Thursday, February 03, 2011

Testimoni Pelaku Sejarah - 1


SAMIDJA
Lahir tahun 1937, anak dari San Ngumar yang pada masa proklamasi Indonesia sudah berusia 8 tahun dan bersekolah SR di desanya.
Mengabdi sebagai bayan atau Kadus (1962 – 2006) di dusun Godi, desa Setrojenar. Sebagai pamong yang lama mengabdi masyarakat dan melayani hingga 4 kali pergantian Kepala Desa; maka suami Suparti dan ayah 5 anak ini dapat menuturkan banyak kejadian di Setrojenar pada masa lalu.
Dalam pengetahuannya, desa Setrojenar hingga kini telah mengalami 7 kali pergantian Kepala Desa. Mulai dari: Wonodilogo (masa kolonial), Sanahmad (1937-1962), Durohman (1962-1974), Ghozali (1974-1990), Mardjo (1990-1998), Nur Hidayat (1998-2006) hingga kini Surip Supangat (2006-sekarang) yang merupakan salah satu anak kandungnya dan telah lebih separuh melewati masa jabatan 6 tahunnya.
Pada masa Kades Durohman, yakni sebelum 1974, memang telah ada latihan TNI di pesisir desa. Bahkan juga pada sekitar tahun 1963-1964 yang pada masa itu masih disebut ABRI. Justru di rentang tahun ini banyak pohonan di kawasan pesisir yang rusak karena dipakai sasaran latihan tembak dengan mengambil posisi dari tepian desa menghadap ke arah selatan. Padahal pada rentang waktu sebelumnya, di kawasan pesisir (pada zona yang disebut juga Brasengaja) ini terdapat banyak pohon seperti dadap jaran, serut, ketapang dan kranji. Sekarang tinggal pohon nyamplung yang tersisa, dan kranji juga masih beberapa ada.
Pada masa jabatan Kades Durohman, latihan tentara masih tertib dan menghormati peran adat. Sepekan sebelum latihan menyampaikan surat terlebih dahulu dan essensinya minta persetujuan (ijin) latihan. Setelah itu Kepala Desa mengumpulkan seluruh pamong (perangkat desa) terlebih dulu. Baru kemudian jadwal latihan tentara disosialisasikan ke seluruh warga. Setelah tahap ini dilalui dan dikonfirmasikan, baru lah dari fihak ABRI memulai memasang tanda batas dengan klepet merah, pasang bendera merah sebagai penanda akan adanya latihan.
Tetapi pada masa berikutnya, yakni masa Kades Gozali (1974-1990), ihwal prosedur demikian tak lagi terjadi. Kalau pun ada surat, sifatnya tak lebih cuma sebagai pemberitahuan saja. Terutama setelah Kades ini masrahena (menyerahkan) persoalan latihan ke pertemuan ”serah terima” yang dimediasi kecamatan. Keputusan politis dan langkah Kepala Desa yang demikian tidak pernah dibicarakan sebelumnya dengan para pamong desa. Apalagi dimusyawarahkan dengan para petani warga desa Setrojenar. Pada rentang pemerintahan Kades ini juga ditengarai sebagai masa ”hilangnya pethuk” tanah. Pethuk di beberapa tempat disebut juga sebagai ”leter-D” adalah surat tanah yang merupakan kutipan dari Data Tanah atau Buku C pada tata administrasi desa.
Satu hal yang harus menjadi catatan penting mengenai kawasan latihan dan ujicoba senjata di pesisir desa, adalah bahwa pada mulanya peruntukan tempat untuk latihan adalah ”tanah negara” di pesisir. Nah, fakta sejarah mengenai ”tanah negara” ini adalah zona bebas di sebelah selatan ”Pal Budheg” , yang berjarak sekitar 200-230 meter dari garis air. Meski menurut kesaksian lain, sejak nenek moyang para petani pesisir telah mengolah tetani dari ujung desa hingga banyuasin atau tepi air laut. Sedangkan Pal Budheg dengan kodevikasi ”Q” dan 3 angka di belakangnya ini adalah bukti hasil pemetaan tanah pada tahun 1932. Patok beton ini, sejak masa itu, menjadi tanda batas antara ”tanah negara” dengan ”tanah rakyat”.

Fakta Sejarah tentang ”Tanah Negara” dan Mekanisme Pembiasannya

Maping pertanahan tahun 1932 yang dalam idiom lokal disebut masa ”Klangsiran” bukan saja menentukan batas antara ”tanah negara” dengan ”tanah rakyat”. Tetapi juga dipetakan klasivikasi tanah dengan menghasilkan pembagian kategori menjadi 5 persil atau kelas tanah yang di data administrasi disebut dengan persil mulai D-1 hingga D-5; dimulai dari jalan raya (kini disebut Jl.Daendels) hingga patok beton ”Pal Budheg”. Jadi, patok ini yang secara filosofis disebut Pal Budheg atau ”patok tuli” tetapi patok penanda ini jelas-jelas keberadaannya sebagai satu pembuktian sejarah batas tanah negara.
Perihal klaim militer tentang batas sejauh 500 meter dari garis air sebagai ”tanah negara” itu tidak ada dasar hukumnya. Jadi semata merupakan kebijaksanaan fihak desa, tetapi tetap dalam konteks ”pinjam pakai” untuk latihan dan belum pernah dimusyawarahkan dengan para petani pemilik tanah. Musyawarah hanya dilakukan dengan Kepala Desa waktu itu, yakni pada masa Kades Gozali. Dapat dikatakan bahwa klaim penguasaan ”tanah negara” sejauh 500 meter dari garis air itu adalah klaim sefihak. Tetapi fakta yang ada mengenai ini belum pernah ada terjadi mutasi kepemilikan baik dengan proses jual beli, sewa, maupun dengan cara apa pun lainnya. Kecuali bahwa DislitbangAD cuma pinjam pakai untuk keperluan latihan dan uji coba senjata berat. Pun soal pinjam pakai ini tak pernah lalngsung dimusyawarahkan dengan petani pemilik tanah.
Padahal, negara sekali pun, jika ia mau ambil membutuhkan tanah untuk pembangunan atau pun apa, harus mematuhi Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Memang pernah ada ricikan tanah, terakhir dilaksanakan pada sekitar tahun 2002; yakni pada masa jabatan Kades Nur Hidayat. Pada rentang masa ini amat kentara fihak DislitbangAD dalam memaksakan kehendak untuk dapat ”menguasai” sejauh 500 meter dari garis air itu. Padahal sudah jelas bahwa di dalam zona itu terdapat tanah-tanah pemajekan (tanah yang pajaknya dibayar petani ke negara) sejak dahulunya. Secara kasat mata, bahkan, nyaris terjadi insident bentrokan antara komandan DislitbangAD waktu itu, Kapt. Seno dengan belasan petani yang tengah melakukan pengukuran dalam ricikan tahun 2002. Pasalnya, karena Kapt. Seno menghalangi dan bahkan menantang ”duel” dengan warga.
Beruntung insident ini tak berlanjut, tetapi bagi para petani Setrojenar kasus ini menjadi investasi tenaga perlawanan di masa depan. Dan perlawanan paling terorganisir adalah demonstrasi massa pada 14 Mei 2009; dengan satu tuntutan: Tolak Latihan TNI di Urutsewu !

1 comment:

  1. semoga cepat terselesaikan sengketa lahan tersebut. . . saya sebagai warga kecamatan ambal sangat prihatin dengan adanya konflik tsb yang mengganggu stabilitas negara

    ReplyDelete