“Catatan Kelas Belajar
Agraria FKMA”
Bantul, 27-29 Mei 2014
Hari terakhir Sekolah Tani FKMA dihadiri massarakyat Wahana Tri Tunggal yang menolak okupasi tanah bagi pembangunan bandara Kulonprogo
Hari terakhir Sekolah Tani FKMA dihadiri massarakyat Wahana Tri Tunggal yang menolak okupasi tanah bagi pembangunan bandara Kulonprogo
Menjelang dan Saat Hari
Pertama
Pukul 2 pagi, 27 Mei 2014, di sebuah sudut perkampungan pesisir Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta, terdapat sebuah rumah yang masih terlihat ramai. Rumah tersebut sekilas mirip penginapan cepat inap yang banyak menjamur akhir-akhir ini di hampir seluruh pesisir Yogyakarta. Dari struktur bangunannya memang tidak terlihat kokoh, karena hampir seluruh bahan materialnya berasal dari bambu dan kayu bekas. Namun karena disusun oleh orang yang tidak buta seni, rumah tersebut menjadi terlihat menarik dan unik. Apalagi saat malam menjelang, dengan lampu yang secara sengaja dipasang tidak terlalu terang semakin menambah suasana rumah tersebut terlihat mencolok dari rumah-rumah di sekitarnya. Di dalamnya terdapat delapan kamar tidur yang tersusun sejajar, dan beberapa ruangan yang disekat tidak terlalu rapat. Selain itu, hampir di seluruh sudut dan sela-sela ruangan, banyak manik-manik dari akar-akaran dan kelapa bergelantungan. Pemilik rumah ini bernama Gendut, salah satu pengurus organisasi Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP).
Rumah bergaya eksentrik
ini pada awalnya memang tidak terlalu banyak diketahui. Walaupun letak posisinya
tidak jauh dari sekretariat Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP). Sebuah
organisasi rakyat Parang Kusumo yang lahir karena melawan penggusuran atas
tanah mereka. Isu penggusuran ini pada mulanya muncul saat wilayah yang mereka
diami hendak dijadikan kawasan industri pariwisata skala besar oleh
pemerintahan Kabupaten Bantul, Propinsi DI Yogyakarta.
Untuk menggusur mereka dari tanahnya, pemerintah kabupaten Bantul dan Propinsi
Yogyakarta menuduh mereka sebagai “orang liar” dan menempati tanah Sultan Ground.
Merasa butuh rekan seperjuangan, di dalam perjalanan perjuangannya, ARMP
melebur dengan organisasi bernama FKMA. Sebuah forum akar rumput yang terdiri
dari puluhan komunitas yang tersebar di beberapa wilayah kabupaten Pulau Jawa
dan Sumatera.
Rumah ini menjadi penuh
perhatian pada awal Mei 2014. Pasalnya, rumah inilah yang disepakati oleh FKMA
menjadi tempat berlangsungnya sekolah tani atau kelas belajar agraria FKMA
gelombang I. Sekolah tersebut dirancang selama 3 hari, dari tanggal 27-29 Mei
2014. Walaupun tidak tergolong berukuran besar, rumah tersebut diyakini oleh
panitia sekolah tani dapat menampung seluruh peserta kegiatan yang berasal dari
7 komunitas warga. Komunitas yang dimaksud merupakan anggota FKMA yang tersebar
di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Kembali melanjutkan
paragrap I, saat waktu mulai berganti menjadi pukul 3 pagi, sebagian para
panitia-relawan sekolah tani FKMA yang sebelumnya terlihat sibuk menyiapkan
acara, mulai memilih istirahat lebih awal. Namun sebagian yang lain masih
terlihat menyibukkan diri dengan beragam aktifitas, seperti menyusun lembaran
kertas, diskusi, menghisap rokok, dan ada juga yang memilih membaca. Pagi itu,
segelintir panitia masih terjaga untuk menunggu rombongan warga dari Jepara
yang direncanakan akan tiba pada pukul 5 pagi. Dan tepat pada waktu yang telah
dijanjikan, rombongan tesebut pun tiba dan selanjutnya dijemput oleh panitia di
sebuah tempat yang tidak jauh dari lokasi acara. Selanjutnya tidak terlihat
aktifitas apapun di rumah itu, semua memilih untuk istirahat sejenak sebelum
acara dimulai.
Kelas Belajar Pertama
Pukul 9 pagi, sesaat
setelah seluruh peserta menyantap sarapan pagi dan mandi, semuanya sudah
kembali bersiap untuk memulai kegiatan pertama. Dari jadwal yang telah ditentukan,
sesi kegiatan pertama adalah tukar informasi dan perkembangan dari tiap-tiap
komunitas. Untuk memulai acara, Mbah Watin ARMP selaku anggota panitia
memberikan ucapan kalimat selamat datang kepada seluruh peserta kegiatan dan
sekaligus menjadi penanda dibukanya acara sekolah tani. Selanjutnya acara
dipandu oleh moderator yang terlebih dahulu memberikan beberapa pengantar dan
pemanasan. Diantaranya berisikan tentang latar belakang terselengaranya sekolah
tani FKMA, hasil keputusan kongres kedua FKMA dan beberapa hal teknis
penyelenggaran sekolah tani FKMA. Perlu diketahui bahwa penyelenggaran sekolah
tani ini merujuk pada hasil keputusan kongres kedua FKMA, yang
penyelenggaraanya ditujukan sebagai ruang berbagi pengetahuan antar komunitas
dan sekaligus dalam rangka memperkuat solidaritas. Di dalam penyelenggaraannya,
acara ini juga tidak seperti acara-acara yang diselenggarakan oleh NGO yang
berbasis donor, melainkan berbasis donasi sukarela dan tidak terikat.
Moderator kembali
mengingatkan tentang posisi gerakan FKMA dalam ranah gerakan sosial umumnya. Ia
menegaskan bahwa FKMA terbentuk bukan untuk memilih kompromi dengan negara
ataupun korporasi lewat win-sin solution atau skema lain yang pastinya
berujung pada ketidakadilan. Seterusnya FKMA juga akan setia pada gerakan
ekstraparlementer. Hal ini tentunya bukan keputusan sepihak yang hendak
mengintervensi pola-pola gerakan tiap-tiap anggota forum, namun karena memang dari semangat itulah FKMA dulu
dilahirkan.
Dalam sesi tukar
informasi ini, komunitas warga Jepara yang mendahului untuk bercerita. Sugeng
dari Forum Nelayan (Fornel Jepara), menceritakan bahwa saat ini mereka sedang
disibukkan dengan agenda gugatan PTUN terhadap rencana pertambangan pasir besi
PT. Alam Lestari yang dirasakan telah mengancam kehidupan mereka dan nelayan
sekitarnya, terutama wilayah Kecamatan Bandungharjo. Gugatan ini mereka lakukan
selepas keluarnya putusan “bebas bersyarat” terhadap rekan-rekan mereka yang sebelumnya dikriminalisasi oleh PT Guci
Mas (satu perusahaan dengan PT Alam Lestari). Di tengah himpitan tersebut,
mereka juga dihadapkan dengan berbagai persoalan yang datang dari sumber
masalah utama, yaitu perusahaan pertambangan pasir besi. Perusahaan terus
menerus melakukan adu domba agar warga tidak selalu kompak untuk datang ke
Semarang menghadiri persidangan gugatan PTUN. Selain itu, perusahaan juga saat
ini gencar memberikan berbagai tawaran CSR kepada sekelompok warga di daerah
mereka, ungkap Sugeng. Baginya walaupun warga cukup solid, tapi terkadang skema
CSR tersebut bisa saja menjebak warga yang secara umum berpenghasilan sangat
kecil. Kekhawatiran ini tentunya sangat beralasan, mengingat isu pertambangan
pasir besi di wilayah mereka diisukan akan terus diperpanjang hingga tahun
2006.
Selepas Fornel bercerita,
berikutnya giliran rekan mereka
dari organisasi Paguyuban Masyarakat Balong (PMB) yang melanjutkan. PMB
merupakan sebuah organisasi akar rumput yang lahir karena perlawanan terhadap
rencana pembangunan PLTN di wilayah Balong, Jepara. Diwakili oleh Dakif, ia
bercerita bahwa setelah berhasil mengalahkan rencana pembangunan PLTN, kini
mereka dihadapkan dengan kasus baru, yaitu munculnya perusahaan pertambangan
pasir besi di seberang desa mereka. Perusahaan tersebut bernama PT. Rantai Mas,
juga masih satu komplotan dengan PT Alam Lestari yang bercokol di wilayah
Bandung Harjo. Kehadiran pertambangan tersebut telah berdampak abrasi di
pinggiran pantai desa mereka. Lebih dari 20 meter daratan pesisir mereka hilang
pasca beroperasinya perusahaan pertambangan tersebut. Saat ini PMB sedang
berusaha untuk mengembangkan kekuatan ekonomi lewat koperasi dan pertanian. Hal
itu ditujukan sebagai penguatan kantung logistik kolektif yang berguna bagi
kelangsungan semangat organisasional warga. Namun dalam kenyataannya, usaha
koperasi yang dirintis juga menemui kegagalan, ungkapnya. Tak hanya itu,
pertanian padi yang mereka rintis juga mengalami gagal panen. Serangan wabah
telah menyebabkan padi yang mereka tanam tidak memiliki isi yang semestinya.
Lewat sekolah tani FKMA, mereka berharap bisa mendapatkan pengetahuan dan
pengalaman dalam mengelola koperasi dan tanaman holtikultura.
Selanjutnya moderator
memberikan kesempatan bagi Said asal Indramayu yang sebelumnya belum pernah
turut bergabung dalam pertemuan FKMA. Ia merupakan salah satu anggota Serikat
Tani Indramayu (STI), sebuah organisasi petani yang lahir karena berkonflik
dengan negara terkait dengan perampasan tanah yang mereka alami. Menurutnya,
awal muawal lahirnya konflik di wilayahnya adalah berasal dari sejarah tanah pengangonan.
Tanah tersebut adalah tanah yang diusahaai oleh warga untuk beternak atau
menggembalakan hewan peliharaannya pada jaman feodal (kerajaan). Namun setelah
hadirnya negara Republik Indonesia, tanah tersebut dialih fungsikan menjadi
areal pertanian padat modal. Sebagian besar warga kehilangan akses terhadap
tanah yang mereka kuasai tersebut. Hingga menjelang tahun 1965, tanah tersebut
berhasil kembali dikuasai oleh warga. Namun ia menambahkan situasi tersebut
tidak berlangsung lama, tepatnya sejak Soeharto berkuasa. Di Era otoritarian
Orde Baru, tanah pengangonan yang berjumlah lebih dari 8 ribu hektar itu
kembali dikuasai oleh negara dan diperjual belikan hak kelolalnya kepada
siapapun lewat sistem lelang. Negara mendapatkan keuntungannya dari sistem
lelang, dan umumnya para pemenang lelang adalah para cukong ataupun birokrat
yang dekat dengan poros Golkar ataupun tentara. Para pemenang lelang biasanya
akan menyewakan lagi kepada pihak lain dengan harga yang cukup tinggi. Menurut
Said, dengan harga satuan saat ini, petani hanya mendapatkan untung 30 ribu
rupiah tiap harinya jika dihitung dari mulai musim tanam tiba hingga masa panen
datang. Keuntungan yang cukup kecil tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem
sewa yang cukup mahal dari harga yang telah ditetapkan oleh para cukong.
Sementara upah buruh tani perharinya mencapai 50 ribu rupiah. Dari keadaan yang
demikian, tidak heran jika banyak para warga lebih memilih menjadi buruh tani
daripada menyewa tanah.
Kini tiba giliran Aris
Panji dari FPPKS Kebumen yang melanjutkan. Ia mengatakan bahwa situasi saat ini
masih sama, militer masih bertahan untuk terus mencoba merampas tanah rakyat
pesisir Urut Sewu Kebumen. Militer juga terus memecah belah warga dengan
beragam cara, bahkan sampai menjadi panitia kompetisi catur dan lomba tanam jagung hibrida sebagai cara
penaklukan yang dibilang pejabat militer sebagai cara persuasif. Perampasan ini tentunya
bukan sekedar ingin merampas tanah, namun karena di dalam areal tersebut juga
terkandung mineral pasir besi yang memiliki nilai komoditas tinggi. Perlu
diketahui, bahan mentah pasir besi dapat dimanfaatkan sebagai tambahan dalam
industri semen dan industri pembuatan baja. Dengan demikian, tidak mengherankan
jika saat ini angka pertumbuhan pendirian pabrik semen semakin meningkat.
Selain itu juga dipicu oleh meningkatnya kebutuhan semen pada tahun 2013 hingga
10 persen karena untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur-proyek MP3EI dan sarana
pendukungnya.[1]
Moderator selanjutnya
memberikan kesempatan kepada Widodo untuk bercerita. Ia merupakan salah satu
perwakilan PPLP yang dikirim ke sekolah tani FKMA. PPLP adalah sebuah
organisasi yang sejak tahun 2006 dengan gigih melakukan penolakan dan
perlawanan terhadap rencana pendirian pertambangan pasir besi di pesisir Kulon
Progo. Perusahan pertambangan yang dimaksud adalah PT. JMI, merupakan usaha
patungan antara keluarga Sultan HB X dan beberapa investor dari Australia (PT.
Indomines), dsb. Organisasi ini telah melewati berbagai pahit getir perjuangan,
diantaranya adalah beberapa orang dari anggota PPLP telah dikriminalisasi dan
dipenjarakan. Dalam sesi ini ia bercerita bahwa perusahaan semakin gencar
melakukan provokasi dan intimidasi terhadap warga agar mau menjual tanahnya.
Situasi ini dapat dilihat di Desa Karang Wuni, Desa sebelah dimana Widodo
tinggal. Di Karang Wuni hampir seluruh warga berhasil diprovokasi perusahaan
untuk menjual tanah kepada PT. JMI.
Berikutnya Watin dari
ARMP yang berbagi cerita. Ia merupakan salah satu pendiri ARMP dan orang yang
paling giat melakukan penolakan penggusuran di Parang Kusumo. Sehari-harinya ia
menjadi pedagang angkringan di Parang Kusumo dan ia juga aktif di bidang seni,
yaitu menjadi dalang. Ia menjelaskan bahwa perkembangan terakhir adalah
pemerintah kabupaten Bantul semakin giat untuk terus menghancurkan usaha
perekonomian warga Parang Kusumo. Sebagian besar anggota ARMP mencukupi
kehidupan sehari-harinya dengan cara mendirikan usaha hiburan karaoke dalam
skala kecil. Namun menurutnya usaha ini terus digebuk dengan alasan tidak
memiliki ijin. Bagi mereka dengan tetap mengusahai lahan lewat berdagang
ataupun mendirikan usaha hiburan adalah bagian dari bentuk perlawanan
mempertahankan tanah. Menghadapi situasi seperti ini, perlawanan tetap mereka
jalankan dengan berbagai cara. Beberapa waktu yang lalu, warga dan anggota ARMP
sudah berusaha untuk bertemu dengan pemerintah setempat, namun tetap saja usaha
tersebut tidak membuahkan hasil apapun.
Setelah Watin, kini
Bambang dari Blora yang meneruskan sesi. Ia merupakan perwakilan Serikat Petani
Blora Selatan (SPBS), sebuah organisasi yang kini gencar melakukan perlawanan
terhadap privatisasi air di Blora. Ia tinggal di sebuah kawasan yang disebut
sebagai cekungan Randu Blatung purba. Di kawasan tersebut terdapat sumber air
dalam jumlah yang berlimpah dan menopang kehidupan puluhan ribu petani. Namun
menurutnya, kini petani merasa resah setelah kehadiran Proyek Pengembangan Gas
Jawa (PPGJ) yang hendak merampas air tersebut untuk proses produksi
pertambangan minyak dan gas bumi di wilayah mereka. Hal inilah yang selanjutnya
memunculkan perlawanan secara massif terhadap proyek tersebut. Dalam perjalanan
perjuangan SPBS, ia menuturkan bahwa banyak tantangan baru yang mereka hadapi.
Salah satunya adalah menurunnya semangat generasi muda untuk bertani. Bahkan
sebagian dari generasi muda di kampungnya kini sudah mulai mau bekerja di
perusahaan yang pada awalnya telah disebut sebagai musuh bersama. Menghadapi
hal yang demikian, ia dan rekan-rekannya di SPBS mendirikan sebuah sanggar
“anak petani”. Sanggar tersebut diharapkan dapat menjadi ruang belajar dan
refleksi bagi masa depan pertanian di kampungnya.
Terakhir, Linggo dari
Sumedang yang giliran bercerita. Ia berasal dari Kelompok Tani Berdikari,
sebuah organisasi yang bermarkas di Sumedang, Jawa Barat. Konflik di tempatnya
ia ceritakan bermula dari perampasan tanah warga oleh Perhutani. Namun jika
dilacak kebelakang, tanah yang dikuasai Perhutani tersebut merupakan hasil
pengalihan dari perampasan tanah yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah
kolonial. Dan seperti dalam kasus-kasus yang lain, perlawanan di daerahnya baru
menguat setelah jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru. Ia mengatakan bahwa
Kelompok Tani Berdikari baru berhasil merebut kembali tanah dari Perhutani
setelah Soeharto tumbang, dan kini jumlah lahan yang dikuasai adalah seluas 400
hektar. Dari jumlah luas tersebut, yang baru dikelola secara maksimal masih
seluas 170 hektar. Mereka mengusahainya dengan menanam kopi di atasnya. Ia
menambahkan, keterbatasan dana dalam pengadaan bibit menjadi pokok persoalan
mengapa sebagian lahan masih tidak di kelola untuk ditanami kopi. Menghadapi
situasi ini, mereka mencari jalan keluar lewat pendirian koperasi. Harapannya
adalah, koperasi yang mereka bangun dapat mempercepat proses pengadaan bibit
untuk lahan yang tersisa.
MP3EI dan Penghisapan
Setelah seluruh
perwakilan dari tiap-tiap komunitas memaparkan perkembangan terbaru dari
daerahnya, sesi dilanjutkan dengan presentasi Hendro Sangkoyo. Ia biasa akrab
disapa Yoyok. Di dalam sesi ini ia akan mengupas tentang MP3EI dan
kejahatan-kejahatan yang berlaku di dalamnya. Mengapa tema ini sangat penting
dan dipilih oleh panitia sebagai materi di dalam sekolah tani ? Jawabannya
tidak lain adalah : Pertama, MP3EI dianggap sebagai predator ganas terbaru yang
secara singkat akan membabat seluruh sumberdaya komunitas. Kedua, tema ini dianggap
mampu menghadirkan sebuah kesadaran solidaritas yang lebih baik di tingkat
komunitas akar rumput. Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran yang muncul
akibat pembacaaan terhadap operasi kapital yang dimuat dalam mega proyek MP3EI
tersebut, sehingga dalam waktu selanjutnya komunitas menjadi sadar tidak sedang
melakukan perjuangan secara terpisah-pisah. Ketiga, diharapkan dapat menjadi
ruang konsolidasi lanjutan antar komunitas akar rumput lewat beberapa kegiatan.
Dalam pembukaan sesinya,
Yoyok memberikan beberapa kata kunci, yaitu : percepatan, perluasan serta
perampasan ruang dan waktu kehidupan. Kata kunci tersebut menjadi penting untuk
membaca apakah 200 tahun belakangan ini benar-benar terjadi percepatan modal.
Menurutnya saat ini, perampasan tidak hanya terjadi atas tanah tapi juga air.
Dan hal ini yang paling rumit, karena menurutnya air terus bergerak, tidak
tetap seperti tanah. Begitu juga dengan waktu, ia juga terampas secara massif. Untuk
membaca ini secara detail, ia membutuhkan pembacaan serius lewat “finance
capital”, ungkapnya.
[1] Bagian terakhir paragrap
“Kebumen” ditambahkan dari artikel “Fasisme Kesurupan Pasir Besi”. Selengkapnya
dapat dilihat di website FKMA ; www.selamatkanbumi.com.
0 comments:
Post a Comment