer dalam konflik itu, paling kentara jika ada upaya-upaya pengamanan investasi atau intimidasi personil militer,” kata Hendrik.
MNC mendapatkan izin dari Kodam IV/Diponegoro disinyalir karena komisaris MNC, yakni Rianzi Julidar, pensiunan jenderal. Sebelum pensiun 29 Mei 2008, Rianzi sebagai Koordinator Staf Ahli KSAD. “Besar kemungkinan, posisi Rianzi memudahkan MNC mendapatkan persetujuan pemanfaatan lahan untuk penambangan pasir besi,” kata Seniman.
Dugaan makin kuat kala ada informasi Rully Aryanto, assistant manager MNC pada 3 Maret 2011 di Kantor MNC, Jalan Taman Kemang 32 A Jakarta Selatan. Rully mengatakan, untuk masuk ke TNIAD, MNC memiliki koneksi orang dalam. Setelah mengajukan permohonan izin, MNC presentasi ke KSAD TNIAD soal keuntungan dan kerugian. Akhirnya ada kesepakatan. Keluarlah surat persetujuan berdasarkan surat KSAD, bernomor B/1949-09/27/12/Set tentang persetujuan kerjasama pemanfaatan tanah TNIAD di Kecamatan Mirit untuk penambangan pasir besi.
“Jadi jelas, klaim TNIAD terhadap penguasaan tanah di Urutsewu tak semata soal pertahanan dan keamanan di pesisir selatan Jawa, melainkan persoalan bisnis penambangan pasir besi,” kata Seniman.
Warga tak tinggal diam. Setelah mengetahui surat izin pasir besi keluar, warga Mirit menolak tegas. Warga Mirit mendapatkan dukungan warga desa lain di Urutsewu.
“Kala ada tambang kami khawatir terjadi kerusakan lingkungan lalu ada bencana, mengingat Mirit kawasan rawan tsunami.”
Warga juga khawatir air sumur menjadi asin karena pasir besi yang menjadi penyaring hilang. Warga juga terancam hilang mata pencarian seperti petani maupun nelayan. “Jika lahan dikeruk, petani tidak bisa pakai bertani. Nelayan tidak bisa melaut karena wilayah menjadi pertambangan,” kata Seniman.
Aksi-aksi penolakan warga akhirnya membuahkan hasil. Pada 2012, MNC mengibarkan bendera putih alias menyerah dan tak melanjutkan penambangan pasir besi. Meskipun pemerintah Kebumen belum mencabut izin produksi, tetapi MNC tak akan menambang. Alat-alat berat sudah ditarik dan basecamp dibongkar.
Saya mendatangi bekas basecamp itu. Tampak bangunan papan tua berbentuk huruf L, beratapkan asbes di Pesisir Urutsewu, Desa Wiromartan, tak berpenghuni. Alat operasi pertambangan mangkrak, mulai berkarat. Tak ada aktivitas apapun. Hanya tampak petani, menyirami lahan dan tanaman mereka. Bersambung
Thttp://www.mongabay.co.id/2015/12/01/ada-pasir-besi-di-lokasi-latihan-militer-urutsewu-bagian-2/nah warga yang berbatasan langsung dengan laut di bagian selatan, ada dalam buku tanah yang keluar tahun 1969. Foto: Tommy Apriand
0 comments:
Post a Comment