OLEH REDAKSI ISLAM BERGERAK · DECEMBER 24, 2015
Catatan Redaksi:
Berbagai persoalan sosial dan ekonomi-politik mendera umat Islam di negeri ini dan membutuhkan tanggapan-tanggapan progresif dari hukum Islam. Tanggapan-tanggapan tersebut diperlukan sebagai legitimasi “syar’i” atas keberterimaan atau tidak-berterimanya kasus-kasus yang dihadapi oleh umat berkaitan dengan hak-hak hidup mereka yang terampas oleh kekuatan-kekuatan pemodal, hak-hak mereka yang terdiskriminasi, dan pemiskinan struktural yang terus-menerus terjadi melalui relasi kerja upahan, eksploitasi, dominasi sekelompok orang atas yang lain (pemodal atau majikan atas buruh, pemerintah nasional atau global atas rakyat…), dan sarana-sarana yang dipakai dalam mempertahankan dominasi tersebut (kekerasan, paksaan, represi, dll.). Rubrik “Fikih” ini diperuntukkan untuk membahas kasus-kasus tersebut ditinjau dari sudut pandang hukum Islam yang kami gali dari pendapat-pendapat (aqwal) para ulama dan dirumuskan ulang dari hasil ijtihad mereka, dipadukan dengan wawasan tafsir, hadits, dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Dengan demikian, hukum Islam dapat berkontribusi bagi gerakan sosial progresif bernafaskan agama dan pembangunan tatanan sosial yang bebas dari eksploitasi, penindasan, dan ketimpangan. Segala jenis pertanyaan, saran, masukan, dan kritik untuk rubrik ini dapat dilayangkan ke redaksi@islambergerak.com atau Fanspage Facebook “Islam Bergerak”.
Tanya:
Baru-baru ini, Gus Mus (KH A Mustofa Bisri), seorang kiai terkemuka dari Rembang, mengunjungi tenda perlawanan warga di tapak pabrik PT Semen Indonesia untuk menyatakan dukungannya terhadap perjuangan agraria yang dilakukan oleh warga dalam menolak pembangunan pabrik Semen di kawasan Pegunungan Kendeng. Suatu langkah yang tidak populer ketika banyak tokoh agama lainnya bungkam atau memilih mendukung pabrik Semen! Bagaimana hukum dukungan yang diberikan Gus Mus tersebut dan status hukum perjuangan warga ditinjau dari sudut pandang hukum Islam?
Jawaban:
Dukungan Gus Mus tersebut harus dilihat baik dalam kapasitasnya sebagai ulama (dukungan ulama terhadap umatnya yang sedang ditimpa kesulitan) maupun sebagai seorang Muslim yang sedang melakukanamar ma’ruf nahi munkar (mendorong dan memerintahkan kebaikan dan melarang serta mencegah kemungkaran). Hal ini sejalan dengan perintah Al-Qur’an:
وَأمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan perintahkanlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar” (Q.S. Luqman: 17)
Kewajiban ini dipikul oleh setiap Muslim, lebih-lebih bagi kalangan ulama. Al-Qur’an memberikan tanggung jawab yang besar kepada para pemuka agama untuk mengambil peran amar ma’ruf nahi munkar ini dan mengecam kalangan pemuka agama yang diam melihat kemungkaran terjadi, sementara mengetahui dan menyadari dampak-dampaknya:
لَوْلَا يَنْههُمُ الرَّبَّانِيُّوْنَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الِاثْمَ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ
“Mengapa para ulama dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan dusta dan memakan yang haram? Sungguh sangat buruk apa yang mereka perbuat” (Q.S. Al-Ma’idah: 63)
Dalam ayat ini disebutkan jenis kemungkaran yang dimaksud, yaitu perkataan yang penuh dosa (dusta) dan memakan harta dengan jalan haram. Dalam ayat lain, dirinci jenis kemungkaran itu dengan istilah “al-fasad fi al-ardl”, kerusakan di muka bumi (Q.S. Hud: 116).
Kasus PT Semen Indonesia di Rembang memenuhi ketiga kriteria kemungkaran tersebut, yaitu ditemukannya berbagai indikasi pelanggaran hukum dan manipulasi data faktual di lapangan (bisa dikategorikan perkataan dusta), klaim kepemilikan tanpa sepengetahuan dan persetujuan warga setempat (mengambil harta orang lain dengan jalan haram),dan potensi kerusakan yang ditimbulkan (fasad fi al-ardl) akibat eksploitasi pegunungan Kendeng terhadap pertanian warga maupun ekosistem. Dengan demikian, langkah Gus Mus memiliki dasar hukum Islam yang kuat.
Adapun status hukum perjuangan warga dalam mempertahankan tanah miliknya dan ekosistem yang mendukung bagi mata pencahariannya, maka perjuangan itu diperbolehkan, selama kepemilikan tersebut sah dan tidak diperoleh dengan cara-cara yang diharamkan dan merupakan bagian dari penunjang kemaslahatan bersama (ekosistem pegunungan yang merupakan penunjang bagi mata pencaharian warga).
Dalam hukum Islam kita mengenal bahwa kepemilikan tanah yang sah, antara lain, adalah kepemilikan yang diperoleh dengan:
- al-istila’al-mubah (pemerolehan suatu kepemilikan yang tidak dimiliki oleh siapapun dengan jalan yang sah), seperti ihya’ al-mawat(menghidupkan tanah mati/non-produktif),
- ‘uqud (akad jual beli yang sah dan dilandasi kerelaan dua belah pihak),
- khalafiyyah (pergantian status kepemilikan tanah yang sah) berupa tanah warisan atau ganti rugi (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, V: 501).
Kita periksa kembali, siapa yang menghidupkan tanah di daerah tersebut. Bukankah warga, yang turun-temurun mengelolanya dari leluhur mereka terdahulu? Bukankah leluhur mereka itulah yang menghidupkan tanah itu (ihya’ al-mawat) dan mewariskannya kepada anak-cucu keturunannya sekarang? Maka warga-lah pemilik sah tanah tersebut. Hal ini menggugurkan klaim pihak perusahaan yang mengantongi izin pemerintah.
Para ulama menulis:
(مَسْأَلَةٌ) رَجُلٌ بِيَدِهِ رَزَقَةٌ اِشْتَرَاهَا ثُمَّ مَاتَ فَوَضَعَ شَخْصٌ يَدَهُ عَلَيْهَا بِتَوْقِيْعٍ سُلْطَانِيّ فَهَلْ لِلْوَرَثَةِ مُنَازَعَتُهُ ؟ الجَوَابُ إنْ كَانَتْالرَّزَقَةُ وَصَلَتْ إلى البائِعِ الأوَّلِ بِطَرِيْقٍ شَرْعِيّ بأنْ أَقْطَعَهَا السُّلطَانُ إيّاهَا وَهِيَ أرْضُ مَوَاتٍ فإنّهُ يَمْلِكُهَا وَيَصِحُّ مِنْهُ بَيْعُهَا ويَمْلِكُهَا المُشْتَري مِنْهُ (الحاوي للفتاوى للسيوطي ، 127)
(Persoalan.) Seseorang menguasai suatu kekayaan yang telah dibelinya, kemudian ia mati, lantas ada orang lain yang menguasainya dengan legitimasi stempel pemerintah, apakah ahli waris boleh menentangnya? Jawabannya: apabila kekayaan itu sampai pada penjual pertama secara syar’i, dengan gambaran bahwa kekayaan itu dulunya diberikan oleh pemerintah dan ia merupakan tanah yang mati (non-produktif), maka ahli waris itu dapat memilikinya serta sah untuk menjualnya, dan pembelinya juga sah atas kepemilikannya (al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawa, 127)
(مَسْأَلَةٌ ك) اِعْتَادَ بَعضُ السَّلَاطِيْنُ حِجْرَ المَوَاتِ لِنَفْسِه فَيَقُولُ هَذِهِ البُقْعَةُ مِلْكِي فَمَنْ زَرَعَ فيها فَعلَيْهِ كَذَا لَمْ يَصِرْ بِذلكَ مُحْيِيًا للأَرْضِ بَلْ مَنْ أَحْيَاهَا الإحْيَاءَ المَعْرُوفَ مَلَكَهَا إذِ الأَرْضُ لَا تُمْلَكُ اِلّا بِالإحْيَاءِ أو بإقْطَاعِ الإمَام إقطاعَ تَمْلِيكٍ (بغية المسترشدين للحبيب عبد الرحمن المشهور، 168)
(Persoalan dari Imam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi.) Sebagian penguasa (ketika berkuasa) terbiasa mengkhususkan sebidang tanah tak bertuan untuk dirinya, lalu berkata: “Tanah ini milikku, maka siapa menanaminya, dia wajib membayar sekian”. Pernyataan ini tidak dapat menjadi bukti bahwa dia adalah pihak yang menghidupkan tanah tersebut. Tetapi, pemilik sejati adalah siapa saja yang lebih dulu menghidupkan tanah itu dengan cara yang sah (ma’ruf). Karena sebidang tanah tidak dapat dimiliki kecuali dengan jalan menghidupkan (ihya’) atau pemberian dari imam dengan status hak milik. (Habib Abdurrahman al-Masyhur, Bughyat al-Mustarsyidin, 168)
Kalaupun misal saja tanah itu dulunya tidak diketahui asal-usulnya, lantaran tanah itu sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok bersama, maka pemerintah juga tidak diperbolehkan untuk memanfaatkannya semena-mena, termasuk untuk tujuan industri. Hal ini untuk menghindari keragu-raguan mengenai status hukum tanah tersebut. Analoginya adalah jalan raya.
قَالَ السُّبْكِي وَلَا يَجُوزُ لِوُكَلاَء بَيْت المَالِ بَيعُ شَيءٍ مِنَ الشّوَارِعِ وإن اتَّسَعَتْ وفَضُلَتْ عَن الحَاجَة لأنّا لاَ نَعْلَم أصلَه هَلْ أصلُهُ وَقْفٌ أوْ مَوَاتٌ أُحْييَ فَليَحْذَرْ ذلك وَإنْ عَمَّتْ به البَلْوَى (حاشية الشرواني للشرواني ، ج 6، 555-544)
Al-Subki berkata: “Para pemegang amanah baitul mal (penguasa) tidak boleh menjual sedikitpun dari jalan raya, sekalipun luas dan lebih dari keperluan, karena kita tidak tahu asal-usulnya, wakaf-kah atau tanah mati yang dihidupkan. Maka hindarilah tindakan itu sekalipun praktik itu telah mewabah di mana-mana”. (al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani, VI/544-545)
Perjuangan mempertahankan tanah milik yang sah diistilahkan di atas dengan munaza’ah. Munaza’ahini berarti penentangan. Dalam konteks agraria, hal ini berarti penentangan atas klaim-klaim yang dibuat secara tidak benar oleh pihak pemerintah maupun korporasi terkait status sebidang tanah. Seperti disebutkan di atas, munaza’ah ini boleh dilakukan oleh warga pemilik tanah atau ahli warisnya untuk merebut kembali kepemilikannya.***
http://islambergerak.com/2015/12/dalil-perjuangan-agraria/
0 comments:
Post a Comment