Wacana tata ruang menjadi perbincangan yang begitu
sensitif terutama yang berkaitan dengan rencana ditetapkannya pesisir Urutsewu
sebagai kawasan hankam melalui aturan daerah yang tengah diskenario
penetapannya. Di tengah kesan bahwa pemerintah seakan-akan hendak “memaksakan
kehendak” melalui penyusunan draft Perda RTRW yang kini mengendap di tangan Pansus DPRD. Warga di beberapa desa diresahkan
oleh rencana pelaksanaan TNI Masuk Desa. Bukan terhadap TMD nya, melainkan
terhadap ekses kegiatan ini terkait essensi konflik yang belum ditangani secara
adil. Aktivitas militer lain, seperti latihan menembak dan ujicoba senjata
berat yang tetap dilaksanakan di kawasan pertanian hortikultura, meski
jelas-jelas telah ditolak ribuan petani melalui serangkaian penyampaian
aspirasi hingga demonstrasi massa besar-besaran.
Aktivitas kemiliteran tetap saja dilaksanakan, bahkan
saat ada keputusan politik bersama tahun 2009 berupa himbauan untuk
menghentikan terlebih dulu semua aktivitas militer di Urutsewu sampai ada
penyelesaian yang permanen atas konlik agraria di kawasan ini. Latihan dan ujicoba senjata berat tetap
dilaksanakan, seperti disengaja guna menabrak kesepakatan serta mengaburkan
substansi adanya konflik yang belum diselesaikan. Kasus terakhir mengenai pelaksanaan
latihan militer, yakni jatuhnya pesawat (tanpa awak, tanpa ekspose) latih di
blok sawah desa Entak (Ambal), makin menambah fakta buruk ekses pemanfaatan
kawasan ini untuk aktivitas kemiliteran.
Makna Resistensi
Petani vs TNI
Belum pernah ada upaya mediasi yang serius dan
berkeadilan bagi petani atas konflik agraria di Urutsewu ini. Bahkan hingga
terjadi insiden “serangan brutal” tentara terhadap korban 13 petani dan merusak
selusin sepeda motor milik warga sipil. Penjeblosan 6 petani ke dalam penjara
sebagai ekses (kriminalisasi) atas konflik ini pun telah selesai. Nyata bahwa insiden
Sabtu (16/4) ini bukan hanya melukai belasan petani dan merusak belasan
kendaraan. Tetapi juga melukai rasa keadilan masyarakat secara luas. Terlebih
karena kriminalisasi terhadap petani tak diimbangi dengan penanganan hukum yang
jelas terhadap pelaku dan penanggungjawab seragan brutal atas warga sipil. Dengan
kata lain, TNI tidak menunjukkan keberanian untuk bertanggungjawab secara hukum
atas insiden kebrutalan yang dilakukan di lapangan.
Selagi beberapa masalah yang berkaitan dengan issue
konflik agraria di kawasan pesisir selatan Kebumen ini masih mengganjal,
rencana pelaksanaan TMD Manunggal yang akan memugar beberapa rumah petani warga
Urutsewu pun ternoda penolakan. Penanganan secara persuasif atas konflik
TNI-Petani sebagaimana dinyatakan pejabat militer daerah beberapa waktu lalu,
rupanya telah disikapi oleh petani secara kritis. Karena dalam ingatan kolektif
sosial, permasalahan ini bukan berdiri sendiri. Relasi problem yang akumulatif,
dari kriminalisasi petani, impunitas hukum militer, dan korelasinya terhadap
“ancaman” hak pemilikan adat atas tanah-tanah pesisir, membentuk sikap dan
resistensi yang sepertinya makin lama semakin kuat saja.
Menolak TMD
Warga beberapa desa di Urutsewu, terutama petani pemilik
lahan pesisir menolak pelaksanaan TMD. Yakni desa Setrojenar (Buluspesantren), Brecong
(Buluspesantren) dan desa Entak (Ambal). Ini amat fenomenal dan mungkin menjadi
fakta yang paling menohok idealisme issue-issue kemanunggalan TNI-Rakyat.
Apa hal essensial yang dapat jadi pembelajaran menarik
atas penolakan ini?
Warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan
pemilik lahan-lahan pesisir selatan, menyikapinya melalui musyawarah bersama. Ressume
diskusi kritis menghasilkan beberapa catatan penting berkaitan peran strategis
TNI di negara Republik ini.
Muncul berbagai anekdot dan ungkapan ketus yang
ujung-ujungnya mempertanyakan distrorsi peran strategis tentara sebagai alat
penjaga kedaulatan republik yang makin jauh biasnya. Ketika rilis-rilis media
memuat aktivitas tentara yang bekerjabakti tiap hari, bangun talud jalan dan
jembatan, menjadi panitia lomba pertanian. Tetek-bengek pekerjaan sipil dengan
pelaku pembauran tentara menjadi santapan reportase harian dimana-mana. Lalu
muncul pertanyaan: Memang begini ya fungsi TNI sekarang ini? Barangkali tanya
ini tak terlalu mengejutkan, tetapi jelas mengusik kesadaran.
Sementara di sisi lain, ada fakta-fakta lepasnya beberapa
pulau di Nusantara, yang tak terjaga dan lemahnya diplomasi internasional kita.
Belum lagi kasus-kasus pencurian hutan melalui pembalakan, aksi-aksi illegal-loging, pencurian kekayaan laut
dan potensi kemaritiman. Termasuk ancaman disintegrasi bangsa.
Penolakan petani Urutsewu terhadap aktivitas militer di
kawasan pertaniannya, bukanlah tanpa sebab. Lebih dari tiga dasawarsa kawasan
pertanian ini dipinjam TNI untuk segala macam latihan dan ujicoba senjata berat
dengan berbagai eksesnya. Dan jika tak menjelma jadi konflik terbuka itu bukan
berarti nihil penolakan petani, terutama para pemilik waris tanah-tanah pesisir
ini. Secara umum, menyikapi resistensi petani mesti lah disikapi dengan
pendekatan kepentingan strategis yang lebih besar. Kepentingan strategis yang
besar itu adalah urgensi yang diamanatkan Konstitusi, terutama bahwa kekuasaan
negara (atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) harus
dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.
0 comments:
Post a Comment