Wednesday, April 16, 2014

Peristiwa Belangguan 1993 [Kisah Berlawan Zaman Orba]

Bermaksud membela petani, berakhir di ruang interogasi. Disiksa tentara Orba sampai trauma. | Oleh: WENRI WANHAR

Wilson, 47 tahun, lulusan jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang mengalami pengalaman buruk semasa rezim militeristik Orde Baru. Foto: Micha Rainer Pali/Historia.

PETANI di desa Belangguan, Situbondo, Jawa Timur tak berdaya ketika ladang jagung mereka beralih fungsi menjadi area latihan tempur tentara. Asa mulai meronta ketika puluhan mahasiswa datang ke kampung mereka.

Berdasarkan hasil rembukan, mahasiswa dan petani sepakat melakukan aksi tanam jagung bersama di ladang yang sudah dikuasai tentara. Para petani menyiapkan bibit jagung yang akan ditanam. Mahasiswa membekali diri dengan poster berukuran sepuluh meter. Tulisannya: HIDUP MATI KAMI DARI TANAH INI.

Rencananya aksi tanam jagung dilakukan pagi hari tanggal 23 Januari 1993. Sehari menjelang hari H, sebanyak 26 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi asal Jakarta, Semarang, Yogyakarta dan Surakarta menginap di rumah-rumah penduduk. Mereka aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi di Indonesia (SMDI) –kemudian hari menjadi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Jelang pukul 11 malam, kampung yang tadinya tenang berubah mencekam. Mobil patroli berputar-putar mengelilingi jalan desa. Tentara berkeliaran memburu mahasiswa. “Rumah-rumah di pinggir hutan itu digeledah. Aksi militer itu membuat kaum perempuan serta anak-anak ketakutan,” tulis dokumen kronologis Komite Solidaritas Rakyat Belangguan (KIRAB) sebagaimana dicuplik buku Menyulut Lahan Kering Perlawanan.

Meski daerah itu sudah diblokade oleh militer dengan menempatkan tiga sampai lima tentara di tiap jalan strategis, para petani setempat berhasil menyembunyikan mahasiswa di tempat aman. Petani-petani itu memang hafal tiap jengkal kampung halamannya. Hingga pukul 03:00 dini hari tentara masih mengintimidasi.

Di tengah guyuran hujan malam itu, Webby Warouw dan Budiman Sudjatmiko dari UGM memimpin rapat darurat. Setelah menimbang segala sesuatunya, aksi tanam jagung di Belangguan dibatalkan. Aksi dipindahkan ke kantor DPRD Tingkat I Surabaya.

Siang itu, usai aksi di kantor DPRD, para mahasiswa berkumpul di terminal Bungurasih menanti bus untuk kembali ke Yogyakarta sebelum pulang ke kota masing-masing. Tanpa disadari, terminal sudah dikuasai aparat berpakaian preman. Tigabelas orang berhasil ditangkap.

“Kami dibawa ke sebuah kantor. Tempatnya tersembunyi. Terpencil. Tidak ada papan nama. Di temboknya terukir gambar telinga besar dan di tengahnya ada mata,” ujar Wilson, 47 tahun, saat bertandang ke redaksi Historia, pekan lalu.

“Belakangan,” kata Wilson melanjutkan, “baru diketahui bahwa itu kantor Bakorstanasda. Dan gambar mata di tengah telinga besar itu simbol intelijen.”

Para mahasiswa diinterogasi bergantian. 
“Ketika dinterogasi, tiap jemari dililit kabel setrum. Terlihat voltase dari angka 0 sampai 100. Kalau mereka tidak puas dengan jawaban yang kita berikan, voltasenya dinaikkan. Kita juga disuruh menyaksikan kawan yang sedang disiksa,” lulusan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI itu mengenang pengalaman buruk semasa rezim militeristik Orde Baru berkuasa.

Budiman Sudjatmiko dalam memoarnya, Anak-Anak Revolusi, juga mengenang penangkapan itu. “Mulai saat itu terjadi ritual interogasi dan penyiksaan. Tidak ada manusia di tempat itu, yang ada hanya segerombolan hewan pemburu dan segerombolan hewan buruan mereka. Kami disiksa seperti binatang ... ada yang disetrum, dipukul, dikencingi dan wajahnya dimasukkan ke dalam toilet.”

Setelah kenyang menyiksa dan menakut-nakuti, aparat tentara itu memperbolehkan mahasiswa pulang. Mereka meminta agar para mahasiswa itu tak lagi mengulangi aksi “sok pahlawan”. Para aktivis mahasiswa itu pun dipaksa bungkam untuk tidak menceritakan apa saja yang dialami selama dalam tahanan. Tapi tentu, mereka tak tunduk begitu saja. “Walaupun sebagian anggota kami mengalami trauma, sebagian besar tetap berdiri tegar,” kata Budiman dalam memoarnya.
Sumber http://www.historia.co.id/artikel/modern/1410/Majalah-Historia/Peristiwa_Belangguan_1993

0 comments:

Post a Comment