Wednesday, February 29, 2012

Hasil Diskusi "Menggagas Solusi Atas Permasalahan Agraria"




Pada acara ini dihadirkan tiga orang pembicara; Suhartono, S.H. (dari Kantor Wilayah BPN DIY), M. Faried Cahyono (peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM), dan Aris Panji (wakil dari Forum Komunikasi Masyarakat Agraris).

Acara ini diawali dengan penyampaian materi dari pembicara pertama, Suhartono, S.H. Menurut keterangannya tidak terdapat kasus konflikpertanahan di DIY, yang ada hanya sengeketapertanahan.


"Kalau konflik itu kan sampai gontok-gontokan, di sini ndak ada yang sampai begitu. Laporan yang masuk pada kami cuma soal sengketa saja."

Menurut beliau sistem administrasi pertanahan di DIY sudah tertib dan terstruktur dengan baik sejak dulu. Faktor historis menjadi satu hal yang penting di sini, karena terbukti sejak tahun 1926 pengusa sudah melakukan pendataan, pemetaan, dan pengukuran tanah di wilayah ini.

Persoalan yang paling sering muncul adalah masalah Sultan Ground (SG) dan Paku Alam Ground (PAG). Masyakat yang tinggal di sekitar area SG dan PAG kerap kali dibingungkan dengan samar-samarnya batas wilayah SG dan PAG. Menurut pembicara hal itu seharusnya tidak menjadi masalah sebab hakikatnya baik tanah SG mau PAG, pemanfaatanya adalah untuk masyarakat.

Sengketa yang sering muncul kebanyakan berada di daerah Sleman, Kota, dan Bantul. Dan kasus yang paling sering terjadi adalah soal adanya dokumen-dokumen palsu. Narasumber lagi-lagi menegaskan pada akhir penyampaiannya bahwa tidak ada konflik pertanahan yang terjadi di DIY.

Pernyataan tersebut justru dibantah mentah-mentah oleh pembicara kedua, Aris Panji. Beliau mengawali penyampain materinya dengan sebuah cerita daerah Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah.

Konflik yang terjadi antara TNI dengan warga perihal klaim kepemilikan tanah. Beliau sendiri saat itu ditangkap sebagai salah satu tersangka yang diduga profokator masa. Padahal menurut beliau, tanah yang menjadi sengketa itu memang hak milik warga, bukan TNI. Memang benar sejak zaman Belanda daerah itu menjadi daerah latihan militer, tapi luasnya dihitung sekitar 250 meter dari garis pantai, bukan 500 meter seperti klaim TNI.

"Saat zaman Belanda saja, ndak pernah pengusa menzalimi rakyat dengan merebut hak tanah mereka. Setelah merdeka ini, kok malah makin kacau!"

Di sini beliau mencoba menggaris bawahi peran pengusa dalam hal pertanahan. Menurut Aris Panji konflik pertanahan memang seharusnya tidak terjadi di Indonesia. Merujuk pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, semua tanah itu milik negara dan pemanfaatannya untuk kesejahteraan masyarakat. Jadi jika sampai terjadi konflik pertanahan, itu melanggar Pasal 33 UUD 1945.


Kebijakan pemerintah kerap dinilai tidak pro dengan rakyat. Banyak perusahaan besar yang begitu saja diizinkan mengobrak-abrik lahan milik rakyat dan menancapkan gedung-gedung besar. Efek eksternalitas yang ditimbulkan tidak cukup hanya dibendung dengan CSR yang tidak seberapa.Dari pihak pemerintah sendiri tidak jarang ada kebijakan yang bertabrakan.

"Kadang putusan yang keluar dari satu pihak pemerintahan, berbeda dengan pihak pemerintah lainnya. Padahal hal yang diatur sama, lha ini terus gimana?"

Menurut Aris Panji jika pemerintah ingin negara makmur dan SDA jauh dari ekploitasi, maka kepemilikan tanah sepenuhnya harus diberikan pada petani. Pembicara ketiga, M. Faried Cahyono justru menegaskan bahwa untuk menghindari pecahnya konflik tidak melulu harus fokus pada soal kepemilikan. Melainkan juga soal apa yang terkandung dalam lahan tersebut. 

Ketika ada sebuah lahan maka wajib dilakukan penelitian dan pengujian mengenai sumber daya apa yang terkandung di dalamnya, prospek daya guna lahan tersebut, dan hal-hal lain yang memiliki nilai ekonomis.

"Kalau mau bicara soal kesejahteraan, maka jangan malu untuk bicara soal harta benda."

Menurut penelitian yang beliau lakukan, sebagian besar konflik pertanahan dimotori oleh nilai ekonomis sumber daya alam yang terkandung dalam suatu lahan. Sumber daya alam di sini bersifat excludable but rivalry

Konflik biasanya pecah ketika kepemilikan suatu lahan telah berpindah tangan sementara pemilik sebelumnya tidak mengetahui tentang "harta karun" yang terkandung dalam lahanya. Setelah sadar bahwa lahan yang dulu ia jual murah ternyata mampu menghasilkan gudang emas, tuntut-menuntut pun tak terelakkan.

Di sinilah perhitungan yang matang diperlukan. Indentifikasi lahan dengan detil adalah hal pertama yang harus dilakukan. Jika penjualan lahan akhirnya terjadi, maka perhitungan untung-rugi maupun bagi-hasil harus benar-benar tepat. Unsur ekternalitas juga tidak boleh luput dari perhatian semua pihak. 


Dalam hal ini pemerintah memiliki peran yang penting. Pemerintah sebagai policy maker justru merupakan agen paling efektif untuk mencegah adanya eksternalitas. Caranya sangat sederhana, dengan aturan, kebijakan, dan kontrol yang baik dari pemerintah. Sejak awal pemerintah lazimnya menyadari bahwa indikator utama perhitungan benefit-cost di sini adalah kemanfaatan sosial. Sayangnya hingga detik ini tidak semua kebijakan pemerintah memberi manfaat bagi kepentingan umum. Semakin tumpulnya kontrol dan pengawasan pemerintah juga ikut memperburuk konflik pertanahan di negeri ini.



Tanggapan-tanggapan peserta diskusi membenarkan paragraf terakhir dari materi yang disampaikan M. Faried Cahyono. Hampir semua pertanyaan yang diajukan oleh peserta adalah soal kejelasan status kepemilikan tanah. Apakah tanah tersebut milik negara, milik rakyat, milik perusahaan, atau milik yang lain lagi? Di sini pemerintah dinilai tidak tegas dalam menanggapi persoalan, padahal masyarakat sudah mengadukan dan menanyakan kejelasan pemilik tanah tersebut pada pihak pemerintah daerah. Ketidakjelasan yang tidak membuahkan jawaban apapun ini keburu menyulut konflik di masyarakat. 



Konflik tersebut bisa jadi awalnya bersifat instrumental, tapi lama-kelamaan berubah menjadi konflik primordial. Seperti yang kita tahu, masyarakat yang merasa memiliki tanah ini umumnya masyarakat tradisional yang kehidupannya masih begitu mesra dengan tradisi dan nilai-nilai kuno. Primordialisme bisa secara latah menjadi motif mereka untuk mempertahankan tanah. Konflik primordial cenderung lebih sulit diatasi sebab yang menjadi tolak ukur di sini adalah norma-norma lokal. 

Sumber: http://regainyourpassion.blogspot.com/2012/03/hasil-diskusi-menggagas-solusi-atas.html

Amanda Wijayanti
Departemen Kajian Strategis dan Kebijakan Publik
BEM KM UGM

0 comments:

Post a Comment