Tuesday, August 09, 2011

"Kami Tetap Menolak Latihan TNI"

Pada bulan Puasa dimana digelar sidang-sidang yang menghadapkan 6 petani desa di muka hukum Indonesia. Sidang yang mengangkat 2 kasus dan digelar bersusulan hari, selalu mendapat apresiasi luas. Tak terkecuali para istri tersangka dan petani desa pesisir selatan, yang selalu aktif mengikuti jalannya sidang di tiap fasenya. Apa yang dikatakan para tersangka dan saksi kasus Setrojenar yang tengah dihadapkan ke muka hukum Indonesia, menarik untuk disimak dan dijadikan catatan tebal sejarah petani Urutsewu ini. Bahwa setelah semua yang terjadi dan dilewati, tidak merubah tuntutan umum petani pesisir; yakni ketetapan untuk menolak latihan TNI dan ujicoba alutsista di kawasan pesisir Urutsewu.

Sedikit demi sedikit kasus “bentrokan” tentara versus petani dapat diketahui sebab-musabab yang melatarinya. Karena pengrusakan gapura dan rumah peluru (16/4) maupun pemukulan terhadap kurir makanan tentara (11/4), merupakan bagian dari penolakan petani Urutsewu terhadap pemanfaatan tanah pertanian pesisir sebagai tempat latihan militer dan ujicoba senjata berat. Perihal penolakan ini, sejatinya, merupakan perlawanan mayoritas petani pesisir, terutama para pemilik dan penggarap lahan pasir di zona yang oleh fihak militer diklaim sebagai wilayah tentara dan yang dalam idiom tataruang diintrodusir dengan istilah “kawasan hankam”.

Penolakan terhadap “kawasan hankam” sebagaimana yang manifest dalam aksi demonstrasi massa sebelumnya, hingga aksi pada 23 Maret 2011 di kabupaten, adalah aksi petani yang berasal dari 15 desa di 3 kecamatan; Mirit, Ambal dan Buluspesantren. Basis penolakan “kawasan hankam” ini include dengan konflik baru yang berkaitan dengan issue rencana eksploitasi tambang pasirbesi di kecamatan Mirit yang mencakup pesisir 6 desa. Makanya dalam aksi demonstrasi massa terakhir, petani pesisir menuntut penetapan sesegera mungkin kawasan Urutsewu sebagai Kawasan Pertanian dan Pariwisata. Dan dengan begitu menolak pemanfaatan kawasan ini untuk kepentingan lain, termasuk sebagai “kawasan hankam” maupun “kawasan tambang pasirbesi”.

Karena menurut fakta yang ada, antara keduanya telah direncanakan dan punya saling keterkaitan dengan keberadaan militer di kawasan agraris Urutsewu. Dikeluarkannya ijin pertambangan pasirbesi di pesisir kecamatan Mirit oleh Kantor Perijinan Terpadu Kabupaten Kebumen, berhulu pula pada kebijakan fihak militer berupa “persetujuan” fihak TNI-AD melalui Surat Pangdam No. B/1461/X/2008, tertanggal 25 September 2008. Data lainnya, sebagaimana terdapat pada Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) pt. Mitra Niagatama Cemerlang (Jkt) mengenai keberadaan 317,48 Ha “tanah TNI-AD” di pesisir kecamatan Mirit. Padahal menurut keterangan BPN, termasuk BPN Jateng; tak ada secuil pun tanah TNI-AD di pesisir Urutsewu. Tak banyak yang tahu dan mungkin data ini dapat berubah, tetapi jelas bahwa kalau pun terjadi manipulasi data, maka yang melalukan kebohongan itu jelas bukan petani Urutsewu. Hingga kini, aura konspirasi ini belum terbongkar.

Data Desa Pesisir dalam Konflik Urutsewu

1. Buluspesantren
- Ayamputih
- Setrojenar
- Brecong

2. Ambal
- Entak
- Kenoyojayan
- Ambalresmi
- Kaibonpetangkuran
- Kaibon
- Sumberjati

3. Mirit
- Miritpetikusan
- Tlogodepok
- Mirit
- Tlogopragoto
- Lembupurwo
- Wiromartan


Fakta Pengadilan dan Fakta Lapangan

Fakta dari Pengadilan atas kasus Setrojenar, terutama pengrusakan gapura TNI adalah bahwa tindakan para tersangka yang berada di tengah massa itu terdorong karena provokasi tentara yang melakukan tindakan perusakan blockade warga. Tentara melakukan perusakan blockade saat warga melaksanakan ritual ziarah di makam dukuh Godi. Massa kemudian bergerak tanpa kepemimpinan, tanpa komando. Betapa pun kerasnya hakim dan jaksa berusaha mengungkap sinyalemen adanya provokasi yang mendorong tindakan anarkisme massa, fakta provokasi yang ada justru datang dari tindakan tentara ini.
Perihal tindakan provokasi tentara ini juga terjadi di lapangan saat kunjungan Bupati Kebumen ke Urutsewu (24/3) paska aksi demonstrasi FPPKS. Tentara melakukan “pendudukan” di desa Setrojenar sejak jam 01.00 dinihari dan dilanjut dengan konvoi ratusan motor pada pagi harinya. Kekonyolan yang sesungguhnya tak perlu dilakukan.

Kenapa massa merusak gapura? Relasi musabab tindakan ini menarik dicermati. Terungkap di pengadilan bahwa gapura (fondasi) itu ternyata dibangun di atas bahu jalan desa. Jalan desa ini punya sejarah seperti disampaikan saksi dalam sidang sebelumnya. Itu adalah tanah desa. Tentara membangun gapura di atas tanah desa tanpa ijin maupun pemberitahuan. Ketika hakim dan jaksa mendesak saksi dengan argument bahwa tanah desa itu tanah pemerintah, maka saat pemerintah menggunakannya tak perlu ijin. Maka saksi menjelaskan bahwa faktanya yang menggunakan itu “ABRI” bukan pemerintah. Negara ini adalah republic. Bukan juncta militer, TNI bukan lah pemerintah. Dan pengelolaan tanah desa itu ada pada pemerintahan desa. Nampak terasa ada tekanan pengadilan dalam persidangan kasus ini.

Sarana infrastruktur latihan TNI dan ujicoba senjata berat lainnya juga ada. Dan semua dibangun di atas tanah “pemajekan”, termasuk “rumah peluru” yang dibangun di atas tanah milik petani Setrojenar; tanpa ijin. Fakta di lapangan terdapat puluhan (33 buah) bangunan lain menyebar di sepanjang 20-an Km pesisir. Semua di tanah pertanian milik warga Urutsewu. Ada taut "benang merah" yang mengindikasikan hubungan antara kawasan hankam (istilah tataruang) dengan masuknya investor pasir besi. Antara keduanya adalah skenario satu paket, dalam fenomena konspirasi ekonomi politik besar menjelang realisasi pembangunan JLSS. Beberapa bukti telah ditemukan di luar pengadilan, oleh Tim Riset Independen dan Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen.
Tetapi yang paling menarik dari fakta pengadilan atas kasus ini adalah pernyataan para tersangka dan para saksi yang mewakili petani di bawah sumpah. Bahwa “Kami tetap menolak Latihan TNI”.

0 comments:

Post a Comment