Inisiasi pedesaan, Badan Usaha Buruh
Tani[1]
Studi kasus di KPPKW
(Koperasi “perjuangan” Produksi Perkebunan Karet) Wangunwatie[2].
Oleh : Didi Novrian.S
1. Pendahuluan.
Pedesaan, sering menjadi ranah studi yang menarik untuk
melihat dinamika-dinamika masyarakat, setidaknya, pedesaan adalah gambaran awal
dari proses evolusi masyarakat dunia sejak dulu, perubahan modus produksi skala
luas, justru dimulai dari pedesaan, dan melihat lingkup pembahasan yang beragam
di pedesaan ini pula, yang menjadikan bahasan tentang inisiasi pedesaan menjadi
penting untuk melihat perkembangan masyarakat (Hilmi Muchtar; 2005)
Pedesaan memiliki pemaknaan yang luas, mulai dari keunikan
cirikhas kebudayaannya (Koentjoroningrat; 1995), hingga keunikan cara bertahan
hidup yang menggantungkan kepada corak produksi pertanian dengan tenaga
keluarga (Paul; 1997), Menurut Prof.Bintato (1991), desa merupakan perwujudan
atau kesatuan geografis, social, ekonomi, politik dan kultural yang terdapat di
suatu daerah dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbale balik dengan daerah
lain. Pola keruangan desa bersifat agraris yang sebagian atau seluruhnya
terisolasi dari kota. Tempat kediaman penduduk mencerminkan tingkat penyesuaian
penduduk terhadap lingkungan alam, seperti iklim, tanah, topografi, tata air,
sumber alam, dan lain-lain. Tingkat penyesuaian penduduk desa terhadap
lingkungan alam bergantung faktor ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan. Ferdinand
Tonnies memberikan pengertian desa sebagai tempat dimana masyarakat yang
memiliki hubungan keterikatan perasaan dan persatuan yang erat atau dia
menyebutnya dengan gemeinschaft,
yaitu suatu masyarakat harmoni yang guyub dan rukun.
Tetapi diskursus tentang desa yang permai dan seolah-olah
indah itu, akan memberikan pandangan simplistic tentang desa itu sendiri, karena
pembicaraan tentang manusia di desa akan terlewatkan, pertanyaan-pertanyaan, apa
yang terjadi ketika manusia yang ada disana tidak diberikan akses untuk
memanfaatkan Sumber Daya yang ada?, atau apa yang terjadi ketika ditutupnya
kesempatan untuk menentukan nasib sendiri kepada rakyat di pedesaan? dan
bagaimana relasi relasi-relasi kuasa di desa yang tidak dikendalikan oleh
rakyat pedesaan itu sendiri terjadi? Tidak akan muncul dalam pembahasan desa
yang indah permai, termasuk pertanyaan tentang bentuk-bentuk inisiasi pedesaan
seperti apa yang muncul dalam rentang panjang penindasan itu? padahal pertanyaan-pertanyaan
ini menurut saya perlu dipikirkan ulang, agar melihat desa di Indonesia berarti
melihat satu babakan panjang sejarah penindasan petani di pedesaan yang
merentang sejak pra kolonial, VOC, Hindia Belanda, hingga sekarang ini.
Paparan yang ingin saya sampaikan, adalah menyajikan,
bagaimana inisiasi pedesaan disalah satu desa di Kabupaten Tasikmalaya muncul
sebagai contoh bagaimana masyarakat pedesaan mantan buruh tani perkebunan
peninggalan Belanda, melakukan interupsi
terhadap modus produksi eksploitatif kolonial yang terbentang panjang sejak dikembangkannya
ekonomi perkebunan kolonial hingga didalam ekonomi perkebunan Indonesia yang
terdapat di Jawa Barat (Priangan) yang diketahui memiliki cerita tragis dari
sekedar informasi-informasi tentang tanam
paksa VOC, yang kemudian mewariskan ketimpangan penguasaan agraria yang
kronis dan parah terhadap generasi-generasi sekarang
Tulisan ini akan dibagi menjadi 3 bagian penjelasan, bagian pertama tentang paparan
singkat penindasan panjang petani di Indonesia terutama untuk melihat khusus di
Jawa Barat yang terjadi sejak VOC hingga kemerdekaan tahun 1945, kemudian akan
membahas tentang sketsa munculnya inisiasi rakyat pedesaan pada masa-masa awal
tahun 1950-an, dan yang ketiga, memaparkan tentang inisiasi petani di salah
satu pedesaan di Kabupaten Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat.
2.
Penindasan Panjang Petani
di Pedesaan (VOC – Kemerdekaan 1945)
Sejarah Desa
di Indonesia sejak zaman pra kolonial, adalah sejarah orang kebanyakan di Indonesia,
disanalah berpusat segala perkembangan gerak hidup manusia Indonesia, disana
proses produksi awal (pertanian dan perladangan) terjadi, dan ini pula yang
menyebabkan ketika VOC menjejakkan kaki di Nusantara, hal yang pertama
dilakukan adalah, menguasai pedesaan-pedesaan produktif, dengan menjadikan
struktur lama feudal, sebagai perpanjangan kaki tangan VOC di pedesaan[3],
dan ini pula lah dalih yang dapat menguatkan, kenapa benteng-benteng VOC selalu
bersebelahan dengan pusat pemerintahan local di Indonesia.
Penguasaan
desa pada zaman kolonial, diletakkan dalam logika eksploitasi untuk akumulasi
keuntungan VOC di perdagangan dunia, membaca modus kolonial awal ini, dapat
dilakukan lewat apa yang dirumuskan Karl Marx (1867) lewat konsepsinya tentang Primitive Accumulation atas dasar Previous Accumulation –nya Adam Smith
(1776) yang dinyatakan sebagai syarat berkembanganya sebuah perusahaan modern
di Eropa[4].
Primitive Accumulation adalah
bentuk-bentuk pemisahan paksa dan brutal terhadap penguasaan tanah dan kekayaan
alam yang digarap sebagai sumber hidup oleh
petani, dan kemudian memasukkan sumber penghidupan (tanah) itu kedalam suatu
modus produksi baru untuk meraup keuntungan dari sekelompok kecil “penguasa
baru” dan menjadikan pemilik-pemilik tanah sebelumnya menjadi buruh upahan.[5]
Berjalannya logika Primitive
Accumulation ini, sangat erat kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh kolonial Belanda dengan mentransformasikan suatu pola baru
pertanian yang awalnya berupa pertanian rakyat (skala kecil, subsistensi,
berpindah, kepemilikan komunal masih ada) menjadi pola pertanian kehutanan dan perkebunan
yang penguasaannya ditujukan untuk sebuah sirkuit kapital luas dengan kebijakan
teritorialisasi dan system produksi khusus bagi keuntungan berlipat oleh kongsi
dagang yang bernama Vereenigde Oost
Indische Compagnie (VOC).
Untuk beberapa daerah di kepualauan nusantara, kebijakan
teritorialisasi perkebunan dan kehutanan, biasanya mengikuti temuan-temuan
peneliti-peneliti VOC di pedesaan yang menemukan kecocokan suatu wilayah agro
ekologi untuk pemusatan produksi komoditi tertentu, hal ini berlaku untuk
kawasan yang nantinya disebut sebagai kawasan hutan dan perkebunan, misalnya,
penemuan jenis tembakau Nga ogst di
Jember pada tahun 1850-an, mengawali proses perampasan brutal tanah-tanah di
Jember dari petani-petani desa oleh perusahaan perkebunan Belanda dan
menjadikan wilayah Jember sebagai perluasan wilayah administrasi keresidenan
Besuki, afdeling Bondowoso. Begitupun di
wilayah hutan di pantai utara Jawa, ketika kayu jati ditemukan pada tahun
1670-an sebagai jenis kayu yang baik untuk industri kapal dan pengembangan
pelabuhan, maka dilakukanlah penaklukan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh
kesultanan Cirebon pada tahun 1681, bahkan setelah itu VOC melakukan penaklukan
hingga ke daerah jawa Tengah yang dikuasai oleh penguasa Mataram[6],
penaklukan ini sekaligus sebagai bentuk penaklukan terhadap manusia-manusia
didalamnya yang dalam paparan awal diatas disebutkan untuk ditransformasikan
menjadi tenaga buruh upahan terhadap kepentingan ekstraksi keuntungan dari
hutan dan kebun VOC.
Berbeda dengan daerah di pantai utara Jawa yang memiliki
Jati, di daerah yang sekarang dikenal dengan nama kabupaten Tasikmalaya atau
yang dulu disebut dengan Priangan (meliputi daerah Garut Tasik Ciamis),
perubahan agraria yang besar disana terjadi ketika pada tahun 1707 (100 tahun
lebih dulu dari Jember dengan tembakau Nga ogst) ketika VOC menemukan kecocokan
tanah disana untuk penanaman kopi yang kemudian mengawali sejarah pahit petani
disana dengan dimulainya apa yang disebut sebagai Priangerstellsel.[7]
Setelah Priangerstelsell
sukses “mengapungkan Belanda keatas laut”[8],
Belanda dihadapi pada permasalahan biaya perang dengan Belgia dan peningkatan
industri dalam negeri Belanda, pada tahun 1830, Van Den Bosch menerapkan apa
yang dikenal dengan Forced Cultivation
System (tanam paksa) untuk seluruh wilayah Indonesia, tidak terkecuali
untuk daerah Priangan, kebrutalan Priangerstelsell
berlanjut lagi lewat Tanam Paksa, perbedaannya hanya di pengorganisasian
hasil produksi, yang pada awalnya melalui VOC, pada tanam paksa, pemerintah
Belanda mengambil alih dari VOC melalui perangkat pemerintah yang dikendalikan di desa.
Tahun 1870, ketika kelompok liberal di Belanda memenangkan
pertarungan politik, ditambah dengan ditemukannya penyimpangan dan korupsi VOC
di dalam menjalankan ekstraksi keuntungan, maka dikeluarkanlah Hukum Agraria
pertama di Indonesia sebagai bentuk semangat liberalisme Belanda, yang disebut Agrarische Wet yang terkenal dengan
prinsip Domein Verklaring (atau Domein Theory).[9]
Apa yang terjadi dengan petani-petani di pedesaan? Hukum baru ini, justru menambah
penderitaan petani pedesaan, dengan dibuatnya peraturan baru ini, dimulailah
pemberian hak penguasaan-penguasaan perkebunan ini kepada perusahaan swasta,
dan didaerah Tasikmalaya, salah satu perkebunan besar perusahaan swasta asing
hasil agrarische wet adalah
perkebunan Wangunwatie yang dimiliki oleh perusahaan dari Jerman yang didalam
pembahasan ini akan di jelaskan pada bagian akhir
Penerapan hukum agraria Belanda yang baru ini, merupakan
kelanjutan dari proses penghancuran desa dan petani oleh kolonial, yaitu
terusirnya petani dari lahan-lahan produktif yang mereka garap, karena sasaran onderneming (perkebunan besar) selalu
diwilayah produktif yang banyak manusianya, yang pada gilirannya nanti, mereka
yang terusir inilah yang menjadi cadangan tenaga kerja murah untuk dipekerjakan
diperkebunan-perkebunan swasta milik asing ini.
Dalam tabel
berikut terdapat perbandingan antara tanah untuk perkebunan asing (erpacht), pertanian rakyat, hutan dan
beberapa usaha lain. Untuk seluruh pulau Jawa, penggunaan tanah untuk
perusahaan industri kebun skala besar berjumlah 1.250.786 ha. Bandingkanlah
dengan seluruh tanah yang dipergunakan untuk pertanian rakyat sejumlah 8662.60
ha. Proses-proses ini membuat petani-petani di pedesaan Jawa semakin terjepit
dan konsentrasi kemiskinan terjadi di pedesaan.
Table 1
Peruntukan Tanah di Jawa tahun 1939 |
Luas |
a. Untuk Onderneming Asing:
·
Tanah partikelir
·
Tanah Erpacht Pertanian Besar
·
Tanah Erpacht Pertanian Kecil
·
Sewa dari Rakyat
·
Tanah konversi (Jogja, Surakarta)
b. Tanah Pertanian Rakyat:
·
Sawah
·
Ladang dan Pekarangan
c. Berupa Hutan
d. Tambak dan lain-lain
|
498.829 ha
590.858 ha
11.510 ha
89.624 ha
59.965 ha
3.370.600 ha
4.692.000 ha
3.106.100 ha
1.057.400 ha
|
Sumber: M Tauchid, Masalah Agraria. Direproduksi dari Noer
fauzi dalam Tanah Rakyat dan Demokrasi.
(forum LSM DIY) halaman 143
Tabel 2
Golongan Pekerjaan |
%
|
Penghasilan
1 Tahun (Rp)
|
Pedagang Besar dan Kaum Industri
Petani Kaya
Pekerja tetap pada Perusahaan Barat dan Tionghoa
Pegawai, Pamong Desa dan Guru
Petani Sedang
Pedagang Kecil dan Industri Kecil
Petani Miskin
Buruh
Pemaro Tak Bertanah
Pekerja Tani pada Perusahaan Pribumi
Lain-lain
|
0,3
2,5
2,4
4
19,8
5,9
27,1
19,6
3,4
12,4
2,6
|
1.130
1.090
370
-
300
248
147
120
118
101
-
|
Sumber: M Tauchid, Masalah Agraria. Direproduksi dari Noer
fauzi dalam Tanah Rakyat dan Demokrasi.
(forum LSM DIY) halaman 147.
Dari tabel yang kedua, dapat dilihat, terdapat golongan
petani tak bertanah (tunakisma) dan buruh, sejumlah 37,8%. bila itu dijumlahkan
dengan besaran angka petani miskin di pedesaan jumlahnya menjadi 65% dari
seluruh penduduk desa, didalam tabel itu juga terdapat perbedaan pendapatan
yang mencolok diantara golongan pekerjaan, pedagang besar, pemilik industri
perkebunan (petani kaya) dengan keseluruhan mata pencaharian dbawahnya yang
kebanyakan dilakukan oleh rakyat Indonesia di Pedesaan.
Ketika Jepang datang ke Indonesia tahun 1942, kondisi tragis
petani peninggalan dari Kolonial Belanda masih membayangi sejarah petani di
pedesaan Indonesia, Jepang, dengan dalih “saudara tua” masuk melakukan
mobilisasi tenaga kerja pedesaan untuk persiapan perang pasifik nya yang
menelan banyak korban. Politik agraria, pada zaman penguasaan Jepang,
dipusatkan pada penyediaan bahan makanan untuk perang. Jepang di Indonesia
bermaksud membuat Indonesia sebagai benteng pertahanan menghadapi sekutu.
Jepang berusaha sekeras-kerasnya untuk meningkatkan produksi pangan untuk
kepentingan ekonomi “perang” Jepang. Penanaman bahan makanan digiatkan dengan
mewajibkan rakyat menggunakan pengetahuan dan teknik pertanian yang baru,
perluasan areal pertanian, dan penanaman komoditi baru, seperti kapas.[10]
Perluasan produksi pangan untuk perang inilah yang kemudian
membuat pemerintah fasis Jepang, membabat hutan-hutan dan membongkar
perkebunan-perkebunan eks Belanda untuk dijadikan lahan pertanian baru, disatu
sisi, produksi perkebunan turun, sementara, disisi lain, memunculkan semangat
baru dari petani-petani yang ada di sekitar perkebunan, untuk mengambil kembali
tanah-tanah yang dulu dimiliki oleh perusahaan asing, kekuatan ini ditambah
dengan dinyatakannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945, disketsa
inilah muncul cikal bakal inisiasi yang saya maksudkan dalam tulisan ini,
ketika mantan buruh-buruh perkebunan di Wangunwatie mulai melakukan
pengorganiasian dan pada waktunya nanti mereka melakukan okupasi terhadap perkebunan
peninggalan Belanda yang masih berusaha masuk hingga tahun 1949.
Pertanyaan
yang paling menarik untuk dilihat adalah “kenapa petani masih tetap ada” dalam
tekanan yang begitu dahsyat yang terjadi dalam durasi panjang itu?. Seorang
peneliti dan teoritisi studi agraria, Bernstein dalam Class Dynamic of Agrarian Change menyatakan bahwa, salah satu
penyebab, bertahannya petani di pedesaan dari gempuran deagrarianization dan depeasantization
itu adalah perlawanan kecil-kecil kaum tani di pedesaan, dalam terminology
seperti inilah, saya meletakkan pembahasan “inisiasi” dalam tulisan ini.
3.
Inisiasi, antara
perlawanan dan negosiasi, politik agraria pasca kemerdekaan 1945.
Meletakkan
inisiasi yang terjadi di dalam paparan ini, dapat dilihat terutama pada
masa-masa awal tahun 1950, periode ini, dalam banyak babakan sejarah Indonesia,
sering dilupakan dan dilewatkan ceritanya begitu saja.[11] Banyak para ahli Indonesia yang mengupas
tentang masa-masa penguasaan Nusantara di bawah VOC, pemerintah Berlanda dan
Jepang, tetapi ketika sampai pada periode yang disebut sebagai masa “interim
parlementer saat Negara masih lemah” ini, banyak yang dengan hati-hati
menjelaskan perjalanan Indonesia. Bahkan pada masa orde baru, juru bicara
mereka yang terdiri dari berbagai macam praktisi keilmuwan dengan sinis melihat
zaman tahun 50-an ini, bagi mereka periode parlementer 50-an merupakan zaman
yang penuh dengan kekacauan politik.
Padahal, jika
melihat fakta sejarah (baik yang ditulis versi pemerintah orde baru maupun oleh
peneliti bebas dari luar dan dalam) didalam periode inilah banyak muncul
eksperimentasi untuk merumuskan rasa kebangsaan sebagai satu Negara bagi
seluruh suku-suku dan etnis berbeda yang terdapat di jajaran kepulauan
nusantara, pada masa ini pula, muncul banyak usulan-usulan terhadap bagaimana
seharusnya pemerintah pusat mengayomi daerah, dan pada masa ini pula terjadi
yang saya namakan dengan inisiasi-inisiasi yang muncul dari petani-petani
pedesaan di Indonesia selepas mereka terkungkung habis dan tenggelam dalam
nuansa penjajahan nan panjang sejak abad ke 18 oleh ekonomi kapitalis yang eksploitatif
oleh bangsa kolonial.
Pada
masa-masa ini, elit politik nasional dihadapkan pada persoalan rumit karena
baru saja “dikalahkan” pada perjanjian KMB (konferensi Meja Bundar), guru Reforma Agraria DR. Gunawan Wiradi
dibahas dalam sebuah makalah berjudul “Masalah Perkebunan dalam Konteks
Reforma Agraria, Mencari Pegangan Dalam Ketidakpastian” menjelaskan bahwa
beberapa point dalam KMB itu yang merugikan pihak Rakyat Indonesia –yang jarang
diungkap dalam narasi Sejarah mainstream- adalah:
a. Belanda menggunakan istilah “penyerahan”
kedaulatan. Bukan “pengakuan” kedaulatan.
b. Kedaulatan tidak diserahkan keada Republik
Proklamasi tetapi kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RI Proklamasi hanya
sebagai negara bagian.
c. Irian Barat di”sandera”, dengan janji
dalam waktu satu tahun (?) akan dilakukan jajag pendapat (plebisit).
d. Belanda menuntut agar inti tentara RIS
adalah KNIL. Namun dalam hal ini Indonesia menang. Artinya, tuntutan Indonesia
diterima, yaitu tentara inti Indonesia adalah TNI.
e. Perkebunan-perkebunan besar yang diduduki
rakyat harus dikembalikan kepada pemegang haknya semula, yaitu kaum modal
swasta Belanda. Artinya, rakyat harus diusir dari tanah-tanah tersebut.
f. Sebagian hutang Belanda kepada negara lain
(ataupun lembaga-lembaga dana lainnya) yang notabene dipakai untuk membeli
peralatan perang untuk memerangi Indonesia, menjadi beban Indonesia. Menjadi
“hutang” Indonesia.
g. Negara RIS itu berada dalam ikatan
kesatuan “Unie Indonesia-Belanda” yang dikepalai oleh raja Belanda
Akibat Perjanjian ini, pemerintah baru Indonesia harus menanggung
beban berat hasil kekalahan di meja bundar ini, bagi perkembangan kondisi
agraria, khususnya di daerah-daerah bekas onderneming,
lahan perkebunan yang sebelum KMB telah digarap oleh eks-buruh perkebunan dan
kaum tani disekitar perkebunan yang selama ini hanya merasakan dampak dijajah
oleh keberadaan perkebunan itu akhirnya diminta untuk mengembalikan lagi kepada
pemilik haknya yang semula yaitu perusahaan yang ditetapkan Hak Erpachtnya
menurut hukum agraria Belanda. Akibatnya terjadi banyak bentrokan
diwilayah-wilayah perkebunan ini, hingga tahun 1954[12] akhirnya pemerintah Indonesia mengeluarkan UU darurat No.8 tahun
1954 tentang Pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, dan dalam UU itu
dijelaskan bahwa menduduki bekas perkebunan yang telah ditinggalkan
–telantarkan- oleh pemiliknya tidak dikategorikan sebagai penyerobotan.
Tahun 1960, ketika Undang-undang Pokok Agraria disahkan,
dimulailah program penataan struktur agraria di Indonesia, tujuan UUPA ini
diniatkan untuk menjadi pondasi dasar bagi pembangunan Indonesia kedepan,
diantara hal-hal yang diamanatkan oleh UU ini adalah pelaksanaan Land Reform
atas tanah-tanah yang dulunya dikuasai oleh hak-hak produk Hukum Agraria
Belanda, sayangnya polemik politik tahun 1965 membuat implementasi UUPA
berhenti ditengah jalan.
Polemik yang dimaksud adalah ketika terjadi pertentangan kelas antara
petani miskin dan petani kaya di banyak pedesaan di Indonesia. Pertentangan
kelas ini dipengaruhi juga oleh adanya pertentangan masing-masing aliran
ideologi dan pengelompokan politik besar dari pusat hingga daerah.[13]
Kelembagaan dan desain penerapan land reform – seperti panitia pendaftaran
tanah desa-, panitia land reform hingga pengadilan land reform – pun ikut menjadi
arena dari pertarungan ini. Hasil dari semua itu, kemudian menjadi pertarungan
elite nasional tahun 1965-1966 yang kemudian berujung dengan peralihan politik
yang brutal dari rejim Orde Lama ke rejim Orde Baru, dimana hampir sejuta orang
yang dituduh sebagai anggota dan terlibat PKI mati dibunuh[14]
dan puluhan ribu lagi ditahan tanpa proses pengadilan.[15]
Akibat yang paling terasa
pada kebijakan agraria dimasa peralihan politik ini adalah dihentikannya
seluruh pelaksanaan UUPA (konversi, pendaftaran tanah, land reform dan
pembangunan semesta). Di pedesaan,
terjadi pengkotak-kotakan rakyat kepada kelompok anti-komunis dengan yang
dituduh sebagai komunis, dan tragedy itu mengakibatkan UUPA dicap sebagai
produk PKI yang kemudian dinyatakan terlarang diIndonesia. Sejumlah pemilik
tanah luas yang tanahnya terkena sebagai objek land reform mencoba memperoleh
kembali tanah-tanah yang telah dibagikan. Penerima tanah land reform (lewat SK
KINAG,) yang dituduh terlibat PKI kebanyakan mereka pindah dari daerah pedesaan
dimana mereka tinggal. Hal ini tentunya, mempermudah pengambilan kembali
tanah-tanah tersebut, yang sering kali pengambilan kembali itu dilakukan atau
disokong oleh para penguasa sipil dan militer untuk kepentingan kembalinya
modus lama kolonial berupa perkebunan swasta dan perkebunan Negara atau dengan
kata lain, usaha untuk mengajukan strategi sosialisme Indonesia yang dilakukan
Soekarno di putar balikkan oleh Soeharto dengan me replace- nya dengan gaya kapitalis,[16]
dan akibatnya, penguasaan bekas perkebunan Belanda yang awalnya ditujukan untuk
di redist ke rakyat, kembali menjadi perkebunan seperti zaman kolonial.[17]
Usaha sistematis orde
baru untuk mengkebiri UUPA, serta membungkam petani di pedesaan, adalah sketsa
lanjutan dari kemunculan inisiasi di perkebunan koperasi Wangunwatie yang akan
dipaparkan pada penjelasan berikut, disana akan terlihat, bagaimana kelompok
mantan buruh kebun ini dengan berbagai macam strategi mengelak dari razia orde
baru pada awal kekuasaannya, sambil mengacungkan tangan melakukan interupsi
terhadap kembali modus produksi kolonial yang terjadi dalam ekonomi perkebunan
Indonesia, jika selama ini perlawanan petani didefinisikan sebagai perlawanan
konflik dengan pemilik tanah luas (kebun, hutan) didalam paparan berikut akan dijelaskan
bagaimana pilihan “bekerja sama” dengan pemerintah (rezim) dilakukan dengan
kesadaran penuh sebagai taktik untuk tetap mempertahankan kepentingan rakyat
mantan buruh perkebunan yang diikat oleh rasa “sama rata-sama rasa”, sebagai
anggota koperasi, dan disadari sebagai suatu bentuk perlawanan yang ditunjukkan
dengan inisiasi yang cemerlang dari kelompok ini.
4.
Koperasi Perkebunan Wangunwatie.
Perkebunan
ini, adalah bekas perkebunan perusahaan Jerman bernama “STRAAT SUNDA SYNDICAAT
NV CULTUUR MIJ WANGUNWATIE”, perusahaan ini mengusahakan teh, karet, dan
sedikit Kina, mulai beroperasi tahun 1908, terletak di Desa Sukawangun
Kecamatan Karangnunggal, sebuah wilayah di bagian selatan Kabupaten
Tasikmalaya. Tahun 1940 kepemilikan lahan ini berganti kepemilikan karena
Pemerintah Belanda mengambil alih perusahaan perkebunan ini untuk biaya perang,
hingga Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942. Luas seluruh areal perkebunan
Tanah Bekas Ervacht Straat Sunda
Syndicaat NV Cultuur MIJ Wangunwatie ini seluas 748,353 Ha.
Tahun 1942,
ketika Indonesia dijajah oleh Jepang, dikeluarkan undang-undang No. 22/1942.
Pada undang-undang itu dinyatakan, bahwa gunseikan (kepala pemerintahan
militer) langsung mengawasi perkebunan-perkebunan kopi, kina, karet, teh.
Pelaksanaan mengawasi perkebunan tersebut diserahkan kepada sebuah badan
pengawas yang dibentuk oleh gunseikan. Badan pengawas itu bernama Saibai Kigyo
Kanrikodan (SKK) yang bertugas selain mengawasi juga memegang monopoli
pembelian dan menentukan harga jual hasil perkebunan.
Gubseikan dan Saibai Kigyo
Kankirodan dibantu oleh staf-staf yang terdiri dari orang-orang pribumi
yang telah lama bekerja di bekas-bekas kebun milik Belanda ini, di wangunwatie,
ada 6 orang yang diambil bekerja membantu Jepang untuk mengurus perkebunan
wangunwatie tersebut, ke-6 orang ini dididik menjalankan administrasi
perkebunan, dari kegiatan budidaya (pengetahuan dasar yang didapat sejak
perkebunan dimiliki Belanda) hingga pencatatan penjualan karet. Tetapi karena
konsentrasi Jepang bukanlah orientasi profit perkebunan tetapi lebih ke
penyediaan pangan untuk persiapan perang, kebun wangunwatie ini menjadi tidak
terurus, dan berhenti beroperasi pada tahun 1944.
Rentang
antara tahun 1944 hingga 1950, seperti kebanyakan daerah pedesaan di Jawa
Barat, mereka dihantui oleh terror agresi militer Belanda dan terror dari
tentara laskar perang RI yang kecewa ketika normalisasi tentara nasional
terjadi (yang kemudian menjadi tentara DI/TII yang dipimpin RM Kartosuwiryo),
dan di Wangunwati sendiri, aktivitas produksi kebun berhenti sama sekali.
“tahun-tahun
itu, desa wangunwatie seperti hutan, yang ditumbuhi oleh pohon-pohon karet tua
yang sudah tidak bergetah, dipunggungan bukit sebelah selatan itu dijadikan
tempat berkumpul warga kalau ada penyerangan dari gerombolan DI/TII, dan
disebelah ujung dekat kantor itu dijadikan tempat markas lapangan divisi
Siliwangi”[18]
Pada tanggal
2 agustus 1950, atas anjuran Pemerintah RI, sisa-sisa perkebunan wangunwatie
kembali dikelola/diusahakan oleh para mantan buruh yang masih ada di lokasi
perkebunan dengan cara bergotongroyong yang dipimpin oleh Bapak A. Wasyidi
(salah seorang yang menjadi staff di Gubseikan
dan Saibai Kigyo Kankirodan) , dkk.
Dan untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan Wangunwatie dibentuklah
suatu organisasi/badan kerjasama para buruh dengan nama DPKW (Dewan
Penyelenggara Kebun Wangunwatie), DPKW ini bertugas untuk menghidupkan kembali
sisa perkebunan yang masih bisa digarap. Keputusan untuk membentuk DPKW ini
karena instruksi yang diberikan oleh Presiden RI kepada PPN untuk mengurus
Perkebunan Wangunwatie tidak dapat dilaksanakan berhubung karena situasi yang
masih belum stabil di pemerintahan Nasional RI. lewat Surat Wakil Kepala
Djawatan Perkebunan Kementrian Pertanian tertanggal 24 Mei 1951 No. E.1309/PKB[19],
maka perkebunan Wangunwatie diserahkan pengurusannya kepada mantan buruh tani
yang ada disana.
Selanjutnya
tanggal 2 Mei 1952 berdasarkan hasil
musyawarah para anggota DPKW, maka secara resmi berdirilah sebuah
koperasi dengan nama Koperasi Buruh Perkebunan Wangunwatie (KBPW) dengan bentuk
usaha mengusahakan perkebunan karet, 3 bulan setelah koperasi didirikan,
dilakukan pengukuran secara manual oleh kelompok koperasi ini dan menemukan
bahwa tanah yang dapat diusahakan untuk perkebunan seluas 280.20Ha dari 748,35,
sementara sisa yang 468,15 Ha lainnya telah menjadi garapan mantan buruh tani
yang juga sekaligus menjadi anggota koperasi yang didirikan, dan berdasarkan
RAT pertama Koperasi Buruh Perkebunan Wangunwatie pada tanggal 3 Juli 1953,
dicapai kesepakatan, bahwa tanah seluas 468,5 Ha itu dibagikan kepada anggota
koperasi dan hanya diperbolehkan menggarap dan atau memiliki tanah tidak lebih
dari 2Ha saja, jika ada yang menggarap lebih dari 2Ha, maka sisanya harus
diberikan kepada petani penggarap dengan lokasi garapan terdekat yang memiliki
kurang dari 2Ha, atau hasil dari kelebihan tanah 2Ha tersebut menjadi modal
koperasi.[20]
Aktivitas
awal inisiasi koperasi ini selain melakukan redist, adalah mengidentifikasi
sisa-sisa kebun karet yang masih bisa dimanfaatkan, pada masa ini, berhasil
diketahui, masih terdapat lebih kurang 100Ha kebun karet yang masih produktif,
sementara yang lain sudah harus diremajakan, pada tahun 1955 dilakukan
peremajaan pertama terhadap kebun karet yang 180Ha lainnya, peremajaan ini
memakan waktu hampir 2 tahun akibat diselingi oleh kemelut dalam negeri
Indonesa yang tidak selesai.
Pada
tahun-tahun awal berdiri ini pula dilakukan pendidikan-pendidikan anggota
koperasi yang dilakukan oleh Gerakan Tani Indonesia, sebagai motor politik
Partai Sosialis Indonesia yang diketuai oleh Sutan Syahrir, dari penelusuran
dokumen perjuangan PSI, diketahui bahwa pada tahun-tahun ini PSI sangat konsern
dengan persoalan dengan diterbitkannya dokumen-dokumen agraria sebagai panduan
untuk menghimpun Gerakan Tani yang berada di bawah basis PSI.[21]
pada tahun-tahun ini pula, PSI lewat Begawan ekonomi Indonesia, Soemitro
Djoyohadikusumo terlibat dalam memberi penekanan pada program pembangunan
daerah, industri kecil dan koperasi. Namun karena Soemitro mendukung PRRI, maka
PSI dianggap turut serta melawan pemerintah, dan pada tahun 1960, presiden Soekarno
membubarkan PSI lewat surat Penetapan Presiden 7-th-1960. Sebelum pembubaran PSI,
tepatnya tahun ke-7 berdirinya koperasi ini, tepatnya pada tanggal 6 April
1959, KBPW mendapat Badan Hukum dengan Nomor 2108 dari dinas koperasi, dan
sejak itu secara legal, koperasi ini mulai mengembangkan usahanya bermodalkan
kebersamaan para anggota yang ada, dengan tetap mengusahakan perkebunan karet
sisa itu sebagai inti usahanya.
Pembubaran
PSI, berakibat terhadap organisasi-organisasi yang berada dibawahnya, untuk itu,
melalui keputusan Rapat Anggota tahun 1961, koperasi ini bersepakat untuk
melepaskan atribut-atribut GTI –walaupun GTI tidak ikut dibubarkan-, semua
atribut-atribut kemudian diganti dengan hanya atribut koperasi untuk mengelabui
persengketaan elit nasional antara PSI dan Soekarno. Bersamaan dengan itu
lahirlah Undang Undang Pokok Agraria (UU No.5 tahun 1960) sebagai Produk hukum
agraria baru menggantikan produk hukum agraria kolonial.
Semangat UUPA
1960 itulah yang kemudian diimplemetasikan oleh pemerintah terhadap tanah-tanah
garapan petani di pedesaan bekas kawasan perkebunan Belanda, dan salah satunya
adalah tanah-tanah garapan di Wangunwatie, pada tanggal 4 Juni 1965 keluar
Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Jawa Barat No. LR.249/D/VIII/60/1965 yang
menyatakan meredist tanah seluas 468,15 Ha kepada 240 KK petani yang juga
merupakan anggota dari koperasi wangunwatie. SK yang dikenal dengan nama SK
KINAG ini disimpan di kantor koperasi untuk menghindari razia ketika terjadi
polemik tahun 1965 yang dibanyak daerah terjadi pengambilan kembali SK KINAG
ini oleh aparat pemerintah orde baru karena mereka menginnginkan agar
tanah-tanah bekas perkebunan yang telah diredist dijadikan perkebunan kembali
untuk diusahakan oleh Perkebunan Pemerintah (PTPN) dan Perkebunan Swasta,
dibanyak tempat, pengambil alihan oleh negara ini terjadi, sehingga tahun 70-an
mulai kembali bermunculan perkebunan-perkebunan besar milik pemerintah dan
swasta, dan kondisi yang sama seperti zaman kolonial, kembali lagi dirasakan
kebanyakan petani di pedesaan.
Memasuki
dasawarsa ketiga (tahun 1970), dimana kekuasaan politik Indonesia dikuasai oleh
rezim orde baru dengan corak seperti yang dipaparkan pada bagian kedua diatas,
Koperasi Buruh Perkebunan Wangunwati melakukan perubahan nama menjadi KPPKW
(Koperasi Produksi Perkebunan Karet Wangunwatie), perubahan nama ini juga
strategi koperasi untuk tidak “distigmatisasi” sebagai bagian dari aliran
komunis yang dinyatakan terlarang di Indoneia karena kata-kata “Buruh” sering
dikonotasikan dengan aliran komunis. Strategi penukaran nama ini diikuti dengan
bergabungnya mereka kedalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia[22]
pada tahun 27 April 1973.
Tahun 1973,
ketika keadaan politik nasional mulai di stabilkan oleh Rezim orde baru,
koperasi yang berhasil melewati masa krisis politik tahun 60-an itu kemudian
melakukan pembenahan, arsip-arsip koperasi yang sempat disembunyikan mulai
ditata kembali, dan pada rentang antara tahun 1973 hingga 1980, melalui rapat
dan kesepakatan dengan semua anggota, disepakati untuk mulai melakukan peremajaan
total terhadap semua kebun karet milik koperasi, serta dimulainya proses
penaikan izin perkebunan ini menjadi HGU. Usaha ini selain untuk menguatkan hak
kepemilikan kolektif petani anggota koperasi, juga untuk jaminan pemasaran
produksi karet dari perkebunan Wangunwatie yang tidak banyak diminati di pasar
karena berasal dari perkebunan yang tidak memiliki HGU.
Atas usaha
dari pengurus koperasi wangunwatie yang dibantu oleh Ikatan Legiun Veteran
Siliwangi kabupaten Tasik, yang kebetulan sangat dekat dengan rakyat di
Wangunwatie karena sempat menjadi salah satu basis pertanahan Siliwangi, serta
bantuan surat kecil dari Pak Nasution (Jendral AH Nasution) yang ditujukan ke
Pak Sony Harsono (mentri agraria) maka pada 20 Juli 1989, keluarlah keputusan
untuk memberikan HGU dengan nomor 37/HGU/BPN/89 kepada Koperasi Produksi
Perkebunan Wangunwatie yang akan berakhir 31 Desember 2014.
Sejak
dikeluarkan nya HGU itu, mulailah produksi diarahkan untuk dinaikkan
kapasitasnya, kebun yang tidak produktif mulai di lakukan peremajaan kembali,
sementara untuk pembibitan, koperasi Wangunwatie mengirimkan anggota nya
belajar di kebun-kebun karet sekitar desa, dan beberapa kali ikut belajar di
sekolah-sekolah yang diadakan oleh dinas pertanian dan perkebunan di
balai-balai pelatihan pertanian. Dari pengalaman belajar anggota koperasi ini,
kemudian diterapkan di pekebunan Koperasi Wangunwatie.
Pada Rapat
Anggota Tahun 1993, berdasarkan hasil kesepakatan dengan semua anggota,
Koperasi Wangunwati menegaskan untuk tidak lagi menjual karet mentah keluar
koperasi, tetapi harus berupa olahan setengah jadi yang biasa disebut Shet
(dibaca shit), hasil RAT ini diikuti dengan pembelian alat pengolahan bekas
yang sudah usang dan ketinggalan zaman dari sebuah bengkel di Bandung, dan
sejak itu, karet olahan wangunwatie mulai dipasarkan lewat jaringan di dinas
koperasi kabupaten Tasikmalaya.
Selama
menjalankan modus produksi perkebunan, koperasi ini tetap menjaga azas “sama
rata sama rasa” terbukti dengan terjadinya peningkatan kesejahteraan petani
disana dari tahun ketahun, yang paling jelas terlihat adalah berhasilnya
masyarakat desa ini menghadang laju booming
migrasi international (pemberangkatan buruh-buruh migran sebagai Tenaga
Kerja Wanita) yang terjadi pada rentang tahun antara 1994 hingga tahun 2000 di
Jawa Barat. Sementara itu, koperasi ini mendorong dibuatnya Sekolah Menengah
Umum didalam desa, yang diperuntukkan bagi generasi-generasi muda penerus usaha
perkebunan koperasi ini, dan menyediakan bea siswa seperti “ikatan dinas”
terhadap pemuda dan pemudi di desa untuk kuliah dan kembali ke desa untuk
menjaga-menghidupkan koperasi.[23]
Penjaminan
kesejahteraan koperasi terhadap petani anggota ini, misalnya dibuktikan dari
analisa system pengupahan pekerja kebun yang juga anggota koperasi dan juga
penggarap tanah redist, untuk upah pekerja di perkebunan koperasi, buruh sadap
digaji Rp27.000,- perhari dengan asumsi mendapatkan lateks 7,5liter/hari, dari
20 orang buruh sadap yang kami wawancarai, rata-rata mereka dapat 11 liter
/hari, untuk kelebihan dari 7.5 liter ini akan dihargari per liternya Rp2800,-
jadi jika seorang buruh dapat 10 liter saja, maka sisa 2.5 liternya akan
dihargari 2800x2.5 = Rp 7000,-, jadi upah perharinya didapat 27000 + 7000 =
34.000. penghasilan ini bisa ditambah lagi dari hasil bekas lateks yang
menempel di mangkok-mangkok sadap yang biasa dibersihkan setiap pagi sebelum
menyadap, dari bekas lateks yang menempel di mangkok sadap yang dijual ke
koperasi ini, buruh sadap bisa mendapat lagi tambahan rata-rata Rp 300.000
sampai 350.000 setiap bulannya. Sementara untuk bagian perawatan, mereka di
gaji Rp 15.000/hari. Semua upah itu dikerjakan dengan waktu jam kerja dari jam
4.00 subuh hingga jam 10.00 siang, dan setelah itu mereka bisa bekerja di tanah
redist yang sudah merela miliki. Sementara itu, untuk mandor dan pegawai staff,
digaji perbulan, ditambah dari hasil mereka ikut sebagai buruh sadap atau
merawat.
Dalam
perkembangannya lebih lanjut, sejak tahun 2002 hingga sekarang, Koperasi Wangunwatie
mulai mengembangkan inisiasinya tidak hanya kepada anggota koperasi yang hingga
tahun 2010 kemaren berjumlah 280 orang, tetapi juga kepada petani-petani di
daerah Tasikmalaya Bagian Selatan dengan melakukan program kemitraan karet
rakyat, dalam kemitraan itu, koperasi tidak memakai skema hutang,[24]
koperasi membantu bibit, dan petani-petani yang ikut menjadi mitra hanya
menyediakan tanahnya, kemudian koperasi menurunkan tenaga pendamping dan
membantu mengarahkan cara-cara persiapan lahan, penanaman, dan perawatan.[25]
Satu-satunya persyaratan yang ditekankan koperasi terhadap petani-petani ini
adalah keseriusan untuk memperbaiki nasib, selama karet berumur 0 – 5 tahun
(panen) tanah itu bisa ditanami dengan tanaman tumpangsari yang menghasilkan
juga, seperti palawija, nanti baru tahun ke 5, ketika panen, petani bisa
merasakan hasil dari lateks yang turun dari pohon-pohon getah itu. Untuk
pemasaran, koperasi telah menjalin kerjasama dagang dengan beberapa perusahaan besar
yang membutuhkan bahan baku karet setengah jadi, sehingga pengawalan dari hulu
ke hilir ini menjadi jaminan bagi program kemitraan karet rakyat ini.[26]
Ketika
penelitian singkat ini dilakukan, tahun 2009, modal kerja koperasi wangunwatie
telah berjumlah Rp 1.905.952.850,- Sedangkan bangunan, tanah, dan barang
inventaris serta tamam tumbuh yang ada diatasnya dinominalkan, akan didapat
jumlah Rp 5.150.000.000,- (lima milyar lima ratus juta rupiah). Sementara untuk
hasil usaha, di pembukuan tahun 2008, berjumlah Rp3.078.499.100,- dari jumlah itu
Rp 2.789.533.800,- berasal dari hasil produksi karet di lahan HGU. Dari itu
kemudian dikeluarkan untuk Sisa Hasil usaha anggota pada tahun 2008 itu
berjumlah Rp 92.646.167, dan pajak PBB.PPH.PPN/retribusi sebesar Rp
278.458.680,-
5.
Penutup
Koperasi Perkebunan
Karet Wangunwatie, hingga data terakhir dari Badan Pertanahan Nasional tahun
2008, adalah satu-satunya pemegang Hak Guna Usaha perkebunan yang berbadan
hukum Koperasi di Jawa, namanya terselip dalam hutan rimba daftar
perusahaan-perusahaan perkebunan besar yang ada di Indonesia, yang melakukan
kontrak izin perkebunan sejak tahun 80-an hingga sekarang. Bahkan, kelompok
koperasi ini menyumbangkan PAD yang tidak sedikit untuk Kabupaten Tasikmalaya,
dari pendapatan rata-rata 3 (tiga) milyard rupiah/tahun (tahun 2008, Rp.
3.078.499.100,00), mereka memberikan kontribusi pemasukan pajak PBB, PPH,
PPN/restribusi sebesar Rp. 278.458.680,00 pada tahun 2008.
Inisiasi yang
dilakukan oleh mantan buruh-buruh tani di Perkebunan Belanda ini telah berhasil
memberikan kesempatan kerja kepada hampir 600 orang pemuda-pemudi desa di
sekitar perkebunan, dan telah memberikan manfaat kepada hampir 300 KK petani
yang menjadi mitra kerja koperasi ini. Mereka berhasil menunjukkan bahwa
“ekonomi kerakyatan” itu bukan diskusi teoritis semata, tetapi dia adalah
praktek berkelanjutan dari bentuk inisiasi yang terus melayani kebutuhan rakyat
petani. Koperasi ini, dengan HGU nya, juga telah menunjukkan bahwa “rakyat tani
juga bisa mengelola perusahaan perkebunan” dengan modus produksi yang tidak
eksploitatif dan menindas.
Konsep sama
rata-sama rasa, juga dijalankan sejak dari awal mereka menyepakati tidak ada
seorang pun yang boleh memiliki tanah lebih banyak dari yang lain (tahun 1952),
hingga praktek kemittaan dengan petani yang tidak dalam rangka mengakumulasi
keuntungan di pihak koperasi saja, tetapi memberikan pelayanan dampingan saling
belajar dan saling mendorong untuk maju kepada sesama petani yang ada di desa
sekitarnya, bahkan dalam suatu diskusi dengan beberapa pengurus koperasi,
mereka menyatakan “kami berdagang dengan pengusaha, kalau dengan petani, kami
bermitra”.
Tentu saja,
tulisan singkat ini, bukan hendak mengatakan, bahwa inilah “model” bagi
pelaksanaan pemerataan kesejahteraan yang diinisiasi oleh petani, tetapi
setidaknya, ini dapat menjadi contoh dan bukti bahwa petani bukanlah “kentang yang dimasukkan ke dalam karung tetap saja
kentang” seperti lelucon Karl Marx tentang semangat revolusioner petani di
Eropa, tetapi petani dipedesaan, jika diberikan kesempatan, maka mereka juga
mampu melakukan sesuatu yang bahkan lebih bagus daripada yang dapat dilakukan
perusahaan-perusahaan besar.
Daftar
Pustaka
Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang
Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1993
C. Fasseur, “The
Cultivation System and Its Impact on the Dutch Colonial Economy and The
Indigenous Society in Nineteenh-Century Java”, dalam Two Colonial Empires, Comparative Essays on the History of India and
Indonesia in the Nineteenth Century, C.A. Bayly and D.H.A. Kolff (Eds),
Dordrecht: Martinus Nijhoff Publisher, 1986
Ernest Utrecht, “Land
Reform in Indonesia”, Buletin of
Indonesian Economic Studies. Vol. V, No. 3
Frans Husken dan Benjamin
White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa”,
dalam Prisma, No. 4, 1989
Julie Southwood and
Patrick Flanagan, Indonesia: Law,
Propaganda, and Terror, London: Zed Press, 1983.
Kutut Suwondo, “Kelompok
Penekan di Pedesaan sebagai Salah Satu Alternatif Jalur Partisipasi Masyarakat
Pedesaan”, Dalam Kritis, No. 3 th. V,
Januari 1991
Noer fauzi Tanah Rakyat dan Demokrasi. (forum LSM
DIY)
Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan
Insist Press dan Pustaka Pelajar, 1999
Nico G. Schuldt Nordholt
“Dari LSD ke LKMD: Partisipasi di Tingkat Desa”, dalam van Ufford, Philip
Quarles, Kepemimpinan Lokal dan
Implementasi Program, Jakarta: PT. Gramedia, 1988
Peter Boomgard, “Forest
and Forestry in Colonial Java 1677 – 1942”, paper presented at the Conference
on Environmental History of Pacific, Canberra, Australia, 1987
Rex Mortimer, “The
Indonesia Communism and Land Reform
1959-1965”, Monash Papers on Southeast
Asia, No. 1, 1972
Robert Cribb "The Indonesian Killings 1965-1966."
Clayton: Centre for Southeast Asian Studies, Monash University, 1990; dan
Robert Cribb, "Genocide in Indonesia 1965-1966." Journal of Genocide Research 2001, No. 3,
Sartono Kartodirdjo dan
Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia,
Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta, Penerbit Aditia Media, 1994
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 –
1900, dari Emporium sampai Imperium, Jakarta:
Gramedia, 1987
Sita Van Bemmelen dan
Remco Raben, Antara Daerah dan Negara,
Indonesia Tahun 1950-an. KITLV-Jakarta-NIOD-Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
Jakarta.2011.
Web
site:
[1] Judul ini
diinspirasi dari ide Prof Sajogyo dalam kata pengantar buku Involusi Pertanian yang ditulis C Geertz
tahun 1974, ide BUBT ini dilontarkan oleh Prof sajogyo sebagai solusi mengatasi
ketidakmerataan kepemilikan tanah, bagi petani gurem.
[2] Tulisan ini
berawal dari temuan tidak sengaja, dalam rangkaian proses Riset Sajogyo
Institute dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional pada tahun 2010, awalnya kami
ingin melihat implementasi program redistribusi tanah yang dilakukan oleh BPN
di beberapa daerah, dan kebetulan di Tasikmalaya, ada ditemukan di dalam data
BPN RI, bahwa disana terdapat banyak tanah yang sudah di redist dan
disertifikatkan oleh BPN RI rentang tahun antara 2001 hingga 2010, dan salah
satu desa yang terdapat daftar tanah redist paling banyak, menurut laporan BPN,
diinisiasi oleh kelompok Koperasi Perkebunan yang akan dipaparkan dalam makalah
ini.
[3] Sartono
Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: 1500 – 1900, dari Emporium
sampai Imperium, Jakarta: Gramedia, 1987, hal 150 – 154
[4] Pkumulasi
primitif merupakan rumusan Marx untuk memformulasikan peristiwa Enclosure yang
terjadi di Eropa khususnya di wilayah kerajaan Inggris Raya selama beberapa
abad (kira-kira 1450-1700). Gelombang pemagaran (enclosure) ini dipraksai oleh
pemilik tanah besar dengan mengusir ribuan petani keluar dari tanahnya,
pengusiran ini adalah bentuk dari usaha
pemilik-pemilik tanah besar yang panik karena harus memenuhi pasar woll dunia
yang sedang meningka, akibatnya, lahan pertanian menjadi perternakan domba
[5] Untuk
konteks perjalanan di Indonesia, dijelaskan didalam: Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan
Insist Press dan Pustaka Pelajar, 1999.
[6] Peter
Boomgard, “Forest and Forestry in Colonial Java 1677 – 1942”, paper presented
at the Conference on Environmental History of Pacific, Canberra, Australia,
1987
[7] Situasi
pahit penanaman kopi di Priangan ini, dijelaskan oleh Sartono Kartodirdjo dan
Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di
Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta, Penerbit Aditia Media, 1994.
hal. 33.
[8] Nilai eksport internasional dari Jawa yang di
tahun 1930 adalah 11,3 juta guilder untuk 36,4 kg komoditas, melonjak menjadi
66,1 juta guilder di tahun 1840 untuk 161,7 juta kg komoditas. Lihat C. Fasseur,
“The Cultivation System and Its Impact on the Dutch Colonial Economy and The
Indigenous Society in Nineteenh-Century Java”, dalam Two Colonial Empires, Comparative Essays on the History of India and
Indonesia in the Nineteenth Century, C.A. Bayly and D.H.A. Kolff (Eds),
Dordrecht: Martinus Nijhoff Publisher, 1986, hal. 137.
[9] Hukum ini
memunculkan jenis hak baru dalam penguasaan tanah di Indonesia yaitu:, eigendom
adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan suatu benda sepenuh penuhnya dan
untuk menguasai seluas luasnya, tanah
partikelir, yaitu tanah
eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa, dengan adanya hak hak pada
pemiliknya yang bersifat kenegaraan seperti; dapat turut menentukan kepala
kampung, dapat menuntut Rodi, mengadakan pungutan--pungutan atas jalan, hak
opstal, adalah hak untuk mempunyai rumah, ba-ngunan atau tanam tanaman
di atas tanah orang lain, hak ini diberikan berdasarkan S.1872 nomor 124 untuk
paling lama 30 tahun. erfpacht
diberikan untuk pertanian besar, tempat tempat kediaman di pedalaman,
perkebunan dan pertanian kecil. Sedang di daerah luar Jawa hanya untuk
pertanian besar, perkebunan dan pertanian kecil.
[10] Aiko
Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi
tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1993, halaman 3-52
[11] Ruth T.MC
Vey, dalam Kasus Tenggelamnya Sebuah
Dasawarsa mengatakan bahwa periode ini telah menjadi laut Sargaso bagi
banyak peneliti yaitu sebuah wilayahkebingungan dalam arus utama sejarah dari
zaman penjajahan Belanda hingga sekarang. Lihat pada Sita Van Bemmelen dan
Remco Raben, Antara Daerah dan Negara,
Indonesia Tahun 1950-an. KITLV-Jakarta-NIOD-Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
Jakarta.2011.
[12] Koperasi
Wangunwatie yang menjadi salah satu fokus penelitian ini didirikan dalam
situasi seperti ini.
[13] Margo L.
Lyon, “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan Jawa” dalam SMP Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi (eds.) Dua Abad Penguasaan
Tanah. Jakarta: Yayasan Obor; Ernest Utrecht, “Land Reform in Indonesia”, Buletin of Indonesian Economic Studies.
Vol. V, No. 3; dan Rex Mortimer, “The Indonesia
Communism and Land Reform 1959-1965”, Monash Papers on Southeast Asia, No. 1, 1972.
[14] Robert Cribb "The Indonesian Killings
1965-1966." Clayton: Centre for Southeast Asian Studies, Monash
University, 1990; dan Robert Cribb, "Genocide in Indonesia
1965-1966." Journal of Genocide
Research 2001, No. 3, halaman 219-239.
[15] Julie
Southwood and Patrick Flanagan, Indonesia:
Law, Propaganda, and Terror, London: Zed Press, 1983.
[16] Usaha ini
diwujudkan dalam usaha untuk menjadikan Land Reform sebagai masalah tekhnis,
menghapuskan semua legitimasi partisipasi organisasi tani, menerapkan kebijakan
floating mass menjelang pemilu 1971,
dijalankannya Undang-Undang Pemerintahan Desa tahun 1979, dan melibatkan unsure
militer didalam pengawasan pembangunan desa, dan yang paling akhir, adalah
dilakukannya suatu program dahsyat yang dikenal dengan Revolusi Hijau, yang
pada waktunya kemudian membinasakan masyarakat pedesaan hingga ke tanah-tanah
garapannya. Untuk studi tentang ini lihat Nico G. Schuldt Nordholt “Dari LSD ke
LKMD: Partisipasi di Tingkat Desa”, dalam van Ufford, Philip Quarles, Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Program,
Jakarta: PT. Gramedia, 1988. Kutut Suwondo, “Kelompok Penekan di Pedesaan
sebagai Salah Satu Alternatif Jalur Partisipasi Masyarakat Pedesaan”, Dalam Kritis, No. 3 th. V, Januari 1991. Dan
Frans Husken dan Benjamin White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan
Struktur Agraria di Jawa”, dalam Prisma,
No. 4, 1989
[17] 75% dari
500 perkebunan Belanda yang ada di Indonesia, dikuasai kembali oleh pemerintah
lewat opsir-opsir militer, yang kemudian bersekongkol dengan pemodal-pemodal
perkebunan untuk membuatnya kembali menjadi milik perusahaan perkebunan. Lihat
studi yang dilakukan oleh Karl.L Pelzer Petani
Melawan Perkebunan.
[18] Wawancara
dengan E.S (salah satu saksi sejarah di Wangunwatie yang menyaksikan peristiwa
tahun 1945 – 1950) waktu itu berumur 12 tahun.
[19] Inti dari
surat tersebut berisi tentang: Kebun Wangunwatie yang masih ada karetnya
diberikan kepada bekas pegawai-pegawai kebun Wangunwatie untuk diusahakan,
Modal kerja dicari sendiri oleh pegawai-pegawai tersebut, Hasil kebun
disalurkan kesaluran yang legal dan syah, Semua peraturan tersebut diatas
bersifat sementara dan pemerintah berhak merubahnya sedang semua yang
berkepentingan harus tunduk padanya.
[20] Hasil Rapat
Anggota Tahunan Koperasi Buruh Perkebunan Wangunwatie, tanggal 3 Juli 1953. Dalam
daftar hadir, rapat anggota ini dihadiri oleh 215 orang anggota koperasi, dan 3
orang peninjau dari organisasi Gerakan Tani Indonesia.
[21] Untuk lebih
detail, dokumen-dokumen GTI tentang masalah agraria dapat dilihat di http://tokohitamblackchamber.blogspot.com/2011/06/dokumen-kumpulan-agraria
partai.html.
[22] HKTI adalah
organisasi tani bentukan pemerintah orde baru, menyusul setelah dibentuknya
Komite Nasional Pemuda Indonesia, Himpunan Nelayan seluruh Indonesia, Persatuan
Guru Republik Indonesia, Korps wanita Indonesia, dan organ-organ lainnya.
Pembentukan ini, adalah strategi pemerintah orde baru untuk menyeragamkan
ideology yang Pancasila, serta untuk memudahkan pengawasan terhadap rakyat
Indonesia agar tidak lagi memakai nama-nama warisan dari politik orde lama
khususnya Partai Komunis Indonesia. pada waktunya, strategi ini efektif untuk
menjadi mesin politik dari Golongan karya yang memobilisasi kantong-kantong
masa yang ada di dalam organ bentukan pemerintah ini. Untuk HKTI, dia adalah
gabungan dari 14 organisasi tani yang diantara nya adalah sisa pasca razia orde
baru tahun 1965, mereka adalah Pertani (PNI), Perta (MURBA), GTI (PSI), Gertami
(PERTI), Gertasi (PSII), Pertakin (PAEKINDO), Sakti (Non Partai Politik),
Pertanu (NU). Kata Pancasila (IPKI), Petisi (Non Partai Politik), IP Pancasila
(Partai Katolik), Warga Tani KOSGORO (KOSGORO – GOLKAR), Tani MKGR (MKGR –
GOLKAR), RTI – SOKSI (SOKSI – GOLKAR).
[23] Sejak tahun
2000 – 2007, hampir 50 orang muda-mudi pedesaan di Wangunwatie yang mengabdi
bekerja di koperasi, mereka memilih kembali ke desa setelah menamatkan studi di
sekolah-sekolah dan universitas di kota.
[24] Hutang yang
dimaksud disini, adalah hutang yang memakai bunga, menurut pengurus koperasi
Wangunwatie, hutang berbunga, akan menimbulkan usaha-usaha yang eksploitatif,
sikap ini dicontohkan oleh Koperasi Wangunwatie dengan tidak pernah memakai
skema hutang dari Bank atau lembaga perkreditan swasta dalam pemenuhan modal
usaha.
[25] Dana untuk
program kemitraan ini diambilkan dari keuntungan Koperasi Wangunwatie, karena
15% dari keuntungan itu disepakati untuk didedikasikan sebagai dana sosial
membantu petani-petani di Tasikmalaya Bagian Selatan.
[26] Menurut
wawancara dengan petani-petani yang telah ikut kemitraan, pada usia pohon karet
yang ke-lima, pendapatan bersih setiap petani rata-rata 5.000.000/bulan/Ha,
dari penjualan hasil panen karet mereka.
0 comments:
Post a Comment