Membaca Surat Tanggapan Bupati ke Komnas HAM
Surat Bupati Kebumen No.590/6774 tertanggal 30 Juli 2010, yang ditujukan kepada Komnas HAM sebagai tanggapan atas surat Komnas HAM No.1.445/K/PMT/VI/2010 (tertanggal 22 Juli 2010); adalah merupakan tanggapan Bupati tentang latihan TNI di Urutsewu Kebumen.
Dalam surat ini, Bupati menjelaskan ke Komnas HAM bahwa pengaduan warga sebagaimana yang disuarakan melalui Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan dianggap tidak benar.
Menurut Bupati, tanah yang digunakan TNI untuk menjadi area latihan merupakan tanah negara yang memang diperuntukkan sebagai area latihan sejak 1937. Penjelasan tertulis Bupati soal ini adalah:
(1) Latihan TNI di Urutsewu (wilayah di pantai selatan Jawa Tengah yang meliputi desa-desa di Kecamatan Mirit, Ambal dan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen) dilaksanakan sejak tahun 1937 memanfaatkan tanah Negara dengan lebar k.l 500 meter dari air laut ke utara sepanjang k.l 22,5 Km. Dengan status sebagai tanah Negara maka tidak melalui proses peminjaman dengan warga sekitar sebagaimana dimaksud dalam surat dari FPPKS kepada Komnas HAM.
Makna apa yang terkandung dalam item (1) dari “surat bupati” ini?
Pertama, surat bupati ini mengandung pembohongan sejarah. Bagaimana tidak? Latihan TNI yang dilakukan sejak 1937 di Urutsewu itu jelas-jelas bukan latihan TNI. Siapa pun orangnya pasti tahu bahwa yang melakukan latihan sejak 1937 itu adalah bukan TNI tetapi tentaranya penjajah !
Kedua, penetapan status tanah Negara dan batas 500 meter dari air laut ke utara itu berdasarkan pada apa? Ditetapkan begitu saja? Apalagi bisa mencapai panjang 22,5 Km dan mencaplok pesisir 15 desa di 3 kecamatan. Musyawarah kah? Kapan? Di mana? Apakah penetapan status ”tanah negara” itu berlaku prinsip automatis bahwa tanah pesisir adalah tanah negara?
Ketiga, ada fakta lain yang diabaikan oleh Bupati dalam konteks sebagaimana disebutkan sebagai tanah negara. Fakta lain yang diabaikan itu adalah fakta sejarah. Cikal bakal ”tanah negara” di kawasan -Urutsewu- ini adalah apa yang dihasilkan dari momentum klangsiran tanah pada kurun 5 tahun sebelumnya; yakni tahun 1932.
Keempat, dalam isi ”surat bupati” item (1) ini menunjukkan bahwa Bupati telah gegabah karena tidak terlebih dahulu mempelajari aspek sejarah Urutsewu. Kalau pun belum mengerti maka Bupati dapat mendengar kesaksian sejarah kepada para pelakunya, mumpung masih ada. Tetapi dalam ”surat bupati” ini seakan Bupati cuma mau mendengar dari fihak tentara saja.
Dari item (1) ini saja telah menunjukkan betapa Bupati tak memahami persoalan secara mendalam. Apakah harus ada Bupati baru untuk pemerintah yang punya kemauan untuk mendengarkan hingga memahami persoalan yang sebenarnya?
( surat2 yang berkaitan dengan ini akan dishare di http://setrostelsel.blogspot.com )
Saturday, February 05, 2011
I. Bupati Baru untuk Urut Sewu; Perlukah?
Saturday, February 05, 2011
No comments
0 comments:
Post a Comment