Wednesday, July 27, 2016

Konflik Urutsewu Belum Selesai



 MASA TENANG: Petani dan warga Urutsewu acap menggelar tahlil maupun mujahadah di saat masa tenang menunggu tim mediasi bentukan pemerintah menyelesaikan tugasnya. Kesempatan seperti ini juga digunakan untuk membahas perkembangan terakhir konflik agraria yang tak kunjung usai.. [Foto: FPPKS-USB]

Kesenyapan issue seputar perlawanan petani pesisir Urutsewu dalam melawan ketidakadilan agraria di kawasannya, seperti layup terlindih kabar pergolakan petani daerah-daerah lain di seantero negeri. Bagi petani di kawasan pesisir Urutsewu, rentang kesenyapan ini dimulai saat pemerintah menunjuk tim mediasi yang belum menjelaskan ressume dari keseluruhan investigasinya.

Kesenyapan demikian bagi sebagian fihak berasumsi bahwa konflik agraria di kawasan pesisir sepanjang 22,5 kilometer ini telah diusaikan. Namun bagi sebagian fihak lainnya, kesenyapan ini mengusik jadi pertanyaan yang berjajar pada penantian kabar: bagaimana perkembangan Urutsewu hari ini? Penyelesaian konflik dengan metode mediasi yang belum juga terlaksana dan dipandang tak berkeadilan sejak langkah awalnya, memang ampuh meredam gejolak massarakyat.
  
Sementara pada rentang kesenyapan yang tersisa, pembangunan pagar tentara yang menerjang lahan-lahan holtikultur; dibiarkan terlanjur. Menyikapai kasunyatan ini, meski dengan setengah hati; pada kenyataannya memang banyak petani berharap pada hasil investigasi tim independen bentukan pemerintah. Karenanya saat tim ini bekerja, petani bukan saja tak merespons sepenuhnya. Namun juga mengangkat realitas seperti ini dalam sarasehan-sarasehan informal.


Dislitbang-AD Merekonstruksi Gapura

Paska pemagaran pesisir, ditengah kabar akan datangnya pejabat Kasad awal Agustus 2016 ini, Dislitbang TNI-AD yang bermarkas di desa Setrojenar membangun kembali gapura lapbak di ujung depan jalan desa. Gapura mana yang pada peristiwa “Tragedi Urutsewu” (16 April 2011) dirubuhkan oleh massarakyat karena gapura ini dipandang layaknya simbol eksistensi militer yang dengan dalih kepentingan nasional merampas lahan-lahan pertanian warga.

Tema besar penolakan rakyat luas atas penetapan kawasan militer di pesisir selatan ini juga telah mengkonstruksi begitu kuat pemikiran kolektif warga. Sehingga ketika fihak Dislitbang AD berniat membangun kembali gapura ini; keresahan menyeruak. Terlebih saat ditelusur ternyata tak ada koordinasi maupun ijin ke pemerintah desa. Akses masuk ke Desa Setrojenar itu memang merupakan jalan desa, demikian juga titik dimana gapura berdiri juga merupakan tanah desa.

Barangkali, lagi-lagi, militer beranggapan bahwa pembangunan gapura itu adalah “kepentingan negara”; sebagaimana juga mereka berdalih saat membangun pagar di sepanjang pesisir Urutsewu. Dan atas dalih program nasional serta kepentingan negara itu pula para aparat memukuli petani saat ditanyakan legalitas pemagarannya.

Atas desakan beberapa warga ke Pemerintah Desa Setrojenar dan Camat Buluspesantren, maka pembangunan kembali gapura dihentikan; meskipun penghentian ini boleh jadi bersifat sementara waktu saja. Realitas lapangan seperti ini kemudian cukup “mengusik” kesenyapan warga pada masa tunggu terhadap tim mediasi atas paparan hasil keseluruhan investigasinya. Pada malam-malam berikutnya perbincangan informal hangatkan situasi.     

0 comments:

Post a Comment