Sunday, October 15, 2017

Teror Terus Menghantui Warga Sambirejo


SRAGEN - Judul diatas memang agak provokatif, namun perlu dijelaskan bahwa di dalam KBBI versi daring, teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sedangkan meneror adalah berbuat kejam (sewenang-wenang dan sebagainya) untuk menimbulkan rasa ngeri atau takut. Inilah yang saat ini dirasakan oleh warga Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah, merasa tidak aman sebagai warga negara yang seharusnya mendapat perlindungan oleh negara. Anehnya, pelaku teror justru datang dari aparat negara yaitu kepolisian.

Pada tanggal 1 Oktober 2017 terjadi lagi pemanggilan oleh Polres Sragen. Pemanggilan ditujukan kepada Mbah Narji, Ketua FPKKS (Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo) sebagai saksi dalam perkara tindak pidana Mengerjakan, menggunakan, menduduki dan menguasai lahan perkebunan tanpa hak/secara tidak sah, sebagaimana dimaksud dalam 107 ayat (a) UURI No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Pemanggilan ini terjadi pasca diselenggarakannya Peringatan Hari Tani Nasional oleh FPKKS pada hari Senin, 25 September 2017 di lapangan Dusun Bayanan Desa Jambeyan Kecamatan Sambirejo. Acara tersebut dihadiri oleh seluruh anggota FPKKS sejumlah 750 orang dan mengundang Bupati, DPRD, BPN, dan sejumlah organisasi kemasyarakatan di Jawa Tengah diantaranya KPA, API, Yaphi solo, LBH Jogja, Formas, dan Komite 65.
Tidak selesai dengan mbah Narji, pada tanggal 10 Oktober 2017 pihak Polres Sragen juga kembali memanggil Ibu Marsih dengan menggunakan pasal yang sama. Menurut Ipur, Koordinator KPA Jawa Tengah upaya pemanggilan oleh pihak kepolisian merupakan bentuk teror untuk menakut-nakuti warga agar tidak masuk lahan sengketa yang diklaim milik perkebunan. Ini bukan yang pertama kali terjadi, tahun lalu bahkan sampai ditahan di Mapolres.

Dewi Kartika, Sekjend KPA mendesak agar pihak kepolisian tidak dengan mudah menerima laporan pihak PTPN IX dan memakai pasal-pasal karet untuk menjerat warga Sambirejo. “Ini adalah konflik agraria, seharusnya pihak kepolisian bisa bersikap negtral dan tidak memihak perusahaan” tegas Dewi.
Konflik agraria antara PTPN IX dengan warga Sambirejo sudah berlangsung sejak tahun 60 an. Pada awalnya PTPN IX berusaha untuk memperluas lahan perkebunannya dengan cara menyewa tanah warga, namun usaha tersebut tidak pernah berhasil. Warga yang sudah memiliki tanah secara sah berdasarkan SK No.2971X1172/DC/64 dan 3891z/173/72/DC164 yang dikeluarkan oleh Kepala Inspeksi Agraria Daerah (KINAD) Jawa Tengah pada 4 Januari 1964, tidak pernah memberikan tanah tersebut untuk disewa oleh PTPN. 
Namun meletusnya peristiwa Gestok 1965 dimanfaatkan oleh pihak PTPN dengan menyebarkan isu bahwa semua warga yang mempertahankan tanahnya adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Tanah yang dikuasai oleh warga dengan mudah dirampas oleh PTPN IX dan mengganti semua tanaman menjadi tanaman karet. Sampai sekarang korban penggusuran yang terjadi sejak 1965 lalu masih menumpang di rumah keluarga dan kerabat lainnya. (AW)
Sumber: KPA

0 comments:

Post a Comment