Thursday, February 24, 2011

Tanggapan FPPKS terhadap Surat Bupati ke Komisi Nasional No:590/6774

Pada alamat pengiriman Bupati menulis:

Kepada :
Yth. Ketua Komisi Nasional
Di JAKARTA

Tanggapan FPPKS:
Tak bisa diterima, penulisan alamat tujuan yang tidak lengkap, apalagi untuk sebuah lembaga sekelas Komisi Nasional HAM yang punya legalitas dan legitimasi tinggi.
__________________________________________________

Skema berikut ini:
- Isi Surat Bupati (dicetak miring)
- Tanggapan (petani) FPPKS
__________________________________________________

Pada item selanjutnya Bupati menulis:

(1) Latihan TNI di Urutsewu (wilayah di pantai selatan Jawa Tengah yang meliputi desa-desa di Kecamatan Mirit, Ambal dan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen) dilaksanakan sejak tahun 1937 memanfaatkan tanah Negara dengan lebar k.l 500 m dari air laut ke utara sepanjang k.l 22,5 km. Dengan status sebagai tanah Negara maka tidak melalui proses peminjaman dengan warga sekitar sebagaimana dimaksud dalam surat dari FPPKS kepada Komnas HAM

Tanggapan FPPKS:
Pelaksanaan latihan tahun 1937 itu jelas-jelas bukan latihan TNI, tetapi latihan tentara kolonial. Sehingga mewarisi tradisi tentara kolonial yang merugikan kehidupan petani, tak bisa dibenarkan bagi cita-cita negara yang telah merdeka.
Pernyataan tanah negara dengan lebar k.l 500 meter, jelas merupakan klaim sefihak yang selalu dibuat-buat dan dibawa-bawa sebagai dalih untuk melegitimasi batas semu mengenai tanah negara.
Karena fakta mengenai sejarah tanah di pesisir Urutsewu adalah apa yang dihasilkan dari Klangsiran Tanah pada tahun 1932, oleh pemerintah kolonial dengan partisipasi petani Urutsewu. Bukti yang berkaitan dengan batas tanah negara dan tanah rakyat adalah keberadaan Pal-Budheg; dan ditandai dengan kodevikasi Q222 untuk desa Setrojenar (Buluspesantren), Q216 untuk desa Entak (Ambal) dan Q215 untuk desa Kaibon (Ambal)

Catatan: Pal-Budheg dalam idiom lokal adalah sebutan untuk patok batas tanah, sesuai dengan statement ”nDoro Klangsir” (petugas Agraria). Patok batas tanah ini di desa Entak (Kec.Ambal sebelah barat) disebut Pal-Keben, sedangkan di daerah Ambal timur, desa Kaibon, Kaibon Petangkuran, dst; disebut pal Tanggulasi.


(2) Terkait dengan pengaduan perihal pemasangan patok oleh TNI dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pada bulan Maret sampai dengan April 1998 dilaksanakan pengukuran batas tanah untuk daerah latihan dan ujicoba mulai dari muara sungai/kali Lukulo desa Ayamputih Kec. Buluspesantren sampai dengan muara sungai Wawar Desa Wiromartan Kec. Mirit dengan lebar k.l 500 meter dari air laut ke utara dan panjang k.l 22,5 Km dan ditandatangani oleh Kepala Desa yang lokasinya berbatasan dengan area Lapangan Tembak;

Tanggapan FPPKS:
2.a Konteks pelaksanaan pengukuran 500 meter itu semata-mata merupakan kepentingan DislitbangAD dalam memenuhi kebutuhan untuk terutama ujicoba senjata alutista. Tetapi substansi yang melekat di dalam jarak 500 m itu adalah fakta mengenai kepemilikan tanah sejak turun temurun. Sehingga segala bentuk kegiatan terkait pengukuran 500 meter ini bukan secara otomatis merupakan proses mutasi dan/atau pengalihan hak kepemilikan atas tanah.

Pemasangan patok pernah disebut oleh TNI sebagai penanda peringatan untuk saat latihan dan/atau uji coba senjata. Tetapi warga tidak percaya, karena jika untuk penanda (warning) maka cukup dengan pemasangan bendera merah seperti sebelumnya.

Di dalam item ”ditandatangani oleh Kepala Desa yang lokasinya berbatasan dengan Area Lapangan Tembak”konteksnya bukan persetujuan penyerahan dan/atau pengalihan status kepemilikan tanah; melainkan diketahui telah dilakukan pengukuran area untuk digunakan sebagai Lapangan Tembak.
Dengan kata lain, tandatangan Kepala Desa bukan merupakan persetujuan apalagi dijadikan legitimasi mutasi hak kepemilikan, tetapi konteksnya tetap dalam peminjaman area untuk latihan TNI dan area uji coba senjata.

Pengukuran 500 meter, yang dilakukan belakangan, telah membuktikan bahwa ”sebenarnya” tanah negara itu bukan sejauh k.l 500 meter dari bibir pantai ke utara.
Meskipun begitu, bagi TNI dapat dibiaskan maknanya, yakni dilakukan semata-mata untuk mencari legitimasi baru mengenai batas tanah negara; sebuah konspirasi yang memanipulasi fakta sejarah.

Akan tetapi, sejatinya, batas tanah negara itu berada pada bukti sejarah, yakni keberadaan ”pal-budheg”sebagai fakta sejarah yang sebenar-benarnya dan yang semestinya.


b. Surat Kades Setrojenar Kec. Buluspesantren Nomor 340/XII/2006 tanggal 12 Desember 2006 perihal pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang tanah Berasengaja menyatakan bahwa berdasarkan musyawarah dan kesepakatan warga desa Setrojenar dengan TNI-AD …………….. pada 1 (satu) yaitu: “Masyarakat desa menyetujui dengan adanya tanah berasengaja digunakan untuk latihan dan ujicoba senjata oleh TNI-AD. Dan tidak menyangkut siapa pengelola serta apa status pengelola lokasi tersebut”; 
Tanggapan FPPKS:
2.b Substansi sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Kades Setrojenar mengenai pemanfaatan tanah
Berasengaja untuk latihan TNI itu bukan berarti penghilangan dan/atau pengabaian terhadap hak kepemilikan yang melekat di atas tanah-tanah dalam zona Berasengaja.

Persetujuan Kepala Desa, tidak bisa diklaim sebagai representasi persetujuan masyarakat (para) pemilik tanah. Harus dicatat pula bahwa persetujuan mengenai tanah ”berasengaja” itu digunakan untuk latihan dan uji coba senjata.

Menurut Mantan Kades Nur Hidayat, Penyebutan (surat Kades) ini sebagai manipulatif dan tidak sesuai dengan kenyataannya; karena yang sebenarnya merupakan “bantahan”, terkait dengan pembagian hasil bumi atas pemanfaatan tanah areal latihan, tetapi dalam item ini dinukil hanya sepotong saja; sehingga membiaskan substansi dan konteksnya.

Secara historis, munculnya zona ”berasengaja” sebenarnya harus dilihat dengan 2 perspektif:
Pertama, merupakan manifestasi konsep ekologi masyarakat tradisi masa lalu di Urutsewu.
Kedua, oleh karena keterbatasan mobilitas tenaga sehingga zona itu masih ”sengaja diberakan” (belum dibudidayakan); akan tetapi juga semua ini dalam konteks pemenuhan kebutuhan tersediakannya area penggembalaan bagi ternak petani di desa-desa pesisir Urutsewu. Secara dialektis, perkembangan kebutuhan hidup seiring mekarnya jumlah populasi penduduk, maka zona Berasengaja yang di dalamnya melekat hak ulayat dan/atau hak kepemilikan petani setempat; zona ini dibudidayakan untuk pertanian, khususnya tanaman holtikultura.


c. Surat Camat Buluspesantren Nomor 621.11/236 tanggal 10 November 2007 perihal tanah TNI dari hasil musyawarah permasalahan tanah TNI pada tanggal 8 November 2007 di pendopo Kec. Buluspesantren yang dihadiri oleh Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV Purworejo, Dislitbang Buluspesantren, Kepala Desa Ayamputih, Setrojenar dan Brecong, Ketua BPD (3 desa), mantan Kades (2 orang) dan warga masyarakat dari 3 desa, yang intinya pada point 5 (lima) yaitu: ”TNI tidak akan mengklaim tanah rakyat kecuali yang 500 m dari bibir pantai tersebut sesuai aturan yang ada”;
Tanggapan FPPKS:
2.c: ”tanah rakyat kecuali yang 500 m dari bibir pantai”;
Bahwa di dalam 500 meter dari bibir pantai itu terdapat tanah rakyat yang disamping dari dahulu sudah merupakan ”tanah pemajekan” sehingga terdata pula di Buku C Desa dan ber SPPT (dulu disebut ”pethuk”); juga merupakan warisan para leluhur. Ini menunjukkan bahwa secara historis dan hukum administrasi pertanahan, tanah itu milik petani. Tetapi hak kepemilikan ini telah diabaikan oleh klaim sefihak tentang batas 500 m dari bibir pantai. Fakta lain terkait ”penetapan” 500 m ini adalah bukan dengan dasar hukum yang valid. Penetapan batas 500 m hanya didasarkan pada tradisi (baca: kebiasaan) tentara Kompeni; pun semua itu diragukan validitasnya.
Belakangan diketahui bahwa (meski tidak seluruhnya) bidang tanah di zona itu telah ada yang memiliki "Sertivikat Hak Milik".

Kesaksian warga menyebutkan, bahwa pada zaman fasisme Jepang pun; latihan kemiliteran dilakukan di selatan ”pal-budheg” dengan dibuat lorong dan kamuflase rumput ”gulung-gulung”. Makna dari testimoni ini adalah fasisme Jepang pun tahu ”hukum-hukum teritorial” yang telah jadi penetapan aturan sejak sebelumnya, yakni sejak paska Klangsiran Tanah tahun 1932; dimana batas ”tanah negara” adalah dari garis air hingga sejauh ”pal-budheg” saja; yakni sejauh k.l 200-230 meter.

Berdasarkan kesaksian lain, yakni Agus Suprapto, mantan anggota DPRD Kab. Kebumen; yang pernah melihat dokumen peta tanah pada Kantor BPN Jateng; tak ada tanah Hankam di Urutsewu. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan BPN Kebumen yang dikonfirmasi pada agenda audiensi dengan DPRD Kab. Kebumen, 13 Desember 2007: bahwa sampai sekarang tak ada tanah TNI di Urutsewu dan belum pernah mengajukan permohonan ke BPN.

Kesaksian lainnya, Sugeng, Paryono, Nur Hidayat (Setrojenar), pada saat
Musyawarah 8 November 2007 sebagaimana dimaksud dalam item (2.c) surat Bupati; fihak DislitbangAD (Alimudin) hanya menyosialisasikan bahwa “menurut Undang-Undang yang ada, di sepanjang pantai di seluruh Indonesia adalah tanah negara atau ’tanah hankam” , tanpa menyebut UU apa yang mengatur itu.
Ini dipandang sebagai tindakan pembodohan dan pembohongan public dan semata-mata hanya mengacu pada kepentingan sefihak DislitbangAD.
Tetapi, yang jelas, tak semua pemilik tanah di zona 500 meter dilibatkan dalam musyawarah ini; dan sejak dahulu hingga kini; belum pernah sekalipun tercapai kata sepakat maupun persetujuan dari masyarakat dalam berkali-kali musyawarah atau sosialisasi.


d. Patok dan peringatan kepada masyarakat yang letaknya berada di pinggir Jl.Diponegoro (JJLS) merupakan Ring Pengamanan terjauh sebagai tanda pemberitahuan oleh personel pengamanan supaya masyarakat tidak masuk melebihi jarak ......................... selanjutnya untuk menghindari anggapan dan pemahaman yang kurang tepat dari masyarakat /warga, sebagian besar patok itu sudah dilepas dan sebagian dicabut oleh masyarakat;
Tanggapan FPPKS:
2.d Tindakan pencabutan patok TNI oleh masyarakat, lebih karena perwujudan melindungi hak kepemilikan tanah rakyat yang terancam.
Disebut terancam karena memang paska tindakan ini muncul ancaman dari Panglima Kodam IV / Diponegoro waktu itu (SM,...) yang intinya: akan dilakukan pematokan ulang dan barangsiapa yang merusak patok TNI, akan diambil tindakan tegas.
Apa makna dari ”ancaman” ini, adalah menggugah ingatan kolektif massa akan sejarah meletusnya Perang Diponegoro, dimana tentara Kumpeni melakukan pematokan tanah-tanah rakyat.

Disamping ancaman ini, tengara patok sejauh ”ring Pengamanan I” 750 m dan bahkan “ring pengamanan lain” sejauh 1000 m; pada perkembangannya dijadikan dalih penguasaan dan/atau dalih yang mengarah pada kepemilikan DislitbangAD atas tanah di situ.
Bukti dari sinyalement ini adalah ”konsideran” apa yang kemudian muncul dalam naskah Bantek ”Executive Summary” penyusunan Draft RaPerda RTRW yang pertama. Draft RaPerda ini dipaparkan di DPRD pada 13 Desember 2007 oleh Konsultan Teknis dari CV. Wisanggeni, Magelang. Dan saat itu, ditolak, baik oleh DPRD apalagi oleh petani Kebumen Selatan.
Substansi dari Draft RaPerda RTRW-I adalah: rancangan penetapan kawasan Hankam/ TNI 1000 meter kali 22,5 Km. Juga bunyi fasal ”di kawasan Hankam tidak boleh ada kegiatan lain selain kegiatan pertahanan dan keamanan.
Betapa berbahayanya ”ruh” militerisme ini. Tetapi rupanya Bupati dan pejabat lembaga Negara lainnya tidak menyadarinya. Dan bahkan “lupa” dengan apa yang menjadi tuntutan petani dalam upaya-upaya hingga aksi demonstrasi massa sebelumnya.


e. Sebagai bukti jika tanah tersebut merupakan tanah warga (selain tanah berasengaja) yaitu pada saat Pemerintah Kabupaten Kebumen melaksanakan pembebasan tanah yang terkena Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) semua warga yang memiliki tanah tersebut mendapat ganti rugi dari Pemerintah Kabupaten Kebumen;
Tanggapan FPPKS:
2.e Item ini tak lebih hanya upaya manipulatif dalam TNI-AD membangun opini yang seakan “pro-rakyat”. Diktum dalam kurung (selain tanah berasengaja) itu, harus dimaknai ke dalam 2 perkara: pertama, bahwa tanah berasengaja, pada dasarnya -secara histories- adalah “tanah rakyat” karena berada di utara “pal-budheg”. Kedua, bahwa -secara filosofis- “tanah berasengaja” adalah tanah rakyat yang sengaja diberakan, dalam makna, tidak dibudidayakan untuk pertanian; karena dua hal: sebagai ”sabuk hijau” konsep ekologi dalam masyarakat tradisi dan sebagai zona untuk penggembalaan ternak penduduk.

Penjelasan ini mengandung “dualisme” dan tidak memiliki integritas. Faktanya pada awal penentuan trash jalan JJLS, Panglima Kodam IV/Diponegoro mengajukan permohonan pemberian ganti rugi pembebasan tanah TNI-AD kepada Gubernur Jateng sebagai Ketua Tim Pengadaan Tanah Provinsi. Artinya apa? TNI-AD berasumsi memiliki tanah di kawasan (Urutsewu) yang akan dijadikan trash JJLS.


(3) Terkait dengan kerusakan tanaman pertanian milik petani dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Surat Camat Buluspesantren Nomor: 621.11/236 tanggal 10 November 2007 perihal tanah TNI yang diralat/disusuli dengan Surat Camat Buluspesantren Nomor: 141/261 tanggal 1 Desember 2007 dari hasil musyawarah permasalahan tanah TNI pada tanggal 8 November 2007 di pendopo Kec. Buluspesantren yang dihadiri oleh Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV Purworejo, Dislitbang Buluspesantren, Kepala Desa Ayamputih, Setrojenar dan Brecong, Ketua BPD 3 (tiga) desa, mantan Kades (2 orang) dan warga masyarakat dari 3 desa, yang intinya yaitu: ”Apabila pada saat terjadi pelatihan yang mengakibatkan kerusakan tanaman milik warga yang berada di luar tanah milik TNI yang 500 m dari bibir pantai agar diberikan ganti rugi kerusakan yang dikoordinir oleh Bpk. Kapt. Suseno , sedangkan kerusakan yang ada di wilayah 500 m tidak ada penggantian kalau terjadi/ menimpa tanaman atau benda di sekitar tempat latihan;

Tanggapan FPPKS:
3.a Bahwa segala proses yang dilakukan, termasuk musyawarah, bersifat persetujuan pemakaian tanah (berasengaja, 500m) untuk latihan TNI. Hal ini tidak kemudian merupakan legitimasi pemakaian tanah dengan tujuan tersebut di atas dan menjadi dasar substansial dari kata tanah milik TNI yang 500 m , sehingga:

- tidak membedakan pengertian pemberian ganti rugi kerusakan tanaman di lokasi tertentu;
- kerusakan tanaman saat ada latihan bukan melulu yang diakibatkan langsung; tetapi akibat pelaksanaan latihan yang diikuti oleh larangan melakukan pekerjaan bagi petani (juga nelayan) jelas-jelas telah mengakibatkan kerusakan tanaman, terutama, pada saat harus merawat, menyiram serta penanggulangan di musim hama; tetapi lantaran ada latihan, tak bisa melakukan apa-apa..
- Disamping dampak kerusakan tanaman ini, kerugian petani (dan bahkan juga nelayan) yang tidak bekerja karena larangan selama ada latihan; tak pernah diperhitungkan.


b. Surat Kades Setrojenar Kec. Buluspesantren Nomor: ..... pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang Tanah Bera Sengaja menyatakan bahwa hasil musyawarah dan kesepakatan warga Desa Setrojenar dengan TNI-AD yang intinya dan tertuang pada point 3 (tiga) yaitu: “Jika sewaktu-waktu tanah tersebut tidak digunakan TNI untuk latihan , masyarakat berhak untuk menanam tanaman di lokasi tersebut dan apabila rusak akibat kegiatan latihan TNI masyarakat tidak berhak menuntut ganti rugi”;
Tanggapan FPPKS:
- Nukilan atas Surat Kades Setrojenar ini diambil sepotong dan tidak secara keseluruhan, sehingga dapat dilihat konteksnya secara lebih obyektif.
- Substansi dari item ini cuma retorika untuk dalih dan tujuan menguasai tanah milik petani dan/atau tanah milik desa.

c. Setiap TNI-AD selesai melaksanakan latihan menembak selalu dilakukan pembersihan lapangan maupun pengecekan tanaman masyarakat yang terkena dampak dari latihan, jika ada kerusakan tanaman sudah pasti dimusyawarahkan terhadap pemilik tanaman tentang kerugian. Hal tersebut sudah merupakan ketentuan dan aturan TNI setiap latihan;
Tanggapan FPPKS:
- Pembersihan lapangan memang harus dilakukan; tetapi pernah terjadi kasus ditemukannya bom mortir bersirip di lahan pertanian. Lalu diambil dan dibawa pulang oleh anak-anak dan meledak di rumah penduduk yang mengakibatkan kematian 5 anak secara tragis;
- Kerusakan tanaman tidak semata yang diakibatkan langsung dari pelaksanaan latihan, tetapi sebagai dampak tak langsung karena larangan melakukan kegiatan pertanian, sehingga tanaman holtikultura menjadi layu dan sebagian mati; terlebih ketika musim serangan hama.


4. Terkait dengan uji coba senjata berat berdasarkan keterangan dari pihak TNI-AD dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kegiatan uji coba yang dilaksanakan terutama penembakan dengan amunisis mulai dari caliber 5,56 mm sampai dengan radius maksimal bau yang masih terasa k.l 300 m sudah hilang terpecah angin sedang jarak dari pemukiman ke arah latihan k.l 800 m;
Tanggapan FPPKS:
4.a Penting diketahui bahwa latihan uji coba senjata berat menimbulkan bukan cuma dampak lingkungan saat terjadi latihan; akan tetapi dan terutama paska latihan dengan jeda waktu tak terukur, di kemudian hari dilakukan pemusnahan sisa latihan. Disamping amunisi mortir sisa latihan yang ditanam di lahan pertanian dan jelas-jelas berbahaya. Melainkan juga tindakan pemusnahan sisa-sisa amunisi dan barang-barang lain dengan cara dibakar di lokasi sebelah barat jalan akses ke pantai dan bahkan pembakaran amunisi yang juga dilakukan di tempat terbuka, di jalan rintisan perkebunan holtikultura.


b. Jenis rudal atau bom yang disebutkan oleh masyarakat, pengujian materiil ini bersifat menguji kemampuan terbang dan kecepatan meluncurnya badan roket dan tidak dilengkapi dengan hulu ledak sesuai perkiraan masyarakat, roket buatan PT. Dirgantara Indonesia hanya dilengkapi munisi caliber 90 mm menguji kemampuan ledakan yang ditembakkan ke tanggul atau gunungan kurang lebih 1.000 m;
Tanggapan FPPKS:
Perlu pengecekan terhadap amunisi (bom) mortir dengan kodevikasi 105 H HC SMOKE CTG M84C1; apakah berhulu ledak atau tidak.
Juga fakta penemuan bom sisa latihan TNI yang ditemukan anak desa Setrojenar, kemudian meledak dan menyebabkan kematian dengan cara yang tragis.

Substansi item b ini juga tidak secara jelas merupakan tanggapan atas pengaduan kami, sehingga jadi bias dan merupakan ”plintiran” masalah. Karena PT Dirgantara Indonesia, memang bukan “pabrik senjata”.

c. Di setiap pelaksanaan latihan TNI-AD sebelumnya sudah dilaksanakan peninjauan medan terkandung maksud untuk mengetahui keadaan medan sehingga dapat menyesuaikan dengan medan yang sebenarnya untuk kendali sarana dan prasarana maupun senjata yang digunakan.
Demikian untuk menjadikan maklum.

Bupati Kebumen; H. BUYAR WINARSO, SE
__________________________________________


Tanggapan FPPKS:
- tanggapan untuk item yang bernada retorika ini, sudah cukup jelas tergambar pada tanggapan kami sebelumnya.
- Secara keseluruhan nampak bahwa dalam hal ini, Bupati Kebumen, yang relative masih baru menjabat; tidak paham persoalan kami dan tidak mau bicara terlebih dahulu kepada rakyat, khususnya petani Kebumen selatan yang merupakan kontributor amat signifikan dalam pemenangan bursa pemilukada lalu. Kini petani kecewa pada Bupati yang diketahui “cacat budaya”.

0 comments:

Post a Comment