Entitas Cah-Angon Pesisir Urutsewu, Catatan Tata
Ruang Wilayah – 2
Spirit dan kultur pesisiran
dengan menyimak entitas cah-angon yang
memiliki kekuatan karakter dalam membentuk identitas lokal dan paling konsisten dalam
interaksi harian sejak abad lalu di kawasan ini, menjadi catatan budaya penting dalam proyeksi
kedaulatan ruang wilayah bagi pemanfaatan dan kemaslahatan bersama. Sehingga
pengabaian terhadap eksistensi lokal ini bakal beresiko memicu kerentanan
sosial yang meluas. Ironisnya, posisi ideologis negara telah menjadi pelayan
berbagai kepentingan besar atas pemanfaatan wilayah di situ. Lalu apakah posisi
alat-alat atau perangkat negara juga difungsikan untuk melayani kepentingan itu
ataukah benar-benar kepentingan sejati rakyatnya?
Dalam rancangan Perda Tata Ruang Wilayah yang baru (Bab.III
ps.3) yang bertujuan mewujudkan perkembangan wilayah yang mandiri secara
ekonomi dan merata pelayanannya melalui pengembangan agrobisnis yang berkelanjutan yang aman, nyaman dan produktif. Nampak
lah bahwa tujuan penyusunan Raperda Tata Ruang Wilayah telah cukup baik. Karena
menyediakan ruang kosmik bagi tata kemandirian ekonomi. Maping faktual kawasan
pesisir selatan ini selain termasuk kawasan pertanian terutama hortikultura dan
wisata tradisional juga sekaligus merupakan kawasan rawan bencana. Sementara
pertarungan kepentingan yang ada dan mulai menunjukkan eskalasi issue begitu
cepat , justru rencana ekspansi kapital di sektor tambang besi dengan dukungan
politik militer.
Itu sebabnya resistensi petani pesisir menguat dengan cepat
bahkan berevolusi menjadi konflik terbuka. Terlebih ketika militer mulai lupa kacang akan kulitnya, dengan dalih “kepentingan
negara” menggunakan idiom kawasan hankam, hendak mengambil-alih penguasaan atas
kawasan pesisir Urutsewu yang di atasnya melekat hak adat, ulayyat. Tetapi secara
diam-diam menyetujui masuknya investor tambang besi, di “kawasan hankam” yang
sama. Kepentingan investasi atau tepatnya serangan kapital ini (lagi-lagi) menginfiltrasi
termasuk lewat wacana dan Raperda Tata Ruang Wilayah sejak beberapa tahun lalu.
Pemkab setali tiga uang dalam menyikapi
semua fenomena ini, meski jelas-jelas petani pesisir menolak semua rencana itu
melalui beberapa kali demonstarsi massa terbuka.
Catatan lain mengenai Kawasan Agraris (agrowisata) Urutsewu
telah menorehkan luka pertentangan kepentingan paling serius di Kebumen selatan,
setidaknya selama satu abad terakhir, dimana kawasan ini menjadi basis
pertahanan terakhir dari Perang Jawa (1825-1830) di masa kolonial. Pertentangan
interest ini bahkan telah berujung pada “serangan brutal” alat koersif negara
terhadap rakyat petani di kawasan itu sebagaimana insiden yang terjadi di Blok
Pendil, desa Setrojenar (16/4).
2. Urutsewu Setelah
Bentrok
Manifestasi “Sedumuk
Bathuk Senyari Bumi” sebagai landasan filosofis petani dan menguatkan rasuk
dalam mengimani agama, dari aspek hubungan sosial telah menemukan momentumnya.
Insiden “bentrok” Setrojenar, meski memang menghancurkan sendi-sendi perlawanan
petani yang sejatinya bukan semata mempertahankan hak adat-ulayyat atas tanah.
Juga melindungi bumi agrarisnya dari ancaman bencana, kehancuran ekologis, okupasi
militer dan ekspansi kapital. Tetapi karena aspek penegakan hukum begitu
lemahnya di negeri ini, maka karakter perlawanan kaum tani bukan lagi
perlawanan ekonomi politik, melainkan telah berubah menjadi perlawanan
ideologis. Tetapi bukan ideologi sesat sebagaimana slogan “Waspadai Bahaya
Laten Komunis dan Ideologi Sesat NII” dalam spanduk yang dibentang
musuh-musuhnya.
Lemahnya penegakan hukum menjadi fakta empiris yang sangat mencolok, terutama paska insiden “bentrok” Setrojenar, yang telah melukai setidaknya 13 petani (6 diantaranya luka tembak), 12 sepeda motor warga dirusak secara permanen oleh tentara dengan pola kekerasan yang sama.
0 comments:
Post a Comment