REPERTOAR: Repertoar "Semar mBangun Kahyangan" dengan iringan gamelan "Kyai Jangkung Nalar" menandai peringatan 5 tahun Tragedi Urutsewu yang digelar di lapangan desa Setrojenar (16/4), persis di seberang markas Dislitbang TNI AD [Foto: Litbang FPPKS-USB)
Kini, pada perjalanan 5 tahun Tragedi Urutsewu di Setrojenar; peringatan terhadap serangan berdarah fihak militer terhadap petani; bukan lagi merupakan peringatan seremonial semata. Melainkan telah berdialektika seiring ide-ide perlawanan para korban (langsung maupun tak langsung) karena alur perlawanan ini terantuk impunitas tentara.
Penembakan dan penganiayaan terhadap 13 petani pejuang agraria, pengrusakan secara permanen 12 sepeda motor milik masyarakat, dan kriminalisasi terhadap 6 petani Urutsewu; adalah problem kasuistik yang memenuhi ruang dan ingatan kolektif masyarakat Urutsewu itu. Di atas ini semua, problem-problem yang bermuara pada soal kedaulatan petani atas tanah pesisir yang menjadi hak dasar, juga hak ulayyat atas ruang hidup bersamanya; tetap terabaikan hingga hari ini.
Peringatan 5 tahun Tragedi Urutsewu di Setrojenar kali ini bertemakan: "Ngrungkebi Bumi, mBangun Kahyangan" yang memuat dan membumikan spirit bela negara dengan merestorasi penguasa; pun menandai kesadaran kolektif yang meluas di sana. Dan sebagai sebuah refleksi perjuangan, maka perhelatan budaya religiusitas demikian, dalam konteks mengenang sebuah insiden tragik; sungguh terasa kedalaman maknanya.
Peringatan Tentang Impunitas
Bukan sekedar sebagai acara ceremonial, peringatan Tragedi 16 April menjadi ruang pengingat bagi masyarakat UrutSewu atas kebrutalan militer beserta implikasi impunitas yang kemudian menyertainya. Peringatan yang menandai 5 tahun kebrutalan dan impunitas militer yang digelar di lapangan Desa Setrojenar dengan diawali istighotsah. Sessi ini diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat; dan menemukan momentum khasnya. Istighotsah yang memiliki dua urgensi antara aspek ritual dan sosial menjadi ibadah rutin penting yang menyertai spirit perjuangan masyarakat tani Urutsewu.
Masih segar dalam ingatan kolektif massa, bagaimana gerakan penolakan terhadap penetapan kawasan militer di atas basis produktif pertanian ini, sempat dimanipulir dengan issue komunisme dalam arti dan konotasi negatif; atheis. Padahal komunisme itu bukan lah atheisme, namun stigma khas gaya OrBa ini lambat laun runtuh. Becik Ketitik Ala Ketara, begitu lah kata pomeo Jawa yang memuat kearifan lokal.
Seusai istighotsah dalam peringatan 5 Tahun Tragedi Urutsewu ini pun kemudian terdengar alunan merdu lagu
Indonesia Raya yang dilanjutkan lagu
Indonesia Pusaka yang yang bikin bulu kuduk merinding. Lagu "nasional" ini pun dinyanyikan oleh kelompok paduan
suara ibu-ibu Desa Setrojenar; dengan hikmat. Sementara itu, dari arah perempatan jalan
Diponegoro –lokasi
penembakan 5 tahun lalu- berjalan pemuda membawa 5
gunungan dengan hiasan bendera Sang Saka.
Masih jelas tergambar dalam ingatan pemuda ketika mereka mendengar suara tembakan dan dikejar-kejar oleh militer pada tanggal yang sama lima tahun lalu. Kenangan luka ini pun masih sanggup menyayat kenangan ibu-ibu paduan suara, dimana mereka telah mengalami intimidasi dan kesengsaraan ketika suami mereka ditembak dan dipenjara berbulan-bulan. Titik air mata pun jatuh di wajah perempuan-perempuan petani pejuang dari Urut Sewu.
Kehadiran Innayah Wahid
Kehadiran dari Inayah Wahid, putri lamarhum Gus Dur di tengah perhelatan ini, pun sedikit mengobati dan karenanya disambut
dengan suka cita oleh masyarakat. Terlebih, putri mantan presiden pembaharu ini menyatakan dukungannya dan siap untuk mengiringi perjuangan masyarakat Urut Sewu. Sementara
itu, ketidakhadiran bupati baru, M. Yahya Fuad, yang
telah diundang
dalam acara ini pada dasarnya sangat disayangkan.
Sebab, Pemkab Kebumen masih mempunyai kewajiban untuk
membuka hasil investigasi Tim Independent yang molor dan makin tidak jelas kesudahannya hingga hari ini.
Narasi pentas wayang oleh Lurah Widodo Sunu Nugroho
yang diiringi aksi
teatrikal dari mahasiswa Unsud membangkitkan ingatan
atas ketidakadilan yang menimpa masyarakat. Klaim tanah
oleh militer, penembakan petani, pemaksaan pemagaran, dan kekerasan
yang menyertainya di Desa Lembupurwo dan Wiromartan menjadi
gejala disfungsi negara. Masyarakat sendiri berkehendak untuk
memperbaiki tatanan negara untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Sebagaimana kehendak Semar untuk mbangun kahyangan, sekalipun
harus melawan buto seperti dalam pentas wayang kardus yang dimainkan
Ki Dalang Imam Zuhdi dan Gamelan Kyai Jangkung Nalar.
Beruntung bahwa peringatan 5 tahun Tragedi Urutsewu tak diintimidasi militer sebagaimana terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Tetapi jelas bahwa aplikasi hukum dalam konteks ini, sama sekali tak berkeadilan. Penembakan brutal, pengrusakan selusin sepeda motor milik warga, tindakan sweeping militeristik dari rumah ke rumah paska penembakan; tak pernah diselesaikan sampai hari ini. Impunitas tentara seperti ini tak pernah bisa menghapus konstruksi politik pelupaan yang diskenario oleh kekuasaan berwatak fasism.
Semua menjelaskan, bahwa "Kasus Urutsewu" memang belum selesai...
Semua menjelaskan, bahwa "Kasus Urutsewu" memang belum selesai...
0 comments:
Post a Comment