Tuesday, August 23, 2011

Polisi, Tentara dan Negara; Pembiaran !

Setelah pemberitaan sebagaimana yang dapat disimak di sini maka pengabaian terhadap apa yang selama ini diperjuangkan petani Urutsewu (catat: bukan semata petani Setrojenar) memang telah diabaikan oleh negara. Disamping konflik Urutsewu tak pernah ditanggapi secara semestinya oleh fihak yang memiliki kewenangan terkait tuntutan penetapan peruntukan sebuah kawasan. Juga dengan melihat fakta dari insiden Setrojenar (16/4), ditambah fakta-fakta sidang di PN Kebumen yang masih tengah mengadili 6 petani sebagai tersangka. Maka cukup jelas, bagaimana mulai dari polisi, tentara dan aparatus institusi negara itu tak pernah memiliki sensitivitas terhadap kepentingan petani. Pemerintah sipil Kabupaten lepas tangan, politisi dan kalangan Legislatif daerah pun bungkam. Pembiaran ini lebih merupakan marjinalisasi petani yang sejatinya menjadi sokoguru republik ini.


Asumsi teoritik dalam hukum tanah yang mendalihkan bahwa Buku C Desa tak bisa digunakan sebagai bukti kepemilikan tanah, jadi penting dijelaskan porsi dan persepsinya dulu. Memang, Buku C yang memuat data tanah itu bukan bukti pemilikan. Karena bukti pemilikan tanah itu ya setrivikat tanah. Tetapi dalam konteks ini, sejatinya, semua proses menuju legalitas (sertivikasi) tanah itu harus berpijak dari data dan sejarah tanah; yang di dalam Buku C Desa itu dapat dijelaskan asal-usulnya. Jika orang keburu menjustivikasi bahwa data di Buku Tanah tak bisa digunakan sebagai bukti pemilikan. Maka alangkah malangnya nasib petani Indonesia. Betapa sialnya petani Urutsewu. Siapa yang bikin sikon jadi begini? Para penyelenggara negara. Semua memunculkan sinyalemen adanya perampasan sistematis tanah-tanah petani Urutsewu ini. Menarik kritikan dalam lagu "Desa" nya Iwan Fals: .. buat apa punya pemerintah, kalau hidup terus-terusan susah..".

Kegagalan Pengadilan

Semula petani Urutsewu berharap momentum pengadilan yang digelar untuk menghakimi 6 petani warga desa Setrojenar, Bocor dan Brecong, yang masih berlangsung hingga hari ini; dapat menjadi wasilah untuk membeberkan banyak fakta. Tetapi meskipun beberapa petani desa juga telah memberikan kesaksian di bawah sumpah, tak urung fakta-fakta pengadilan yang membeberkan relasi kausalitas perkara yang disidangkan; seakan tenggelam dalam cemooh sosial. Dan kenyataan hari ini, dimana Kodam IV/Diponegoro atas izin Menteri Pertahanan tengah mengajukan sertivikasi tanah. Dapat dijadikan preseden buruk yang melukai hati masyarakat petani dan pemberangusan sejarah pemilikan tanahnya. Maka jika BPN memproses dan meluluskan permohonan sertivikasi tanah pesisir yang diajukan Kodam IV ini, diyakini bakal menjadikan konflik Urutsewu lebih ruwet.

Fakta bahwa tanah-tanah pemajekan milik petani pesisir telah diklaim tentara sebagai zona kuasanya dan fakta lain bahwa sebagian kawasan pesisir (6 desa di Kec. Mirit) yang diklaim tentara ini telah "disetujui" Panglima Kodam IV/Diponegoro (surat tertanggal 25 September 2008) untuk bakal areal pertambangan pasirbesi pt. Mitra Niagatama Cemerlang. Telah cukup menjelaskan bahwa ada upaya sistematis untuk merampas tanah-tanah pesisir, karena fakta lapangan yang sesuai dengan data administrasi tanah (Buku C Desa) telah sama sekali diabaikan.

0 comments:

Post a Comment