Sunday, August 12, 2018

Sangkan Paraning Dumadi

Dzikri Rahmanda

Kartu Pos dari Kulon Progo. Poster oleh Alit Ambara (Nobodycorp)

PADUKA, di desa lokasi pembangunan proyek itu, tempo lalu sepotong jasad mayit dan ada juga yang tinggal menyisakan belulang diangkut setelah makam-makam dibongkar dan diratakan. Hari itu sedang terik.
Yang menancap dan mengakar bukan lagi tanaman cabai, singkong, dan rumah- melainkan beton dan paku bumi. Kini, seorang ibu -yang berprofesi sebagai petani- bersujud khidmat di atas permukiman yang telah jadi rata dan dipaksa minggat dari tanah keturunannya sendiri.
Sederet prajurit berjaga di depan seakan-akan tegak menjadi kiblat.

Kita tahu sujud adalah fragmen ritus saat seorang hamba menyatu dengan tanah, wujud pelemahan manusia selain bertekuk lutut, juga tersirat laku luhur: sebuah Percakapan yang paling intim terjadi. Sujud tidak termasuk dalam ikhtiar, melainkan tanda- kepada Hyang, seorang hamba berserah. Setelah pohon-pohon dicerabut sampai ke akar, rumah-rumah tinggal puing, dan setelah melontarkan aduan kepada pengadilan dan berakhir gagal, sepertinya Paduka akan sepaham dengan saya: tiap kali ikhtiar mereka berarti penolakan-penolakan atas titah Paduka.

Pertama, mereka tidak patuh terhadap titah atasan –mbalelo. Dan yang kedua, mereka menghambat kemajuan, bahkan mereka tidak segan bersitegang dengan prajurit yang beroperasi di lapangan.

Mesti saya sanggah, Paduka. Bukan tidak patuh, melainkan ihwal kemajuan telah jadi definisi di mana tafsir menjelma tabir-tabir yang kukuh, lalu menciptakan masyarakat jadi terkutub-kutub. Sebab, inilah yang saya ketahui: di zaman ini, semakin sedikit manusia hidup tidak berpijak di atas tanahnya sendiri. Tentu saya tahu, tanpa tanah proyek itu mustahil dibangun. Tapi, kita mesti ingat, 80 persen tanah dikuasai oleh korporasi asing, 13 persen dikuasai konglomerat, sisanya tujuh dibagi untuk 250 juta jiwa. 7% -milik si umum- itu akan terus mengikis setiap kali ada tanah yang dipersengketakan atas “kepentingan umum”.

Di mana hukum? Ia mungkin sedang beku di peti es, atau mungkin jadi sebatas undang-undang yang asing, tumpah tindih di belantara undang-undang lainnya. Sejumlah petani melakukan pembelaan haknya, tapi justru dibui karena dituding merusak fasilitas umum dan melakukan provokasi.
Di mana hukum? Saya tidak tahu pasti. Tapi tidak hanya menyoal hukum, di tempat itu, ketika lahan tani kandas, negara hadir sebagai prajurit berseragam berselempang laras panjang. Dengan kehendak yang tergesa-gesa, dan demokrasi yang buntung. Musyawarah, di mana setiap pihak mendengar dan menghargai, berlangsung dengan satu tujuan: menggusur paksa dan membangun. Tak ada kemungkinan tujuan lain.

Paduka Yang Mulia,
Lalu, di sebelah mana si umum berkepentingan? Sedangkan, perampasan justru mendepak petani jadi tenaga kerja upahan dan menyulap lahan penghidupan jadi milik si Kaya. Para petani –yang bertani sejak tamat SD- nantinya akan mengadu nasib ke kota, dan mereka jadi sebuah tanda tanya: di kota, siapa yang akan menerima lamaran seorang bukan-sarjana? Sangat langka, dan sangat sulit bagi mereka terbiasa bekerja dengan tangan tanpa pacul. Tentu, tidak hanya di tanah Paduka yang subur ini, kita bisa membicarakan ihwal yang sama dan hampir sering terjadi di lain tempat, dengan mengatasnamakan kepentingan umum. Tak ada yang mengagetkan, selain wajah kepura-puraan dan kita bisa berkelit soal ini: yang saya tahu, di belakang insiden itu telah hadir semacam semangat kemajuan dan mereka tidak terlibat menafsirkannya.

Paduka Yang Mulia, kita hidup bersama mereka yang tak merdeka.

Bagi mereka, tanah bukan barang yang mudah diserah-terimakan, diperjual-belikan. Melainkan, ruang dimana telah mereka keruk liang, telah terabadikan peristiwa, dan telah bergulir kehidupan: ruang hidup.
Tanah adalah harapan dan kehormatan bagi mereka yang percaya petuah: sadumuk bathuk sanyari bumi ditohi pati. Mati bisa jadi harga yang ditebus jika tanah dirampas barang sejengkal. Mereka tak butuh uang.

Tapi, apa lacur? Kehormatan itu telah lenyap beserta harapan. Dan Bu Tani itu tidak memilih melawan nganti pecahing dada– hingga dada pecah dan mati pada akhirnya. Ia memilih bersujud. Ia memilih berserah. Sebab berkali-kali hukum atau segala yang mengatasnamakan umum hanya membuat keadilan jadi sesuatu yang terdengar ganjil.

Kita tidak asing dengan istilah tentang tuah yang bicara bahwa manusia berasal dari tanah dan pulang dengan keadaan yang demikian sama- sangkan paraning dumadi. Paduka pula memahami bagaimana titah diputus melalui pertimbangan wisik dan perkataan para leluhur. Dan saya tidak sedang ingin menyangsikannya.

Tapi, Paduka Yang Mulia,
Bukankah sujud itu bisa dimengerti sebagai laku simbolik: dia dan tentu juga Paduka, akan berakhir menyatu dengan tanah?. Jika atas nama pembangunan -makam bisa dibongkar, mayit diangkut dengan gampang, dan tanah kian terkikis beton- … dimana kita akan benar-benar pulang?

*** 
Dzikri Rahmanda, adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM

Sumber: Indoprogress 

0 comments:

Post a Comment