Tuesday, December 06, 2011

Untuk apa (sebenarnya) Tentara ?


Wacana tata ruang menjadi perbincangan yang begitu sensitif terutama yang berkaitan dengan rencana ditetapkannya pesisir Urutsewu sebagai kawasan hankam melalui aturan daerah yang tengah diskenario penetapannya. Di tengah kesan bahwa pemerintah seakan-akan hendak “memaksakan kehendak” melalui penyusunan draft Perda RTRW yang kini mengendap di tangan Pansus DPRD. Warga di beberapa desa diresahkan oleh rencana pelaksanaan TNI Masuk Desa. Bukan terhadap TMD nya, melainkan terhadap ekses kegiatan ini terkait essensi konflik yang belum ditangani secara adil. Aktivitas militer lain, seperti latihan menembak dan ujicoba senjata berat yang tetap dilaksanakan di kawasan pertanian hortikultura, meski jelas-jelas telah ditolak ribuan petani melalui serangkaian penyampaian aspirasi hingga demonstrasi massa besar-besaran.

Aktivitas kemiliteran tetap saja dilaksanakan, bahkan saat ada keputusan politik bersama tahun 2009 berupa himbauan untuk menghentikan terlebih dulu semua aktivitas militer di Urutsewu sampai ada penyelesaian yang permanen atas konlik agraria di kawasan ini.  Latihan dan ujicoba senjata berat tetap dilaksanakan, seperti disengaja guna menabrak kesepakatan serta mengaburkan substansi adanya konflik yang belum diselesaikan. Kasus terakhir mengenai pelaksanaan latihan militer, yakni jatuhnya pesawat (tanpa awak, tanpa ekspose) latih di blok sawah desa Entak (Ambal), makin menambah fakta buruk ekses pemanfaatan kawasan ini untuk aktivitas kemiliteran.

Makna Resistensi Petani vs TNI

Belum pernah ada upaya mediasi yang serius dan berkeadilan bagi petani atas konflik agraria di Urutsewu ini. Bahkan hingga terjadi insiden “serangan brutal” tentara terhadap korban 13 petani dan merusak selusin sepeda motor milik warga sipil. Penjeblosan 6 petani ke dalam penjara sebagai ekses (kriminalisasi) atas konflik ini pun telah selesai. Nyata bahwa insiden Sabtu (16/4) ini bukan hanya melukai belasan petani dan merusak belasan kendaraan. Tetapi juga melukai rasa keadilan masyarakat secara luas. Terlebih karena kriminalisasi terhadap petani tak diimbangi dengan penanganan hukum yang jelas terhadap pelaku dan penanggungjawab seragan brutal atas warga sipil. Dengan kata lain, TNI tidak menunjukkan keberanian untuk bertanggungjawab secara hukum atas insiden kebrutalan yang dilakukan di lapangan.

Selagi beberapa masalah yang berkaitan dengan issue konflik agraria di kawasan pesisir selatan Kebumen ini masih mengganjal, rencana pelaksanaan TMD Manunggal yang akan memugar beberapa rumah petani warga Urutsewu pun ternoda penolakan. Penanganan secara persuasif atas konflik TNI-Petani sebagaimana dinyatakan pejabat militer daerah beberapa waktu lalu, rupanya telah disikapi oleh petani secara kritis. Karena dalam ingatan kolektif sosial, permasalahan ini bukan berdiri sendiri. Relasi problem yang akumulatif, dari kriminalisasi petani, impunitas hukum militer, dan korelasinya terhadap “ancaman” hak pemilikan adat atas tanah-tanah pesisir, membentuk sikap dan resistensi yang sepertinya makin lama semakin kuat saja.

Menolak TMD

Warga beberapa desa di Urutsewu, terutama petani pemilik lahan pesisir menolak pelaksanaan TMD. Yakni desa Setrojenar (Buluspesantren), Brecong (Buluspesantren) dan desa Entak (Ambal). Ini amat fenomenal dan mungkin menjadi fakta yang paling menohok idealisme issue-issue kemanunggalan TNI-Rakyat.
Apa hal essensial yang dapat jadi pembelajaran menarik atas penolakan ini?
Warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan pemilik lahan-lahan pesisir selatan, menyikapinya melalui musyawarah bersama. Ressume diskusi kritis menghasilkan beberapa catatan penting berkaitan peran strategis TNI di negara Republik ini.

Muncul berbagai anekdot dan ungkapan ketus yang ujung-ujungnya mempertanyakan distrorsi peran strategis tentara sebagai alat penjaga kedaulatan republik yang makin jauh biasnya. Ketika rilis-rilis media memuat aktivitas tentara yang bekerjabakti tiap hari, bangun talud jalan dan jembatan, menjadi panitia lomba pertanian. Tetek-bengek pekerjaan sipil dengan pelaku pembauran tentara menjadi santapan reportase harian dimana-mana. Lalu muncul pertanyaan: Memang begini ya fungsi TNI sekarang ini? Barangkali tanya ini tak terlalu mengejutkan, tetapi jelas mengusik kesadaran.
Sementara di sisi lain, ada fakta-fakta lepasnya beberapa pulau di Nusantara, yang tak terjaga dan lemahnya diplomasi internasional kita. Belum lagi kasus-kasus pencurian hutan melalui pembalakan, aksi-aksi illegal-loging, pencurian kekayaan laut dan potensi kemaritiman. Termasuk ancaman disintegrasi bangsa.

Penolakan petani Urutsewu terhadap aktivitas militer di kawasan pertaniannya, bukanlah tanpa sebab. Lebih dari tiga dasawarsa kawasan pertanian ini dipinjam TNI untuk segala macam latihan dan ujicoba senjata berat dengan berbagai eksesnya. Dan jika tak menjelma jadi konflik terbuka itu bukan berarti nihil penolakan petani, terutama para pemilik waris tanah-tanah pesisir ini. Secara umum, menyikapi resistensi petani mesti lah disikapi dengan pendekatan kepentingan strategis yang lebih besar. Kepentingan strategis yang besar itu adalah urgensi yang diamanatkan Konstitusi, terutama bahwa kekuasaan negara (atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) harus dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyatnya.  

Jika dengan dalih kepentingan strategis (kepentingan negara) tetapi mengingkari sejarah dan hak-hak pemilikan petani, TNI akan menguasai kawasan itu; maka menjadi beda realitanya. Terlebih ada fakta bahwa fihak tentara menyetujui pemanfaatan pesisir 6 desa di Mirit untuk usaha pertambangan pasirbesi. Pertanyaan besarnya: Memangnya kawasan pesisir Urutsewu itu miliknya TNI? Maka pemaknaan terhadap filosofi Jawa Sedumuk Bathuk Senyari Bumi telah menemukan momentum tua manifestasinya...

0 comments:

Post a Comment