Friday, November 11, 2011

Penting: Menunda Pengesahaan Raperda RTRW


Respons eksekutif atas pandangan umum fraksi-fraksi DPRD (8/11) yang dipaparkan Kamis lebih terkesan formalistik ketimbang penjelasan representatif untuk menjawab perkembangan kondisi obyektif serta problem-problem tata ruang wilayah. Khususnya penataan ruang untuk kawasan Urutsewu di pesisir selatan Kabupaten yang pernah mendapat predikat terbaik  kedua dalam kepeloporan e-Gooverment di Indonesia. Ironinya, jika masuk di website resmi Pemkab maupun website lembaga Legislatif, jangan harap dapat mengakses info atau materi penting yang update. 

Jawaban Eksekutif atas pandangan umum fraksi-fraksi Legislatif terhadap Draft  Perda RTRW, hanyalah jawaban formalistik dan tidak secara substansial menjelaskan gambaran mendasar yang pasti untuk mengeliminasi konflik kepentingan pemanfaatan ruang kawasan yang ada. Dan Raperda yang konon telah melalui serangkaian tahapan, termasuk 5 kali FGD pun, menyiratkan tumpangtindih pemanfaatan wilayah. Demikian rangkuman analisis dalam diskusi di Sekretariat Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen, paska agenda jawaban Eksekutif atas pandangan umum fraksi di Gedung Dewan (10/11) itu.  
   
Petani vs TNI: Anak Ayam di Mulut Macan 

Banyak orang mengerti bahwa ada konflik di kawasan kultural Urutsewu. Konflik ini secara diametral dapat diidentivikasi merupakan konflik kepentingan antara petani pesisir dan militer AD atas kawasan pesisir. Pertarungan kepentingan telah secara eksplisit muncul menjadi insiden bentrokan berdarah dan jatuhnya korban petani luka dan rusaknya harta benda. Masalah ini, secara umum juga disoroti oleh sebagian besar fraksi melalui pandangan umumnya terhadap Draft Perda RTRW, yang dirumuskan dan diajukan oleh Eksekutif. Tetapi akar masalah dalam kemelut di kawasan budaya Urutsewu, sejauh ini belum diselesaikan dengan mediasi yang baik terlebih dulu.  

Dan Perda RTRW ini tak bisa dijadikan legitimasi untuk meniadakan konflik, karena akar masalah dalam konflik itu tak mendapat penyelesaian terlebih dulu. Inilah urgensinya. 

Penolakan petani terhadap kawasan hankam, penolakan petani terhadap rencana eksploitasi tambang besi; telah ditunjukkan berkali-kali melalui aksi Kabupaten dan aksi-aksi desa. Demonstrasi dengan atau tanpa FPPKS , tak menghilangkan makna resistensi petani pesisir terhadap pemanfaatan kawasan itu untuk kedua aktivtas; kemiliteran dan uji coba alutista maupun pertambangan pasir besi.

Jika pun Raperda RTRW yang sejak awalnya memang ditolak, karena substansi pemanfaatannya sebagai kawasan hankam akan dilegitimasi, padahal implementasinya jelas-jelas menghilangkan hak-hak ekosob dan hak pemilikan adat sekitar 4000-an Keluarga Tani di 15 desa. Maka penetapan menjadi Perda bakal memperburuk intensitas konfliknya. Sementara rentang masa berlaku Perda RTRW ini selama 3 dasawarsa.
Kenyataannya, setelah ribuan petani berulang setidaknya 2 kali berdemonstrasi mengelilingi alun-alun Kebumen dan mengepung gerbang kantor Kabupaten dan kantor Dewan; tak ada tindak lanjutan yang signifikan, dari pemerintahan sipil Kabupaten Kebumen. Kalau pun ada, namun proses awal yang mengarah pada mediasi forum yang sehat dan terbuka, dirusak oleh tindakan brutal sebagaimana insiden Sabtu (16/4) lalu. Bahkan paska itu semua, keberadaan para anggota Legislatif yang bungkam menyikapi semua persoalan ini, makin jadi ironi bahwa sebenarnya mereka mewakili siapa?

 Maka nasib petani Urutsewu dalam mempertahankan hak atas tanah waris agrarisnya, seperti nasib anak ayam yang disapih dari induknya. Lalu ribuan anak ayam ini dihadapkan pada macan yang pada dasarnya ganas.    

0 comments:

Post a Comment