Saturday, May 31, 2014

Inisiasi pedesaan, Badan Usaha Buruh Tani[1]



Inisiasi pedesaan, Badan Usaha Buruh Tani[1]
Studi kasus di KPPKW (Koperasi “perjuangan” Produksi Perkebunan Karet) Wangunwatie[2].
Oleh : Didi Novrian.S

1.   Pendahuluan.
        Pedesaan, sering menjadi ranah studi yang menarik untuk melihat dinamika-dinamika masyarakat, setidaknya, pedesaan adalah gambaran awal dari proses evolusi masyarakat dunia sejak dulu, perubahan modus produksi skala luas, justru dimulai dari pedesaan, dan melihat lingkup pembahasan yang beragam di pedesaan ini pula, yang menjadikan bahasan tentang inisiasi pedesaan menjadi penting untuk melihat perkembangan masyarakat (Hilmi Muchtar; 2005)
        Pedesaan memiliki pemaknaan yang luas, mulai dari keunikan cirikhas kebudayaannya (Koentjoroningrat; 1995), hingga keunikan cara bertahan hidup yang menggantungkan kepada corak produksi pertanian dengan tenaga keluarga (Paul; 1997), Menurut Prof.Bintato (1991), desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografis, social, ekonomi, politik dan kultural yang terdapat di suatu daerah dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbale balik dengan daerah lain. Pola keruangan desa bersifat agraris yang sebagian atau seluruhnya terisolasi dari kota. Tempat kediaman penduduk mencerminkan tingkat penyesuaian penduduk terhadap lingkungan alam, seperti iklim, tanah, topografi, tata air, sumber alam, dan lain-lain. Tingkat penyesuaian penduduk desa terhadap lingkungan alam bergantung faktor ekonomi, sosial, pendidikan dan kebudayaan. Ferdinand Tonnies memberikan pengertian desa sebagai tempat dimana masyarakat yang memiliki hubungan keterikatan perasaan dan persatuan yang erat atau dia menyebutnya dengan gemeinschaft, yaitu suatu masyarakat harmoni yang guyub dan rukun.
        Tetapi diskursus tentang desa yang permai dan seolah-olah indah itu, akan memberikan pandangan simplistic tentang desa itu sendiri, karena pembicaraan tentang manusia di desa akan terlewatkan, pertanyaan-pertanyaan, apa yang terjadi ketika manusia yang ada disana tidak diberikan akses untuk memanfaatkan Sumber Daya yang ada?, atau apa yang terjadi ketika ditutupnya kesempatan untuk menentukan nasib sendiri kepada rakyat di pedesaan? dan bagaimana relasi relasi-relasi kuasa di desa yang tidak dikendalikan oleh rakyat pedesaan itu sendiri terjadi? Tidak akan muncul dalam pembahasan desa yang indah permai, termasuk pertanyaan tentang bentuk-bentuk inisiasi pedesaan seperti apa yang muncul dalam rentang panjang penindasan itu? padahal pertanyaan-pertanyaan ini menurut saya perlu dipikirkan ulang, agar melihat desa di Indonesia berarti melihat satu babakan panjang sejarah penindasan petani di pedesaan yang merentang sejak pra kolonial, VOC, Hindia Belanda, hingga sekarang ini.
        Paparan yang ingin saya sampaikan, adalah menyajikan, bagaimana inisiasi pedesaan disalah satu desa di Kabupaten Tasikmalaya muncul sebagai contoh bagaimana masyarakat pedesaan mantan buruh tani perkebunan peninggalan Belanda, melakukan interupsi terhadap modus produksi eksploitatif kolonial yang terbentang panjang sejak dikembangkannya ekonomi perkebunan kolonial hingga didalam ekonomi perkebunan Indonesia yang terdapat di Jawa Barat (Priangan) yang diketahui memiliki cerita tragis dari sekedar informasi-informasi tentang tanam paksa VOC, yang kemudian mewariskan ketimpangan penguasaan agraria yang kronis dan parah terhadap generasi-generasi sekarang
        Tulisan ini akan dibagi menjadi 3 bagian  penjelasan, bagian pertama tentang paparan singkat penindasan panjang petani di Indonesia terutama untuk melihat khusus di Jawa Barat yang terjadi sejak VOC hingga kemerdekaan tahun 1945, kemudian akan membahas tentang sketsa munculnya inisiasi rakyat pedesaan pada masa-masa awal tahun 1950-an, dan yang ketiga, memaparkan tentang inisiasi petani di salah satu pedesaan di Kabupaten Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat.

2.   Penindasan Panjang Petani di Pedesaan (VOC – Kemerdekaan 1945)
 Sejarah Desa di Indonesia sejak zaman pra kolonial, adalah sejarah orang kebanyakan di Indonesia, disanalah berpusat segala perkembangan gerak hidup manusia Indonesia, disana proses produksi awal (pertanian dan perladangan) terjadi, dan ini pula yang menyebabkan ketika VOC menjejakkan kaki di Nusantara, hal yang pertama dilakukan adalah, menguasai pedesaan-pedesaan produktif, dengan menjadikan struktur lama feudal, sebagai perpanjangan kaki tangan VOC di pedesaan[3], dan ini pula lah dalih yang dapat menguatkan, kenapa benteng-benteng VOC selalu bersebelahan dengan pusat pemerintahan local di Indonesia.
Penguasaan desa pada zaman kolonial, diletakkan dalam logika eksploitasi untuk akumulasi keuntungan VOC di perdagangan dunia, membaca modus kolonial awal ini, dapat dilakukan lewat apa yang dirumuskan Karl Marx (1867) lewat konsepsinya tentang Primitive Accumulation atas dasar Previous Accumulation –nya Adam Smith (1776) yang dinyatakan sebagai syarat berkembanganya sebuah perusahaan modern di Eropa[4]. Primitive Accumulation adalah bentuk-bentuk pemisahan paksa dan brutal terhadap penguasaan tanah dan kekayaan alam yang digarap sebagai sumber hidup oleh petani, dan kemudian memasukkan sumber penghidupan (tanah) itu kedalam suatu modus produksi baru untuk meraup keuntungan dari sekelompok kecil “penguasa baru” dan menjadikan pemilik-pemilik tanah sebelumnya menjadi buruh upahan.[5]
        Berjalannya logika Primitive Accumulation ini, sangat erat kaitannya dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kolonial Belanda dengan mentransformasikan suatu pola baru pertanian yang awalnya berupa pertanian rakyat (skala kecil, subsistensi, berpindah, kepemilikan komunal masih ada) menjadi pola pertanian kehutanan dan perkebunan yang penguasaannya ditujukan untuk sebuah sirkuit kapital luas dengan kebijakan teritorialisasi dan system produksi khusus bagi keuntungan berlipat oleh kongsi dagang yang bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
        Untuk beberapa daerah di kepualauan nusantara, kebijakan teritorialisasi perkebunan dan kehutanan, biasanya mengikuti temuan-temuan peneliti-peneliti VOC di pedesaan yang menemukan kecocokan suatu wilayah agro ekologi untuk pemusatan produksi komoditi tertentu, hal ini berlaku untuk kawasan yang nantinya disebut sebagai kawasan hutan dan perkebunan, misalnya, penemuan jenis tembakau Nga ogst di Jember pada tahun 1850-an, mengawali proses perampasan brutal tanah-tanah di Jember dari petani-petani desa oleh perusahaan perkebunan Belanda dan menjadikan wilayah Jember sebagai perluasan wilayah administrasi keresidenan Besuki, afdeling Bondowoso.  Begitupun di wilayah hutan di pantai utara Jawa, ketika kayu jati ditemukan pada tahun 1670-an sebagai jenis kayu yang baik untuk industri kapal dan pengembangan pelabuhan, maka dilakukanlah penaklukan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kesultanan Cirebon pada tahun 1681, bahkan setelah itu VOC melakukan penaklukan hingga ke daerah jawa Tengah yang dikuasai oleh penguasa Mataram[6], penaklukan ini sekaligus sebagai bentuk penaklukan terhadap manusia-manusia didalamnya yang dalam paparan awal diatas disebutkan untuk ditransformasikan menjadi tenaga buruh upahan terhadap kepentingan ekstraksi keuntungan dari hutan dan kebun VOC.
        Berbeda dengan daerah di pantai utara Jawa yang memiliki Jati, di daerah yang sekarang dikenal dengan nama kabupaten Tasikmalaya atau yang dulu disebut dengan Priangan (meliputi daerah Garut Tasik Ciamis), perubahan agraria yang besar disana terjadi ketika pada tahun 1707 (100 tahun lebih dulu dari Jember dengan tembakau Nga ogst) ketika VOC menemukan kecocokan tanah disana untuk penanaman kopi yang kemudian mengawali sejarah pahit petani disana dengan dimulainya apa yang disebut sebagai Priangerstellsel.[7]
        Setelah Priangerstelsell sukses “mengapungkan Belanda keatas laut”[8], Belanda dihadapi pada permasalahan biaya perang dengan Belgia dan peningkatan industri dalam negeri Belanda, pada tahun 1830, Van Den Bosch menerapkan apa yang dikenal dengan Forced Cultivation System (tanam paksa) untuk seluruh wilayah Indonesia, tidak terkecuali untuk daerah Priangan, kebrutalan Priangerstelsell berlanjut lagi lewat Tanam Paksa, perbedaannya hanya di pengorganisasian hasil produksi, yang pada awalnya melalui VOC, pada tanam paksa, pemerintah Belanda mengambil alih dari VOC melalui perangkat pemerintah yang dikendalikan  di desa.
        Tahun 1870, ketika kelompok liberal di Belanda memenangkan pertarungan politik, ditambah dengan ditemukannya penyimpangan dan korupsi VOC di dalam menjalankan ekstraksi keuntungan, maka dikeluarkanlah Hukum Agraria pertama di Indonesia sebagai bentuk semangat liberalisme Belanda, yang disebut Agrarische Wet yang terkenal dengan prinsip Domein Verklaring (atau Domein Theory).[9] Apa yang terjadi dengan petani-petani di pedesaan? Hukum baru ini, justru menambah penderitaan petani pedesaan, dengan dibuatnya peraturan baru ini, dimulailah pemberian hak penguasaan-penguasaan perkebunan ini kepada perusahaan swasta, dan didaerah Tasikmalaya, salah satu perkebunan besar perusahaan swasta asing hasil agrarische wet adalah perkebunan Wangunwatie yang dimiliki oleh perusahaan dari Jerman yang didalam pembahasan ini akan di jelaskan pada bagian akhir
        Penerapan hukum agraria Belanda yang baru ini, merupakan kelanjutan dari proses penghancuran desa dan petani oleh kolonial, yaitu terusirnya petani dari lahan-lahan produktif yang mereka garap, karena sasaran onderneming (perkebunan besar) selalu diwilayah produktif yang banyak manusianya, yang pada gilirannya nanti, mereka yang terusir inilah yang menjadi cadangan tenaga kerja murah untuk dipekerjakan diperkebunan-perkebunan swasta milik asing ini.
Dalam tabel berikut terdapat perbandingan antara tanah untuk perkebunan asing (erpacht), pertanian rakyat, hutan dan beberapa usaha lain. Untuk seluruh pulau Jawa, penggunaan tanah untuk perusahaan industri kebun skala besar berjumlah 1.250.786 ha. Bandingkanlah dengan seluruh tanah yang dipergunakan untuk pertanian rakyat sejumlah 8662.60 ha. Proses-proses ini membuat petani-petani di pedesaan Jawa semakin terjepit dan konsentrasi kemiskinan terjadi di pedesaan.
Table 1

Peruntukan Tanah di Jawa tahun 1939

Luas

a.   Untuk Onderneming Asing:
·         Tanah partikelir
·         Tanah Erpacht Pertanian Besar
·         Tanah Erpacht Pertanian Kecil
·         Sewa dari Rakyat
·         Tanah konversi (Jogja, Surakarta)
b.   Tanah Pertanian Rakyat:
·         Sawah


·         Ladang dan Pekarangan
c.   Berupa Hutan
d.   Tambak dan lain-lain


498.829 ha
590.858 ha
11.510 ha
89.624 ha
59.965 ha

3.370.600 ha

4.692.000 ha
3.106.100 ha
1.057.400 ha
Sumber: M Tauchid, Masalah Agraria. Direproduksi dari Noer fauzi dalam Tanah Rakyat dan Demokrasi. (forum LSM DIY) halaman 143

Tabel 2

Golongan Pekerjaan

%
Penghasilan 1 Tahun (Rp)
Pedagang Besar dan Kaum Industri
Petani Kaya
Pekerja tetap pada Perusahaan Barat dan Tionghoa
Pegawai, Pamong Desa dan Guru
Petani Sedang
Pedagang Kecil dan Industri Kecil
Petani Miskin
Buruh
Pemaro Tak Bertanah
Pekerja Tani pada Perusahaan Pribumi
Lain-lain
0,3
2,5
2,4
4
19,8
5,9
27,1
19,6
3,4
12,4
2,6
1.130
1.090
370
-
300
248
147
120
118
101
-
Sumber: M Tauchid, Masalah Agraria. Direproduksi dari Noer fauzi dalam Tanah Rakyat dan Demokrasi. (forum LSM DIY) halaman 147.

        Dari tabel yang kedua, dapat dilihat, terdapat golongan petani tak bertanah (tunakisma) dan buruh, sejumlah 37,8%. bila itu dijumlahkan dengan besaran angka petani miskin di pedesaan jumlahnya menjadi 65% dari seluruh penduduk desa, didalam tabel itu juga terdapat perbedaan pendapatan yang mencolok diantara golongan pekerjaan, pedagang besar, pemilik industri perkebunan (petani kaya) dengan keseluruhan mata pencaharian dbawahnya yang kebanyakan dilakukan oleh rakyat Indonesia di Pedesaan.
        Ketika Jepang datang ke Indonesia tahun 1942, kondisi tragis petani peninggalan dari Kolonial Belanda masih membayangi sejarah petani di pedesaan Indonesia, Jepang, dengan dalih “saudara tua” masuk melakukan mobilisasi tenaga kerja pedesaan untuk persiapan perang pasifik nya yang menelan banyak korban. Politik agraria, pada zaman penguasaan Jepang, dipusatkan pada penyediaan bahan makanan untuk perang. Jepang di Indonesia bermaksud membuat Indonesia sebagai benteng pertahanan menghadapi sekutu. Jepang berusaha sekeras-kerasnya untuk meningkatkan produksi pangan untuk kepentingan ekonomi “perang” Jepang. Penanaman bahan makanan digiatkan dengan mewajibkan rakyat menggunakan pengetahuan dan teknik pertanian yang baru, perluasan areal pertanian, dan penanaman komoditi baru, seperti kapas.[10]
        Perluasan produksi pangan untuk perang inilah yang kemudian membuat pemerintah fasis Jepang, membabat hutan-hutan dan membongkar perkebunan-perkebunan eks Belanda untuk dijadikan lahan pertanian baru, disatu sisi, produksi perkebunan turun, sementara, disisi lain, memunculkan semangat baru dari petani-petani yang ada di sekitar perkebunan, untuk mengambil kembali tanah-tanah yang dulu dimiliki oleh perusahaan asing, kekuatan ini ditambah dengan dinyatakannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945, disketsa inilah muncul cikal bakal inisiasi yang saya maksudkan dalam tulisan ini, ketika mantan buruh-buruh perkebunan di Wangunwatie mulai melakukan pengorganiasian dan pada waktunya nanti mereka melakukan okupasi terhadap perkebunan peninggalan Belanda yang masih berusaha masuk hingga tahun 1949.
Pertanyaan yang paling menarik untuk dilihat adalah “kenapa petani masih tetap ada” dalam tekanan yang begitu dahsyat yang terjadi dalam durasi panjang itu?. Seorang peneliti dan teoritisi studi agraria, Bernstein dalam Class Dynamic of Agrarian Change menyatakan bahwa, salah satu penyebab, bertahannya petani di pedesaan dari gempuran deagrarianization dan depeasantization itu adalah perlawanan kecil-kecil kaum tani di pedesaan, dalam terminology seperti inilah, saya meletakkan pembahasan “inisiasi” dalam tulisan ini.

3.   Inisiasi, antara perlawanan dan negosiasi, politik agraria pasca kemerdekaan 1945.
Meletakkan inisiasi yang terjadi di dalam paparan ini, dapat dilihat terutama pada masa-masa awal tahun 1950, periode ini, dalam banyak babakan sejarah Indonesia, sering dilupakan dan dilewatkan ceritanya begitu saja.[11]  Banyak para ahli Indonesia yang mengupas tentang masa-masa penguasaan Nusantara di bawah VOC, pemerintah Berlanda dan Jepang, tetapi ketika sampai pada periode yang disebut sebagai masa “interim parlementer saat Negara masih lemah” ini, banyak yang dengan hati-hati menjelaskan perjalanan Indonesia. Bahkan pada masa orde baru, juru bicara mereka yang terdiri dari berbagai macam praktisi keilmuwan dengan sinis melihat zaman tahun 50-an ini, bagi mereka periode parlementer 50-an merupakan zaman yang penuh dengan kekacauan politik.
Padahal, jika melihat fakta sejarah (baik yang ditulis versi pemerintah orde baru maupun oleh peneliti bebas dari luar dan dalam) didalam periode inilah banyak muncul eksperimentasi untuk merumuskan rasa kebangsaan sebagai satu Negara bagi seluruh suku-suku dan etnis berbeda yang terdapat di jajaran kepulauan nusantara, pada masa ini pula, muncul banyak usulan-usulan terhadap bagaimana seharusnya pemerintah pusat mengayomi daerah, dan pada masa ini pula terjadi yang saya namakan dengan inisiasi-inisiasi yang muncul dari petani-petani pedesaan di Indonesia selepas mereka terkungkung habis dan tenggelam dalam nuansa penjajahan nan panjang sejak abad ke 18 oleh ekonomi kapitalis yang eksploitatif oleh bangsa kolonial.
Pada masa-masa ini, elit politik nasional dihadapkan pada persoalan rumit karena baru saja “dikalahkan” pada perjanjian KMB (konferensi Meja Bundar), guru Reforma Agraria DR. Gunawan Wiradi dibahas dalam sebuah makalah berjudul “Masalah Perkebunan dalam Konteks Reforma Agraria, Mencari Pegangan Dalam Ketidakpastian” menjelaskan bahwa beberapa point dalam KMB itu yang merugikan pihak Rakyat Indonesia –yang jarang diungkap dalam narasi Sejarah mainstream- adalah:
a. Belanda menggunakan istilah “penyerahan” kedaulatan. Bukan “pengakuan” kedaulatan.
b. Kedaulatan tidak diserahkan keada Republik Proklamasi tetapi kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RI Proklamasi hanya sebagai negara bagian.
c. Irian Barat di”sandera”, dengan janji dalam waktu satu tahun (?) akan dilakukan jajag pendapat (plebisit).
d. Belanda menuntut agar inti tentara RIS adalah KNIL. Namun dalam hal ini Indonesia menang. Artinya, tuntutan Indonesia diterima, yaitu tentara inti Indonesia adalah TNI.
e. Perkebunan-perkebunan besar yang diduduki rakyat harus dikembalikan kepada pemegang haknya semula, yaitu kaum modal swasta Belanda. Artinya, rakyat harus diusir dari tanah-tanah tersebut.
f.  Sebagian hutang Belanda kepada negara lain (ataupun lembaga-lembaga dana lainnya) yang notabene dipakai untuk membeli peralatan perang untuk memerangi Indonesia, menjadi beban Indonesia. Menjadi “hutang” Indonesia.
g. Negara RIS itu berada dalam ikatan kesatuan “Unie Indonesia-Belanda” yang dikepalai oleh raja Belanda
Akibat Perjanjian ini, pemerintah baru Indonesia harus menanggung beban berat hasil kekalahan di meja bundar ini, bagi perkembangan kondisi agraria, khususnya di daerah-daerah bekas onderneming, lahan perkebunan yang sebelum KMB telah digarap oleh eks-buruh perkebunan dan kaum tani disekitar perkebunan yang selama ini hanya merasakan dampak dijajah oleh keberadaan perkebunan itu akhirnya diminta untuk mengembalikan lagi kepada pemilik haknya yang semula yaitu perusahaan yang ditetapkan Hak Erpachtnya menurut hukum agraria Belanda. Akibatnya terjadi banyak bentrokan diwilayah-wilayah perkebunan ini, hingga tahun 1954[12] akhirnya pemerintah Indonesia mengeluarkan UU darurat No.8 tahun 1954 tentang Pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, dan dalam UU itu dijelaskan bahwa menduduki bekas perkebunan yang telah ditinggalkan –telantarkan- oleh pemiliknya tidak dikategorikan sebagai penyerobotan.
Tahun 1960, ketika Undang-undang Pokok Agraria disahkan, dimulailah program penataan struktur agraria di Indonesia, tujuan UUPA ini diniatkan untuk menjadi pondasi dasar bagi pembangunan Indonesia kedepan, diantara hal-hal yang diamanatkan oleh UU ini adalah pelaksanaan Land Reform atas tanah-tanah yang dulunya dikuasai oleh hak-hak produk Hukum Agraria Belanda, sayangnya polemik politik tahun 1965 membuat implementasi UUPA berhenti ditengah jalan.
Polemik yang dimaksud adalah ketika terjadi pertentangan kelas antara petani miskin dan petani kaya di banyak pedesaan di Indonesia. Pertentangan kelas ini dipengaruhi juga oleh adanya pertentangan masing-masing aliran ideologi dan pengelompokan politik besar dari pusat hingga daerah.[13] Kelembagaan dan desain penerapan land reform – seperti panitia pendaftaran tanah desa-, panitia land reform hingga pengadilan land reform – pun ikut menjadi arena dari pertarungan ini. Hasil dari semua itu, kemudian menjadi pertarungan elite nasional tahun 1965-1966 yang kemudian berujung dengan peralihan politik yang brutal dari rejim Orde Lama ke rejim Orde Baru, dimana hampir sejuta orang yang dituduh sebagai anggota dan terlibat PKI mati dibunuh[14] dan puluhan ribu lagi ditahan tanpa proses pengadilan.[15]
Akibat yang paling terasa pada kebijakan agraria dimasa peralihan politik ini adalah dihentikannya seluruh pelaksanaan UUPA (konversi, pendaftaran tanah, land reform dan pembangunan semesta).  Di pedesaan, terjadi pengkotak-kotakan rakyat kepada kelompok anti-komunis dengan yang dituduh sebagai komunis, dan tragedy itu mengakibatkan UUPA dicap sebagai produk PKI yang kemudian dinyatakan terlarang diIndonesia. Sejumlah pemilik tanah luas yang tanahnya terkena sebagai objek land reform mencoba memperoleh kembali tanah-tanah yang telah dibagikan. Penerima tanah land reform (lewat SK KINAG,) yang dituduh terlibat PKI kebanyakan mereka pindah dari daerah pedesaan dimana mereka tinggal. Hal ini tentunya, mempermudah pengambilan kembali tanah-tanah tersebut, yang sering kali pengambilan kembali itu dilakukan atau disokong oleh para penguasa sipil dan militer untuk kepentingan kembalinya modus lama kolonial berupa perkebunan swasta dan perkebunan Negara atau dengan kata lain, usaha untuk mengajukan strategi sosialisme Indonesia yang dilakukan Soekarno di putar balikkan oleh Soeharto dengan me replace- nya dengan gaya kapitalis,[16] dan akibatnya, penguasaan bekas perkebunan Belanda yang awalnya ditujukan untuk di redist ke rakyat, kembali menjadi perkebunan seperti zaman kolonial.[17]
Usaha sistematis orde baru untuk mengkebiri UUPA, serta membungkam petani di pedesaan, adalah sketsa lanjutan dari kemunculan inisiasi di perkebunan koperasi Wangunwatie yang akan dipaparkan pada penjelasan berikut, disana akan terlihat, bagaimana kelompok mantan buruh kebun ini dengan berbagai macam strategi mengelak dari razia orde baru pada awal kekuasaannya, sambil mengacungkan tangan melakukan interupsi terhadap kembali modus produksi kolonial yang terjadi dalam ekonomi perkebunan Indonesia, jika selama ini perlawanan petani didefinisikan sebagai perlawanan konflik dengan pemilik tanah luas (kebun, hutan) didalam paparan berikut akan dijelaskan bagaimana pilihan “bekerja sama” dengan pemerintah (rezim) dilakukan dengan kesadaran penuh sebagai taktik untuk tetap mempertahankan kepentingan rakyat mantan buruh perkebunan yang diikat oleh rasa “sama rata-sama rasa”, sebagai anggota koperasi, dan disadari sebagai suatu bentuk perlawanan yang ditunjukkan dengan inisiasi yang cemerlang dari kelompok ini.
4.   Koperasi Perkebunan Wangunwatie.
Perkebunan ini, adalah bekas perkebunan perusahaan Jerman bernama “STRAAT SUNDA SYNDICAAT NV CULTUUR MIJ WANGUNWATIE”, perusahaan ini mengusahakan teh, karet, dan sedikit Kina, mulai beroperasi tahun 1908, terletak di Desa Sukawangun Kecamatan Karangnunggal, sebuah wilayah di bagian selatan Kabupaten Tasikmalaya. Tahun 1940 kepemilikan lahan ini berganti kepemilikan karena Pemerintah Belanda mengambil alih perusahaan perkebunan ini untuk biaya perang, hingga Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942. Luas seluruh areal perkebunan Tanah Bekas Ervacht Straat Sunda Syndicaat NV Cultuur MIJ Wangunwatie ini seluas 748,353 Ha.
Tahun 1942, ketika Indonesia dijajah oleh Jepang, dikeluarkan undang-undang No. 22/1942. Pada undang-undang itu dinyatakan, bahwa gunseikan (kepala pemerintahan militer) langsung mengawasi perkebunan-perkebunan kopi, kina, karet, teh. Pelaksanaan mengawasi perkebunan tersebut diserahkan kepada sebuah badan pengawas yang dibentuk oleh gunseikan. Badan pengawas itu bernama Saibai Kigyo Kanrikodan (SKK) yang bertugas selain mengawasi juga memegang monopoli pembelian dan menentukan harga jual hasil perkebunan.
Gubseikan dan Saibai Kigyo Kankirodan dibantu oleh staf-staf yang terdiri dari orang-orang pribumi yang telah lama bekerja di bekas-bekas kebun milik Belanda ini, di wangunwatie, ada 6 orang yang diambil bekerja membantu Jepang untuk mengurus perkebunan wangunwatie tersebut, ke-6 orang ini dididik menjalankan administrasi perkebunan, dari kegiatan budidaya (pengetahuan dasar yang didapat sejak perkebunan dimiliki Belanda) hingga pencatatan penjualan karet. Tetapi karena konsentrasi Jepang bukanlah orientasi profit perkebunan tetapi lebih ke penyediaan pangan untuk persiapan perang, kebun wangunwatie ini menjadi tidak terurus, dan berhenti beroperasi pada tahun 1944.
Rentang antara tahun 1944 hingga 1950, seperti kebanyakan daerah pedesaan di Jawa Barat, mereka dihantui oleh terror agresi militer Belanda dan terror dari tentara laskar perang RI yang kecewa ketika normalisasi tentara nasional terjadi (yang kemudian menjadi tentara DI/TII yang dipimpin RM Kartosuwiryo), dan di Wangunwati sendiri, aktivitas produksi kebun berhenti sama sekali.

“tahun-tahun itu, desa wangunwatie seperti hutan, yang ditumbuhi oleh pohon-pohon karet tua yang sudah tidak bergetah, dipunggungan bukit sebelah selatan itu dijadikan tempat berkumpul warga kalau ada penyerangan dari gerombolan DI/TII, dan disebelah ujung dekat kantor itu dijadikan tempat markas lapangan divisi Siliwangi”[18]

Pada tanggal 2 agustus 1950, atas anjuran Pemerintah RI, sisa-sisa perkebunan wangunwatie kembali dikelola/diusahakan oleh para mantan buruh yang masih ada di lokasi perkebunan dengan cara bergotongroyong yang dipimpin oleh Bapak A. Wasyidi (salah seorang yang menjadi staff di Gubseikan dan Saibai Kigyo Kankirodan) , dkk. Dan untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan Wangunwatie dibentuklah suatu organisasi/badan kerjasama para buruh dengan nama DPKW (Dewan Penyelenggara Kebun Wangunwatie), DPKW ini bertugas untuk menghidupkan kembali sisa perkebunan yang masih bisa digarap. Keputusan untuk membentuk DPKW ini karena instruksi yang diberikan oleh Presiden RI kepada PPN untuk mengurus Perkebunan Wangunwatie tidak dapat dilaksanakan berhubung karena situasi yang masih belum stabil di pemerintahan Nasional RI. lewat Surat Wakil Kepala Djawatan Perkebunan Kementrian Pertanian tertanggal 24 Mei 1951 No. E.1309/PKB[19], maka perkebunan Wangunwatie diserahkan pengurusannya kepada mantan buruh tani yang ada disana.
Selanjutnya tanggal 2 Mei 1952 berdasarkan hasil  musyawarah para anggota DPKW, maka secara resmi berdirilah sebuah koperasi dengan nama Koperasi Buruh Perkebunan Wangunwatie (KBPW) dengan bentuk usaha mengusahakan perkebunan karet, 3 bulan setelah koperasi didirikan, dilakukan pengukuran secara manual oleh kelompok koperasi ini dan menemukan bahwa tanah yang dapat diusahakan untuk perkebunan seluas 280.20Ha dari 748,35, sementara sisa yang 468,15 Ha lainnya telah menjadi garapan mantan buruh tani yang juga sekaligus menjadi anggota koperasi yang didirikan, dan berdasarkan RAT pertama Koperasi Buruh Perkebunan Wangunwatie pada tanggal 3 Juli 1953, dicapai kesepakatan, bahwa tanah seluas 468,5 Ha itu dibagikan kepada anggota koperasi dan hanya diperbolehkan menggarap dan atau memiliki tanah tidak lebih dari 2Ha saja, jika ada yang menggarap lebih dari 2Ha, maka sisanya harus diberikan kepada petani penggarap dengan lokasi garapan terdekat yang memiliki kurang dari 2Ha, atau hasil dari kelebihan tanah 2Ha tersebut menjadi modal koperasi.[20]
Aktivitas awal inisiasi koperasi ini selain melakukan redist, adalah mengidentifikasi sisa-sisa kebun karet yang masih bisa dimanfaatkan, pada masa ini, berhasil diketahui, masih terdapat lebih kurang 100Ha kebun karet yang masih produktif, sementara yang lain sudah harus diremajakan, pada tahun 1955 dilakukan peremajaan pertama terhadap kebun karet yang 180Ha lainnya, peremajaan ini memakan waktu hampir 2 tahun akibat diselingi oleh kemelut dalam negeri Indonesa yang tidak selesai.
Pada tahun-tahun awal berdiri ini pula dilakukan pendidikan-pendidikan anggota koperasi yang dilakukan oleh Gerakan Tani Indonesia, sebagai motor politik Partai Sosialis Indonesia yang diketuai oleh Sutan Syahrir, dari penelusuran dokumen perjuangan PSI, diketahui bahwa pada tahun-tahun ini PSI sangat konsern dengan persoalan dengan diterbitkannya dokumen-dokumen agraria sebagai panduan untuk menghimpun Gerakan Tani yang berada di bawah basis PSI.[21] pada tahun-tahun ini pula, PSI lewat Begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djoyohadikusumo terlibat dalam memberi penekanan pada program pembangunan daerah, industri kecil dan koperasi. Namun karena Soemitro mendukung PRRI, maka PSI dianggap turut serta melawan pemerintah, dan pada tahun 1960, presiden Soekarno membubarkan PSI lewat surat Penetapan Presiden 7-th-1960. Sebelum pembubaran PSI, tepatnya tahun ke-7 berdirinya koperasi ini, tepatnya pada tanggal 6 April 1959, KBPW mendapat Badan Hukum dengan Nomor 2108 dari dinas koperasi, dan sejak itu secara legal, koperasi ini mulai mengembangkan usahanya bermodalkan kebersamaan para anggota yang ada, dengan tetap mengusahakan perkebunan karet sisa itu sebagai inti usahanya.
Pembubaran PSI, berakibat terhadap organisasi-organisasi yang berada dibawahnya, untuk itu, melalui keputusan Rapat Anggota tahun 1961, koperasi ini bersepakat untuk melepaskan atribut-atribut GTI –walaupun GTI tidak ikut dibubarkan-, semua atribut-atribut kemudian diganti dengan hanya atribut koperasi untuk mengelabui persengketaan elit nasional antara PSI dan Soekarno. Bersamaan dengan itu lahirlah Undang Undang Pokok Agraria (UU No.5 tahun 1960) sebagai Produk hukum agraria baru menggantikan produk hukum agraria kolonial.
Semangat UUPA 1960 itulah yang kemudian diimplemetasikan oleh pemerintah terhadap tanah-tanah garapan petani di pedesaan bekas kawasan perkebunan Belanda, dan salah satunya adalah tanah-tanah garapan di Wangunwatie, pada tanggal 4 Juni 1965 keluar Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Jawa Barat No. LR.249/D/VIII/60/1965 yang menyatakan meredist tanah seluas 468,15 Ha kepada 240 KK petani yang juga merupakan anggota dari koperasi wangunwatie. SK yang dikenal dengan nama SK KINAG ini disimpan di kantor koperasi untuk menghindari razia ketika terjadi polemik tahun 1965 yang dibanyak daerah terjadi pengambilan kembali SK KINAG ini oleh aparat pemerintah orde baru karena mereka menginnginkan agar tanah-tanah bekas perkebunan yang telah diredist dijadikan perkebunan kembali untuk diusahakan oleh Perkebunan Pemerintah (PTPN) dan Perkebunan Swasta, dibanyak tempat, pengambil alihan oleh negara ini terjadi, sehingga tahun 70-an mulai kembali bermunculan perkebunan-perkebunan besar milik pemerintah dan swasta, dan kondisi yang sama seperti zaman kolonial, kembali lagi dirasakan kebanyakan petani di pedesaan.
Memasuki dasawarsa ketiga (tahun 1970), dimana kekuasaan politik Indonesia dikuasai oleh rezim orde baru dengan corak seperti yang dipaparkan pada bagian kedua diatas, Koperasi Buruh Perkebunan Wangunwati melakukan perubahan nama menjadi KPPKW (Koperasi Produksi Perkebunan Karet Wangunwatie), perubahan nama ini juga strategi koperasi untuk tidak “distigmatisasi” sebagai bagian dari aliran komunis yang dinyatakan terlarang di Indoneia karena kata-kata “Buruh” sering dikonotasikan dengan aliran komunis. Strategi penukaran nama ini diikuti dengan bergabungnya mereka kedalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia[22] pada tahun 27 April 1973.
Tahun 1973, ketika keadaan politik nasional mulai di stabilkan oleh Rezim orde baru, koperasi yang berhasil melewati masa krisis politik tahun 60-an itu kemudian melakukan pembenahan, arsip-arsip koperasi yang sempat disembunyikan mulai ditata kembali, dan pada rentang antara tahun 1973 hingga 1980, melalui rapat dan kesepakatan dengan semua anggota, disepakati untuk mulai melakukan peremajaan total terhadap semua kebun karet milik koperasi, serta dimulainya proses penaikan izin perkebunan ini menjadi HGU. Usaha ini selain untuk menguatkan hak kepemilikan kolektif petani anggota koperasi, juga untuk jaminan pemasaran produksi karet dari perkebunan Wangunwatie yang tidak banyak diminati di pasar karena berasal dari perkebunan yang tidak memiliki HGU.
Atas usaha dari pengurus koperasi wangunwatie yang dibantu oleh Ikatan Legiun Veteran Siliwangi kabupaten Tasik, yang kebetulan sangat dekat dengan rakyat di Wangunwatie karena sempat menjadi salah satu basis pertanahan Siliwangi, serta bantuan surat kecil dari Pak Nasution (Jendral AH Nasution) yang ditujukan ke Pak Sony Harsono (mentri agraria) maka pada 20 Juli 1989, keluarlah keputusan untuk memberikan HGU dengan nomor 37/HGU/BPN/89 kepada Koperasi Produksi Perkebunan Wangunwatie yang akan berakhir 31 Desember 2014.
Sejak dikeluarkan nya HGU itu, mulailah produksi diarahkan untuk dinaikkan kapasitasnya, kebun yang tidak produktif mulai di lakukan peremajaan kembali, sementara untuk pembibitan, koperasi Wangunwatie mengirimkan anggota nya belajar di kebun-kebun karet sekitar desa, dan beberapa kali ikut belajar di sekolah-sekolah yang diadakan oleh dinas pertanian dan perkebunan di balai-balai pelatihan pertanian. Dari pengalaman belajar anggota koperasi ini, kemudian diterapkan di pekebunan Koperasi Wangunwatie.
Pada Rapat Anggota Tahun 1993, berdasarkan hasil kesepakatan dengan semua anggota, Koperasi Wangunwati menegaskan untuk tidak lagi menjual karet mentah keluar koperasi, tetapi harus berupa olahan setengah jadi yang biasa disebut Shet (dibaca shit), hasil RAT ini diikuti dengan pembelian alat pengolahan bekas yang sudah usang dan ketinggalan zaman dari sebuah bengkel di Bandung, dan sejak itu, karet olahan wangunwatie mulai dipasarkan lewat jaringan di dinas koperasi kabupaten Tasikmalaya.
Selama menjalankan modus produksi perkebunan, koperasi ini tetap menjaga azas “sama rata sama rasa” terbukti dengan terjadinya peningkatan kesejahteraan petani disana dari tahun ketahun, yang paling jelas terlihat adalah berhasilnya masyarakat desa ini menghadang laju booming migrasi international (pemberangkatan buruh-buruh migran sebagai Tenaga Kerja Wanita) yang terjadi pada rentang tahun antara 1994 hingga tahun 2000 di Jawa Barat. Sementara itu, koperasi ini mendorong dibuatnya Sekolah Menengah Umum didalam desa, yang diperuntukkan bagi generasi-generasi muda penerus usaha perkebunan koperasi ini, dan menyediakan bea siswa seperti “ikatan dinas” terhadap pemuda dan pemudi di desa untuk kuliah dan kembali ke desa untuk menjaga-menghidupkan koperasi.[23]
Penjaminan kesejahteraan koperasi terhadap petani anggota ini, misalnya dibuktikan dari analisa system pengupahan pekerja kebun yang juga anggota koperasi dan juga penggarap tanah redist, untuk upah pekerja di perkebunan koperasi, buruh sadap digaji Rp27.000,- perhari dengan asumsi mendapatkan lateks 7,5liter/hari, dari 20 orang buruh sadap yang kami wawancarai, rata-rata mereka dapat 11 liter /hari, untuk kelebihan dari 7.5 liter ini akan dihargari per liternya Rp2800,- jadi jika seorang buruh dapat 10 liter saja, maka sisa 2.5 liternya akan dihargari 2800x2.5 = Rp 7000,-, jadi upah perharinya didapat 27000 + 7000 = 34.000. penghasilan ini bisa ditambah lagi dari hasil bekas lateks yang menempel di mangkok-mangkok sadap yang biasa dibersihkan setiap pagi sebelum menyadap, dari bekas lateks yang menempel di mangkok sadap yang dijual ke koperasi ini, buruh sadap bisa mendapat lagi tambahan rata-rata Rp 300.000 sampai 350.000 setiap bulannya. Sementara untuk bagian perawatan, mereka di gaji Rp 15.000/hari. Semua upah itu dikerjakan dengan waktu jam kerja dari jam 4.00 subuh hingga jam 10.00 siang, dan setelah itu mereka bisa bekerja di tanah redist yang sudah merela miliki. Sementara itu, untuk mandor dan pegawai staff, digaji perbulan, ditambah dari hasil mereka ikut sebagai buruh sadap atau merawat.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, sejak tahun 2002 hingga sekarang, Koperasi Wangunwatie mulai mengembangkan inisiasinya tidak hanya kepada anggota koperasi yang hingga tahun 2010 kemaren berjumlah 280 orang, tetapi juga kepada petani-petani di daerah Tasikmalaya Bagian Selatan dengan melakukan program kemitraan karet rakyat, dalam kemitraan itu, koperasi tidak memakai skema hutang,[24] koperasi membantu bibit, dan petani-petani yang ikut menjadi mitra hanya menyediakan tanahnya, kemudian koperasi menurunkan tenaga pendamping dan membantu mengarahkan cara-cara persiapan lahan, penanaman, dan perawatan.[25] Satu-satunya persyaratan yang ditekankan koperasi terhadap petani-petani ini adalah keseriusan untuk memperbaiki nasib, selama karet berumur 0 – 5 tahun (panen) tanah itu bisa ditanami dengan tanaman tumpangsari yang menghasilkan juga, seperti palawija, nanti baru tahun ke 5, ketika panen, petani bisa merasakan hasil dari lateks yang turun dari pohon-pohon getah itu. Untuk pemasaran, koperasi telah menjalin kerjasama dagang dengan beberapa perusahaan besar yang membutuhkan bahan baku karet setengah jadi, sehingga pengawalan dari hulu ke hilir ini menjadi jaminan bagi program kemitraan karet rakyat ini.[26]
Ketika penelitian singkat ini dilakukan, tahun 2009, modal kerja koperasi wangunwatie telah berjumlah Rp 1.905.952.850,- Sedangkan bangunan, tanah, dan barang inventaris serta tamam tumbuh yang ada diatasnya dinominalkan, akan didapat jumlah Rp 5.150.000.000,- (lima milyar lima ratus juta rupiah). Sementara untuk hasil usaha, di pembukuan tahun 2008, berjumlah Rp3.078.499.100,- dari jumlah itu Rp 2.789.533.800,- berasal dari hasil produksi karet di lahan HGU. Dari itu kemudian dikeluarkan untuk Sisa Hasil usaha anggota pada tahun 2008 itu berjumlah Rp 92.646.167, dan pajak PBB.PPH.PPN/retribusi sebesar Rp 278.458.680,-

5.   Penutup   
Koperasi Perkebunan Karet Wangunwatie, hingga data terakhir dari Badan Pertanahan Nasional tahun 2008, adalah satu-satunya pemegang Hak Guna Usaha perkebunan yang berbadan hukum Koperasi di Jawa, namanya terselip dalam hutan rimba daftar perusahaan-perusahaan perkebunan besar yang ada di Indonesia, yang melakukan kontrak izin perkebunan sejak tahun 80-an hingga sekarang. Bahkan, kelompok koperasi ini menyumbangkan PAD yang tidak sedikit untuk Kabupaten Tasikmalaya, dari pendapatan rata-rata 3 (tiga) milyard rupiah/tahun (tahun 2008, Rp. 3.078.499.100,00), mereka memberikan kontribusi pemasukan pajak PBB, PPH, PPN/restribusi sebesar Rp. 278.458.680,00 pada tahun 2008.
Inisiasi yang dilakukan oleh mantan buruh-buruh tani di Perkebunan Belanda ini telah berhasil memberikan kesempatan kerja kepada hampir 600 orang pemuda-pemudi desa di sekitar perkebunan, dan telah memberikan manfaat kepada hampir 300 KK petani yang menjadi mitra kerja koperasi ini. Mereka berhasil menunjukkan bahwa “ekonomi kerakyatan” itu bukan diskusi teoritis semata, tetapi dia adalah praktek berkelanjutan dari bentuk inisiasi yang terus melayani kebutuhan rakyat petani. Koperasi ini, dengan HGU nya, juga telah menunjukkan bahwa “rakyat tani juga bisa mengelola perusahaan perkebunan” dengan modus produksi yang tidak eksploitatif dan menindas.
Konsep sama rata-sama rasa, juga dijalankan sejak dari awal mereka menyepakati tidak ada seorang pun yang boleh memiliki tanah lebih banyak dari yang lain (tahun 1952), hingga praktek kemittaan dengan petani yang tidak dalam rangka mengakumulasi keuntungan di pihak koperasi saja, tetapi memberikan pelayanan dampingan saling belajar dan saling mendorong untuk maju kepada sesama petani yang ada di desa sekitarnya, bahkan dalam suatu diskusi dengan beberapa pengurus koperasi, mereka menyatakan “kami berdagang dengan pengusaha, kalau dengan petani, kami bermitra”.
Tentu saja, tulisan singkat ini, bukan hendak mengatakan, bahwa inilah “model” bagi pelaksanaan pemerataan kesejahteraan yang diinisiasi oleh petani, tetapi setidaknya, ini dapat menjadi contoh dan bukti bahwa petani bukanlah “kentang  yang dimasukkan ke dalam karung tetap saja kentang” seperti lelucon Karl Marx tentang semangat revolusioner petani di Eropa, tetapi petani dipedesaan, jika diberikan kesempatan, maka mereka juga mampu melakukan sesuatu yang bahkan lebih bagus daripada yang dapat dilakukan perusahaan-perusahaan besar.

Daftar Pustaka

Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993

C. Fasseur, “The Cultivation System and Its Impact on the Dutch Colonial Economy and The Indigenous Society in Nineteenh-Century Java”, dalam Two Colonial Empires, Comparative Essays on the History of India and Indonesia in the Nineteenth Century, C.A. Bayly and D.H.A. Kolff (Eds), Dordrecht: Martinus Nijhoff Publisher, 1986

Ernest Utrecht, “Land Reform in Indonesia”, Buletin of Indonesian Economic Studies. Vol. V, No. 3

Frans Husken dan Benjamin White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa”, dalam Prisma, No. 4, 1989

Julie Southwood and Patrick Flanagan, Indonesia: Law, Propaganda, and Terror, London: Zed Press, 1983.

Kutut Suwondo, “Kelompok Penekan di Pedesaan sebagai Salah Satu Alternatif Jalur Partisipasi Masyarakat Pedesaan”, Dalam Kritis, No. 3 th. V, Januari 1991

Noer fauzi Tanah Rakyat dan Demokrasi. (forum LSM DIY)

Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar, 1999

Nico G. Schuldt Nordholt “Dari LSD ke LKMD: Partisipasi di Tingkat Desa”, dalam van Ufford, Philip Quarles, Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Program, Jakarta: PT. Gramedia, 1988

Peter Boomgard, “Forest and Forestry in Colonial Java 1677 – 1942”, paper presented at the Conference on Environmental History of Pacific, Canberra, Australia, 1987

Rex Mortimer, “The Indonesia  Communism and Land Reform 1959-1965”, Monash Papers on Southeast Asia, No. 1, 1972

Robert Cribb "The Indonesian Killings 1965-1966." Clayton: Centre for Southeast Asian Studies, Monash University, 1990; dan Robert Cribb, "Genocide in Indonesia 1965-1966." Journal of Genocide Research 2001, No. 3,

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta, Penerbit Aditia Media, 1994

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium, Jakarta: Gramedia, 1987

Sita Van Bemmelen dan Remco Raben, Antara Daerah dan Negara, Indonesia Tahun 1950-an. KITLV-Jakarta-NIOD-Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.2011.

Web site:


[1] Judul ini diinspirasi dari ide Prof Sajogyo dalam kata pengantar buku Involusi Pertanian yang ditulis C Geertz tahun 1974, ide BUBT ini dilontarkan oleh Prof sajogyo sebagai solusi mengatasi ketidakmerataan kepemilikan tanah, bagi petani gurem.
[2] Tulisan ini berawal dari temuan tidak sengaja, dalam rangkaian proses Riset Sajogyo Institute dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional pada tahun 2010, awalnya kami ingin melihat implementasi program redistribusi tanah yang dilakukan oleh BPN di beberapa daerah, dan kebetulan di Tasikmalaya, ada ditemukan di dalam data BPN RI, bahwa disana terdapat banyak tanah yang sudah di redist dan disertifikatkan oleh BPN RI rentang tahun antara 2001 hingga 2010, dan salah satu desa yang terdapat daftar tanah redist paling banyak, menurut laporan BPN, diinisiasi oleh kelompok Koperasi Perkebunan yang akan dipaparkan dalam makalah ini.
[3] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900, dari Emporium sampai Imperium, Jakarta: Gramedia, 1987, hal 150 – 154
[4] Pkumulasi primitif merupakan rumusan Marx untuk memformulasikan peristiwa Enclosure yang terjadi di Eropa khususnya di wilayah kerajaan Inggris Raya selama beberapa abad (kira-kira 1450-1700). Gelombang pemagaran (enclosure) ini dipraksai oleh pemilik tanah besar dengan mengusir ribuan petani keluar dari tanahnya, pengusiran ini adalah bentuk dari  usaha pemilik-pemilik tanah besar yang panik karena harus memenuhi pasar woll dunia yang sedang meningka, akibatnya, lahan pertanian menjadi perternakan domba
[5] Untuk konteks perjalanan di Indonesia, dijelaskan didalam: Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar, 1999.
[6] Peter Boomgard, “Forest and Forestry in Colonial Java 1677 – 1942”, paper presented at the Conference on Environmental History of Pacific, Canberra, Australia, 1987
[7] Situasi pahit penanaman kopi di Priangan ini, dijelaskan oleh Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia, Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta, Penerbit Aditia Media, 1994. hal. 33.
[8] Nilai eksport internasional dari Jawa yang di tahun 1930 adalah 11,3 juta guilder untuk 36,4 kg komoditas, melonjak menjadi 66,1 juta guilder di tahun 1840 untuk 161,7 juta kg komoditas. Lihat C. Fasseur, “The Cultivation System and Its Impact on the Dutch Colonial Economy and The Indigenous Society in Nineteenh-Century Java”, dalam Two Colonial Empires, Comparative Essays on the History of India and Indonesia in the Nineteenth Century, C.A. Bayly and D.H.A. Kolff (Eds), Dordrecht: Martinus Nijhoff Publisher, 1986, hal. 137.
[9] Hukum ini memunculkan jenis hak baru dalam penguasaan tanah di Indonesia yaitu:, eigendom adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan suatu benda sepenuh penuhnya dan untuk menguasai seluas luasnya, tanah partikelir, yaitu tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa, dengan adanya hak hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan seperti; dapat turut menentukan kepala kampung, dapat menuntut Rodi, mengadakan pungutan--pungutan atas jalan, hak opstal, adalah hak untuk mempunyai rumah, ba-ngunan atau tanam tanaman di atas tanah orang lain, hak ini diberikan berdasarkan S.1872 nomor 124 untuk paling lama 30 tahun. erfpacht diberikan untuk pertanian besar, tempat tempat kediaman di pedalaman, perkebunan dan pertanian kecil. Sedang di daerah luar Jawa hanya untuk pertanian besar, perkebunan dan pertanian kecil.
[10] Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993, halaman 3-52
[11] Ruth T.MC Vey, dalam Kasus Tenggelamnya Sebuah Dasawarsa mengatakan bahwa periode ini telah menjadi laut Sargaso bagi banyak peneliti yaitu sebuah wilayahkebingungan dalam arus utama sejarah dari zaman penjajahan Belanda hingga sekarang. Lihat pada Sita Van Bemmelen dan Remco Raben, Antara Daerah dan Negara, Indonesia Tahun 1950-an. KITLV-Jakarta-NIOD-Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.2011.
[12] Koperasi Wangunwatie yang menjadi salah satu fokus penelitian ini didirikan dalam situasi seperti ini.
[13] Margo L. Lyon, “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan Jawa” dalam SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds.) Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: Yayasan Obor; Ernest Utrecht, “Land Reform in Indonesia”, Buletin of Indonesian Economic Studies. Vol. V, No. 3; dan Rex Mortimer, “The Indonesia  Communism and Land Reform 1959-1965”, Monash Papers on Southeast Asia, No. 1, 1972.
[14] Robert Cribb "The Indonesian Killings 1965-1966." Clayton: Centre for Southeast Asian Studies, Monash University, 1990; dan Robert Cribb, "Genocide in Indonesia 1965-1966." Journal of Genocide Research 2001, No. 3, halaman 219-239.
[15] Julie Southwood and Patrick Flanagan, Indonesia: Law, Propaganda, and Terror, London: Zed Press, 1983.
[16] Usaha ini diwujudkan dalam usaha untuk menjadikan Land Reform sebagai masalah tekhnis, menghapuskan semua legitimasi partisipasi organisasi tani, menerapkan kebijakan floating mass menjelang pemilu 1971, dijalankannya Undang-Undang Pemerintahan Desa tahun 1979, dan melibatkan unsure militer didalam pengawasan pembangunan desa, dan yang paling akhir, adalah dilakukannya suatu program dahsyat yang dikenal dengan Revolusi Hijau, yang pada waktunya kemudian membinasakan masyarakat pedesaan hingga ke tanah-tanah garapannya. Untuk studi tentang ini lihat Nico G. Schuldt Nordholt “Dari LSD ke LKMD: Partisipasi di Tingkat Desa”, dalam van Ufford, Philip Quarles, Kepemimpinan Lokal dan Implementasi Program, Jakarta: PT. Gramedia, 1988. Kutut Suwondo, “Kelompok Penekan di Pedesaan sebagai Salah Satu Alternatif Jalur Partisipasi Masyarakat Pedesaan”, Dalam Kritis, No. 3 th. V, Januari 1991. Dan Frans Husken dan Benjamin White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa”, dalam Prisma, No. 4, 1989
[17] 75% dari 500 perkebunan Belanda yang ada di Indonesia, dikuasai kembali oleh pemerintah lewat opsir-opsir militer, yang kemudian bersekongkol dengan pemodal-pemodal perkebunan untuk membuatnya kembali menjadi milik perusahaan perkebunan. Lihat studi yang dilakukan oleh Karl.L Pelzer Petani Melawan Perkebunan.
[18] Wawancara dengan E.S (salah satu saksi sejarah di Wangunwatie yang menyaksikan peristiwa tahun 1945 – 1950) waktu itu berumur 12 tahun.
[19] Inti dari surat tersebut berisi tentang: Kebun Wangunwatie yang masih ada karetnya diberikan kepada bekas pegawai-pegawai kebun Wangunwatie untuk diusahakan, Modal kerja dicari sendiri oleh pegawai-pegawai tersebut, Hasil kebun disalurkan kesaluran yang legal dan syah, Semua peraturan tersebut diatas bersifat sementara dan pemerintah berhak merubahnya sedang semua yang berkepentingan harus tunduk padanya.
[20] Hasil Rapat Anggota Tahunan Koperasi Buruh Perkebunan Wangunwatie, tanggal 3 Juli 1953. Dalam daftar hadir, rapat anggota ini dihadiri oleh 215 orang anggota koperasi, dan 3 orang peninjau dari organisasi Gerakan Tani Indonesia.
[21] Untuk lebih detail, dokumen-dokumen GTI tentang masalah agraria dapat dilihat di http://tokohitamblackchamber.blogspot.com/2011/06/dokumen-kumpulan-agraria partai.html.
[22] HKTI adalah organisasi tani bentukan pemerintah orde baru, menyusul setelah dibentuknya Komite Nasional Pemuda Indonesia, Himpunan Nelayan seluruh Indonesia, Persatuan Guru Republik Indonesia, Korps wanita Indonesia, dan organ-organ lainnya. Pembentukan ini, adalah strategi pemerintah orde baru untuk menyeragamkan ideology yang Pancasila, serta untuk memudahkan pengawasan terhadap rakyat Indonesia agar tidak lagi memakai nama-nama warisan dari politik orde lama khususnya Partai Komunis Indonesia. pada waktunya, strategi ini efektif untuk menjadi mesin politik dari Golongan karya yang memobilisasi kantong-kantong masa yang ada di dalam organ bentukan pemerintah ini. Untuk HKTI, dia adalah gabungan dari 14 organisasi tani yang diantara nya adalah sisa pasca razia orde baru tahun 1965, mereka adalah Pertani (PNI), Perta (MURBA), GTI (PSI), Gertami (PERTI), Gertasi (PSII), Pertakin (PAEKINDO), Sakti (Non Partai Politik), Pertanu (NU). Kata Pancasila (IPKI), Petisi (Non Partai Politik), IP Pancasila (Partai Katolik), Warga Tani KOSGORO (KOSGORO – GOLKAR), Tani MKGR (MKGR – GOLKAR), RTI – SOKSI (SOKSI – GOLKAR).
[23] Sejak tahun 2000 – 2007, hampir 50 orang muda-mudi pedesaan di Wangunwatie yang mengabdi bekerja di koperasi, mereka memilih kembali ke desa setelah menamatkan studi di sekolah-sekolah dan universitas di kota.
[24] Hutang yang dimaksud disini, adalah hutang yang memakai bunga, menurut pengurus koperasi Wangunwatie, hutang berbunga, akan menimbulkan usaha-usaha yang eksploitatif, sikap ini dicontohkan oleh Koperasi Wangunwatie dengan tidak pernah memakai skema hutang dari Bank atau lembaga perkreditan swasta dalam pemenuhan modal usaha.
[25] Dana untuk program kemitraan ini diambilkan dari keuntungan Koperasi Wangunwatie, karena 15% dari keuntungan itu disepakati untuk didedikasikan sebagai dana sosial membantu petani-petani di Tasikmalaya Bagian Selatan.
[26] Menurut wawancara dengan petani-petani yang telah ikut kemitraan, pada usia pohon karet yang ke-lima, pendapatan bersih setiap petani rata-rata 5.000.000/bulan/Ha, dari penjualan hasil panen karet mereka.

0 comments:

Post a Comment