Thursday, November 03, 2011

Seri Lithungan Petak Umpet RTRW - 2

Entitas Cah-Angon Pesisir Urutsewu, Catatan Tata Ruang Wilayah – 2

Spirit dan kultur pesisiran dengan menyimak entitas cah-angon yang memiliki kekuatan karakter dalam membentuk identitas lokal dan paling konsisten dalam interaksi harian sejak abad lalu di kawasan ini, menjadi catatan budaya penting dalam proyeksi kedaulatan ruang wilayah bagi pemanfaatan dan kemaslahatan bersama. Sehingga pengabaian terhadap eksistensi lokal ini bakal beresiko memicu kerentanan sosial yang meluas. Ironisnya, posisi ideologis negara telah menjadi pelayan berbagai kepentingan besar atas pemanfaatan wilayah di situ. Lalu apakah posisi alat-alat atau perangkat negara juga difungsikan untuk melayani kepentingan itu ataukah benar-benar kepentingan sejati rakyatnya?

Dalam rancangan Perda Tata Ruang Wilayah yang baru (Bab.III ps.3) yang bertujuan mewujudkan perkembangan wilayah yang mandiri secara ekonomi dan merata pelayanannya melalui pengembangan agrobisnis yang berkelanjutan yang aman, nyaman dan produktif. Nampak lah bahwa tujuan penyusunan Raperda Tata Ruang Wilayah telah cukup baik. Karena menyediakan ruang kosmik bagi tata kemandirian ekonomi. Maping faktual kawasan pesisir selatan ini selain termasuk kawasan pertanian terutama hortikultura dan wisata tradisional juga sekaligus merupakan kawasan rawan bencana. Sementara pertarungan kepentingan yang ada dan mulai menunjukkan eskalasi issue begitu cepat , justru rencana ekspansi kapital di sektor tambang besi dengan dukungan politik militer.

Itu sebabnya resistensi petani pesisir menguat dengan cepat bahkan berevolusi menjadi konflik terbuka. Terlebih ketika militer mulai lupa kacang akan kulitnya, dengan dalih “kepentingan negara” menggunakan idiom kawasan hankam, hendak mengambil-alih penguasaan atas kawasan pesisir Urutsewu yang di atasnya melekat hak adat, ulayyat. Tetapi secara diam-diam menyetujui masuknya investor tambang besi, di “kawasan hankam” yang sama. Kepentingan investasi atau tepatnya serangan kapital ini (lagi-lagi) menginfiltrasi termasuk lewat wacana dan Raperda Tata Ruang Wilayah sejak beberapa tahun lalu. Pemkab setali tiga uang dalam menyikapi semua fenomena ini, meski jelas-jelas petani pesisir menolak semua rencana itu melalui beberapa kali demonstarsi massa terbuka.  

Catatan lain mengenai Kawasan Agraris (agrowisata) Urutsewu telah menorehkan luka pertentangan kepentingan paling serius di Kebumen selatan, setidaknya selama satu abad terakhir, dimana kawasan ini menjadi basis pertahanan terakhir dari Perang Jawa (1825-1830) di masa kolonial. Pertentangan interest ini bahkan telah berujung pada “serangan brutal” alat koersif negara terhadap rakyat petani di kawasan itu sebagaimana insiden yang terjadi di Blok Pendil, desa Setrojenar (16/4).        

2. Urutsewu Setelah Bentrok  

Manifestasi “Sedumuk Bathuk Senyari Bumi” sebagai landasan filosofis petani dan menguatkan rasuk dalam mengimani agama, dari aspek hubungan sosial telah menemukan momentumnya. Insiden “bentrok” Setrojenar, meski memang menghancurkan sendi-sendi perlawanan petani yang sejatinya bukan semata mempertahankan hak adat-ulayyat atas tanah. Juga melindungi bumi agrarisnya dari ancaman bencana, kehancuran ekologis, okupasi militer dan ekspansi kapital. Tetapi karena aspek penegakan hukum begitu lemahnya di negeri ini, maka karakter perlawanan kaum tani bukan lagi perlawanan ekonomi politik, melainkan telah berubah menjadi perlawanan ideologis. Tetapi bukan ideologi sesat sebagaimana slogan “Waspadai Bahaya Laten Komunis dan Ideologi Sesat NII” dalam spanduk yang dibentang musuh-musuhnya.
 
Lemahnya penegakan hukum menjadi fakta empiris yang sangat mencolok, terutama paska insiden “bentrok” Setrojenar, yang telah melukai setidaknya 13 petani (6 diantaranya luka tembak), 12 sepeda motor warga dirusak secara permanen oleh tentara dengan pola kekerasan yang sama.

0 comments:

Post a Comment