Friday, May 30, 2014

Menyusun Narasi Perlawanan yang Tidak Biasa

Catatan Kelas Belajar Agraria FKMA”
Bantul, 27-29 Mei 2014

Hari terakhir Sekolah Tani FKMA dihadiri massarakyat Wahana Tri Tunggal yang menolak okupasi tanah bagi pembangunan bandara Kulonprogo

Menjelang dan Saat Hari Pertama

Pukul 2 pagi, 27 Mei 2014, di sebuah sudut perkampungan pesisir Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta, terdapat sebuah rumah yang masih terlihat ramai. Rumah tersebut sekilas mirip penginapan cepat inap yang banyak menjamur akhir-akhir ini di hampir seluruh pesisir Yogyakarta. Dari struktur bangunannya memang tidak terlihat kokoh, karena hampir seluruh bahan materialnya berasal dari bambu dan kayu bekas. Namun karena disusun oleh orang yang tidak buta seni, rumah tersebut menjadi terlihat menarik dan unik. Apalagi saat malam menjelang, dengan lampu yang secara sengaja dipasang tidak terlalu terang semakin menambah suasana rumah tersebut terlihat mencolok dari rumah-rumah di sekitarnya. Di dalamnya terdapat delapan kamar tidur yang tersusun sejajar, dan beberapa ruangan yang disekat tidak terlalu rapat. Selain itu, hampir di seluruh sudut dan sela-sela ruangan, banyak manik-manik dari akar-akaran dan kelapa bergelantungan. Pemilik rumah ini bernama Gendut, salah satu pengurus organisasi Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP).

Rumah bergaya eksentrik ini pada awalnya memang tidak terlalu banyak diketahui. Walaupun letak posisinya tidak jauh dari sekretariat Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP). Sebuah organisasi rakyat Parang Kusumo yang lahir karena melawan penggusuran atas tanah mereka. Isu penggusuran ini pada mulanya muncul saat wilayah yang mereka diami hendak dijadikan kawasan industri pariwisata skala besar oleh pemerintahan Kabupaten Bantul, Propinsi DI Yogyakarta. Untuk menggusur mereka dari tanahnya, pemerintah kabupaten Bantul dan Propinsi Yogyakarta menuduh mereka sebagai “orang liar” dan menempati tanah Sultan Ground. Merasa butuh rekan seperjuangan, di dalam perjalanan perjuangannya, ARMP melebur dengan organisasi bernama FKMA. Sebuah forum akar rumput yang terdiri dari puluhan komunitas yang tersebar di beberapa wilayah kabupaten Pulau Jawa dan Sumatera.

Rumah ini menjadi penuh perhatian pada awal Mei 2014. Pasalnya, rumah inilah yang disepakati oleh FKMA menjadi tempat berlangsungnya sekolah tani atau kelas belajar agraria FKMA gelombang I. Sekolah tersebut dirancang selama 3 hari, dari tanggal 27-29 Mei 2014. Walaupun tidak tergolong berukuran besar, rumah tersebut diyakini oleh panitia sekolah tani dapat menampung seluruh peserta kegiatan yang berasal dari 7 komunitas warga. Komunitas yang dimaksud merupakan anggota FKMA yang tersebar di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Kembali melanjutkan paragrap I, saat waktu mulai berganti menjadi pukul 3 pagi, sebagian para panitia-relawan sekolah tani FKMA yang sebelumnya terlihat sibuk menyiapkan acara, mulai memilih istirahat lebih awal. Namun sebagian yang lain masih terlihat menyibukkan diri dengan beragam aktifitas, seperti menyusun lembaran kertas, diskusi, menghisap rokok, dan ada juga yang memilih membaca. Pagi itu, segelintir panitia masih terjaga untuk menunggu rombongan warga dari Jepara yang direncanakan akan tiba pada pukul 5 pagi. Dan tepat pada waktu yang telah dijanjikan, rombongan tesebut pun tiba dan selanjutnya dijemput oleh panitia di sebuah tempat yang tidak jauh dari lokasi acara. Selanjutnya tidak terlihat aktifitas apapun di rumah itu, semua memilih untuk istirahat sejenak sebelum acara dimulai.

Kelas Belajar Pertama

Pukul 9 pagi, sesaat setelah seluruh peserta menyantap sarapan pagi dan mandi, semuanya sudah kembali bersiap untuk memulai kegiatan pertama. Dari jadwal yang telah ditentukan, sesi kegiatan pertama adalah tukar informasi dan perkembangan dari tiap-tiap komunitas. Untuk memulai acara, Mbah Watin ARMP selaku anggota panitia memberikan ucapan kalimat selamat datang kepada seluruh peserta kegiatan dan sekaligus menjadi penanda dibukanya acara sekolah tani. Selanjutnya acara dipandu oleh moderator yang terlebih dahulu memberikan beberapa pengantar dan pemanasan. Diantaranya berisikan tentang latar belakang terselengaranya sekolah tani FKMA, hasil keputusan kongres kedua FKMA dan beberapa hal teknis penyelenggaran sekolah tani FKMA. Perlu diketahui bahwa penyelenggaran sekolah tani ini merujuk pada hasil keputusan kongres kedua FKMA, yang penyelenggaraanya ditujukan sebagai ruang berbagi pengetahuan antar komunitas dan sekaligus dalam rangka memperkuat solidaritas. Di dalam penyelenggaraannya, acara ini juga tidak seperti acara-acara yang diselenggarakan oleh NGO yang berbasis donor, melainkan berbasis donasi sukarela dan tidak terikat.

Moderator kembali mengingatkan tentang posisi gerakan FKMA dalam ranah gerakan sosial umumnya. Ia menegaskan bahwa FKMA terbentuk bukan untuk memilih kompromi dengan negara ataupun korporasi lewat win-sin solution atau skema lain yang pastinya berujung pada ketidakadilan. Seterusnya FKMA juga akan setia pada gerakan ekstraparlementer. Hal ini tentunya bukan keputusan sepihak yang hendak mengintervensi pola-pola gerakan tiap-tiap anggota forum, namun karena memang dari semangat itulah FKMA dulu dilahirkan.

Dalam sesi tukar informasi ini, komunitas warga Jepara yang mendahului untuk bercerita. Sugeng dari Forum Nelayan (Fornel Jepara), menceritakan bahwa saat ini mereka sedang disibukkan dengan agenda gugatan PTUN terhadap rencana pertambangan pasir besi PT. Alam Lestari yang dirasakan telah mengancam kehidupan mereka dan nelayan sekitarnya, terutama wilayah Kecamatan Bandungharjo. Gugatan ini mereka lakukan selepas keluarnya putusan “bebas bersyarat” terhadap rekan-rekan mereka  yang sebelumnya dikriminalisasi oleh PT Guci Mas (satu perusahaan dengan PT Alam Lestari). Di tengah himpitan tersebut, mereka juga dihadapkan dengan berbagai persoalan yang datang dari sumber masalah utama, yaitu perusahaan pertambangan pasir besi. Perusahaan terus menerus melakukan adu domba agar warga tidak selalu kompak untuk datang ke Semarang menghadiri persidangan gugatan PTUN. Selain itu, perusahaan juga saat ini gencar memberikan berbagai tawaran CSR kepada sekelompok warga di daerah mereka, ungkap Sugeng. Baginya walaupun warga cukup solid, tapi terkadang skema CSR tersebut bisa saja menjebak warga yang secara umum berpenghasilan sangat kecil. Kekhawatiran ini tentunya sangat beralasan, mengingat isu pertambangan pasir besi di wilayah mereka diisukan akan terus diperpanjang hingga tahun 2006.

Selepas Fornel bercerita, berikutnya giliran rekan mereka dari organisasi Paguyuban Masyarakat Balong (PMB) yang melanjutkan. PMB merupakan sebuah organisasi akar rumput yang lahir karena perlawanan terhadap rencana pembangunan PLTN di wilayah Balong, Jepara. Diwakili oleh Dakif, ia bercerita bahwa setelah berhasil mengalahkan rencana pembangunan PLTN, kini mereka dihadapkan dengan kasus baru, yaitu munculnya perusahaan pertambangan pasir besi di seberang desa mereka. Perusahaan tersebut bernama PT. Rantai Mas, juga masih satu komplotan dengan PT Alam Lestari yang bercokol di wilayah Bandung Harjo. Kehadiran pertambangan tersebut telah berdampak abrasi di pinggiran pantai desa mereka. Lebih dari 20 meter daratan pesisir mereka hilang pasca beroperasinya perusahaan pertambangan tersebut. Saat ini PMB sedang berusaha untuk mengembangkan kekuatan ekonomi lewat koperasi dan pertanian. Hal itu ditujukan sebagai penguatan kantung logistik kolektif yang berguna bagi kelangsungan semangat organisasional warga. Namun dalam kenyataannya, usaha koperasi yang dirintis juga menemui kegagalan, ungkapnya. Tak hanya itu, pertanian padi yang mereka rintis juga mengalami gagal panen. Serangan wabah telah menyebabkan padi yang mereka tanam tidak memiliki isi yang semestinya. Lewat sekolah tani FKMA, mereka berharap bisa mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola koperasi dan tanaman holtikultura.

Selanjutnya moderator memberikan kesempatan bagi Said asal Indramayu yang sebelumnya belum pernah turut bergabung dalam pertemuan FKMA. Ia merupakan salah satu anggota Serikat Tani Indramayu (STI), sebuah organisasi petani yang lahir karena berkonflik dengan negara terkait dengan perampasan tanah yang mereka alami. Menurutnya, awal muawal lahirnya konflik di wilayahnya adalah berasal dari sejarah tanah pengangonan. Tanah tersebut adalah tanah yang diusahaai oleh warga untuk beternak atau menggembalakan hewan peliharaannya pada jaman feodal (kerajaan). Namun setelah hadirnya negara Republik Indonesia, tanah tersebut dialih fungsikan menjadi areal pertanian padat modal. Sebagian besar warga kehilangan akses terhadap tanah yang mereka kuasai tersebut. Hingga menjelang tahun 1965, tanah tersebut berhasil kembali dikuasai oleh warga. Namun ia menambahkan situasi tersebut tidak berlangsung lama, tepatnya sejak Soeharto berkuasa. Di Era otoritarian Orde Baru, tanah pengangonan yang berjumlah lebih dari 8 ribu hektar itu kembali dikuasai oleh negara dan diperjual belikan hak kelolalnya kepada siapapun lewat sistem lelang. Negara mendapatkan keuntungannya dari sistem lelang, dan umumnya para pemenang lelang adalah para cukong ataupun birokrat yang dekat dengan poros Golkar ataupun tentara. Para pemenang lelang biasanya akan menyewakan lagi kepada pihak lain dengan harga yang cukup tinggi. Menurut Said, dengan harga satuan saat ini, petani hanya mendapatkan untung 30 ribu rupiah tiap harinya jika dihitung dari mulai musim tanam tiba hingga masa panen datang. Keuntungan yang cukup kecil tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem sewa yang cukup mahal dari harga yang telah ditetapkan oleh para cukong. Sementara upah buruh tani perharinya mencapai 50 ribu rupiah. Dari keadaan yang demikian, tidak heran jika banyak para warga lebih memilih menjadi buruh tani daripada menyewa tanah.

Kini tiba giliran Aris Panji dari FPPKS Kebumen yang melanjutkan. Ia mengatakan bahwa situasi saat ini masih sama, militer masih bertahan untuk terus mencoba merampas tanah rakyat pesisir Urut Sewu Kebumen. Militer juga terus memecah belah warga dengan beragam cara, bahkan sampai menjadi panitia kompetisi catur dan lomba tanam jagung hibrida sebagai cara penaklukan yang dibilang pejabat militer sebagai cara persuasif. Perampasan ini tentunya bukan sekedar ingin merampas tanah, namun karena di dalam areal tersebut juga terkandung mineral pasir besi yang memiliki nilai komoditas tinggi. Perlu diketahui, bahan mentah pasir besi dapat dimanfaatkan sebagai tambahan dalam industri semen dan industri pembuatan baja. Dengan demikian, tidak mengherankan jika saat ini angka pertumbuhan pendirian pabrik semen semakin meningkat. Selain itu juga dipicu oleh meningkatnya kebutuhan semen pada tahun 2013 hingga 10 persen karena untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur-proyek MP3EI dan sarana pendukungnya.[1]

Moderator selanjutnya memberikan kesempatan kepada Widodo untuk bercerita. Ia merupakan salah satu perwakilan PPLP yang dikirim ke sekolah tani FKMA. PPLP adalah sebuah organisasi yang sejak tahun 2006 dengan gigih melakukan penolakan dan perlawanan terhadap rencana pendirian pertambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo. Perusahan pertambangan yang dimaksud adalah PT. JMI, merupakan usaha patungan antara keluarga Sultan HB X dan beberapa investor dari Australia (PT. Indomines), dsb. Organisasi ini telah melewati berbagai pahit getir perjuangan, diantaranya adalah beberapa orang dari anggota PPLP telah dikriminalisasi dan dipenjarakan. Dalam sesi ini ia bercerita bahwa perusahaan semakin gencar melakukan provokasi dan intimidasi terhadap warga agar mau menjual tanahnya. Situasi ini dapat dilihat di Desa Karang Wuni, Desa sebelah dimana Widodo tinggal. Di Karang Wuni hampir seluruh warga berhasil diprovokasi perusahaan untuk menjual tanah kepada PT. JMI.

Berikutnya Watin dari ARMP yang berbagi cerita. Ia merupakan salah satu pendiri ARMP dan orang yang paling giat melakukan penolakan penggusuran di Parang Kusumo. Sehari-harinya ia menjadi pedagang angkringan di Parang Kusumo dan ia juga aktif di bidang seni, yaitu menjadi dalang. Ia menjelaskan bahwa perkembangan terakhir adalah pemerintah kabupaten Bantul semakin giat untuk terus menghancurkan usaha perekonomian warga Parang Kusumo. Sebagian besar anggota ARMP mencukupi kehidupan sehari-harinya dengan cara mendirikan usaha hiburan karaoke dalam skala kecil. Namun menurutnya usaha ini terus digebuk dengan alasan tidak memiliki ijin. Bagi mereka dengan tetap mengusahai lahan lewat berdagang ataupun mendirikan usaha hiburan adalah bagian dari bentuk perlawanan mempertahankan tanah. Menghadapi situasi seperti ini, perlawanan tetap mereka jalankan dengan berbagai cara. Beberapa waktu yang lalu, warga dan anggota ARMP sudah berusaha untuk bertemu dengan pemerintah setempat, namun tetap saja usaha tersebut tidak membuahkan hasil apapun.

Setelah Watin, kini Bambang dari Blora yang meneruskan sesi. Ia merupakan perwakilan Serikat Petani Blora Selatan (SPBS), sebuah organisasi yang kini gencar melakukan perlawanan terhadap privatisasi air di Blora. Ia tinggal di sebuah kawasan yang disebut sebagai cekungan Randu Blatung purba. Di kawasan tersebut terdapat sumber air dalam jumlah yang berlimpah dan menopang kehidupan puluhan ribu petani. Namun menurutnya, kini petani merasa resah setelah kehadiran Proyek Pengembangan Gas Jawa (PPGJ) yang hendak merampas air tersebut untuk proses produksi pertambangan minyak dan gas bumi di wilayah mereka. Hal inilah yang selanjutnya memunculkan perlawanan secara massif terhadap proyek tersebut. Dalam perjalanan perjuangan SPBS, ia menuturkan bahwa banyak tantangan baru yang mereka hadapi. Salah satunya adalah menurunnya semangat generasi muda untuk bertani. Bahkan sebagian dari generasi muda di kampungnya kini sudah mulai mau bekerja di perusahaan yang pada awalnya telah disebut sebagai musuh bersama. Menghadapi hal yang demikian, ia dan rekan-rekannya di SPBS mendirikan sebuah sanggar “anak petani”. Sanggar tersebut diharapkan dapat menjadi ruang belajar dan refleksi bagi masa depan pertanian di kampungnya.
Terakhir, Linggo dari Sumedang yang giliran bercerita. Ia berasal dari Kelompok Tani Berdikari, sebuah organisasi yang bermarkas di Sumedang, Jawa Barat. Konflik di tempatnya ia ceritakan bermula dari perampasan tanah warga oleh Perhutani. Namun jika dilacak kebelakang, tanah yang dikuasai Perhutani tersebut merupakan hasil pengalihan dari perampasan tanah yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah kolonial. Dan seperti dalam kasus-kasus yang lain, perlawanan di daerahnya baru menguat setelah jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru. Ia mengatakan bahwa Kelompok Tani Berdikari baru berhasil merebut kembali tanah dari Perhutani setelah Soeharto tumbang, dan kini jumlah lahan yang dikuasai adalah seluas 400 hektar. Dari jumlah luas tersebut, yang baru dikelola secara maksimal masih seluas 170 hektar. Mereka mengusahainya dengan menanam kopi di atasnya. Ia menambahkan, keterbatasan dana dalam pengadaan bibit menjadi pokok persoalan mengapa sebagian lahan masih tidak di kelola untuk ditanami kopi. Menghadapi situasi ini, mereka mencari jalan keluar lewat pendirian koperasi. Harapannya adalah, koperasi yang mereka bangun dapat mempercepat proses pengadaan bibit untuk lahan yang tersisa.

MP3EI dan Penghisapan

Setelah seluruh perwakilan dari tiap-tiap komunitas memaparkan perkembangan terbaru dari daerahnya, sesi dilanjutkan dengan presentasi Hendro Sangkoyo. Ia biasa akrab disapa Yoyok. Di dalam sesi ini ia akan mengupas tentang MP3EI dan kejahatan-kejahatan yang berlaku di dalamnya. Mengapa tema ini sangat penting dan dipilih oleh panitia sebagai materi di dalam sekolah tani ? Jawabannya tidak lain adalah : Pertama, MP3EI dianggap sebagai predator ganas terbaru yang secara singkat akan membabat seluruh sumberdaya komunitas. Kedua, tema ini dianggap mampu menghadirkan sebuah kesadaran solidaritas yang lebih baik di tingkat komunitas akar rumput. Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran yang muncul akibat pembacaaan terhadap operasi kapital yang dimuat dalam mega proyek MP3EI tersebut, sehingga dalam waktu selanjutnya komunitas menjadi sadar tidak sedang melakukan perjuangan secara terpisah-pisah. Ketiga, diharapkan dapat menjadi ruang konsolidasi lanjutan antar komunitas akar rumput lewat beberapa kegiatan.

Dalam pembukaan sesinya, Yoyok memberikan beberapa kata kunci, yaitu : percepatan, perluasan serta perampasan ruang dan waktu kehidupan. Kata kunci tersebut menjadi penting untuk membaca apakah 200 tahun belakangan ini benar-benar terjadi percepatan modal. Menurutnya saat ini, perampasan tidak hanya terjadi atas tanah tapi juga air. Dan hal ini yang paling rumit, karena menurutnya air terus bergerak, tidak tetap seperti tanah. Begitu juga dengan waktu, ia juga terampas secara massif. Untuk membaca ini secara detail, ia membutuhkan pembacaan serius lewat “finance capital”, ungkapnya.




[1]  Bagian terakhir paragrap “Kebumen” ditambahkan dari artikel “Fasisme Kesurupan Pasir Besi”. Selengkapnya dapat dilihat di website FKMA ; www.selamatkanbumi.com.

0 comments:

Post a Comment