Sunday, December 11, 2016

Press-Release | Jogja Darurat Agraria

“Tak Ada Penegakan HAM tanpa Keadilan Agraria, Tak Ada Keistimewaan Jogja Tanpa Kesejahteraan Bagi Seluruh Warga”

 [Foto: haedar de ahmad] 

Menurut catatan yang dikumpulkan oleh tim investigasi Jogja Darurat Agraria, terdapat lebih dari 20 titik konflik agraria dan tata ruang yang tersebar di seluruh Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah konflik agraria yang berdampak pada pengusiran, penggusuran dan perampasan ruang hidup masyarakat tersebut telah menambah catatan pelanggaran HAM yang terjadi di dalamnya, mengingat semakin diabaikannya hak atas kehidupan yang layak secara ekonomi dan sosial bagi warga.

Titik-titik tersebut memiliki skala berbeda, namun aktor-aktornya tetap sama, begitupun korbannya; warga Jogja sendiri. Untuk suatu proyek pembangunan, tentu aktor utamanya tak lain adalah investor. Para pemilik modal besar yang seringnya masih menjadi bagian dari negara dan pemerintahan, serta sanggup mengerahkan divisi keamanan berupa aparat demi merepresi dan mengusir warga dan mengamankan asetnya. Mereka dibantu oleh para penguasa daerah DIY; pemerintah daerah dan badan-badan hukum swasta warisan kolonial yang dibawahi Kasultanan, tak lupa, Kesultanan dan Kadipaten itu sendiri yang hidup dari mitos dan rasa percaya warga Jogja sebagai pengayom dan pelindung. Tragisnya, badan-badan hukum swasta warisan kolonial tersebut lah yang justru menjadi pengeksekusi perampasan tanah rakyat melalui klaim SG (Sultan Ground)/PAG (Pakualaman Ground) alias tanah-tanah sultan dan pakualaman yang hingga detik ini tidak memiliki payung hukum jelas dan hanya berdasar pada pengakuan masyarakat, serta pada sejarahnya mengacu pada warisan hukum kolonial pra kemerdekaan bernama Rijksblad.

Indonesia telah memiliki produk perundangan yang mengatur wewenang dan hak-hak atas tanah, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang memiliki cita-cita luhur menghapus imperialisme, kolonialisme dan sisa-sisanya antara lain tanah-tanah dan bekas tanah swapraja melalui redistribusi tanah yang adil; memastikan bahwa warga negara yang telah puluhan tahun menggarap tanahnya akan dijamin haknya atas tanah tersebut. Meskipun reforma agraria belum tercapai sepenuhnya, UUPA tetaplah Undang-undang tertinggi pertanahan Indonesia, tak terkecuali di DIY, dan Provinsi DIY tidak bisa berpura-pura "istimewa" dalam hal pertanahan dengan menjadikan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) lex specialis terhadap UUPA. Melangkahi dan mengabaikan UUPA sama dengan melanggarnya. Terutama jika sejarah menunjukkan bahwa Sultan Hamengkubuwono IX telah menerbitkan Perda DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UUPA di Provinsi DIY.

Upaya legitimasi perampasan tanah warga oleh penguasa ditempuh melalui bermacam perangkat; Undang-Undang Keistimewaan (UUK), Perdais Pertanahan, hingga pembentukan Dispertaru (Dinas Pertanahan dan Tata Ruang) DIY. Bahkan instruksi inventarisasi dan penertiban hak-hak milik tanah dapat diberikan oleh lembaga swasta seperti Panitikismo kepada struktur pemerintah.

Saat ini tidak tanggung-tanggung, terdapat setidaknya tiga megaroyek di Provinsi DIY; pembangunan bandara internasional bernama NYIA/New Yogyakarta International Airport (Kulon Progo), pertambangan pasir besi dan pembangunan pabrik baja (Kulon Progo), serta perampasan tanah desa melalui pembalikan nama sertifikat desa (seluruh Jogja). 
Sangat mengkhawatirkan, bagaimana bisa sebuah perampasan menjadi megaproyek?

Pembangunan bandara internasional selalu disebut-sebut sebagai salah satu proyek strategis nasional, namun sesungguhnya adalah kegagalan bagi Jogja untuk mempertahankan keistimewannya yang sejati, yaitu pertanian pesisir selatan yang memiliki produktivitas tinggi dan telah manjadi kekhasan budaya Jogja. Pemerintah Indonesia diwakili oleh PT. Angkasa Pura I bekerjasama dengan investor konglomerat India, GVK Power and Infrastructure. 

Ambisiusnya pembangunan bandara ditunjukkan melalui penerbitan izin penetapan lokasi oleh Gubernur dan pembebasan lahan sebelum didapatkannya ijin lingkungan yang berasal dari kajian dampak lingkungan dan sosial seperti AMDAL. Setelah rentetan masalah yang tak tak jelas ujungnya akibat cacatnya prosedur, petani tetaplah dipaksa angkat kaki dari tanah dan rumahnya melalui tangan besi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Kepentingan yang sebenarnya bukan untuk umum, mengingat tak hanya bandara yang akan dibangun di sana, melainkan suatu kota bandara. Menurut kebrutalan UU tersebut, petani yang tetap menolak proyek seperti paguyuban warga WTT (Wahana Tri Tunggal) akan diabaikan dan dititipi uang ganti rugi untuk diambil di pengadilan.

Kulon Progo juga tak sudi dijadikan tambang pasir besi ketika tambang sangat jelas menghancurkan lingkungan dan sosial. Telah menyentuh satu dekade warga PPLP berjuang menolak proyek tambang pasir besi. Belum lagi jika kita menyebutkan perjuangan warga di pesisir selatan Jogja lainnya. Warga Parangkusumo harus menghadapi ancaman penggusuran atas nama pembangunan PGSP (Parangtritis Geomaritime Science Park) yang didaku sebagai kawasan konservasi namun didirikan di atas tanah yang diklaim sebagai SG (Sultan Ground). Sebuah keganjilan jika kawasan konservasi yang dibekali perangkat hukum perundangan konservasi sumberdaya dan alam tidaklah berdiri di atas tanah negara. Warga Watu Kodok berjuang hingga kini ketika mereka dilecehkan dan diusir oleh investor yang merasa berhak menggusur warga yang telah bergenerasi-generasi hidup dan mengolah tanahnya di sana melalui surat sakti kekancingan yang dikeluarkan lembaga swasta Kesultanan.

Maka dari itu, kami mengajak kita semua, warga Jogja dan siapapun yang merasa bagian dari Jogja, untuk menyerukan penghentian seluruh proyek pembangunan yang hanya akan memberi kekayaan pribadi bagi segelintir orang dan tidak memberi kemaslahatan bahkan menyengsarakan massa rakyat. Masih banyak warga Jogja yang terdesak secara ekonomi. Proyek pembangunan yang dinilai akan memberi keuntungan ekonomi besar bagi Provinsi DIY tentu mudah dipercaya orang, tetapi pertanyaan paling penting adalah apakah benar warga Jogja akan diuntungkan? Ataukah hanya sebagian kecil orang saja? Apakah warga Jogja tidak pernah berpikir bahwa saat ini, perlahan demi perlahan, warga Jogja justru akan dipinggirkan dari tanahnya sendiri?

Maka kami menyerukan untuk segera membangun persatuan warga guna,
 

- Hentikan pembangunan bandara internasional NYIA - Kulon Progo
- Hentikan proyek tambang pasar besi dan pabrik baja di Kulon Progo
- Hentikan perampasan tanah kas desa! Tanah desa untuk desa,
- Hentikan intimidasi dan represi terhadap warga yang memiliki hak untuk hidup, mempertahankan penghidupan dan kehidupannya
- Hapuskan klaim warisan kolonial tanah sultan dan pakualaman (SG/PAG)!
- Cabut Undang-Undang Keistimewaan (UUK) dan Perdais Pertanahan!
- Hentikan penggusuran di Parangkusumo!
- Hentikan penggusuran di Watu Kodok!
- Usut tuntas pelanggaran HAM dalam konflik agraria di DIY!
Berlakukan UUPA sepenuhnya di DIY dan laksanakan reforma agraria sejati!
- Hancurkan kapitalisme kolonial, mental feodal dan monopoli tanah oleh Kesultanan dan Kadipaten!
- Tanah untuk rakyat, bukan untuk sultan!


"Karena sesungguhnya mendukung petani adalah doa makan yang tak berpura-pura". 

Salam solidaritas!

  [Foto: haedar de ahmad]

https://www.facebook.com/haedar.eltakael/posts/938414369624650

0 comments:

Post a Comment