March 5, 2018 | Rika Isvadiary
Kebumen, Mei 2012
Baru saja kemarin siang saya sampai di Kebumen. Devy, junior saya di kampus dulu menjemput di alun-alun Kebumen. Saya penasaran dengan skripsi Devy yang membahas konflik Sumber Daya Alam (SDA) di pesisir Urutsewu.
“Urutsewu itu sebutan untuk kawasan pesisir selatan yang membentang dari Cilacap, Kebumen dan Kulonprogo. Di Kebumen sendiri kecamatan yang termasuk Urutsewu ada Klirong, Petanahan, Puring, Buluspesantren, Ambal dan Mirit. Masyarakat Urutsewu itu punya sistem pembagian dan pengelolaan tanah sendiri. Misal, di Desa Kaibon Petangkuran, terdapat blok dokelan, kuburan, jenggreng, gupakan, pangonan dan kisik. Kuburan untuk kubur mayat. Pangonan atau bera sengaja adalah tempat pengembalaan ternak. Sedang kisik, wilayah tepi pantai. Di Desa Setrojenar, dongkelan disebut kacangan dan gupakan disebut gumuk kewadonan.” Devy merunut kisah Urutsewu.
Saya mendengar tanpa menyela. Masyarakat lokal terutama masyarakat adat memang memiliki sistem tenurial yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Kebijakan ini diwariskan dari nenek-moyang melalui budaya bertutur yang tersaji dalam sajak, cerita, hikayat, syair ataupun mantra. Sistem tenurial biasanya meliputi kepemilikan tanah, pengelolaan, pemindahan hak dan hilangnya hak atas tanah.
“Tanah yang menjadi objek sengketa adalah tanah bera sengaja, yang sengaja tidak dibudidayakan. Tanah bera sengaja muncul sebagai manifestasi konsep ekologi masyarakat Urutsewu. Zona ini sengaja di-bera-kan atau belum dibudidayakan untuk pemenuhan kebutuhan area pengembalaan ternak. Area inilah yang digunakan militer untuk latihan uji coba senjata. Mereka fikir, karena tidak dibudidayakan, maka tanah itu kosong dan menjadi tanah negara” devy meneruskan ceritanya.
Saya mahfum sekali dengan kondisi yang diceritakan Devy. Masyarakat dulu memang bijak menggunakan tanah. Tidak semua tanah boleh digunakan. Misalnya masyarakat adat di sekitar Gunung Halimun-Salak mengenal konsep hutan tutupan dan hutan titipin. Hutan tutupan boleh dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara hutan titipan tidak boleh diganggu gugat. Fungsinya adalah untuk menjaga keseimbangan alam.
Kadang tanah yang sudah digarap sengaja dibiarkan saja beberapa tahun untuk mengembalikan unsur hara-nya. Perbedaan persepsi muncul. Mayoritas pejabat dan aparat negara menilai tanah tersebut sebagai tanah terlantar, sehingga negara berhak untuk mengambil tanah itu untuk “diberdayakan”. Ketika izin atau hak milik dikeluarkan oleh Pemerintah, muncullah berbagai konflik. Aksi saling klaim pun terjadi yang berbuntut pada sengketa tanah dan konflik sosial.
“Nah, habis makan siap-siap ya, kaleng…kita ke Pantai Setrojenar” Devy menyudahi ceritanya tentang Urutsewu dan memberaskan makanan.
Saya senang sekali. Sudah lama saya menanti kesempatan plesir ke pantai itu. Kami berangkat naik motor. Dari rumah Devy ke Setrojenar ternyata lumayan jauh. Motor kami akhirnya sampai di gerbang Pantai Setrojenar. Harusnya kami bayar semacam retribusi pariwisata. Tapi warga rupanya sudah sangat akrab dengan Devy. Kami langsung disuruh lewat saja.
“Pantai ini jadi pemasukan untuk warga sekitar juga. Mereka mengelola pantai ini jadi tempat wisata. Warga membuka warung, menyewakan kuda dan membangun beberapa fasilitas di area pantai” Devy bicara pada saya sambil terus mengemudikan motornya.
Kami sampai di tempat parkir. Ini pun kami digratiskan. Langsung saja kami masuk ke area pantai. Ternyata lumayan ramai. Orang-orang bermain di pinggir pantai. Ada yang berenang di tepian, ada yang bermain layang-layang dan ada yang naik kuda. Pantai ini punya garis pantai yang cukup panjang dengan ombak yang menggulung cukup tinggi. Khas pantai selatan.
“Ramai juga…eh, pasirnya hitam ya, dek” saya memperhatikan pasir yang ada di Pantai Setrojenar.
Devy menggambil segenggam pasir. Lalu memperlihatkan pada saya, “inilah pasir yang menggandung pasir besi kak. Coba lihat kalau terkena sinar matahari jadi berkilat dan bercahaya”
Saya melihat lekat pasir yang ada di tangan Devy. Devy mengarahkan tangannya tepat di bawah sinar matahari. Kilatan cahaya berkilau dari pasir yang kehitaman. Inilah rupanya yang jadi anugerah sekaligus bencana.
Devy mengajak saya minum kopi di warung dekat pantai. Seperti yang sudah-sudah, orang-orang di sekitar pantai semuanya kenal dengan Devy. Kami ngopi sambil menikmati gorengan. Makanan pokok orang Indonesia.
“Jadi kenapa pantai seindah ini menuai konflik?” saya bertanya tetap asyik menyantap pisang goreng.
Devy mengunyah dulu tahu isinya. Baru menimpali saya. “Awalnya sengketa kepemilikan antara militer dan warga. Pihak militer mengklaim itu tanah mereka. Katanya karena sejak tahun 1937 dikuasai oleh Pemerintah Belanda, tahun 1940 dikuasai oleh tentara Jepang. Nah sekarang kan gak ada lagi penjajah, jadi tanah itu dibawah penguasaan mereka. Tapi ini dibantah oleh warga yang mengatakan kalau di masa kolonial pun sudah ada klangsiran”
Saya berhenti mengunyah. Kali ini yang jadi sasaran saya tempe goreng. “klangsiran?”
“Iya. Klangsiran tanah adalah proses pemetaan tanah yang dilakukan oleh mantra klangsir dengan tujuan menetapkan pajak. Menurut saksi sejarah, klangsiran di Urutsewu terjadi pada tahun 1932. Yang boleh mengikuti klangsiran hanya mereka yang punya tanah. Lalu setelah itu dibuatlah pal batas antara tanah warga dengan tanah yang dikuasai kompeni. Ada juga yang menggunakan istilah tanah pemajekan. Penarikan pajak tahun 1962 menggunakan pethuk karena belum ada sertifikat” ujar Devy lagi.
Angin di pantai berhembus. Damai sekali. “Lalu sejak kapan militer datang?”
Devy menarik napas sejenak. Melihat laut yang penuh dengan orang.
“tahun 1960 militer mulai melakukan latihan di Urutsewu. Konflik muncul saat tahun 1980-an didirikan kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan milik militer di Desa Setrojenar. Warga keberatan, karena latihan ini merusak pohon di sekitar dan juga merusak perkebunan warga. Konflik kembali memanas ketika tahun 2007 patok yang menjadi batas dengan tanah milik warga bergeser hingga 750-1000 meter dari garis pantai. Padahal awalnya hanya 500 meter dari garis pantai”
Kami beranjak dari warung. Berdua, menyusuri garis Pantai Setrojenar. Suara debur ombak memanjakan telinga. Suara yang selalu saya rindu. Riak-riak putih itu, yang datang bersama ombak. Indah nian negeri bahari.
“Bagaimana perusahaan bisa masuk dan ikut terlibat dalam konflik?” tanya saya seperti menggantung pada langit. Melibas layang-layang mengangkasa.
Devy kembali menarik napas. “huft….itulah perusahaan mendapatkan izin untuk melakukan penambangan pasir besi. Jelas warga menolak. Penambangan pasir besi ini pun menimbulkan konflik ekologi politik di Urutsewu. Jika lahan ini digunakan untuk penambangan pasir besi, masyarakat tidak bisa melakukan kegiatan pertanian. Jika mereka tak bisa bertani, hilanglah mata pencaharian. Bagaimana bisa bertahan hidup? Pun penambangan pasir besi pasti butuh tenaga ahli, tenaga masyarakat yang biasa bertani tak akan diterima di sana”
Saya tersenyum kecil. Mengerti benar kegundahan hati Devy. Meski tak dilahirkan di desa dan bukan anak petani, saya sadar saya berhutang banyak pada petani. Semua yang masuk ke mulut saya, barangkali adalah apa yang telah mereka upayakan bertahun-tahun, “memisahkan petani dari tanahnya sama saja dengan mengarahkan bedil ke kepalanya”
Ucapan saya siang itu seakan menjadi penutup diskusi kami. Ombak makin tinggi. Kami meninggalkan area pantai dengan pasir mengkilat yang menuai kontroversi itu. Sebelum meninggalkan parkiran, Devy membeli semangka hasil pertanian Urutsewu.
“Pertanian di Urutsewu bagus kak. Semangka, melon, bawang, papaya, cabai. Pokoknya komplit. Setahun warga bisa panen lima kali. Malahan ya, perputaran uang dalam satu tahun bisa mencapai 3 miliar rupiah” Devy menggendong semangka yang dibelinya dengan semangat.
Duh, negeri subur begini. Katanya tongkat kayu saja ditancap bisa jadi tanaman dan dimakan. Alam bahari yang kaya, negeri agraris yang subur. Nikmat mana lagi yang kita dustakan? Tapi justru di negeri kaya inilah, orang-orang berebut tanah dan semua yang ada di dalamnya. Bukankah kehidupan menjadi jauh lebih damai jika kita tak serakah? Entahlah…..
Sumber: Rika Isvandiary
0 comments:
Post a Comment