Spanduk-spanduk penolakan para petani atas pemagaran dan latihan militer terpasang di jalan Desa Setrojenar, Kecamatan Bulus Pesantren, Kebumen. Bagian lain, tampak pertanian warga tumbuh subur. Ada pepaya, cabai, singkong dan lain-lain.
Tak jauh dari sana, bangunan hijau dengan TNI berjaga-jaga di pos. Dinas Penelitian dan Pengembangan (Dislitbang) TNIAD, begitu nama bangunan itu. Ia menjadi sejarah penggunaan Pesisir Urutsewu oleh militer.
Pada 1982, TNIAD masuk ke Urutsewu dengan mendirikan Mess Dislitbang TNIAD di Desa Setrojenar. Saat itu, Kepala Desa Setrojenar, Ghozali. Otoritas TNIAD menggunakan tanah warga dan tanah desa atas persetujuan Kades. Kades menjual tanah bengkok dan tanah rakyat selebar 100 meter, dan 200 meter kepada TNIAD.
Tanah inilah untuk membangun Mess TNIAD. Sejak itu, klaim tanah TNIAD muncul. Bukan hanya lahan mess melainkan seluas 500-1.000 meter dari bibir pantai di sepanjang Pesisir Urutsewu– sebagai tempat latihan pengujian senjata dan alat perang.
“Ketika latihan militer, petani yang punya tanah di dekat pesisir juga dilarang masuk,” kata Kades, Mukhlisin.
Di desa itu, pada 16 April 2011 menjadi awal perjuangan masyarakat Urutsewu. Terjadi kekerasan oleh TNIAD.
Kiayi Imah Zuhdi bercerita, kala itu, warga membuat blokade pohon di jalan menuju lokasi latihan di Desa Setrojenar. Merasa ada gangguan, TNI membongkar blokade warga.
Melihat blokade dibongkar, warga kembali memalang jalan dengan kayu. Warga juga merobohkan gerbong TNIAD, dan melempari gudang peluru bekas yang lama tidak terpakai– dibangun di tanah milik warga.
TNI merespon dengan serangan. Tentara mengejar, menangkap, menembak dan memukuli warga. Kejadian ini menyebabkan enam petani kena pasal perusakan dan penganiayaan, 13 orang luka-luka, enam luka tembakan peluru karet. Di dalam tubuh petani bersarang peluru karet dan timah. Sebanyak 12 sepeda motor warga dirusak dan beberapa barang, seperti handphone, kamera, dan data digital dirampas paksa tentara. Kebrutalan ini, dikenal dengan Tragedi Urutsewu.
“Tidak ada anggota TNI dihukum, penegakan hukum hanya untuk masyarakat yang dianggap merusak,” kata Iman.
Dia mengatakan, alasan lain mereka menolak pemagaran dan latihan militer di Urutsewu karena, pernah ada peluru nyasar ke warga dan banyak sampah peluru ditemukan di lahan pertanian Setrojenar. “Ini mengkhawatirkan dan mengancam keselamatan warga.” Saat ini, katanya, TNIAD juga menghambat akses masyarakat bertani dengan pemagaran.
“Ironis, negeri agraris terus melanggengkan kebijakan mempercepat musnahnya rumah tangga petani,” kata Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria.
Gubenur Jateng, Ganjar Pranowo pertengahan September 2015 mengatakan, siap menyelesaikan persoalan Urutsewu. “Kami sudah koordinasi dengan Panglims TNI dan BPN, serta PJ Bupati Kebumen. Saya sudah laporkan ke Presiden Jokowi perihal Urutsewu.”
Dia mengatakan, sudah sejak lama memikirkan penyelesaian masalah lahan Urutsewu, bahkan sejak menjadi anggota DPR. Saat ini, katanya, sudah berbagai usaha termasuk mengumpulkan data. “Saya tidak mau ada korban lagi.”
Ganjar meminta, permasalahan Urutsewu menjadi perhatian. “Kita tinggal menunggu data-data bukti kepemilikan sertifikat warga melalui koordinasi kepala desa. Saya meminta kepada Pemerintah Kebumen cepat diselesaikan.”
***
Empatbelas September 2015, tim independen terbentuk. Ia terdiri atas tujuh orang dari berbagai kalangan ahli antara lain Universitas Gajah Mada (UGM) dan Badan Pertanahan Nasional.
Perwakilan Pemerintahan Pemprov Jateng Agus Hariyanto mengatakan, tim bertugas mengumpulkan data-data kepemilikan tanah di Urutsewu, baik TNI maupun warga setempat.
Setelah data kepemilikan terkumpul dan verifikasi, tim akan turun ke lapangan mengecek langsung. Lalu, mengeluarkan rekomendasi dan mediasi pada 25 November 2015.
Saya mencoba mendapatkan informasi dari Heri Susanto, Badan Pertanahan Nasional Kebumen juga anggota tim independen. Namun, dia tidak bersedia menjawab pertanyaan. “Mohon maaf, saya tidak ada kewenangan menyampaikan informasi yang diminta.”
Warga menilai tim ini tak adil. Karena selama proses, TNI tetap memagar lahan. “Harusnya diberhentikan dulu. Jika alasan kedaulatan NKRI, kami yang mempertahankan lahan pertanian juga berjuang untuk NKRI,” kata Sunu.
Jika berniat mediasi, katanya, seharusnya, duduk bersama dengan hati terbuka dan hentikan pemagaran.
Sunu mengatakan, belum ada hasil keputusan tim pada 25 November. Informasi yang dia peroleh diundur 15 Desember 2015.
Tim sudah turun lapangan mengecek bukti-bukti, baik masyarakat maupun TNI. Dalam tim, tidak ada satupun pelibatan pemerintahan desa atau warga. Tim hanya berkunjung ke lokasi dan memverifikasi bukti. “Namun kami belum tahu seperti bukti-bukti dan verifikasi tim terhadap TNI,” kata Sunu.
Sedang Seniman, warga Kaibon Petangkuran pada Selasa lalu bertemu Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo. Dia menunjukkan bukti-bukti sertifikat asli warga Urutsewu.
“Sampai kapanpun saya akan melindungi dan membela warga yang tanah dirampas untuk alasan pertahanan negara. Petani juga bekerja untuk pertahanan dan ketahanan pangan negara,” tegas Sunu. Habis
0 comments:
Post a Comment