Jum'at, 8 Juli 2016
Penulis: Yasir Dayak
Mak, aku mulai bergerilya lagi. Tujuanku kali ini sebuah kabupaten di Pulau Jawa yang sejak lama ingin sekali aku menginjakkan kaki ini di tanahnya. Rembang. Kau belum pernah mendengar nama itu kan, Mak? Maka sebagai seorang anak adalah tugasku untuk menceritakan padamu.
Jadi begini, Mak:
Setelah langit pesta kembang api malam itu dan orang-orang merayakan kemenangan yang aku sendiripun bingung kemenangan macam apa yang mereka rayakan usai sudah, aku bergegas meninggalkan kawasan Urut Sewu yang dijaga anjing loreng-loreng itu menuju Rembang. Tepatnya Desa Dasun, Kec. Lasem, Kab. Rembang. Seorang kawan telah menungguku di sana. Exsan namanya.
Kawan angkatan muda. Maka berangkatlah aku dengan bis antar kota. Orang kebanyakkan mengatakan bis itu ‘bis kaum miskin’. Karena biayanya yang murah. Dan betul, Mak, sebutan yang diberikan orang kebanyakkan itu sesuai dengan bis itu. Tempat duduknya sedikit. Tak ada AC. Pun tak ada gorden. Yang miskin mesti berebut. Mesti berdesakkan. Mesti sabar! Begitu menyedihkan, Mak. Ya, inilah Jawa dengan segala hiruk-pikuknya.
Kau tahu, Mak, di dalam bis itu aku berdiri selama lima jam. Urut Sewu-Semarang. Tangisan anak kecil yang kepanasan, beberapa orang yang muntah, dan kondektur yang menyebalkan adalah ujian yang berat bagiku selama perjalanan. Tapi, akhirnya aku marah juga pada si kondektur itu. “Sialan kau! Kami pada kepanasan kau malah marah-marah!”
“Biasa aja, Mas!” ucap kondektur itu.
“Biasa apalagi? Lihat anak itu! Kepanasan.”
Kondektur itu kemudian pergi ke depan. Dan tak kembali.
Matahari sudah ditelan langit dari tadi. Ditelan bulat-bulat. Akhirnya bis berhenti di Terminal Terboyo, Semarang. Namun belum lagi penat di kaki hilang, perjalanan masih berlanjut. Semarang-Lasem kutempuh dengan bis tujuan Surabaya-Semarang bernama ‘Indonesia’. Dan senja tiba bersama debu dan asap yang menempel di sekujur wajah dan bajuku.
Lagi-lagi, Mak, aku dibikin kesal oleh kondektur bis.
“Pak, di sini Masjid Lasem?” aku bertanya.
“Iya,” jawabnya begitu yakin.
Dan bis itu menepi. Aku pun turun.
“Akhirnya sampai juga aku di Rembang,” gumamku dalam hati.
Tapi herannya, tempat di mana aku turun tidak ada masjid, sesuai rute yang diberikan Exsan padaku.
“Bung, aku sudah di tempat yang kau maksudkan,” ucapku pada Exsan lewat Whatsapp.
“Di mana kau?” balasnya.
“Persis di depan Indomaret.”
“Oke tunggu di situ. Jangan ke mana-mana!”
Pesan itu tak kubalas lagi.
Tak berapa lama kemudian, “Di mana kau?” tanya Exsan.
“Masih di depan Indomaret.”
“Indomaret mana?”
“Pertigaan lampu lalu lintas.”
“Kok enggak ada?”
“Lah! Gimana?”
“Coba tanya orang!”
“Oke.”
Setelah bertanya pada dua bocah laki-laki yang kebetulan melintas, aku tertawa tergelak-gelak. Betapakan tidak. Aku masih di Rembang. Bukan di Lasem.
“Lasem masih jauh, Mas,” ucap salah satu bocah laki-laki itu. Sial. Betul-betul sial. Singkat cerita aku naik bis lainnya.
Dari kejauhan Exsan tertawa keras-keras. Jelas menertawaiku.
“Ha-ha-ha, selamat datang di Lasem, Bung!”
“Betul-betul sial.”
Begitulah, Mak. Malam itu aku diajak Exsan keliling sebentar setelah itu kami ngopi Lasem. Dan satu lagi yang menarik dari Lasem selain kopinya, Mak, yaitu, aku dapat menyaksikan bagaimana peradaban, sebelum peradaban yang kacau macam sekarang ini, kolonial dan Cina berabad-abad lalu. Khususnya di Lasem.
Ya, Mak, semua itu terlihat jelas melalui arsitektur bangunan-bangunan tua yang masih berdiri kokoh. Aku bangga betul bisa menginjakkan kaki di tanah Lasem. Meskipun ada saja tikus berkeliaran di jalanan.
Keesokan hari, bau laut dan angin dingin membangunkanku dari tidur. Exsan masih tergelatak di tilam. Kubangnkan ia. Dan iapun mengajakku pergi ke tepi pantai. Sebelum ke tepi pantai, kami mampir sebentar di Sungai Dasun. Sungai air laut dengan pohon-pohon bakau tumbuh subur di bibirnya.
“Di sinilah dulu Belanda dan Jepang pernah membangun galangan kapal. Ya, nenekku jadi salah satu saksinya,” ucap Exsan. “Kalau ini dirusak juga, alam akan marah. Karena alam itu hidup. Entah itu pohon, air, tanah, dan langit. Mereka semua bisa melihat, mendengar, dan merasakan. Tapi manusia modern lupa akan hal itu!” lanjutnya.
Aku memilih diam saja.
“Bagaimana kalau kita naik saja? Ke Kendeng!” ajak Exsan.
“Nah, itu sudah.”
Setelah bersiap-siap, aku dan Exsan melaju ke Kendeng dengan motor tua milik sang ayah. Namun sebelumnya kami singgah sebentar di RBP. Ada sesuatu yang mesti dikerjakan sebentar. “Ini demi Rembang, Bung! Dan kau tahu, hanya orang bodoh yang mengatakan bahwa Rembang itu tidak subur!” ucap Exsan.
Mengagetkan.
“Yoi!” jawabku.
Pekerjaan selesai. Perjalanan kembali kami lanjutkan.
Kau tahu, Mak, pohon-pohon jati itu menyambut kedatanganku dengan ramah. Mereka menari-nari mengikuti arah angin. Namun jalan yang menanjak membuat motor tua ini kewalahan. Tua! Dengan susah-payah akhirnya perlahan-lahan tanjakan demi tanjakkan pun terlewati. Dan, dari badan gunung ini aku dapat melihat hamparan tembakau, jagung, padi, pisang, jati, dan seterusnya tumbuh berdampingan. Rukun. Akan tetapi, ketika mataku tertuju pada arah yang ditunjuk Exsan seketika memaki.
“Pabrik semen sialan! Cuih!!”
“Ha-ha-ha,” Exsan tertawa.
“Baru lihat langsung ya, Bung?”
“Sialan!”
Setengah jam lebih perjalanan, Mak, sampailah aku dan Exsan di sebuah rumah kayu.
“Inilah rumahnya!” ucap Exsan.
Aku diam. Terkagum. Betapakan tidak. Rumah tersebut semua bagiannya terbuat dari kayu jati.
“Ini, Lek, teman dari Jogja asal Kalimantan yang ingin sekali bertandang ke sini dan bertemu langsung dengan dirimu,” ucap Exsan pada seorang perempuan paru baya yang muncul dari balik tirai pembatas antara dapur dan ruang tamu.
“Oh ya? Silakan duduk! Silakan,” ucapnya ramah padaku.
Mata perempuan itu tampak sayu, Mak. Aku jadi ingat dirimu.
“Saya Sukinah, Mas. Masnya?”
“Iya, Bu. Saya Yasir. Kita pernah ketemu dua tahun lalu. Ketika gerebek UGM!”
“Oh ya? Aduh, Mas, saya lupa.”
“Iya, tak apa , Bu.”
“Mau minum apa? Kopi aja ya?”
Aku dan Exsan mengangguk. Mengiyakan.
“Ini yang ketiga, Bung!” ucap Exsan.
Ya, Mak, sebelumnya aku dan Exsan sudah ngopi di warung kopi milik temannya.
“Nah ini! Silakan diminum!”
Aku pun langsung nyeruput. Sementara Exsan sibuk menempelkan perekat pada kertas-kertas.
“Saya ya gini, Mas, terus melawan pabrik semen bersama kawan-kawan. Demi generasi berikutnya, Mas. Jikalau pabrik semen ini tidak dilawan atau dibiarkan begitu saja, maka bukan hanya Rembang yang menderita, Kalimantan juga. Karena tanah di sana akan terus-menerus dikeruk untuk diambil batu baranya kemudian digunakan untuk membangkitkan mesin. Kita sama-sama menderita, Mas,” mata Bu Sukinah tampak lebih sayu dari sebelumnya. “Saya dulu sama seperti Mas Yasir, sering marah kalau melihat atau bahkan mendengar namanya. Ganjar memang kelewatan. Tapi, inilah dunia, Mas. Ada siang. Ada malam. Ada laki-laki. Ada perempuan. Ada langit. Ada bumi. Saya sabar aja. Toh, kalau saya terus-terusan begitu kita akan kalah. Dan Ganjar semakin senang. Bukan begitu, Mas?”
Aku mengangguk. Kalah.
“Tuh, Bung. Kau mesti menahan emosi!” celetuk Exsan.
“Wong kita ini manusia, Mas,” sambung Bu Sukinah.
Sebelum beranjak dari rumahnya, aku mencium Bu Sukinah. Karena ia juga ibuku. Meskipun ia bukan yang mengandung dan melahirkanku, tetapi ia turut serta membesarkanku. Ah, Mak! Ingin sekali aku mencium dan minum air dari telapak kakimu.
Dari kejauhan, Mas Prin dan sang ibu sedang duduk di beranda. Aku, Exsan, dan Bung Ter naik ke beranda dan bersalaman. Ngopi lagi? Empat kali ini, Mak! Di rumah Mas Prin tak banyak yang kami bicarakan. Intinya, Mas Prin hendak jadi seorang kiai. Dan, Mak, di bawah rembang senja motor tua ini terengah-engah. Kecapekkan. Aku dan Exsan tertawa tergelak-gelak.
Sekian dulu ya, Mak. Esok akan kutulis lagi.
Yasir Dayak, 8 Juli 2016, Kediaman Exsan, Lasem
https://www.facebook.com/notes/yasir-dayak/gerilya-dan-mereka-yang-melawan/896809120446367