Mengenal Entitas
Urutsewu, Catatan Tata Ruang Wilayah - 1
Fase Pembahasan Raperda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
Kab. Kebumen di lembaga legislatif (2/11), patut disinyalir bakal diagendakan
secara diam-diam. Diakui maupun tidak, demikianlah yang dikesankan oleh banyak
orang yang merefiew kehadiran draft serupa. Paparan Draft Raperda Tata Ruang
Wilayah yang sejak beberapa tahun lalu memunculkan kontroversi, terutama
mengenai pemanfaatan kawasan pesisir selatan Kebumen, yang secara massif
mendapat kecaman protes ribuan petani Urutsewu sejak 2007-2009; maka kini rancangan
Perda ini dilimpahkan ke lembaga legislatif tanpa diketahui publik secara luas.
Dalam draft yang lama, kawasan Urutsewu bakal ditetapkan
sebagai apa yang dalam idiom tata ruang disebut sebagai kawasan hankam yang lalu mendistorsi prasangka militeristik menjadi
“tanah milik” TNI-AD. Tetapi
implikasinya ditengarai amat jelas bakal menegasi atau menghapus hak sejarah,
hak adat dan hak pemilikan petani atas tanah-tanah di kawasan pesisir selatan
Jawa itu.
Wacana tata ruang yang tak berkeadilan dalam perspetif
kerakyatan, kini menyeruak lagi. Tak salah jika publik menaruh curiga. Karena
kontroversi penyusunan draft yang mengatur pemanfaatan kawasan ini, dan telah
memicu protes jadi gerakan penolakan massa rakyat luas, tidak pernah direspons
pemerintah dengan upaya mediasi yang baik. Dalam arti meninggikan bargaining-position rakyat petani dengan
segala kondisi dan perkembangan obyektifnya. Padahal di dalam rancangan yang
lama, rencana pemanfaatan pesisir selatan (kawasan Urutsewu) untuk kawasan
hankam dan latihan TNI (bahkan juga berimplikasi diterbitkannya ijin masuk bagi
investor tambang besi di kawasan yang sama); memiliki kerentanan yang tinggi
dari berbagai
aspek.
Issue mengenai
devisit anggaran daerah jadi semakin melegitimasi dalih-dalih dari prasangka
penguasa yang mempanglimakan investasi, alih-alih guna mendongkrak pendapatan
asli. Apakah mandat sosial dan otoritas daerah telah jatuh ke tangan yang salah
? Sementara penolakan terhadap segala bentuk pemanfaatan tata ruang yang
mengancam kepentingan petani dan ekologi pesisir bumi; justru tak dipermanai.
Sementara pemanfaatan suatu kawasan secara tak bijaksana, seperti tak pernah
mengingat akan darah yang pernah tertumpah dan jiwa yang melayang di atasnya.
Bagi masyarakat adat Urutsewu, jika akan memaksakan kehendak untuk
mengeksploitasi kawasan pesisir, baik dengan dalih kepentingan negara maupun
kepentingan tentara yang bergeser ke pengusaha. Maka itu artinya akan
memperpanjang kemelut masai di Urutsewu. Terlebih karena petani menolak
dibodohi para penggenggam otoritas daerah.
I.
Urutsewu
Sebelum Bentrok
Sebelum puncak konflik yang berujung bentrok Tragedi Sabtu
(16/4) di Blok Pendil desa Setrojenar, dan sejak jauh waktu sebelumnya memang TNI-AD
melaksanakan latihan dan ujicoba senjata berat (alutista) di sana. Bahkan sejak
pra Kemerdekaan, tentara Kumpeni dan Dai Nippon juga telah memanfaatkan kawasan
ini. Baik sebagai zona pertahanan maupun arena latihan perang. Paska
Kemerdekaan, selama lebih dari 27 tahun memang tidak menimbulkan friksi dengan
masyarakat, terutama dengan petani pesisir selatan yang populasinya telah
melewati lebih dari 4000-an KK pada sebaran yang mencakup wilayah 3 kecamatan
dan 15 desa. Nihilnya friksi, tidak berarti tak ada menimbulkan masalah. Hanya
saja, reaksi masyarakat waktu itu, selalu dapat diberangus serta
dimarginalisasi oleh hegemoni Orba.
Konflik tidak muncul karena pada era sebelumnya, TNI-AD
menyadari kedaulatan petani atas tanah-tanah di kawasan itu. Penolakan
masyarakat pesisir juga telah dimulai sejak awal penetapan TNI berlatih di
sana, yakni pada fase mulai dibangunnya Dislitbang-AD berikut fasilitas
pendukungnya pada rentang tahun 1980-an.
Di era awal, peruntukan pusat latihan sebenarnya ada di desa Ambalresmi, Kec.
Ambal. Tetapi diprotes petani dengan dukungan kalangan ulama, karena telah menimbulkan
ekses jatuhnya korban nyawa anak petani Ambalresmi.
Atas inisiasi seorang Kades Setrojenar, Moh. Gozali; pusat
latihan lalu dipindah ke desa Setrojenar. Pada tahun 1982 mulai lah dibangun fasilitas
Laboratorium Dislitbang-AD di atas tanah seluas 2 Ha yang terletak di Blok
Pendil lantur tepi hunian penduduk desa. Pengadaan tanah bagi pembangunan
Dislitbang-AD ini diperoleh dari jual-beli tanah bengkok desa ditambah tanah milik 4 petani desa, meski dengan
proses yang kurang menghargai hak-hak pemiliknya. Keterangan lain yang
mendasari pemanfaatan tanah pesisir, yang dalam Buku C desa diidentivikasi
sebagai blok persil D.5, dan dipinjam sebagai area latihan tentara; sebagaimana pernyataan
Kades Durohman bahwa TNI-AD meminjam tanah (areal pesisir) untuk latihan perang
dan lapangan raksasa ujicoba senjata berat.
Akan tetapi dasar pinjam tanah ini, kemudian dijadikan
legitimasi inventarisasi kekayaan negara dengan registerasi segala. Atau boleh
jadi menggunakan legitimasi dari aspek sejarah lain bahwa tanah pesisir ini
adalah “bandha kumpeni” yang pada
paska proklamasi disebut dengan “tanah negara”. Pada tahun 1932 memang
dilakukan pemetaan tanah di kawasan pesisir Urutsewu oleh pemerintah kolonial.
Pada masa yang dalam idiom lokal disebut Jaman
Klangsiran inilah muncul teori adanya “tanah negara” (sejauh tak lebih dari
250 meter dari air laut) sebagai produk dari sistem penjajahan. Tetapi karena
penjajahan di muka bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan
dan peri keadilan. Maka sebagai bangsa yang cinta kemerdekaan bagi tujuan
kemakmuran bersama; hapus pula lah semua warisan penjajah.
Tak ada tanah negara di Urutsewu, tak ada pula tanah tentara
di sana. Pada masa pergolakan Clash atau
yang disebut pula dengan jaman doorstuut,
sejarah Kebumen-an punya garis demarkasi yang posisinya ditengarai dengan
aliran sungai Kali Kemit yang
hilirnya berhimpun di DAS Kali Banda atau DAS Telamaya. Garis demarkasi sungai ini memisahkan wilayah Kumpeni di sayap barat sungai dengan wilayah RI di bentang timur
sungai atau Kali Kemit. Ada
masing-masing berurutan ke timur dari Kali
Kemit, terdapat Kali Abang, Kali
Karanganyar, Kali Kethek, Kali Cengkong, Kali (irigasi) Tengok, Kali Lukulo, serta
banyak sungai lain hingga Kali Rowo atau
Kali Wawar di batas timur Kab.
Kebumen dengan Kab. Purworejo. Tak ada tanah negara di Urutsewu, tak ada pula
tanah tentara di situ.
a. Sistem Distribusi
“lanturan” Tanah
Testimoni para saksi dan pelaku sejarah tanah di Urutsewu
juga menyatakan demikian lah adanya. Khusus untuk kawasan pesisir selatan ini,
terutama untuk blok lahan di selatan kampung hunian warga; sejak masa dan abad
lalu berlaku sistem distribusi tanah pertanian yang dikenal dengan sistem Lanturan atau Galur Larak. Sistem agraria dalam pembagian tanah pertanian ini
sangat mengedepankan keadilan sosial yang merata. Visi kemakmuran bersama
ditransformasikan dalam sistem distribusi tanah yang mengatur pemilikan sesuai
antara ketersediaan lahan dengan jumlah populasi petani.
Cara lanturan ini
menghasilkan masing-masing keluarga tani mendapat satu bagian dan disebut sebagi-lantur.
Sedangkan yang karena pertimbangan jumlah anggota dalam satu keluarga tani,
secara internal, satu bagian dibagi
lagi menjadi separuh dan disebut sigar-lantur.
Itulah sebabnya, secara tipografis, sistem distribusi Galur Larak ini menghasilkan
pemilikan domestik lahan yang tak seberapa lebar, tetapi dengan panjang ratusan
hingga ribuan meter. Ukuran lebar
pemilikan lahan di tiap desa jelas berbeda karenanya. Tetapi secara umum
berkisar antara 3,5 meter; 4,5 meter
hingga 7 meter. Sedangkan untuk panjang lahannya, sistem Galur Larak ini dimulai dari lantur
(tepi) desa, hingga berakhir ujungnya di zona kisik atau bayuasin (tepi
laut).
Secara administratif, pemilikan lahan ini diidentivikasi
berdasarkan kategori kelas tanah, dengan standarisasi “pethuk” dengan mengutip
data yang ada, yang berfungsi juga untuk penetapan dalam membayar pajak. Dan
untuk lahan produktif di selatan hunian warga desa, dibagi menjadi
persil-persil antara D.3 hingga D.5 di zona kisik
tepi laut.
b. Konsep Ekologi
“Brasengaja” dan Entitas “Cah-Angon”
Meskipun demikian, tak seluruh peruntukan lahan bagi pertanian
ini dimanfaatkan petani sebagai areal budidaya agraris. Faktor-faktor antara
keterbatasan mobilitas tenaga produktif, intervensi iptek yang rendah dan
kebutuhan lahan bagi pemenuhan aktivitas budaya lainnya, menstimulasi ide-ide
pemikiran mengenai pemanfaatan bumi pesisir secara arif, tetapi sekaligus
menjawab kebutuhan obyektif warga, khususnya petani. Dari perspektif ideal di
sisi lainnya, juga berlaku pomeo yang memuat kearifan yang berporos pada
keseimbangan pemanfaatan lahan.
“Jangan serakahi bumi dengan mengolah keseluruhan yang
dimiliki. Sebab kita butuh manfaat lain”, bunyi pomeo itu. Inilah rumusan ideal
yang melandasi cikal bakal munculnya zona yang dalam idiom lokal disebut blok
“brasengaja”. Yakni zona tertentu, dekat
pesisir, yang sengaja diberakan atau
tak dimanfaatkan untuk aktivitas budidaya pertanian. Tetapi, yang harus
diingat, bukan berarti zona yang sengaja dibiarkan ini merupakan “tanah tak
bertuan”. Di beberapa desa-desa kawasan Urutsewu, tanah-tanah di atas bentangan
zona “brasengaja” ini adalah tanah bandha
desa, tanah pemajekan dan tanah kisik. Tetapi secara adat, mengacu pada
sistem distribusi tanah lanturan di
masa lalu, di atas tanah-tanah itu melekat hak ulayyat.
Secara sosial, pemilikan ternak seperti kambing, biri-biri
dan lembu bersinergi dengan tradisi kerja mengolah lahan tanaman (dan bahkan
juga mengolah garam pada masa sirat
sebagai bagian dari kerja produktif), kemudian menciptakan pola-pola yang
mentradisi menjadi kebiasaan menggembalakan ternak petani. Tugas ini kemudian terbiasa
diambil-alih oleh kelompok yang karena konsistensinya membentuk relasi unik
yang diidentivikasi sebagai cah-angon. Secara
harfiah, cah-angon adalah para
penggembala ternak. Kelompok ini menjadi entitas sosial tertentu yang paling
konsisten, meskipun didominasi oleh kelompok usia anak-anak dan pra-remaja.
Di perbatasan desa Brecong dan Entak (batas kecamatan
Buluspesantren dan Ambal) terdapat grumbul atau dukuh Gunaman. Seorang warga bernama Djafar, bahkan menggembalakan semua
ternak biri-birinya hinga populasinya mendekati angka 100 ekor, hanya dengan
cara-cara gembala. Terik membakar kulit atau hujan badai dibelah petir pun, tak
menghentikan konsistensinya. Apresiasi sosial terhadap kultur dan entitas cah-angon yang istiqomah ini pun tinggi. Di hampir semua desa-desa sepanjang
kawasan agraris Urutsewu, di masa lalu, muncul tradisi entak-entik yang dilakukan bersamaan dengan Maulud, bulan dan hari
milad nabi Muhammad. Kini tinggal ke dua desa itu yang tetap melestarikannya..
0 comments:
Post a Comment