Wednesday, March 20, 2013

Melawan "Land-Grabbing" dengan Berani Bertani

Tak perlu berdalih kepentingan apa pun selain mengabdikan peruntukan tanah-tanah kawasan pesisir Urutsewu sepenuhnya untuk pengembangan pertanian dan pariwisata rakyat.

Termasuk dalih dari kebiasaan lama dalam memanfaatkan kawasan ini untuk latihan perang dan ujicoba senjata berat militer. Karena kebiasaan latihan dan ujicoba senjata berat ini, yang pada awalnya berstatus numpang latihan tembak di kawasan pertanian warga, tapi ujung-ujungnya menjadi dalih klaim fihak militer dalam mengokupasi tanah-tanah milik, mencaplok tanah-tanah (land-grabbing) adat, menguasai tanah-tanah ulayyat serta tanah-tanah banda desa; jatuh ke dalam kekuasaan militer dan kekuasaan pemilik modal besar.

Sekarang, dalih okupasi tanah ini mendapat legitimasi formal dengan kemunculan Perda RTRW Kebumen. Kemunculan regulasi daerah ini amat kontroversial, di tengah gelombang massive penolakan ribuan petani pesisir yang dipaksa kehilangan akses berpartisipasi dalam penyusunan hingga penetapannya. Muncul dalam regulasi daerah ini, apa yang disebut dengan idiom kawasan hankam yakni zona pesisir sepanjang 22,5 Km tetapi justru di zona timur dalam satu kecamatan yang terdiri dari 6 desa dimutasikan sebagai calon areal tambang pasirbesi.

Tumpang tindih antara kepentingan strategis dan bisnis pertambangan menebar aura konspiratif yang sulit dicerna nalar sehat petani yang setidaknya selama satu dekade terakhir berhasil merintis pengembangan budidaya lahan hortikultura secara mandiri dan signifikan menjawab tantangan serta kebutuhan obyektif. Dua kepentingan besar ini tak bertarung, tetapi jelas-jelas mengabaikan hak sejarah, hak penguasaan dan pemilikan tanah petani sepanjang pesisir Urutsewu. [bersambung]  

0 comments:

Post a Comment