MASA TENANG: Petani dan warga Urutsewu acap menggelar tahlil maupun mujahadah di saat masa tenang menunggu tim mediasi bentukan pemerintah menyelesaikan tugasnya. Kesempatan seperti ini juga digunakan untuk membahas perkembangan terakhir konflik agraria yang tak kunjung usai.. [Foto: FPPKS-USB]
Kesenyapan issue seputar perlawanan petani pesisir Urutsewu dalam melawan ketidakadilan agraria di kawasannya, seperti layup terlindih kabar pergolakan petani daerah-daerah lain di seantero negeri. Bagi petani di kawasan pesisir Urutsewu, rentang kesenyapan ini dimulai saat pemerintah menunjuk tim mediasi yang belum menjelaskan ressume dari keseluruhan investigasinya.
Kesenyapan issue seputar perlawanan petani pesisir Urutsewu dalam melawan ketidakadilan agraria di kawasannya, seperti layup terlindih kabar pergolakan petani daerah-daerah lain di seantero negeri. Bagi petani di kawasan pesisir Urutsewu, rentang kesenyapan ini dimulai saat pemerintah menunjuk tim mediasi yang belum menjelaskan ressume dari keseluruhan investigasinya.
Kesenyapan demikian bagi
sebagian fihak berasumsi bahwa konflik agraria di kawasan pesisir sepanjang
22,5 kilometer ini telah diusaikan. Namun bagi sebagian fihak lainnya, kesenyapan
ini mengusik jadi pertanyaan yang berjajar pada penantian kabar: bagaimana perkembangan
Urutsewu hari ini? Penyelesaian konflik dengan metode mediasi yang belum juga
terlaksana dan dipandang tak berkeadilan sejak langkah awalnya, memang ampuh
meredam gejolak massarakyat.
Sementara pada rentang kesenyapan
yang tersisa, pembangunan pagar tentara yang menerjang lahan-lahan holtikultur; dibiarkan terlanjur. Menyikapai
kasunyatan ini, meski dengan setengah
hati; pada kenyataannya memang banyak petani berharap pada hasil investigasi tim independen bentukan pemerintah.
Karenanya saat tim ini bekerja, petani bukan saja tak merespons sepenuhnya. Namun
juga mengangkat realitas seperti ini dalam sarasehan-sarasehan informal.
Dislitbang-AD Merekonstruksi Gapura
Paska pemagaran pesisir,
ditengah kabar akan datangnya pejabat Kasad awal Agustus 2016 ini, Dislitbang
TNI-AD yang bermarkas di desa Setrojenar membangun kembali gapura lapbak di
ujung depan jalan desa. Gapura mana yang pada peristiwa “Tragedi Urutsewu” (16
April 2011) dirubuhkan oleh massarakyat karena gapura ini dipandang layaknya
simbol eksistensi militer yang dengan dalih kepentingan nasional merampas
lahan-lahan pertanian warga.
Tema besar penolakan rakyat
luas atas penetapan kawasan militer di pesisir selatan ini juga telah mengkonstruksi
begitu kuat pemikiran kolektif warga. Sehingga ketika fihak Dislitbang AD
berniat membangun kembali gapura ini; keresahan menyeruak. Terlebih saat
ditelusur ternyata tak ada koordinasi maupun ijin ke pemerintah desa. Akses
masuk ke Desa Setrojenar itu memang merupakan jalan desa, demikian juga titik
dimana gapura berdiri juga merupakan tanah desa.
Barangkali, lagi-lagi, militer
beranggapan bahwa pembangunan gapura itu adalah “kepentingan negara”;
sebagaimana juga mereka berdalih saat membangun pagar di sepanjang pesisir
Urutsewu. Dan atas dalih program nasional serta kepentingan negara itu pula
para aparat memukuli petani saat ditanyakan legalitas pemagarannya.
Atas desakan beberapa warga ke
Pemerintah Desa Setrojenar dan Camat Buluspesantren, maka pembangunan kembali
gapura dihentikan; meskipun penghentian ini boleh jadi bersifat sementara waktu
saja. Realitas lapangan seperti ini kemudian cukup “mengusik” kesenyapan warga
pada masa tunggu terhadap tim mediasi atas paparan hasil keseluruhan
investigasinya. Pada malam-malam berikutnya perbincangan informal hangatkan
situasi.
0 comments:
Post a Comment