Respons
eksekutif atas pandangan umum fraksi-fraksi DPRD (8/11) yang dipaparkan Kamis
lebih terkesan formalistik ketimbang penjelasan representatif untuk menjawab perkembangan
kondisi obyektif serta problem-problem tata ruang wilayah. Khususnya penataan
ruang untuk kawasan Urutsewu di pesisir selatan Kabupaten yang pernah mendapat
predikat terbaik kedua dalam kepeloporan
e-Gooverment di Indonesia. Ironinya, jika masuk di website resmi Pemkab maupun
website lembaga Legislatif, jangan harap dapat mengakses info atau materi
penting yang update.
Jawaban
Eksekutif atas pandangan umum fraksi-fraksi Legislatif terhadap Draft Perda RTRW, hanyalah jawaban formalistik dan
tidak secara substansial menjelaskan gambaran mendasar yang pasti untuk
mengeliminasi konflik kepentingan pemanfaatan ruang kawasan yang ada. Dan
Raperda yang konon telah melalui serangkaian tahapan, termasuk 5 kali FGD pun,
menyiratkan tumpangtindih pemanfaatan wilayah. Demikian rangkuman analisis
dalam diskusi di Sekretariat Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen, paska agenda
jawaban Eksekutif atas pandangan umum fraksi di Gedung Dewan (10/11) itu.
Petani vs TNI: Anak Ayam di Mulut
Macan
Banyak
orang mengerti bahwa ada konflik di kawasan kultural Urutsewu. Konflik ini
secara diametral dapat diidentivikasi merupakan konflik kepentingan antara
petani pesisir dan militer AD atas kawasan pesisir. Pertarungan kepentingan
telah secara eksplisit muncul menjadi insiden bentrokan berdarah dan jatuhnya
korban petani luka dan rusaknya harta benda. Masalah ini, secara umum juga
disoroti oleh sebagian besar fraksi melalui pandangan umumnya terhadap Draft
Perda RTRW, yang dirumuskan dan diajukan oleh Eksekutif. Tetapi akar masalah
dalam kemelut di kawasan budaya Urutsewu, sejauh ini belum diselesaikan dengan
mediasi yang baik terlebih dulu.
Dan
Perda RTRW ini tak bisa dijadikan legitimasi untuk meniadakan konflik, karena
akar masalah dalam konflik itu tak mendapat penyelesaian terlebih dulu. Inilah
urgensinya.
Penolakan
petani terhadap kawasan hankam, penolakan petani terhadap rencana eksploitasi
tambang besi; telah ditunjukkan berkali-kali melalui aksi Kabupaten dan
aksi-aksi desa. Demonstrasi dengan atau tanpa FPPKS , tak menghilangkan makna
resistensi petani pesisir terhadap pemanfaatan kawasan itu untuk kedua
aktivtas; kemiliteran dan uji coba alutista maupun pertambangan pasir besi.
Jika
pun Raperda RTRW yang sejak awalnya memang ditolak, karena substansi
pemanfaatannya sebagai kawasan hankam akan dilegitimasi, padahal
implementasinya jelas-jelas menghilangkan hak-hak ekosob dan hak pemilikan adat
sekitar 4000-an Keluarga Tani di 15 desa. Maka penetapan menjadi Perda bakal
memperburuk intensitas konfliknya. Sementara rentang masa berlaku Perda RTRW
ini selama 3 dasawarsa.
Kenyataannya,
setelah ribuan petani berulang setidaknya 2 kali berdemonstrasi mengelilingi
alun-alun Kebumen dan mengepung gerbang kantor Kabupaten dan kantor Dewan; tak
ada tindak lanjutan yang signifikan, dari pemerintahan sipil Kabupaten Kebumen.
Kalau pun ada, namun proses awal yang mengarah pada mediasi forum yang sehat
dan terbuka, dirusak oleh tindakan brutal sebagaimana insiden Sabtu (16/4)
lalu. Bahkan paska itu semua, keberadaan para anggota Legislatif yang bungkam menyikapi
semua persoalan ini, makin jadi ironi bahwa sebenarnya mereka mewakili siapa?
Maka nasib petani Urutsewu dalam
mempertahankan hak atas tanah waris agrarisnya, seperti nasib anak ayam yang
disapih dari induknya. Lalu ribuan anak ayam ini dihadapkan pada macan yang pada
dasarnya ganas.
0 comments:
Post a Comment