Tak
berlebihan untuk mengatakan bahwa harapan petani pesisir selatan Kebumen
mendapatkan keadilan seadil-adilnya; pupus berlalu, dilanggar waktu. Sebanyak 6
petani yang harus dikriminalisasi lantaran melakukan serangkaian ekspresi
penolakan anti militer, meski telah divonis Pengadilan Rendah Kebumen pun masih
harus tetap mendekam lebih lama. Vonis 5 dan 6 bulan yang ujungnya memicu Jaksa
Penuntut dalam 2 kasus penganiayaan kurir dan pengrusakan gapura TNI itu
menyatakan banding. Maka sejak saat itu kewenangan Pengadilan Tinggi telah
menambahkan beban bagi para terpidana.
Tangis lemah
para istri, rengek anak tak mengerti dan dengung wirid para padri; mengatapi
desa-desa Setrojenar, Brecong dan Bocor yang terpaksa mengikhlaskan sebagian
warganya mendekam lebih lama di penjara. Bahkan sampai ketika lebih 200-an
warga menggelar aksi untuk mengantar nota contra banding ke Pengadilan Tinggi
melalui PN Kebumen pun; sosok keadilan itu cuma muncul dalam bayangan janji
menindaklanjuti sang Ketua Pengadilan Negeri.
Sehingga
skeptisme Tim Pengacara yang tergabung dalam TAPUK (Tim Advokasi Petani
Urutsewu Kebumen) dengan nada mirip sergah mengabaikan permintaan sang
Pengadil. Hal ini bukan tanpa sebab. Andai saran Sang Pengadil untuk mengajukan
tertulis soal pengangguhan penahanan itu memang tulus dan benar, mestinya itu
yang dilakukannya saat sidang-sidang kasus Setrojenar melampaui perayaan
Lebaran umat Islam. Masih segar dalam ingatan seorang saksi tetua warga desa,
yang nerima dianalogikan sebagai “Abunawas”, sementara Sang Pengadil tak pernah
mengintrospeksi kewenangan atas jabatannya untuk apa…
Kriminalisasi Memicu Radikalisasi
Tak
berlebihan pula untuk mengatakan bahwa gelar pengadilan atas kasus pengrusakan
gapura dan penganiayaan kurir TNI, ditilik dari sejak kejadian dan pengambilan
para tersangka hingga proses awal pemeriksaan bahkan sampai vonis pengadilannya,
terdapat indikasi kuat kalau semuanya lebih sebagai upaya kriminalisasi petani.
Itulah sebabnya, ratusan warga dari 3 desa yang berdemonstrasi mengawal
penyampaian nota kontra banding pada Selasa (27/9) lalu, memajang poster
bertuliskan “Stop Kriminalisasi terhadap Petani!”.
Kecewa
yang mendalam juga mengerutkan muka para keluarga 6 terpidana, melunglaikan
langkah para istri dan biyung, yang
berjalan liwung meninggalkan pringgitan lewat beranda kantor
Pengadilan Negeri yang tengah direnovasi dengan uang rakyat dari pajak dan
berbagai sumber pendapatan. Dan bagi para petani, membayar pajak ini merupakan
cara nyata bekti nagari. Berbakti
kepada Negara yang telah mengabaikan kepentingan mendasarnya.
Perihal
fakta petani telah membayar pajak sejak jauh hari sebelum kemerdekaan negeri
ini, tak pernah dilihat sang Pengadil dengan mata hati. Dalam sidang-sidangnya,
bahkan, Hakim dan Jaksa mencederai rasa keadilan yang ditunjukkan para saksi
kebenaran. Tak ada kosakata bijak dalam kamus Hakim dan Jaksa Penuntut,
parameter keadilan yang diterapkan cuma dengan cara ketuk palu yang membuka
pintu penjara selebar-lebarnya.
“Kebangeten..”,
begitu gumam lirih seorang ibu yang gontai keluar dari pintu.
Dan
tuntutan pembebasan yang disuarakan aksi kali ini berujung menjadi bisikan
layup para pencari keadilan. Sedangkan sorot matanya menajami ingatan akan
warga petani yang telah dianiaya tentara, ditembak tubuhnya, diruyak hati sakitnya,
dirusak harta miliknya. Dan hingga kini, para pelaku penembakan brutal dan
pengrusakan itu, tak pernah diadili. Tetapi petani telah dihakimi. Disparitas
penerapan hukum ini memang meyakinkan indikasi adanya selubung upaya
kriminalisasi terhadap petani.
0 comments:
Post a Comment