APR 20, 2014 - oleh: ANGGA YUDHI
Pukul 10.00 pagi itu, cuaca di Desa Setrojenar sangat
cerah. Aktivitas warga, yang kebanyakan bertani, pagi itu tersela. Warga datang
berbondong-bondong ke kantor kecamatan Buluspesantren guna menghadiri
sosialisasi pemagaran lahan di wilayah pesisir selatan oleh TNI AD. Di depan
kantor kecamatan tampak sekelompok serdadu TNI AD berpakaian loreng-loreng
dengan menenteng senjata laras panjang. Mereka berjaga di beberapa sudut gedung
kantor kecamatan serta di pinggir jalan.
Tampak beberapa polisi juga hadir dalam acara tersebut.
Di dalam ruang pertemuan yang tak bertembok di kantor kecamatan itu, warga memenuhi
kursi-kursi yang disediakan, bahkan tak sedikit warga berada di luar ruangan.
Acara sosialisasi itu dihadiri antara lain oleh pejabat Pemda, ketua BPN, dan
Dandim Kabupaten Kebumen
Penyerobotan tanah rakyat atas nama sosialisasi
pembangunan dan penertiban barang milik negara oleh TNI AD di Desa Setrojenar
(foto dokumentasi Social Movement Institute)
Prajurit TNI AD berjaga di kantor kecamatan saat pertemuan dengan
warga(foto dokumentasi Social Movement Institute)
Acara tersebut sebenarnya buntut dari tidak tuntasnya
sengketa lahan di Urutsewu. Militer melalui TNI AD mengklaim tanah di pesisir
selatan sebagai tempat latihan militer yang kepemilikannya berada pada negara.
Warga menolak klaim sepihak tersebut. Selama ini warga memiliki bukti Buku C Desa
serta Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang berarti mereka membayar
pajak atas tanah yang mereka miliki.
Selain itu, beberapa warga juga memiliki sertifikat
tanah. Namun, klaim TNI AD semakin menjadi-jadi dengan rencana pembangunan
pagar pembatas di sepanjang bagian selatan Urutsewu tersebut. Konflik pun tak
terhindarkan.
Di akhir pertemuan, warga bersikukuh untuk menolak
pemagaran karena menyalahi hak kepemilikan warga atas tanah di pesisir selatan.
Lahan yang membentang antara Kali Lukulo di desa
Ayamputih Kecamatan Buluspesantren di sebelah barat dan Kali Mawar di Desa
Wiromartan, Kecamatan Mirit di sebelah timur itu biasa disebut sebagai
Urutsewu. Jarak antar dua kali tersebut kurang lebih 22,5 kilometer. Warga yang
terlibat dalam konflik berasal dari tiga kecamatan yang mencakup kurang lebih
lima belas desa, yaitu Desa Ayamputih, Setrojenar, Bercong (Kecamatan
Buluspesantren); Desa Entak, Kenoyojayan Ambal Resmi, Kaibon Petangkuran,
Kaibon, Sumberjati, (Kecamatan Ambal); Mirit Petikusan, Mirit, Tlogodepok,
Tlogopragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan (Kecamatan Mirit).
TNI AD mengklaim lahan sepanjang 22,5 kilometer dan 500
meter dari bibir pantai sebagai tanah negara yang penggunaannya dipasrahkan
kepada TNI AD sebagai tempat latihan militer. Bahkan dalam Peraturan Daerah
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kebumen ditegaskan bahwa wilayah
selatan sebagai wilayah Hankam (Pertahanan dan Keamanan).
Paling tidak sejak sebelum kemerdekaan republik diikrarkan,
tanah Urutsewu sudah digunakan untuk latihan militer. Pertama-tama adalah
militer kolonial Belanda yang menggunakannya dari tahun 1937 sampai kedatangan
Jepang. Selepas hengkangnya militer Belanda, militer Jepang lalu menggunakannya
untuk latihan militer dari 1942-1945.
Namun, tanah Urutsewu sudah dilangsir (pemetaan
dan pengadministrasian tanah) sejak tahun 1922, hasil dari penyatuan beberapa
desa pada tahun 1922. Di tahun 1932 klangsiran dilakukan kembali oleh
Mantri Klangsir di bawah pemerintah kolonial Belanda dengan partisipasi warga
Urutsewu. Tanah tersebut dipetakan berdasarkan nilai gunanya untuk menentukan
besaran pajak yang akan dipungut.
Namun hasil klangsiran tanah pada tahun 1932
itu justru melahirkan klaim tanah oleh pihak kolonial Belanda di sepanjang
pesisir selatan karena pada saat yang bersamaan ditentukan pula tanah
milik Belanda yang disebut sebagai “tanah kumpeni” dengan menancapkan patok
sepanjang pesisir Urutsewu yang berjarak +150-200 meter.
Patok yang berkode Q dan masih berdiri sampai sekarang
ini dikenal oleh warga sebagai Pal Budheg. Di masa itu, semua tanah yang
berada di utara Pal Budheg diakui sebagai tanah rakyat dan di bagian
selatan sebagai “tanah kumpeni”.
Klaim atas tanah di bagian selatan oleh pihak Belanda
sebenarnya ditentang oleh warga Urutsewu karena tanah di pesisir selatan pun
digunakan oleh warga untuk menambang garam. Maka warga yang berada di utara
tetap membayar sewa atas penggunaan tanah di selatan kepada pemiliknya yang
sah. Penolakan warga atas klaim pihak Belanda bahkan berujung pada perusakan
gudang garam milik Belanda.
Bercokolnya TNI AD
di Urutsewu
TNI AD mulai masuk ke Urutsewu pada tahun 1982 dengan
dibangunnya mess Dislitbang TNI AD di Desa Setrojenar Kecamatan Buluspesantren.
Bangunan tersebut berada di atas tanah desa dan beberapa warga. Pada saat yang
hampir bersamaan, TNI AD juga melayangkan surat peminjaman tanah Urutsewu
kepada kepala-kepala desa setempat. Tanah yang dipinjam tersebut diperuntukkan
bagi latihan militer. Belakangan, peminjaman tersebut tidak lagi terjadi
seturut dengan klaim kepemilikan tanah oleh TNI AD. Selain membangun mess, TNI
AD juga membangun pos latihan di wilayah pesisir. Pos yang bertingkat tiga itu
masih berstatus sebagai milik Mihad, warga Desa Setrojenar, dengan sertifikat
yang dikeluarkan pada tahun 1969.
Mess Dislitbang TNI AD di Desa Setrojenar Kecamatan Bulupesantren (foto
dokumentasi Social Movement Institute)
Pada tahun 1998 TNI AD melakukan pemetaan atas tanah di
Urutsewu. Pemetaan yang sepihak itu dilakukan oleh Serma Hartono (NRP: 549021)
yang kemudian ditandatangani oleh kepala desa. Hasil pemetaan yang dibubuhi
tandatangan beberapa kepala desa tersebut belakangan menjadi acuan kepemilikan
tanah oleh TNI AD. Peta versi TNI AD itu memang bermasalah.
Surat resmi kronologi konflik Urutsewu yang dikeluarkan
oleh Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPKKS) dan Urutsewu Bersatu (USB)
menyatakan bahwa pemetaan tersebut tidak sekalipun bisa dijadikan bukti
pengalihan kepemilikan dari warga ke TNI AD. Belum lagi, pemetaan tersebut
sudah tidak sah sejak awalnya. Pasalnya, yang berwenang mengukur tanah dan
melakukan pemetaan adalah BPN (Badan Pertanahan Nasional) bukan TNI AD.
Permasalahan terus berlanjut. Pada tahun 2006, TNI AD
mengklaim wilayah pesisir selatan yang berjarak 500 meter dari bibir pantai
sebagai tanah Hankam. Klaim tersebut muncul dalam surat Camat Buluspesantren
Nomor 621.11/236 tertanggal 10 November 2007 perihal tanah TNI. Entah
bagaimana, surat yang muncul dari hasil musyawarah perihal permasalahan tanah
TNI pada 8 November 2007 di pendopo Kecamatan Buluspesantren yang dihadiri oleh
Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV Purworejo, Dislitbang Buluspesantren,
Kepala Desa Ayamputih, Setrojenar, dan Brecong, Ketua Badan Perwakilan Desa
(BPD) 3 desa, mantan Kades (2 desa), dan warga masyarakat 3 desa itu,
menghasilkan klaim tanah TNI AD atas pesisir selatan.
Di sisi lain, hasil audiensi dengan BPN Kebumen bersama
DPRD Kabupaten Kebumen, 13 Desember 2007, menunjukkan bahwa sampai sekarang
tidak ada tanah TNI di Urutsewu dan TNI belum pernah mengajukan permohonan ke
BPN.
Pembangunan Jalan
Lintas Selatan-Selatan
Pada tahun 2007 juga permasalahn tanah di Urutsewu
bertambah rumit dengan rencana pemerintah membangun Jalan Lintas Selatan
Selatan (JLSS). Rencana tersebut sudah meruap sejak beberapa tahun sebelumnya.
Isu yang berhembus, Jalan Daendels yang semula hanya selebar kurang lebih 5
meter akan diperlebar hingga kurang lebih tiga kali lipat. Pelebaran jalan
sebagai upaya pembanguan jalan lintas selatan tak pelak mengakuisisi lahan
milik warga Urutsewu. Patok-patok yang telah ditanam di sepanjang Urutsewu memperlihatkan
batas-batas tanah yang akan diakuisi oleh pemerintah.
Selama ini penetapan patok dipandang bermasalah oleh
warga di Urutsewu. Pasalnya, pemerintah mengklaim Jalan Deandels pada awalnya
memang selebar yang dipatok untuk jalan lintas selatan seperti saat ini tampak
di sepanjang jalan tersebut. Hal itu berarti warga tidak sedikit pun berhak
atas tanah itu.
Warga kecewa karena merasa dikangkangi secara sepihak.
Mereka mulai memperkuat barisan. Pertemua-pertemuan antar warga mulai
digalakkan. Mereka menentang upaya pemerintah (khususnya dinas PU) mengakuisi
tanah sah mereka tanpa ganti rugi. Maka pada tahun 2006 lahirlah Korjasena
(Korban Jalur Lintas Selatan). Sebuah organisasi yang mewadahi segala aksi
penentangan akuisi tanah. Khususnya mereka yang tanahnya masuk dalam rencana
pelebaran jalan. Korjasena diketuai oleh Seniman, warga Desa Petangkuran
Kecamatan Ambal. Ia juga sosok yang cukup getol memperjuangkan hak-hak warga
atas tanah mereka yang sah.
Memang, ruang gerak Korjasena masih terbatas di Kecamatan
Ambal saja. Hal itu karena isu yang muncul ketika itu adalah baru sebatas
pelebaran jalan. Namun, dapatlah dibilang Korjasena adalah embrio dari gerakan
dan aksi warga yang lebih luas yang melibatkan tiga kecamatan dengan isu yang
terus berkembang di kemudian hari. Baik dalam hal latihan TNI, masuknya
perusahan tambang pasir besi hingga perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW).
Di saat pembebasan lahan untuk pelebaran jalan masih
bermasalah, TNI AD justru memperlebar luas tanah yang diklaim dari 500 meter
dari bibir pantai menjadi 1000 meter.
Buntutnya, TNI AD bisa meminta ganti rugi atas tanah yang
terkena proyek pelebaran jalan. Surat Gubernur Jawa Tengah kepada Pangdam IV
Diponegoro perihal Permohonan ulang aset pengganti tanah TNI AD memperkuat
dugaan tersebut. Benar saja, TNI AD tidak sungkan-sungkan memasang pathok 1000
meter dari bibir pantai yang diklaim sebagai tanahnya. Warga tidak terima.
Pathok-pathok tersebut dicabuti warga.
Panglima Kodam IV mengancam akan melakukan pemathokan
ulang serta menindak tegas bagi yang mencabut pathok yang ada. Bagi warga,
klaim TNI AD tersebut tidak berdasar sama sekali. Selain itu, klaim TNI AD
mencederai hak-hak warga atas tanah tersebut. Namun, perjuangan warga menuntut
hak atas tanah mereka semaikin terjal ketika Rancangan Peraturan Daerah Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kebumen disosialisasikan pada 13 Desember 2007.
Pasalnya, Raperda RTRW dengan jelas menyatakan kawasan di
antara Sungai Mawar dan Lokulo yang berjarak 1000 meter dari bibir pantai
adalah wilayah Pertahanan dan Keamanan (Hankam). Warga semakin tidak terima
dengan Raperda RTRW tersebut.
Sebelumnya pada tahun 2006 lahir Forum Paguyuban Petani
Kebumen Selatan (FPPKS) yang juga diketuai oleh Seniman. Jika Korjasena banyak
berkutat pada aksi-aksi formal semisal dengar pendapat di DPRD, FPPKS sudah
mulai melancarkan aksi-aksi ekstra parlementer. Dari unjuk rasa hingga blokade
jalan desa. Isu utama bermuara pada kepemilikan tanah.
Warga yang
mayoritas berprofesi sebagai petani itu, menuntut pengakuan hak mereka atas
tanah. Maka dari itu setiap penggunaan lahan mereka, baik sebagai bagian proyek
pelebaran jalan maupun latihan TNI harus bermula dari pengakuan negara akan hak
warga sebagai pemilik tanah.
Rencana Penambangan Pasir Besir oleh PT Mitra Niagatama
Cemerlang (MNC)
Di tahun 2011 mulai berhembus isu penambangan pasir besi
di Desa Wiromartan Kecamatan Mirit. Izin eksplorasi sudah turun. Lahan yang
akan ditambang adalah 591,07 ha, dengan 317,48 ha diantaranya adalah tanah
milik TNI AD. Pada bulan April 2012 beberapa alat berat penegruk pasir dan
mesin pemisah bijih besi masuk ke areal persawahan. Rupanya izin eksploitasi
sudah diteken. Bahkan beberapa areal sudah dikeruk hingga sedalam tujuh meter.
Pasirnya akan dijadikan sampel. Warga mulai resah. Mereka tidak sudi lahan
pertanian mereka dikeruk dan dijadikan areal penambangan pasir besi. Mereka
mulai mengadakan pertemuan dan urun rembug. Kesimpulannya, mereka harus
membentuk wadah pergerakan. Maka lahirlah Perwira (Persatuan Warga Wiromartan)
di awal tahun 2012. Widodo Sunu didaulat sebagai ketua.
Plang milik PT Mitra Niagatama Cemerlang di Desa Wiromartan Kecamatan
Mirit (foto dokumentasi Social Movement Institute)
Namun ternyata, usaha penambangan pasir besi oleh PT MNC
mendapat dukungan dari TNI AD. Surat Kodam IV Diponegoro, kepada PT Mitra Niagatama
Cemerlang (MNC), nomor : B/1461/IX/2008, tanggal 25 September 2008, tentang
Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNI AD di Kecamatan Mirit untuk Penambangan Pasir
Besi memperkuat temuan tersebut.
Rupanya, isu penambangan pasir besi menjalar ke desa-desa
sebelah seperti Tlogopragoto dan Miritpetikusan. Mereka memutuskan untuk
membangun jejaring guna memperkuat barisan. Belakangan di pertengahan 2012 Sunu
bertemu Seniman sang ketua Korjasena dan FPPKS.
Keduanya bersepakat untuk menggabungkan seluruh Urutsewu
dalam satu wadah pergerakan. Memang FPPKS telah mendaulat dirinya mewakili
seluruh Urutsewu. Namun gaungnya tidak begitu disambut di Kecamatan Mirit.
Ketakutannya, isu latihan TNI justru akan menyusahkan mereka yang berada di
Kecamatan Mirit. Padahal mereka tidak secara langsung terkena imbasnya.
Namun, itu tidak berlangsung lama. Perda RTRW menetapkan
sepanjang Urutsewu yang berarti pesisir selatan di tiga kecamatan itu adalah
wilayah Hankam. Belum lagi di saat yang hampir bersamaan terbit surat izin
eksploitasi dari Kodam Diponegoro kepada PT MNC, segalanya menjadi lebih
terang. Semua desa di pesisir selatan yang mencakup tiga kecamatan itu harus
bersatu. Toh pada akhirnya isu kepemilikan tanah menjadi tali simpul perlawanan
warga di tiga kecamatan itu. Aksi mobilisasi massa pun lebih besar jika
bersatu. Namun atas pertimbangan agar terbangun suatu fraksi perlawanan baru
maka dibentuklah USB (Urut Sewu Bersatu) pada bulan Juni 2012. Lagi-lagi Widodo
Sunu didaulat sebagai ketua.
Dengan berdirinya USB, semangat perlawanan semakin
menebal dan lebih taktis. Melalui USB usaha pembentukan organisasi masyarakat
desa di sepanjang Urutsewu didorong. Hasilnya, hampir setiap desa memiliki
ormas desa. Beberapa di antaranya adalah Laskar Dewi Renges, Parlemen, Katean,
Selongan, Staman dan lain-lain. Melalui ormas desa ini pula USB mendorong
lahirnya sosok-sosok yang akan memimpin desa. Tidak heran jika pemilihan lurah
selalu diusahakan agar sosok-sosok yang akan tampil adalah mereka yang
benar-benar membela kepentingan warga. Hasilnya ada sekitar tujuh desa yang
dipimpin lurah yang memiliki tekad kuat membela hak-hak warga. Sebagai contoh
di Wiromartan sendiri ada Widodo Sunu. Petangkuran dilurahi oleh Muhlisin.
Tlogopragoto dilurahi oleh Guntoro.
Perjuangan rakyat Urutsewu menuntut pengakuan hak-haknya
semakin terjal ketika TNI AD pada awal tahun 2014 ini mulai memagari wilayah
Urutsewu. Padahal, pemagaran tersebut ditentang oleh warga karena tanah
tersebut milik warga. Kepemilikan tanah secara sah berada di tangan mereka. Namun,
TNI AD ngotot.
Pemagaran tetap dilakukan, setelah beberapa kali
sosialisasi yang dilakukan oleh TNI AD bersama pejabat-pejabat daerah.
Kengototan TNI AD dalam melakukan pemagaran atas tanah warga, jelas menunjukan
bahwa masih kuatnya kekuasaan militer dalam urusan publik. Tentu saja di sisi
lain, indikasi adanya kong-kalikong
antara militer dan pemilik modal menunjukkan bahawa negara ini juga masih
dikubangi oleh unsur-unsur dari kekuasan lama yang semakin liat di tengah
proses demokratisasi Indonesia.
Penulis adalah pegiat
di Suluh Pergerakan
0 comments:
Post a Comment