Thursday, September 29, 2011

Urutsewu di Muka Sang Pengadil - 1

Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa harapan petani pesisir selatan Kebumen mendapatkan keadilan seadil-adilnya; pupus berlalu, dilanggar waktu. Sebanyak 6 petani yang harus dikriminalisasi lantaran melakukan serangkaian ekspresi penolakan anti militer, meski telah divonis Pengadilan Rendah Kebumen pun masih harus tetap mendekam lebih lama. Vonis 5 dan 6 bulan yang ujungnya memicu Jaksa Penuntut dalam 2 kasus penganiayaan kurir dan pengrusakan gapura TNI itu menyatakan banding. Maka sejak saat itu kewenangan Pengadilan Tinggi telah menambahkan beban bagi para terpidana.

Tangis lemah para istri, rengek anak tak mengerti dan dengung wirid para padri; mengatapi desa-desa Setrojenar, Brecong dan Bocor yang terpaksa mengikhlaskan sebagian warganya mendekam lebih lama di penjara. Bahkan sampai ketika lebih 200-an warga menggelar aksi untuk mengantar nota contra banding ke Pengadilan Tinggi melalui PN Kebumen pun; sosok keadilan itu cuma muncul dalam bayangan janji menindaklanjuti sang Ketua Pengadilan Negeri.

Sehingga skeptisme Tim Pengacara yang tergabung dalam TAPUK (Tim Advokasi Petani Urutsewu Kebumen) dengan nada mirip sergah mengabaikan permintaan sang Pengadil. Hal ini bukan tanpa sebab. Andai saran Sang Pengadil untuk mengajukan tertulis soal pengangguhan penahanan itu memang tulus dan benar, mestinya itu yang dilakukannya saat sidang-sidang kasus Setrojenar melampaui perayaan Lebaran umat Islam. Masih segar dalam ingatan seorang saksi tetua warga desa, yang nerima dianalogikan sebagai “Abunawas”, sementara Sang Pengadil tak pernah mengintrospeksi kewenangan atas jabatannya untuk apa…

Kriminalisasi Memicu Radikalisasi

Tak berlebihan pula untuk mengatakan bahwa gelar pengadilan atas kasus pengrusakan gapura dan penganiayaan kurir TNI, ditilik dari sejak kejadian dan pengambilan para tersangka hingga proses awal pemeriksaan bahkan sampai vonis pengadilannya, terdapat indikasi kuat kalau semuanya lebih sebagai upaya kriminalisasi petani. Itulah sebabnya, ratusan warga dari 3 desa yang berdemonstrasi mengawal penyampaian nota kontra banding pada Selasa (27/9) lalu, memajang poster bertuliskan “Stop Kriminalisasi terhadap Petani!”.

Kecewa yang mendalam juga mengerutkan muka para keluarga 6 terpidana, melunglaikan langkah para istri dan biyung, yang berjalan liwung meninggalkan pringgitan lewat beranda kantor Pengadilan Negeri yang tengah direnovasi dengan uang rakyat dari pajak dan berbagai sumber pendapatan. Dan bagi para petani, membayar pajak ini merupakan cara nyata bekti nagari. Berbakti kepada Negara yang telah mengabaikan kepentingan mendasarnya.

Perihal fakta petani telah membayar pajak sejak jauh hari sebelum kemerdekaan negeri ini, tak pernah dilihat sang Pengadil dengan mata hati. Dalam sidang-sidangnya, bahkan, Hakim dan Jaksa mencederai rasa keadilan yang ditunjukkan para saksi kebenaran. Tak ada kosakata bijak dalam kamus Hakim dan Jaksa Penuntut, parameter keadilan yang diterapkan cuma dengan cara ketuk palu yang membuka pintu penjara selebar-lebarnya.
“Kebangeten..”, begitu gumam lirih seorang ibu yang gontai keluar dari pintu.

Dan tuntutan pembebasan yang disuarakan aksi kali ini berujung menjadi bisikan layup para pencari keadilan. Sedangkan sorot matanya menajami ingatan akan warga petani yang telah dianiaya tentara, ditembak tubuhnya, diruyak hati sakitnya, dirusak harta miliknya. Dan hingga kini, para pelaku penembakan brutal dan pengrusakan itu, tak pernah diadili. Tetapi petani telah dihakimi. Disparitas penerapan hukum ini memang meyakinkan indikasi adanya selubung upaya kriminalisasi terhadap petani.        

0 comments:

Post a Comment