This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, August 23, 2011

Polisi, Tentara dan Negara; Pembiaran !

Setelah pemberitaan sebagaimana yang dapat disimak di sini maka pengabaian terhadap apa yang selama ini diperjuangkan petani Urutsewu (catat: bukan semata petani Setrojenar) memang telah diabaikan oleh negara. Disamping konflik Urutsewu tak pernah ditanggapi secara semestinya oleh fihak yang memiliki kewenangan terkait tuntutan penetapan peruntukan sebuah kawasan. Juga dengan melihat fakta dari insiden Setrojenar (16/4), ditambah fakta-fakta sidang di PN Kebumen yang masih tengah mengadili 6 petani sebagai tersangka. Maka cukup jelas, bagaimana mulai dari polisi, tentara dan aparatus institusi negara itu tak pernah memiliki sensitivitas terhadap kepentingan petani. Pemerintah sipil Kabupaten lepas tangan, politisi dan kalangan Legislatif daerah pun bungkam. Pembiaran ini lebih merupakan marjinalisasi petani yang sejatinya menjadi sokoguru republik ini.

Asumsi teoritik dalam hukum tanah yang mendalihkan bahwa Buku C Desa tak bisa digunakan sebagai bukti kepemilikan tanah, jadi penting dijelaskan porsi dan persepsinya dulu. Memang, Buku C yang memuat data tanah itu bukan bukti pemilikan. Karena bukti pemilikan tanah itu ya setrivikat tanah. Tetapi dalam konteks ini, sejatinya, semua proses menuju legalitas (sertivikasi) tanah itu harus berpijak dari data dan sejarah tanah; yang di dalam Buku C Desa itu dapat dijelaskan asal-usulnya. Jika orang keburu menjustivikasi bahwa data di Buku Tanah tak bisa digunakan sebagai bukti pemilikan. Maka alangkah malangnya nasib petani Indonesia. Betapa sialnya petani Urutsewu. Siapa yang bikin sikon jadi begini? Para penyelenggara negara. Semua memunculkan sinyalemen adanya perampasan sistematis tanah-tanah petani Urutsewu ini. Menarik kritikan dalam lagu "Desa" nya Iwan Fals: .. buat apa punya pemerintah, kalau hidup terus-terusan susah..".

Kegagalan Pengadilan

Semula petani Urutsewu berharap momentum pengadilan yang digelar untuk menghakimi 6 petani warga desa Setrojenar, Bocor dan Brecong, yang masih berlangsung hingga hari ini; dapat menjadi wasilah untuk membeberkan banyak fakta. Tetapi meskipun beberapa petani desa juga telah memberikan kesaksian di bawah sumpah, tak urung fakta-fakta pengadilan yang membeberkan relasi kausalitas perkara yang disidangkan; seakan tenggelam dalam cemooh sosial. Dan kenyataan hari ini, dimana Kodam IV/Diponegoro atas izin Menteri Pertahanan tengah mengajukan sertivikasi tanah. Dapat dijadikan preseden buruk yang melukai hati masyarakat petani dan pemberangusan sejarah pemilikan tanahnya. Maka jika BPN memproses dan meluluskan permohonan sertivikasi tanah pesisir yang diajukan Kodam IV ini, diyakini bakal menjadikan konflik Urutsewu lebih ruwet.

Fakta bahwa tanah-tanah pemajekan milik petani pesisir telah diklaim tentara sebagai zona kuasanya dan fakta lain bahwa sebagian kawasan pesisir (6 desa di Kec. Mirit) yang diklaim tentara ini telah "disetujui" Panglima Kodam IV/Diponegoro (surat tertanggal 25 September 2008) untuk bakal areal pertambangan pasirbesi pt. Mitra Niagatama Cemerlang. Telah cukup menjelaskan bahwa ada upaya sistematis untuk merampas tanah-tanah pesisir, karena fakta lapangan yang sesuai dengan data administrasi tanah (Buku C Desa) telah sama sekali diabaikan.

Friday, August 19, 2011

Testimoni -pelaku- Sejarah


[Transcript-KartoBambung]_6637:


“Saya itu akan menceritakan, akan menerangkan mengenai tanah lahan palawija Ayamputih blok kisik dan seterusnya. Tahu saya sejak tahun 1930, tanah-tanah itu dibagi. Maksudnya dibagi itu didistribusikan merata pada rakyat yang tak punya tanah di utara, itu supaya mengambil bagian. Intinya. Hal itu atas perintah, jika tak salah, itu malah masih kakek saya, eyang congkog Samirana. Lurahnya Ahmad Sumar, di dukuh Kaburuhan. Maka jika ada apa-apa hanya suruhan congkog, yang malah masih kakek saya dari bibi, karena masih adiknya kakek saya.

Saya masuk sekolah, jika tak salah, pada tahun 1930. Lha kok tahun 1930 masuk sekolah, lahirnya tahun berapa? Saya lahir pada tahun 1921, bulan 3 (Maret) tanggal 5. Jadi umur 9tahun saya masuk sekolah oleh bapak saya. Semenjak saya sekolah sampai tahun ke dua, sampai tahun 1932 ibu saya meninggal dunia. Lalu bapak saya pergi sendiri ke sekolah untuk meminta kepada ndara Guru bahwasanya saya diminta keluar dari sekolah di masa itu. 

Ditanya sama Guru :

“Kang, kakang mau ke mana?”
“Mau menghadap ke sini, menghadap ndara Guru”
Lha diterangkan ada keperluan yang bagaimana,
“Ya, ada yang penting, maksud kedatangan saya menghadap, niatnya mau minta anak saya supaya keluar, si Bambung
“Lha kok sedang bersekolah disuruh keluar, Kang”
“Ya, karena saya kerepotan, nDara”.

Begitulah keadaan yang saya alami.

Semenjak saya keluar sekolah pada tahun 1932, dilaksanakan lah Klangsiran. Jaman dulu itu yang ikut Klangsiran atau yang mengikuti itu orang-orang yang sudah punya leter D, punya surat tanah (setik). Tetapi karena saya akan mewarisi tanah bapak saya, maka disuruh mengikuti Klangsiran ini.

Bahkan saya sendiri sampai saat ini masih ingat yang dimaksud dengan Klangsiran ini adalah diperlukan untuk menklasifikasikan baik-buruknya tanah.

Itu yang saya tahu, dan masih tetap ingat hingga kini. Tanah yang (semula) baik bisa jadi buruk dan tanah yang (semula) buruk bisa berubah jadi baik. Tanah yang baik berubah buruk adalah tanah yang terabrasi oleh sungai. Sedangkan tanah jelek berubah jadi baik itu tanah peninggalan hasil dari -sedimentasi- sungai.

Di desa Ayamputih ini diklangsir pada blok zona Brasengaja di sebelah selatan itu, ke barat, ke selatan, ke timur ataupun ke utara. Barat berbatasan dengan (desa) Tanggulangin. Timur batasnya (desa) Setrojenar. Tetapi ini lahan palawija di sini, dari utara hingga ke gumuk selatan, di bagian utara gumuk pal ini miliknya kaum tani, miliknya klas pekerja dari dulu kala. Sedangkan bagian selatan sana miliknya Kumpeni. Miliknya Kumpeni jaraknya dari air laut ke utara sejauh 250 meter. Bagian selatan milik Kumpeni, bagian utara miliknya kaum tani. Dalam persepsi saya sekarang ini saya menyebut yang bagian utara miliknya massarakyat, sedangkan bagian selatan miliknya angkatan darat. 

Begitu.

Selanjutnya nDoro Klangsir menyuruh bahwasanya tanah perbatasan desa Tanggulangin dan desa Ayamputih, dipasang pal (patok) sebagai penanda. Jadi, ke barat (desa) Tanggulangin ke timur (desa) Ayamputih. Ke utara milik masyarakat, bagian selatan miliknya Kumpeni. Pada jaman dahulu masyarakat dianalogikan sebagai kuli, atau kaum tani. Sekarang saja yang utara disebut milik masyarakat dan yang selatan milik angkatan darat. Tapi dulunya ya milik Kumpeni.

Sedang di bagian timur yang berbatasan dengan (desa) Setrojenar juga dipasang pal (patok) sebagai tanda batas, ke barat (desa)Ayamputih dan ke timur (desa) Setrojenar. Yang ke utara miliknya kaum tani, bagian selatan miliknya Kumpeni. Itu peristiwa tahun 1932, namun soal hari, bulan dan tanggalnya saya sudah lupa dan memang sudah tidak mengingat-ingat lagi. Itulah pengalaman empiris yang saya ketahui.

Makanya sejak masa kemarin lusa juga ada yang meminta saya meriwayatkan masalah tanah di sini, ya saya katakan apa adanya begitu. Karena memang itu yang saya ketahui. Perkara selanjutnya hingga masa sekarang, karena pada dasarnya yang miliknya kaum tani, ya kaum tani tetap menyatakan kepemilikannya. Perkara yang selatan (pal) itu saya sendiri tak tahu. Namun sepertinya tetap dikuasai oleh angkatan darat. Itulahkesaksian sepengalaman saya . Seandainya bapak menghendaki sejarah jaman Klangsiran dahulu maka itulah kejadiannya.


Tuesday, August 16, 2011

Pelangi Membusuk di Luar Pengadilan

Tajuk aneh (?) Ya. Dan itu bukan tanpa sebab, seperti analogi kemunculan pelangi yang aras sejatinya tidak bermusabab di bumi. Hanya dalam dongeng memang disebutkan bahwa pelangi itu muncul dari telaga yang dipakai mandi para bidadari. Dongeng !
Padahal negeri ini bukan negeri dongeng yang suwung nalar !





Tuesday, August 09, 2011

"Kami Tetap Menolak Latihan TNI"

Pada bulan Puasa dimana digelar sidang-sidang yang menghadapkan 6 petani desa di muka hukum Indonesia. Sidang yang mengangkat 2 kasus dan digelar bersusulan hari, selalu mendapat apresiasi luas. Tak terkecuali para istri tersangka dan petani desa pesisir selatan, yang selalu aktif mengikuti jalannya sidang di tiap fasenya. Apa yang dikatakan para tersangka dan saksi kasus Setrojenar yang tengah dihadapkan ke muka hukum Indonesia, menarik untuk disimak dan dijadikan catatan tebal sejarah petani Urutsewu ini. Bahwa setelah semua yang terjadi dan dilewati, tidak merubah tuntutan umum petani pesisir; yakni ketetapan untuk menolak latihan TNI dan ujicoba alutsista di kawasan pesisir Urutsewu.

Sedikit demi sedikit kasus “bentrokan” tentara versus petani dapat diketahui sebab-musabab yang melatarinya. Karena pengrusakan gapura dan rumah peluru (16/4) maupun pemukulan terhadap kurir makanan tentara (11/4), merupakan bagian dari penolakan petani Urutsewu terhadap pemanfaatan tanah pertanian pesisir sebagai tempat latihan militer dan ujicoba senjata berat. Perihal penolakan ini, sejatinya, merupakan perlawanan mayoritas petani pesisir, terutama para pemilik dan penggarap lahan pasir di zona yang oleh fihak militer diklaim sebagai wilayah tentara dan yang dalam idiom tataruang diintrodusir dengan istilah “kawasan hankam”.

Penolakan terhadap “kawasan hankam” sebagaimana yang manifest dalam aksi demonstrasi massa sebelumnya, hingga aksi pada 23 Maret 2011 di kabupaten, adalah aksi petani yang berasal dari 15 desa di 3 kecamatan; Mirit, Ambal dan Buluspesantren. Basis penolakan “kawasan hankam” ini include dengan konflik baru yang berkaitan dengan issue rencana eksploitasi tambang pasirbesi di kecamatan Mirit yang mencakup pesisir 6 desa. Makanya dalam aksi demonstrasi massa terakhir, petani pesisir menuntut penetapan sesegera mungkin kawasan Urutsewu sebagai Kawasan Pertanian dan Pariwisata. Dan dengan begitu menolak pemanfaatan kawasan ini untuk kepentingan lain, termasuk sebagai “kawasan hankam” maupun “kawasan tambang pasirbesi”.

Karena menurut fakta yang ada, antara keduanya telah direncanakan dan punya saling keterkaitan dengan keberadaan militer di kawasan agraris Urutsewu. Dikeluarkannya ijin pertambangan pasirbesi di pesisir kecamatan Mirit oleh Kantor Perijinan Terpadu Kabupaten Kebumen, berhulu pula pada kebijakan fihak militer berupa “persetujuan” fihak TNI-AD melalui Surat Pangdam No. B/1461/X/2008, tertanggal 25 September 2008. Data lainnya, sebagaimana terdapat pada Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) pt. Mitra Niagatama Cemerlang (Jkt) mengenai keberadaan 317,48 Ha “tanah TNI-AD” di pesisir kecamatan Mirit. Padahal menurut keterangan BPN, termasuk BPN Jateng; tak ada secuil pun tanah TNI-AD di pesisir Urutsewu. Tak banyak yang tahu dan mungkin data ini dapat berubah, tetapi jelas bahwa kalau pun terjadi manipulasi data, maka yang melalukan kebohongan itu jelas bukan petani Urutsewu. Hingga kini, aura konspirasi ini belum terbongkar.

Data Desa Pesisir dalam Konflik Urutsewu

1. Buluspesantren
- Ayamputih
- Setrojenar
- Brecong

2. Ambal
- Entak
- Kenoyojayan
- Ambalresmi
- Kaibonpetangkuran
- Kaibon
- Sumberjati

3. Mirit
- Miritpetikusan
- Tlogodepok
- Mirit
- Tlogopragoto
- Lembupurwo
- Wiromartan


Fakta Pengadilan dan Fakta Lapangan

Fakta dari Pengadilan atas kasus Setrojenar, terutama pengrusakan gapura TNI adalah bahwa tindakan para tersangka yang berada di tengah massa itu terdorong karena provokasi tentara yang melakukan tindakan perusakan blockade warga. Tentara melakukan perusakan blockade saat warga melaksanakan ritual ziarah di makam dukuh Godi. Massa kemudian bergerak tanpa kepemimpinan, tanpa komando. Betapa pun kerasnya hakim dan jaksa berusaha mengungkap sinyalemen adanya provokasi yang mendorong tindakan anarkisme massa, fakta provokasi yang ada justru datang dari tindakan tentara ini.
Perihal tindakan provokasi tentara ini juga terjadi di lapangan saat kunjungan Bupati Kebumen ke Urutsewu (24/3) paska aksi demonstrasi FPPKS. Tentara melakukan “pendudukan” di desa Setrojenar sejak jam 01.00 dinihari dan dilanjut dengan konvoi ratusan motor pada pagi harinya. Kekonyolan yang sesungguhnya tak perlu dilakukan.

Kenapa massa merusak gapura? Relasi musabab tindakan ini menarik dicermati. Terungkap di pengadilan bahwa gapura (fondasi) itu ternyata dibangun di atas bahu jalan desa. Jalan desa ini punya sejarah seperti disampaikan saksi dalam sidang sebelumnya. Itu adalah tanah desa. Tentara membangun gapura di atas tanah desa tanpa ijin maupun pemberitahuan. Ketika hakim dan jaksa mendesak saksi dengan argument bahwa tanah desa itu tanah pemerintah, maka saat pemerintah menggunakannya tak perlu ijin. Maka saksi menjelaskan bahwa faktanya yang menggunakan itu “ABRI” bukan pemerintah. Negara ini adalah republic. Bukan juncta militer, TNI bukan lah pemerintah. Dan pengelolaan tanah desa itu ada pada pemerintahan desa. Nampak terasa ada tekanan pengadilan dalam persidangan kasus ini.

Sarana infrastruktur latihan TNI dan ujicoba senjata berat lainnya juga ada. Dan semua dibangun di atas tanah “pemajekan”, termasuk “rumah peluru” yang dibangun di atas tanah milik petani Setrojenar; tanpa ijin. Fakta di lapangan terdapat puluhan (33 buah) bangunan lain menyebar di sepanjang 20-an Km pesisir. Semua di tanah pertanian milik warga Urutsewu. Ada taut "benang merah" yang mengindikasikan hubungan antara kawasan hankam (istilah tataruang) dengan masuknya investor pasir besi. Antara keduanya adalah skenario satu paket, dalam fenomena konspirasi ekonomi politik besar menjelang realisasi pembangunan JLSS. Beberapa bukti telah ditemukan di luar pengadilan, oleh Tim Riset Independen dan Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen.
Tetapi yang paling menarik dari fakta pengadilan atas kasus ini adalah pernyataan para tersangka dan para saksi yang mewakili petani di bawah sumpah. Bahwa “Kami tetap menolak Latihan TNI”.