Bermaksud membela petani, berakhir di ruang interogasi. Disiksa tentara Orba sampai trauma. | Oleh: WENRI WANHAR
Wilson, 47 tahun, lulusan jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang mengalami pengalaman buruk semasa rezim militeristik Orde Baru. Foto: Micha Rainer Pali/Historia.
Wilson, 47 tahun, lulusan jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang mengalami pengalaman buruk semasa rezim militeristik Orde Baru. Foto: Micha Rainer Pali/Historia.
PETANI di desa Belangguan, Situbondo,
Jawa Timur tak berdaya ketika ladang jagung mereka beralih fungsi
menjadi area latihan tempur tentara. Asa mulai meronta ketika puluhan
mahasiswa datang ke kampung mereka.
Berdasarkan hasil rembukan, mahasiswa
dan petani sepakat melakukan aksi tanam jagung bersama di ladang yang
sudah dikuasai tentara. Para petani menyiapkan bibit jagung yang akan
ditanam. Mahasiswa membekali diri dengan poster berukuran sepuluh meter.
Tulisannya: HIDUP MATI KAMI DARI TANAH INI.
Rencananya aksi tanam jagung dilakukan
pagi hari tanggal 23 Januari 1993. Sehari menjelang hari H, sebanyak 26
mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi asal Jakarta, Semarang,
Yogyakarta dan Surakarta menginap di rumah-rumah penduduk. Mereka
aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi di Indonesia (SMDI)
–kemudian hari menjadi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi
(SMID).
Jelang pukul 11 malam, kampung yang
tadinya tenang berubah mencekam. Mobil patroli berputar-putar
mengelilingi jalan desa. Tentara berkeliaran memburu mahasiswa.
“Rumah-rumah di pinggir hutan itu digeledah. Aksi militer itu membuat
kaum perempuan serta anak-anak ketakutan,” tulis dokumen kronologis
Komite Solidaritas Rakyat Belangguan (KIRAB) sebagaimana dicuplik buku Menyulut Lahan Kering Perlawanan.
Meski daerah itu sudah diblokade oleh
militer dengan menempatkan tiga sampai lima tentara di tiap jalan
strategis, para petani setempat berhasil menyembunyikan mahasiswa di
tempat aman. Petani-petani itu memang hafal tiap jengkal kampung
halamannya. Hingga pukul 03:00 dini hari tentara masih mengintimidasi.
Di tengah guyuran hujan malam itu, Webby
Warouw dan Budiman Sudjatmiko dari UGM memimpin rapat darurat. Setelah
menimbang segala sesuatunya, aksi tanam jagung di Belangguan dibatalkan.
Aksi dipindahkan ke kantor DPRD Tingkat I Surabaya.
Siang itu, usai aksi di kantor DPRD,
para mahasiswa berkumpul di terminal Bungurasih menanti bus untuk
kembali ke Yogyakarta sebelum pulang ke kota masing-masing. Tanpa
disadari, terminal sudah dikuasai aparat berpakaian preman. Tigabelas
orang berhasil ditangkap.
“Kami dibawa ke sebuah kantor. Tempatnya
tersembunyi. Terpencil. Tidak ada papan nama. Di temboknya terukir
gambar telinga besar dan di tengahnya ada mata,” ujar Wilson, 47 tahun,
saat bertandang ke redaksi Historia, pekan lalu.
“Belakangan,”
kata Wilson melanjutkan, “baru diketahui bahwa itu kantor Bakorstanasda.
Dan gambar mata di tengah telinga besar itu simbol intelijen.”
Para mahasiswa diinterogasi bergantian.
“Ketika dinterogasi, tiap jemari dililit kabel setrum. Terlihat voltase
dari angka 0 sampai 100. Kalau mereka tidak puas dengan jawaban yang
kita berikan, voltasenya dinaikkan. Kita juga disuruh menyaksikan kawan
yang sedang disiksa,” lulusan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI itu
mengenang pengalaman buruk semasa rezim militeristik Orde Baru berkuasa.
Budiman Sudjatmiko dalam memoarnya, Anak-Anak Revolusi,
juga mengenang penangkapan itu. “Mulai saat itu terjadi ritual
interogasi dan penyiksaan. Tidak ada manusia di tempat itu, yang ada
hanya segerombolan hewan pemburu dan segerombolan hewan buruan mereka.
Kami disiksa seperti binatang ... ada yang disetrum, dipukul, dikencingi
dan wajahnya dimasukkan ke dalam toilet.”
Setelah kenyang menyiksa dan
menakut-nakuti, aparat tentara itu memperbolehkan mahasiswa pulang.
Mereka meminta agar para mahasiswa itu tak lagi mengulangi aksi “sok
pahlawan”. Para aktivis mahasiswa itu pun dipaksa bungkam untuk tidak
menceritakan apa saja yang dialami selama dalam tahanan. Tapi tentu,
mereka tak tunduk begitu saja. “Walaupun sebagian anggota kami mengalami
trauma, sebagian besar tetap berdiri tegar,” kata Budiman dalam
memoarnya.
Sumber http://www.historia.co.id/artikel/modern/1410/Majalah-Historia/Peristiwa_Belangguan_1993
0 comments:
Post a Comment