Tak rumit buat mencermati pola tentara dalam mencaplok tanah-tanah petani desa Setro.
Pertama, petinggi TNI-AD cuma mencopy-paste dan meneruskan sejarah kebijakan para penjajah negeri ini. Dengan kata lain, tentara meneruskan mekanisme penjajahan warisan kolonial Kompeni dan fasisme Jepang.
Kedua, membuat klaim sepihak pemilikan tentara atas tanah-tanah adat milik petani, membangun opinì publik lewat media. Sehingga nampak seolah nyata bahwa TNI-AD memang berhak atas keseluruhan zona di kawasan itu. Dengan kata lain, TNI-AD memanipulasi sejarah untuk pertahankan kepentingannya di sana, tetapi sejarah kepemilikan petani sendiri atas tanah itu sama sekali diabaikan.
Ketiga, secara politis mengeksploìtasi wacana Tata Ruang dan Wilayah kawasan Kebumen Selatan. Padahal siapa pun tahu bahwa sejak tahap riset bagi persiapan Raperda Tata Ruang, pada pertengahan Desember 2008 masyarakat sudah menolak sejak awal. Secara hukum tak ada penetapan Rencana Tata Ruang. Dokumen yang ada cuma Ressume Eksekutif dan jelas-jelas itu diprotes petani pada paparan pleno DPRD 14 Desember 2008; dan bahkan juga ditolak DPRD.
Bagaimana sebuah Executive Ressume yang dihujat rakyat dan ditolak pihak Legislatif ini bisa dipakai dasar klaim "pemìlikan" pihak Dislitbang TNI-AD atas tanah-tanah rakyat di kawasan pesisir?
Membaca Kepentingan TentaraTeori bahwa kawasan 'urut-sewu' adalah kawasan pertahanan dan keamanan boleh diterima hanya ketika negara dalam kondisi darurat. Misalnya dalam perang atau terancam atau diserang oleh negara lain.
Ada kesalahan besar dalam memaknai teori itu, terlebih dengan pandangan stereotip yang pada gilirannya meniadakan aktivitas produktif dan budaya (pertanian dan ruang publik) sebagaimana tercantum dalam Executive Summary Pemkab Kebumen, tahun 2007. Maka, makin besarlah keresahan rakyat.
Lalu untuk apa TNI-AD menebalkan muka dìsana?
Kesaksian Atas Sejarah TanahAda begitu banyak kesaksian yang bisa jadi referensi dalam menyìngkap selubung kepentingan tentara di sana.
Adalah Amad Bambung, penduduk desa Ayamputih yang dilahirkan pada 5 Maret 1921. Keturunan Dipamamad yang pernah mengabdi pada Sultan Hamengku Buwono IX ini, di tahun 1930 ( usia 9 tahun), masuk sekolah 'ongko loro'. Pada tahun ke dua, meski masa itu masih kecil, ia sudah diserahi 'setik' tanah orangtua yang merupakan waris leluhurnya.
Saksi pelaku sejarah tanah Urut-Sewu ini menuturkan bagaimana pada tahun 1932, saat ia mengikuti apa yang disebut sebagai proses “Klangsiran” tanah di kawasan itu. Klangsiran adalah suatu proses pemetaan tanah dan dilakukan oleh pejabat atau disebut Mantri Klangsir di masa penjajahan kolonial Belanda yang waktu itu dipegang Ratu Wilhelmina dan beralih ke Ratu Yuliana pada era berikutnya. Tanah yang diklangsir itu juga berarti diverifikasi berkaitan dengan kelas atau kategori tanah. Secara umum terjadi perubahan kelas tanah dalam klangsiran itu. Ada tanah yang semula baik menjadi jelek; begitu juga sebaliknya.
Dicontohkan tanah yang jelek berubah baik adalah tanah
tinggalan lepen atau tanah bekas sungai. Tanah berkategori baik tetapi berubah jelek adalah tanah yang terlanda sungai atau dilanda bencana alam lainnya. Untuk menandai tanah yang sudah diverifikasi dalam proses klangsiran itu dibuat tanda dengan pal atau patok tanah. Sedangkan tanah yang tidak terkena klangsiran meliputi: lumbung desa atau bandha desa, jalan, sekolahan dan tanah kuburan. Khusus untuk patok yang menandai batas antara desa dibuat lebih besar. Di luar batas ini diakui sebagai tanah Kumpeni, yakni tanah yang berada pada jarak 250 meter dari garis pantai.
Hingga kini, pal atau patok penanda itu masih ada. Masyarakat menyebutnya sebagai
pal budheg dan terdapat menyusur sepanjang pesisir. Di sebelah utara dari batas patok yang berjarak 250 meter dari air laut ini, adalah tanah milik kaum tani di masing-masing desa.
Fakta lain berkaitan dengan sejarah tanah pertanian Desa Setrojenar dituturkan oleh Samidja, mantan Kadus Dusun Godi yang telah bekerja sejak tahun 1962 saat Kades dijabat oleh Durohman. Pada saat itu telah ada batas atau pal yang berjarak 16 Km dari Kota Kebumen. Pal itu kini berada di lokasi dekat sungai LukUlo dan sekaligus merupakan batas Desa Ayamputih dengan Desa Tanggulangin. Areal tanah di utara pal ini adalah tanah milik rakyat; atau dalam idiom tradisi disebut tanah pemajekan.
Sejak tahun 1962 sebagai Kadus ia bertugas menarik pajak atas tanah-tanah di kawasan selatan Desa Setrojenar berdasarkan legalitas kepemilikan tanah yang disebut “pethuk” dan bukan dengan Tupi atau SPPT. Pada tahun 1963, di depan rumah ada tanah lapang yang kemudian ditempati oleh tentara.
Pada masa Kades Durohman itu ia menerima penjelasan bahwa kelak jika tanah di bagian selatan itu dipakai latihan tentara dan mengakibatkan kerusakan pada tanaman penduduk maka harus ada ganti kerugiannya. Dan jika tentara mau memanfaatkan untuk latihan harus meminta ijin kepada pihak desa. Pihak desa akan membantu mengumumkan kepada penduduk untuk tidak melewati ruas jalan Diponegoro ketika sedang ada latihan militer. Maka untuk jalan Diponegoro itu disebut pula sebagai Diponegoro Pemantauan.
Setelah masa Kades Durohman ini dan berganti dengan Kades Moh Ghojali, terdapat desas-desus bahwa Sang Kades menjual tanah desa. Kades Moh Ghojali memang menjual tanah desa, yakni seluas 50 meter ke selatan dan 200 meter ke timur pada lokasi dekat perempatan jalan desa itu. Di luar tanah desa ini, Kades Moh Ghojali tidak menjual tanah lainnya. Kemudian pada tanah itu dibangun kantor dan mess Dislitbangad dengan menambah beli tanah penduduk seluas 50 meter kali 200 meter bagian sebelahnya. Total tanah yang dibeli fihak militer seluas 100x200 m = 20.000 meter persegi.
Memang ada kegiatan pengurugan tanah di utara pal GG atas permintaan pengusaha dari Malang. Kebetulan Kadus dan Petengan menjadi mandor pengurugan blumbang.
Mantan Kadus ini juga bertugas pada masa Kades Mardjo selama 8 tahun berikutnya. Pada masa Kades Mardjo inilah muncul kemelut atas tanah pertanian Setrojenar yang diakibatkan oleh oknum tentara dengan memberlakukan sistem sewa dan bagi hasil. Komposisi pembagian atas hasil pertanian penduduk adalah sepertiga bagian hasilnya untuk Desa, sepertiga bagian untuk tentara dan sepertiga sisanya menjadi bagian petani.
Tanah Milik TNI-AD Cuma Asumsi Momentum kasus ini menyebabkan asumsi atau anggapan bahwa tentara memiliki tanah di areal pertanian itu. Demikian juga yang terjadi ketika Kades Setrojenar berganti Nur Hidayat selama 8 tahun. Sebagai mantan Kadus yang mengetahui sejarah tanah pertanian Setrojenar, ia merasa tidak rela apabila tanah-tanah itu diklaim sebagai milik tentara. Alasan lain yang lebih mendasar dari semua itu adalah kenyataan bahwa semua tanah itu
merupakan tinggalan dari alur waris para orang tua di masa lalu.
Kesaksian juga diberikan oleh Lasidja, bahwa di Brecong dan Setrojenar khususnya dan Buluspesantren pada umumnya, tidak atau belum ada tanah milik ABRI atau TNI-AD. Jika ada asumsi bahwa sejak jaman Belanda tempat itu sudah jadi tempat latihan itu tidak benar. Lebih aneh lagi jika Dislitbang AD mengklaim memiliki tanah di kawasan itu atas dasar apa? Atas dasar tinggalan sejak jaman Belanda?
Pada masa lalu, kepentingan pemerintah kolonial Belanda di kawasan ini, menurut sepengetahuannya, bermaksud membangun kawasan pariwisata. Tetapi pada akhirnya rencana ini gagal karena kekalahan Belanda atas Jepang dalam perang. Rumah-rumah yang dibangun ditinggalkan oleh Belanda dan hingga sekarang sisa-sisanya masih ada.
Dalam hal kemelut tanah di kawasan “urut-sewu” ini, sebagian besar petani penduduk Desa Kaibon Petangkuran di Kecamatan Ambal berada pada posisi yang sama dengan petani Desa Setrojenar. Seorang Sarengat, penduduk Kaibon Petangkuran yang juga memiliki tanah di kawasan ini mengingatkan hasil-hasil pertemuan saat audensi ke DPRD Kabupaten Kebumen, pada 14 Desember 2008 lalu.
Saat itu ada bertemu para pihak yang berkaitan dan berkepentingan dengan tanah pertanian di kawasan :urut-sewu”, seperti Asisten Bupati, BPN, Camat, Wakil dari Kodim 0709 Kebumen, serta pelaksana riset bagi perencanaan Tata Ruang yakni CV. Wisanggeni dari Magelang. Tak kurang pula beberapa lembaga masyarakat, LBH, LSM, aktivis mahasiswa dan perwakilan petani dari desa-desa di kawasan Kebumen Selatan.
Jika kini TNI-AD mengaku memiliki tanah dengan mendasarkan pada aturan Tata Ruang dan Wilayah, itu sama sekali tidak benar. Pasalnya, semua yang dipaparkan waktu itu hanya Ressume sebagai hasil riset CV. Wisanggeni Magelang. Semua perwakilan desa yang hadir memprotes dan DPRD sendiri menolak serta meminta Ressume itu direvisi dahulu. Setelah itu, sampai sekarang, belum pernah ada penetapan rencana Tata Ruang menjadi aturan yang secara hukum memiliki cukup syarat untuk diberlakukan.
Dengan kata lain belum ada aturan mengenai pemanfaatan Tata Ruang di kawasan ini, termasuk pemanfaatan bagi aktivitas pertahanan dan keamanan.
Pernyataan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sendiri terkait dengan status tanah itu menyatakan bahwa untuk tanah-tanah di kawasan pantai itu belum ada yang memiliki. Artinya, tanah-tanah yang ada masih dikuasai oleh masing-masing desa. Sedangkan dalam Buku C desa, jelas bahwa yang berhak atas tanah itu tak lain adalah para petani, penduduk desa yang selama ini memelihara dan membayar pajaknya. Jika ada pihak-pihak lain, termasuk TNI-AD yang mengaku memiliki, maka amat tak berdasar dan telah mengingkari hak-hak masyarakat tani atas tanah.