Dzikri Rahmanda
Kartu Pos dari Kulon Progo. Poster oleh Alit Ambara
(Nobodycorp)
PADUKA, di desa lokasi pembangunan proyek itu, tempo lalu sepotong jasad
mayit dan ada juga yang tinggal menyisakan belulang diangkut setelah
makam-makam dibongkar dan diratakan. Hari itu sedang terik.
Yang menancap dan mengakar bukan lagi tanaman cabai, singkong,
dan rumah- melainkan beton dan paku bumi. Kini, seorang ibu -yang berprofesi
sebagai petani- bersujud khidmat di atas permukiman yang telah jadi rata dan
dipaksa minggat dari tanah keturunannya sendiri.
Sederet prajurit berjaga di depan seakan-akan tegak
menjadi kiblat.
Kita tahu sujud adalah fragmen ritus saat seorang hamba
menyatu dengan tanah, wujud pelemahan manusia selain bertekuk lutut, juga
tersirat laku luhur: sebuah Percakapan yang paling intim terjadi. Sujud tidak
termasuk dalam ikhtiar, melainkan tanda- kepada Hyang, seorang hamba berserah.
Setelah pohon-pohon dicerabut sampai ke akar, rumah-rumah tinggal puing, dan
setelah melontarkan aduan kepada pengadilan dan berakhir gagal, sepertinya
Paduka akan sepaham dengan saya: tiap kali ikhtiar mereka berarti
penolakan-penolakan atas titah Paduka.
Pertama, mereka tidak patuh
terhadap titah atasan –mbalelo.
Dan yang kedua, mereka menghambat kemajuan,
bahkan mereka tidak segan bersitegang dengan prajurit yang beroperasi di
lapangan.
Mesti saya sanggah, Paduka. Bukan tidak patuh, melainkan
ihwal kemajuan telah jadi definisi di mana tafsir menjelma tabir-tabir yang
kukuh, lalu menciptakan masyarakat jadi terkutub-kutub. Sebab, inilah yang saya
ketahui: di zaman ini, semakin sedikit manusia hidup tidak berpijak di atas
tanahnya sendiri. Tentu saya tahu, tanpa tanah proyek itu mustahil dibangun.
Tapi, kita mesti ingat, 80 persen tanah dikuasai oleh korporasi asing, 13
persen dikuasai konglomerat, sisanya tujuh dibagi untuk 250 juta jiwa. 7%
-milik si umum- itu akan terus mengikis setiap kali ada tanah yang
dipersengketakan atas “kepentingan umum”.
Di mana hukum? Ia mungkin sedang beku di peti es, atau
mungkin jadi sebatas undang-undang yang asing, tumpah tindih di belantara
undang-undang lainnya. Sejumlah petani melakukan pembelaan haknya, tapi justru
dibui karena dituding merusak fasilitas umum dan melakukan provokasi.
Di mana hukum? Saya tidak tahu pasti. Tapi tidak hanya
menyoal hukum, di tempat itu, ketika lahan tani kandas, negara hadir sebagai
prajurit berseragam berselempang laras panjang. Dengan kehendak yang
tergesa-gesa, dan demokrasi yang buntung. Musyawarah, di mana setiap pihak
mendengar dan menghargai, berlangsung dengan satu tujuan: menggusur paksa dan
membangun. Tak ada kemungkinan tujuan lain.
Paduka Yang Mulia,
Lalu, di sebelah mana si umum berkepentingan? Sedangkan, perampasan justru
mendepak petani jadi tenaga kerja upahan dan menyulap lahan penghidupan jadi
milik si Kaya. Para petani –yang bertani sejak tamat SD- nantinya akan mengadu nasib
ke kota, dan mereka jadi sebuah tanda tanya: di kota, siapa yang akan menerima
lamaran seorang bukan-sarjana? Sangat langka, dan sangat sulit bagi mereka
terbiasa bekerja dengan tangan tanpa pacul. Tentu, tidak hanya di tanah Paduka
yang subur ini, kita bisa membicarakan ihwal yang sama dan hampir sering
terjadi di lain tempat, dengan mengatasnamakan kepentingan umum. Tak ada yang
mengagetkan, selain wajah kepura-puraan dan kita bisa berkelit soal ini: yang
saya tahu, di belakang insiden itu telah hadir semacam semangat kemajuan dan
mereka tidak terlibat menafsirkannya.
Paduka Yang Mulia, kita hidup bersama mereka yang tak merdeka.
Bagi mereka, tanah bukan barang yang mudah
diserah-terimakan, diperjual-belikan. Melainkan, ruang dimana telah mereka keruk
liang, telah terabadikan peristiwa, dan telah bergulir kehidupan: ruang hidup.
Tanah adalah harapan dan kehormatan bagi mereka yang
percaya petuah: sadumuk bathuk sanyari bumi
ditohi pati. Mati bisa jadi harga yang ditebus jika tanah dirampas
barang sejengkal. Mereka tak butuh uang.
Tapi, apa lacur? Kehormatan itu telah lenyap beserta
harapan. Dan Bu Tani itu tidak memilih melawan nganti
pecahing dada– hingga dada pecah dan mati pada akhirnya. Ia memilih
bersujud. Ia memilih berserah. Sebab berkali-kali hukum atau segala yang
mengatasnamakan umum hanya membuat keadilan jadi sesuatu yang terdengar ganjil.
Kita tidak asing dengan istilah tentang tuah yang bicara
bahwa manusia berasal dari tanah dan pulang dengan keadaan yang demikian sama- sangkan paraning dumadi. Paduka pula
memahami bagaimana titah diputus melalui pertimbangan wisik dan perkataan para
leluhur. Dan saya tidak sedang ingin menyangsikannya.
Tapi, Paduka Yang Mulia,
Bukankah sujud itu bisa dimengerti sebagai laku simbolik: dia dan tentu
juga Paduka, akan berakhir menyatu dengan tanah?. Jika atas nama pembangunan
-makam bisa dibongkar, mayit diangkut dengan gampang, dan tanah kian terkikis
beton- … dimana kita akan benar-benar pulang?
***
Dzikri Rahmanda, adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
Sumber: Indoprogress
0 comments:
Post a Comment